Bab 5

"Nay ..." Devan memanggil Nayla ketika mereka sampai di depan Gedung sebuah butik. Devan ingat sekali dengan nama butik milik Anyelir, dia rencana akan kemari nanti setelah menemani Nayla.

Ternyata, Nayla justru membawa Devan lebih dahulu kemari. Saat Nayla mendorong pintu butik, Devan semakin yakin bahwa Nayla tidak salah butik. Dari posisi Devan berdiri, dia dapat melihat sosok dua orang perempuan, berdiri berbincang di depan meja kasir.

Salah satunya Anyelir, walaupun penampilan Anyelir banyak berubah, dia masih tetap dapat dikenali oleh Devan dengan baik. Devan langsung menyusul Nayla, saat itu lah dia melihat langsung mata kaget Anyelir.

"Mbak Anye!" panggil Nayla mendekat dengan senyum manisnya.

Sementara Anyelir dan Devan sama-sama terdiam. Saling memindai satu sama lainnya. Saat itulah Nayla sadar dengan raut wajah Anyelir. Senyum Nayla menghilang, dia kemudian berbalik menatap Devan yang masih berdiri di depan pintu butik.

Nayla merasa bingung harus bagaimana, dia memilih menyingkir dari hadapan Anyelir. Nayla justru berbalik, berjalan menuju deretan pakaian yang ada di sudut lain. Dia berkali-kali menenangkan dirinya, menarik napas berkali-kali. Orang bodoh mana pun tahu, bahwa ada sesuatu antara Devan dan Anyelir.

"Ada yang bisa dibantu Kak? Mau cari model yang bagaimana?" seorang pegawai butik menghapiri Nayla yang berdiri di depan deretan pakaian mahal.

Kepala Nayla menggeleng pelan, tangannya teremas di bagian bawah baju berbahan chiffon yang dikenakannya. Dia menggigit bagian bawah bibirnya, mengendalikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Kemudian Nayla menarik napas berkali-kali, dia butuh banyak oksigen.

Pegawai butik hanya menatap Nayla bingung. Saat Nayla berbalik, dia melihat Devan dan Anyelir berhadapan. Tangan Devan menarik tangan Anyelir, keduanya bertatapan lama.

"Maaf saya nggak jadi," ucap Nayla pelan.

Langkah kaki Nayla mempercepat, dia tidak bisa terus-terusan berada di sana. Menyaksika sesuatu yang berhasil membuat hatinya remuk redam. Nayla keluar dari butik, Devan bahkan tidak memperdulikan keberadaan Nayla lagi.

Kaki mungil Nayla terus melangkah, dia berjalan di atas trotoar. Air mata mulai jatuh dari pelupuk mata Nayla. Jika di dalam film adegan ini akan dibarengi dengan hujan, kini Nayla justru disorot oleh matahari terik.

Nayla akhirnya berhenti berjalan, dia berjongkok di tengah-tengah Trotoar. Nayla menenggelamkan kepalanya di atas tangan yang dilipatnya. Dia menangis sejadi-jadinya, bersamaan dengan suara knalpon kendaraan yang lalu lalang.

∞∞∞

"Alir ..." Devan memanggil nama panggilan Anyelir saat remaja. Keduanya sedang duduk di ruang kerja Anyelir.

"Apa kabar Dev?" tanya Anyelir basa-basi.

"Kenapa Lir?" tanya Devan pelan, suaranya sangat rendah.

Anyelir mengalihkan pandangannya, dia tidak mau menatap mata Devan. Dia takut akan menangis meraung-raung di hadapan Devan. Sia-sia semua perjuangannya selama ini.

"Kenapa kamu nggak pernah temui aku? Kamu ada di dekatku Lir. Kamu kenal dengan Kak Wenny dan Mas Gilang, kamu pasti tahu nama belakang Mas ..."

"Nggak! Aku nggak tahu!" bantah Anyelir cepat.

Devan menggembuskan napasnya sedikit kasar. Terlalu banyak pertanyaan di dalam diri Devan, membuatnya sulit ingin menanyakannya dari mana. Tapi, dia lega karena akhirnya menemui keberadaan Anyelir.

"Aku mohon ... jangan pergi lagi," pinta Devan menggenggam tangan Anyelir.

"Maaf Dev, rasanya kita nggak pantas seperti ini," gumam Anyelir menarik tangannya dari genggaman Devan. "Kamu akan menikah Dev," lanjut Anyelir berusaha untuk tersenyum, walaupun di mata Devan terlihat seperti ringisan.

