Bab 7

Playlist : Cinta Sendirian - Syahrini ft Maruli

Devan menatap Nayla yang sedang mengobrol dengan teman-temannya. Dia tidak sengaja melihat Nayla di lobi saat jam makan siang. Devan akan pergi keluar, bertemu dengan Anyelir. Tiba-tiba dia menjadi merasa sangat-sangat bersalah pada Nayla.

Seharusnya, Devan menyelesaikan masalahnya terlebih dahulu. Melepaskan Nayla, perempuan baik hati yang dia jerat seenaknya saja. Devan akui Nayla cukup baik, bahkan sangat baik untuknya. Tapi, dia hanya menganggap Nayla seperti adik, tidak lebih.

Devan berjalan melewati Nayla dan teman-temannya, dia tidak sedikit pun menoleh pada Nayla. Tidak sanggup menatap mata sendu Nayla yang belakangan selalu menghantui malamnya. Rasa bersalah Devan semakin besar pada Nayla.

"Pak Devan tuh Nay." Lily menyenggol lengan Nayla.

Reaksi Nayla hanya tersenyum tipis, dia tidak akan menanggapi banyak hal mengenai Devan. Dia akan fokus pada karir dan kuliahnya. Sore hari ini Nayla akan bimbingan dengan dosennya. Dia selangkah lagi akan mendapat gelar sarjananya.

Mila dan Findhy hanya saling menatap, keduanya merasa aneh dengan Nayla. Biasanya, Nayla akan terlihat senyum-senyum malu jika membahas Devan. Kini mereka melihat Nayla yang sepertinya menyimpan banyak luka.

"Jadi mau makan siang nggak?" tanya Nayla pada ketiga temannya.

Mila, Findhy dan Lily saling menyenggol menepuk tangan di belakang Nayla. Mereka memang akan makan siang, tetapi dengan Rissa yang notabenenya tidak suka pada Nayla. Tidak ada alasan khusus Rissa membenci Nayla, hanya saja Nayla terlihat terlalu lemah dan Rissa tidak suka berteman dengan perempuan lemah.

"Ah! Aku mau makan di kantin kok. Kalian makan di luar saja," tutur Nayla saat dia paham tatapan bingung teman-temannya. "Have a nice lunch girls," ujar Nayla yang kemudian berjalan meninggalkan mereka dengan melambai pelan.

Nayla tersenyum kecut, dia berjalan menuju lift kantor. Dia akan menuju kantin yang ada di rooftop. Nayla mungkin hanya akan membeli roti isi dan sebotol air mineral. Mood-nya sudah benar-benar rusak saat ini.

Dari kejauhan, Gian menatap Nayla yang terlihat murung. Dia melihat sendiri bagaimana Nayla dikucilkan teman-teman sekantornya. Gian tahu pasti berat berada di posisi Nayla. Smua karyawan tahu, Nayla dekat dengan keluarga Singgih. Menganggap Nayla masuk dengan koneksi. Padahal, Nayla memang memiliki kemampuan.

"Sendirian?" sapa Gian yang kini menghampiri Nayla, dia berdiri di sebelah Nayla. Keduanya sama-sama menunggu lift.

"Mas Gian." Nayla menarik senyum ramahnya.

"Makan siang bareng?" tawar Gian langsung. Dia tidak tega melihat Nayla harus makan sendirian. Memasang wajah murung dan menerima banyak tatapan tidak suka banyak orang.

Nayla mengernyitkan dahinya, dia menatap Gian dengan pandangan kaget. Selama ini, Nayla hanya kenal ala kadarnya dengan Gian. Itu juga karena Gian dan Devan beberapa kali bertemu Nayla di rumah Gilang.

"Ada resto temenku baru buka. Di sana lagi diskon, mau coba?" Gian masih berusaha membujuk Nayla.

"Boleh," sahut Nayla sambal menganggukkan kepalanya. Dia merasa tidak enak jika menolak ajakan Gian.

Saat pintu lift terbuka, Nayla dan Gian masuk ke dalamnya. Tujuan kini adalah parkiran basement, tempat dimana mobil Gian terparkir.

∞∞∞

Anyelir melirik Devan yang menyetir di sebelahnya. Mereka berdua sudah janjian untuk makan siang bersama. Anyelir akan mengatakan semuanya kepada Devan. Dia akan mendorong jauh sosok pria itu dari dekatnya.

"Resto baru?" tanya Anyelir saat melihat ada banyak papan bunga ucapan selamat di depan restoran tujuan Devan.

"Yap!" sahut Devan yang memarkirkan mobilnya di tempat VIP. Pemilik restoran merupakan temannya kuliah -Primus Sanjaya.

