8. Bekas Luka

💙 Happy Reading 💙

Burung gereja yang hinggap di dahan tetap riuh berkicau meski cuaca pagi ini tak secerah kemarin. Awan kelabu menutupi sebagian besar dari birunya langit saat mentari mulai meninggi. Daniel menatap sekilas ke luar jendela kemudian menghela napas. Jika seperti ini, mungkin hujan akan turun di siang hari nanti. Oh, ayolah. Daniel sedang tidak ingin membasahi tubuhnya dengan percikan air hujan.

Ting!

Sebuah notifikasi berasal dari ponsel anak itu. Daniel mengernyit saat ia sebuah pesan di aplikasi Line dan itu bertuliskan nama Arsen.

"Arsen?" gumamnya masih tak percaya.

Dengan ragu, ia baca pesan tersebut.

'Oi! Cupu.'
(06.44)

'Kenapa?'
(06.45)

'Nggak apa-apa. Dapet salam dari Mama gue. Heran gue, kenapa Mama bisa suka banget sama lo? Sedangkan gue yang anaknya sendiri malah diomelin mulu -_-'
(06.45)

Daniel terkekeh pelan usai membaca balasan pesan dari Arsen. Memang benar kata Sony, meski terkesan nakal, Arsen sebenarnya berhati baik.

'Nggak semua omelan orang tua itu adalah kemarahan. Mereka ngomel karena sayang sama lo. Dan salam balik buat Tante Tia.'
(06.46)


Begitulah balasan untuk pesan yang Arsen kirim. Menatap jam yang tertempel di dinding, Daniel memutuskan untuk segera turun menuju ruang makan. Di sana sudah terdapat Mattew yang sedang duduk sembari menatap sticky note di genggamannya.

"Mama sama Papa malam ini nggak pulang ke rumah. Mereka ada meeting sampe malam, jadi lo sekarang adalah tanggung jawab gue. Berangkat dan pulang nanti bareng sama gue," tukas Mattew ketika Daniel mendudukkan diri di hadapannya.

Daniel merotasikan bola matanya, malas mendengar ocehan Mattew di pagi hari. Selalu seperti itu tiap kedua orang tuanya tidak tidur di rumah. Memberi pesan pada Mattew untuk mengawasi Daniel dan menyuruh anak itu untuk belajar, belajar, dan belajar. Daniel sangat benci diatur seperti itu.

"Hei, denger nggak sih gue ngomong?" tegur Mattew saat tak mendapat balasan dari yang lebih muda.

"Terserah, lagian gue nggak pernah punya hak untuk menolak, 'kan?" sahut bocah itu tak acuh. Ia lebih fokus mengoleskan selai ke atas helaian roti di atas piringnya.

Menatap wajah yang lebih muda dalam diam, Mattew mengamati detail wajah sang adik. Hidung bangir, bibir tipis dan mata sipit namun tajam membuat kesan dingin terpancar pada diri anak itu.

Jika diperhatikan lebih dalam lagi, Daniel adalah perpaduan sempurna dari mama dan papanya. Fisiknya benar-benar mirip, tapi entah mengapa kepribadian yang ia miliki sangat jauh berbeda dari kedua orang tuanya. Bahkan Mattew sendiri tak bisa memahami seperti apa pribadi Daniel, anak itu terlalu kelabu untuk dikenali.

"Lo mau makan sarapan apa makan gue, sih? Kenapa liatin gue terus?" ketus Daniel saat merasa dirinya diperhatikan.

Bukan karena apa, Daniel memang tidak suka menjadi pusat perhatian seseorang. Rasanya tak nyaman saja jika ada orang yang memperhatikannya. Itulah mengapa ia selalu menjadi pendiam di kelas hingga tak memiliki satu pun teman.

Mattew berdecak. "Galak banget jadi bocah. Lagian apa salahnya seorang kakak lihatin wajah adiknya, sih? Gue lagi berusaha buat memahami lo, Niel," ucapnya sembari mengunyah roti yang menjadi menu sarapan hari ini.