Devan terdiam, dia tidak bisa membantah ucapan Anyelir. Walaupun dia dan Nayla sepakat untuk membatalkan pernikahan mereka, tetap saja keduanya belum mengatakannya pada keluarga. Devan tidak ingin menyakiti siapa pun, tapi dia juga tidak ingin kehilangan Anyelir lagi.

"Aku mohon Dev, jangan katakana apa pun mengenai aku pada Kak Wenny. Aku nggak bisa menyakiti perasaan Kak Wenny, dia sangat sayang pada Nayla. Dan Dev ..." Anyelir menarik napas perlahan, dia berusaha untuk menghirup oksigen sebanyak mungkin. "Nayla, dia wanita yang baik," pungkas Anyelir.

Devan tahu, dia saat ini sangat jahat dan egois. Tapi, bukankah Anyelir yang selama ini Devan tunggu? Dia sudah lebih banyak mengorbankan banyak hal demi menemukan Anyelir, bukan hanya Nayla yang hatinya dipatahkan oleh Devan.

"Mba Anye ...." Seorang pegawai butik mengetuk pintu ruangan Anyelir, dia masuk setelah memanggil Anyelir sekali. "Di luar ada Bu Nawang," lanjut si pegawai memberikan informasi.

Anyelir menganggukkan kepalanya, dia berdiri dari duduknya. "Aku ada client penting, kamu bisa kembali lagi nanti," usir Anyelir halus.

Anyelir tidak berbohong mengenai client penting tersebut. Dia tetap akan bekerja profesional, walaupun suasana hatinya sedang tidak baik. Devan juga tidak bisa berbuat apa-apa, dia berdiri dari duduknya dan keluar dari ruangan Anyelir.

Seperti kata Anyelir, Devan akan kembali lagi nanti. Dia yakin, Anyelir tidak akan kabur atau tiba-tiba menghilang seperti dulu lagi.

∞∞∞

Nayla berjalan dengan kaki yang diseret, kakinya terlalu lemas untuk berjalan normal. Dia sudah berada di Kawasan kontrakannya, setelah dua kali berganti angkutan umum. Mata bengkak Nayla, hidung yang merah dan rambutnya yang sedikit berantakan, membuat siapa saja yang melihat kondisi Nayla menjadi kasihan.

"Loh! Mbak Nayla kok cepat pulangnya?" Tetangga kontrakan Nayla menyapa.

"Saya sedang tidak enak badan Bude," sahut Nayla pelan seraya menunduk mencari kunci kontrakannya. Setelah mendapatkan kunci dengan gantungan kunci boneka beruang kecil, Nayla berusaha memasukkan kunci tersebut ke dalam lobang kunci.

Beberapa kali mencoba gagal, bahkan Nayla tidak bisa memutar kunci rumahnya sendiri. Hal itu membuat Nayla kembali terduduk dan menangis. Bude Sukiem yang kaget mendengar suara tangisan Nayla langsung menghampiri perempuan itu.

"Loh kenapa Mbak Nay?" tanya Bude Sukiem mendekat dan menepuk pelan pundak Nayla yang berjongkok di depan pintu kontrakan.

Akhirnya, Bude Sukiem yang membantu Nayla memutar kunci pintu kontrakannya. Bahkan, Bude Sukiem juga yang membantu Nayla masuk ke dalam rumah.

"Mbak Nay butuh sesuatu? Biar Bude ambilkan," tawar Bude Sukiem yang merasa kasihan pada Nayla. Perempuan ayu itu sakit dan hanya sendirian.

Nayla menggelengkan kepalanya. "Nayla hanya butuh tidur sebentar Bude. Terima kasih ya Bude," tutur Nayla pelan dan lemah.

Bude Sukiem pun berpamitan keluar kontrakan Nayla. Memberikan waktu pada Nayla untuk istirahat. Alih-alih istirahat, Nayla justru menangis dalam diam. Dia menatap langit-langit kamarnya dengan air mata yang mengalir.

Ponsel Nayla berdering beberapa kali. Suaranya terdengar sangat-sangat nyaring bagi Nayla. Saat dilihat Nayla, panggilan tersebut dari Devan. Sehingga Nayla memilih untuk tidak mengangkat panggilan tersebut.

Rupanya, Devan tak kunjung menyerah. Dia terus menelpon Nayla, hingga mungkin lebih dari sepuluh kali. Terakhir, saat Nayla mengecek panggilan di ponselnya, dia melihat nama Wenny terselip di sana. Takut jika Wenny memerlukan bantuannya, Nayla menelpon kembali Wenny.

∞∞∞

Maaf ya kalau kemaleman aku updatenya
Aku lagi bersedih untuk Nayla :'(
Jangan lupa untuk komentar dan votenya ya, biar aku semangat updatenya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top