Anyelir dan Devan turun dari mobil setelah Devan mematikan mesin mobilnya. Keduanya berjalan berdampingan, hanya Devan yang sesekali melirik Anyelir. Perempuan di sampingnya itu masih sama, masih sangat-sangat luar biasa di matanya.

Devan sudah memesan tempat, dia tidak khawatir lagi untuk tidak kebagian meja. Devan dan Anyelir menuju meja pojok dekat kaca, di atas meja ada tanda reserved. Anyelir dan Devan duduk berhadapan, keduanya memesan menu khas restoran tersebut.

"Lir ..." Devan memanggil Anyelir agar menatapnya. "Kamu nggak akan ninggalin aku lagi kan?" tanya Devan pelan.

Senyum tipis Anyelir ditarik, dia tidak menjawab apa pun. Tidak ingin merusak selera makan Devan begitu saja. Memilih menatap ke kaca di sampingnya, memperhatikan kesibukan ibu kota di siang hari.

"Aku mau suatu saat merek butikku ada di sana, di baliho besar gedung Singgih," ujar Anyelir menunjuk gedung pencakar langit, tempat dimana menjadi pusat Singgih Group beroperasi.

"Sekarang pun-"

Anyelir menggeleng pelan, dia memotong perkataan Devan. "Aku mau itu karena usahaku, bukan karena koneksi," tutur Anyelir yang kini menoleh pada Devan, dia tersenyum sangat cantik.

Devan terpesona akan semangat Anyelir, dia yakin Anyelir pasti sudah melalui banyak hal dalam membangun karirnya sendiri. "Selama ini, aku terjebak dalam masa lalu Lir. Melihatmu sekarang, aku seperti melakukan time traveler," kata Devan dengan nada suaranya yang ringan.

Anyelir tertawa pelan mendengar ucapan Devan. Pria itu masih memiliki selera humor yang unik. "Aku pun tidak percaya seorang Devan Singgih yang bandel, kini jadi pemimpin Singgih Group?" timpal Anyelir dengan kerlingan mata.

Keduanya melupakan masalah mereka sejenak, saling bercanda dan saling memuji dengan kata-kata kiasan. Membahas masa lalu yang menyenangkan dan juga menyakitkan. Mengenang banyak kebersamaan yang terlewatkan. Anyelir menceritakan tentang karirnya, sedangkan Devan membahas bisnis keluarganya dan beban yang diterima dirinya karena keputusan Gilang menjadi dosen.

Nayla menatap pemandangan menyakitkan baginya. Dimana Devan dan Anyelir tertawa bersama. Dia merasa marah pada takdir yang terus mempermainkan perasaannya. Dia hanya ingin makan siang dengan tenang, tetapi justru bertemu Devan dan Anyelir.

"Loh itu Devan," tutur Gian yang melihat sosok Devan.

"Jangan diganggu," cegah Nayla saat Gian akan berdiri dan menghampiri Devan.

Gian menatap Nayla dengan pandangan heran. Nayla memaksakan seulas senyum pada Gian. "Mereka lama nggak ketemu, nggak baik kalau kita ganggu," kata Nayla berusaha terlihat baik-baik saja.

"Dia Alir?" Nayla menganggukkan kepalanya atas pertanyaan Gian.

Suasana tiba-tiba menjadi aneh, Nayla terlihat lebih murung dari sebelumnya. Gian yang tidak tahu apa pun mencoba mencari cara untuk mengibur Nayla.

"Tunggu sebentar!" Gian bangun dari duduknya, Nayla tidak bisa mencegah pria itu.

Nayla menatap kemana Gian pergi. Gian menuju pojokan restoran, dimana terdapat beberapa anak kecil di sana, mengantri permen kapas yang sedang dibuat seorang koki. Gian terlihat sangat mencolok, mengantri di belakang anak-anak lainnya dengan setelan kemeja dan celana jeans. Belum lagi, sosoknya yang terlihat lebih tua berkali-kali lipat.

Nayla tertawa pelan saat Gian menoleh padanya dan mengangkat tangannya sembari berkata dengan pelan kata: tunggu. Kepala Nayla mengangguk sambal tersenyum pada Gian. Setidaknya Nayla tidak menangis lagi, karena dia sudah lelah.

∞∞∞

Maaf ya aku bener-bener galau banget nulis ini cerita. Siapa yang bakalan aku buat jadi Sad Girl dan Sad Boy, sampai sekarang belum kepikiran. Aku sayang mereka semua!
Mau update lagi nggak? kayaknya 300 komentar bisa nih buat bab selanjutnya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top