Mendengar hal itu, Daniel tertegun. Namun, dengan cepat bocah itu mengendalikan ekspresinya dan kembali berwajah dingin.

"Nggak ada yang perlu dipahami dari sampah kayak gue," balasnya kemudian.

Mattew mengamati wajah Daniel, dan memutuskan untuk tidak melanjutkan percakapan. Karena apa pun yang ia katakan saat ini hanya akan dibalas dengan kalimat menyakitkan dari bibir sang adik.

🍁🍁🍁

Seperti yang diperintahkan oleh sang ibu. Mattew benar-benar mengawasi Daniel, bahkan terkesan overprotektif. Karena anak itu tak hanya mengantarkan Daniel hingga sekolah, ia juga mengekor Daniel hingga ke kelasnya.

Tanpa ragu, Mattew mengalungkan lengannya ke bahu Daniel dan menyapa beberapa orang yang ditemuinya.

Mungkin bagi Mattew itu hal yang biasa, tapi tidak untuk Daniel. Bocah itu menyadari jika mereka tengah menjadi pusat perhatian. Dibanding keramahan yang orang berikan atas sapaan Mattew, tatapan sinis dan benci lebih mendominasi dan itu tertuju pada Daniel.

"Kak, nggak usah rangkul-rangkul, deh. Fans lo pada iri," ujar Daniel sembari berusaha untuk melepaskan rangkulan dari sang kakak.

Terkekeh pelan, Mattew menjawab, "Lah, emang apa urusan mereka? Lo itu adek gue, wajar dong gue rangkul. Peluk aja nggak dilarang agama, kok," balas bocah berlesung pipi itu santai.

Jawaban yang dilontarkan oleh Mattew membuat Daniel mendengkus kesal. Kakaknya ini memang tak pernah peka akan keadaan, selalu saja tak gacuh dan melakukan apa yang menurutnya benar.

"Lo bisa enteng ngomong gitu karena posisi lo sebagai yang mereka puja, sedangkan gue? Cuma sebagai pihak yang nggak dianggap dan jadi media kemarahan mereka."

"Maksud lo apa, sih? Kok sampai sebut mereka? Emang anak-anak pada ngelakuin hal apa sama lo?" Seakan tanggap dengan maksud Daniel, Mattew melontarkan frasa tanya.

Risih ketika semakin banyak tatapan kebencian yang Daniel dapat anak itu buru-buru memasuki kelas, mengabaikan sang kakak yang bahkan belum selesai dengan kalimatnya.

Waktu ketika Daniel tiba di sekolah memang sudah cukup siang, sehingga seluruh penghuni kelas sudah tiba. Beberapa yang menyaksikan kedekatan Mattew dengan Daniel, kini mulai berbisik-bisik.

"Anjir, Kak Mattew ganteng banget. Andai gue jadi pacarnya," tutur Betty, salah satu teman sekelas Daniel yang sangat mengidolakan Mattew.

Daniel menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan tingkah kaum hawa di kelasnya. Jika ini adalah dunia fiksi, maka peran Mattew adalah menjadi seorang idola yang sangat diidamkan semua gadis untuk menjadi kekasihnya. Sedangkan Daniel? Dia mungkin menjadi si buruk rupa yang dibenci semua orang.

"Please, ya. Kak Mattew yang sekeren itu, kenapa punya adik cupu kayak Daniel, sih? Perbedaan mereka tuh bagaikan langit dan bumi tahu nggak?" tukas salah satu siswi yang membuat hati Daniel seketika memanas.

Anak itu meremas ujung buku yang dibacanya. Ia tahu jika kakaknya memang sangat terkenal di sekolah ini dan juga digandrungi oleh banyak siswa. Tetapi semakin banyak orang yang menyukai Mattew, semakin banyak pula orang yang membandingkan dirinya dengan Mattew. Dan Daniel sangat risih akan hal itu, ia benci dibandingkan. Seakan tidak cukup dengan orang tuanya di rumah, kini orang penghuni sekolah juga ikut-ikutan membandingkan dirinya dengan sang kakak. Daniel muak dengan semua perbandingan ini.

🍁🍁🍁

Jam kosong karena guru yang mengajar berhalangan hadir dan tidak memberi tugas untuk dikerjakan. Alhasil keadaan kelas jadi kacau dan riuh tak terkendali. Ada yang berkreasi dengan menggambar di papan tulis. Tidur dengan bantal leher yang dibawa dari rumah. Bermain kuda-kudaan dengan sapu yang seharusnya digunakan untuk membersihkan lantai. Beberapa bergerombol di meja bagian depan untuk menonton drama dari Negeri Gongseng menggunakan laptop yang dihubungkan ke proyektor.

Di sisi lain terdapat Arsen dan beberapa teman laki-lakinya termasuk Sony dan Brian, sedang sibuk bermain kartu domino di sisi pojok kelas. Keseruan yang tercipta membuat suasana makin riuh, apalagi ketika Arsen kalah bermain dan diharuskan untuk melumuri wajahnya menggunakan bedak bayi milik siswa perempuan.

"Ah, ogah gue! Nggak mau main lagi, masa gue kalah terus!" protes Arsen saat salah satu temannya mengoleskan bedak ke wajahnya dengan takaran diluar perjanjian.

"Ya, maaf. Gitu aja ngambek, banci amat," cerca Sam, kawan yang baru saja mengoleskan bedak ke wajah Arsen.

"Bodo amat. Dah, gue mau cuci muka dulu. Takut gantengnya luntur," sahut Arsen lantas meninggalkan kelompok domino.

Niat awalnya untuk pergi ke toilet tertunda begitu mendapati sosok yang sedari tadi duduk anteng di bangkunya. Siapa lagi kalau bukan Daniel? Anak itu hanya duduk sembari membaca buku yang dipengangnya dan sesekali mencuri pandang pada teman lainnya yang asik bermain, tanpa ada niatan untuk bergabung. Dilihatnya sesekali anak itu menghela napas dan kembali fokus ke bukunya.

Jujur, meski suka menganggu Daniel, dalam hati kecil Arsen terbesit rasa penasaran tentang sosok juara kelas ini. Tentang bagaimana kepribadiannya dan seperti apa lingkup keluarganya? Karena di mata Arsen sendiri, aura yang terpancar dari raut Daniel sangat kelabu. Sangat sulit untuk mengetahui seperti apa Daniel itu.

"Katanya mau cuci muka. Kok, malah jadi artefak di sini?" tegur Sony saat mendapati Arsen masih berada di dalam kelas.

"Hah? Nggak apa-apa, gue cabut dulu."

Arsen meninggalkan kelas dengan terburu saat melihat Daniel juga meninggalkan kelas. Dia tidak tahu mengapa dia jadi terburu keluar dari kelas dan mengikuti langkah Daniel yang ternyata juga menuju toilet.

Layaknya seorang penguntit, Arsen masuk ke dalam salah satu bilik yang berada di samping bilik Daniel. Beberapa saat menunggu, Arsen tak sekalipun mendengar bunyi air mengalir dari selang untuk membersihkan kloset. Apa yang dilakukan anak itu di dalam? Bahkan hingga ia mendengar pintu bilik tempat Daniel berada terbuka, Arsen tak mendengar suara air.

Demi memuaskan rasa ingin tahunya, Arsen mencoba untuk mengintip apa yang Daniel lakukan melalui bilik toilet. Ia buka sebagian dari sisi pintu yang tertutup itu agar bisa memperjelas pandangannya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat Daniel terduduk lesu di lantai depan cermin sembari menjambak rambutnya.

Arsen nyaris keluar dari dalam bilik dan menghampiri Daniel, tapi terhenti ketika ingat dirinya sedang bersembunyi. Hingga akhirnya ia hanya bisa melihat apa yang terjadi dari persembunyiannya.

Semua ini di luar kendali Daniel, rasa itu datang di saat yang tidak tepat. Gelisah, takut dan marah menyatu hingga membuat kepalanya pening. Itu adalah sebab dari ia yang terlalu memikirkan apa yang orang-orang tadi katakan. Daniel tak pernah bisa tahan dengan ocehan orang-orang tentang dirinya. Dan hal terbesar yang ia benci adalah dibedakan, itu sangat mengganggunya.

"Argh ... sial, sial, sial!" keluhnya saat pusing di kepalanya tak kunjung reda.

Ia terduduk sembari terus memegangi kepalanya, ia tarik rambut yang nyaris menutupi mata itu dengan kuat, berharap jika rasa itu cepat reda. Ia tak mau jam sekolahnya terganggu hanya karena masalah mentalnya sendiri. Bagaimana sang ayah bisa membanggakannya jika ia seperti ini.

Mencoba untuk mengatur napas, Daniel berusaha untuk tenang dan mengatasi rasa paniknya. Ia berada di tempat yang sewaktu-waktu orang bisa saja datang.

Setelah beberapa saat terdiam dan mengatur diri. Daniel memutuskan untuk bangkit dan berjalan mendekati cermin. Ia berniat untuk membasuh muka guna menyegarkan pikiran. Menggulung lengan seragam hingga sebatas lengan, Daniel mulai membasuh mukanya beberapa kali hingga ia merasa segar kembali.

"Ekhem ...." Sosok Arsen muncul dari dalam bilik toilet dan berpura-pura hendak mencuci tangan dan membersihkan bekas bedak bayi di wajahnya.

Daniel terkejut bukan main saat Arsen tiba-tiba berdiri di sampingnya sembari mencuci tangan. Seperti biasa, Arsen terlihat mengbaikan keberadaan Daniel.

"Lo ngapain di toilet?" tanya Daniel berbasa-basi, mulutnya beraksi lebih dahulu daripada pikirannya karena gugup berada di satu tempat bersama Arsen.

Usai mencuci tangannya, Arsen berbalik menatap ke arah Daniel. Sekilas pandangannya tertuju ke arah lengan remaja yang jauh lebih pendek darinya itu, hendak memperjelas apa yang dilihatnya, tapi Daniel sudah lebih dulu menurunkan gulungan lengannya.

"Menurut lo, kalau orang pergi ke toilet, tuh, ngapain aja? Kencing? Atau cari wangsit?" sahut Arsen ketus, lagi pula pertanyaan yang Daniel lontarkan adalah pertanyaan retoris.

"O-oh." Daniel mendadak merasa canggung. Ia tak tahu harus berkata apa ketika Arsen melayangkan tatapan intimidasi padanya.

"Ka-kalau gitu gue duluan."

Berusaha menghilangkan kecanggungan yang tercipta, Daniel memutuskan untuk segera meninggalkan toilet. Namun, tanpa diduga, Arsen mencengkeram lengan Daniel dan menahan langkahnya.

"Arsen, lo ngapain?" Daniel cukup terkejut saat tiba-tiba Arsen menyingkap lengan seragamnya.

"Lo-"

Belum selesai Arsen berucap, Daniel menghempaskan genggamannya dan berkata, "Nggak sopan!" ketusnya kemudian meninggalkan toilet dengan terburu.

Arsen menatap kepergian Daniel dengan mulut ternganga. Apa yang baru ia lihat bukanlah ilusi semata. Ada banyak bekas luka di lengan Daniel, dan itu cukup mengerikan jika diperhatikan lebih seksama.

"Jangan sampe kejadian lagi," gumamnya pada diri sendiri. Bukan karena apa, hanya saja Arsen mulai tahu jika Daniel memiliki luka yang lebih parah daripada semua sayatan di lengannya.

🍁🍁🍁

"Halo, Kak😺"

Ingat, buat yg nggak sabar nunggu update-nya bisa ke KaryaKarsa, ya. Link ada di bio 😗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top