4. Kerja Kelompok
"Manusia tidak ada yang sempurna. Jika ada yang mengaku sempurna, maka itulah wujud ketidaksempurnaan dalam dirinya."
.
.
💙Happy Reading💙
Tak seperti biasanya, hari ini Daniel datang terlambat ke sekolah. Alhasil ia tidak diperbolehkan mengikuti jam pelajaran oleh guru yang mengajar, padahal hari ini adalah jadwal ulangan. Sial memang, ia mendapat nilai kosong pada mata pelajaran Sosiologi.
Sembari menunggu habisnya waktu pelajaran. Daniel memutuskan untuk duduk di teras kelas dan memandangi beberapa siswa kelas dua belas yang sedang berolahraga, ia tak memiliki kegiatan lain selain itu. Hendak mempelajari buku untuk jam selanjutnya pun tak bisa, karena tas sudah ada di dalam kelas.
Di saat asyik mengamati lapangan, dua siswi melintas di depan kelas Daniel. Awalnya Daniel acuh, tapi bisik-bisik dari kedua siswi itu berhasil mengusik ketenangannya.
"Dih, ini orang kan adiknya Mattew. Masih kelas satu aja udah dihukum gini, malu-maluin nama baik Mattew aja. Nggak cocok banget jadi adik Mattew si jenius," tukas siswi berambut ikal pada kawannya.
Gadis berkulit langsat di sampingnya mengangguk. "Parah, sih. Perbedaan mereka tuh jauh banget, Mattew bener-bener perfect. Lah dia, baru juara kelas aja sombongnya setengah mampus, pantes nggak punya temen," timpal gadis itu sarkas.
Seakan tak peduli dengan keberadaan Daniel yang mendengar ucapan pedas tersebut, keduanya terus melanjutkan langkah menuju kelas yang dituju.
Hal seperti ini sering kali terjadi jika Daniel bertemu dengan senior di sekolah tersebut. Apakah tidak cukup jika kedua orang tuanya saja yang membandingkan dirinya dengan Mattew? Bahkan orang luar ikut serta menoreh luka padanya.
"Jeruk yang berasal dari satu pohon aja belum tentu punya manis yang sama. Kenapa gue harus sama dengan saudara gue?"
Dengan gontai anak itu melangkah meninggalkan teras menuju toilet dengan tujuan untuk membasuh muka. Siapa tahu itu bisa sedikit menjernihkan pikirannya.
Tak sadarkah mereka jika tiap manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing? Daniel tak habis pikir, mengapa mereka suka sekali membandingkan satu objek dengan objek lainnya. Padahal tak ada yang sempurna di dunia ini, semua punya cacatnya masing-masing.
🍁🍁🍁
"Anjir! Babi banget tuh guru. Ngapain kita dapet kelompok sama si cupu, sih?"
Kata-kata penuh umpatan itu terlontar dari bibir Arsen begitu tahu jika dalam mengerjakan tugas kelompok Sosiologi ia harus satu kelompok dengan Daniel. Karena bocah itu terlambat, jadi dia dikeluarkan dari kelas dan tidak mendapat kelompok. Dan kebetulan anggota kelompok milik Arsen masih kurang satu orang lagi.
Di lain sisi, Daniel yang baru saja memasuki kelas dan duduk di bangkunya hanya menatap bingung pada Arsen yang kini memasang muka masam padanya. Kenapa lagi anak ini?
"Eh, cupu!" Dengan tidak sopannya, Arsen mendudukkan bokongnya ke atas meja Daniel.
Daniel yang hendak mengeluarkan buku dari dalam tas, sontak menghentikan gerakannya.
"Kenapa? Nggak ada PR, kok. Jadi tenang aja," tukasnya mencoba menebak apa mau bocah di hadapannya ini.
Tanpa berucap, Arsen melemparkan selembar kertas ke wajah Daniel. Membiarkan anak itu membacanya sejenak dan menanti reaksi yang diberikan.
"Kita satu kelompok?" Meski sudah tertera jelas di dalam kertas, Daniel masih melemparkan pertanyaan guna mendapat kepastian.
Memutar bola matanya malas, Arsen berucap, "Lo bisa baca nggak, sih? Kenapa masih tanya? Hmm ... emang ya, pinter sama idiot itu beda tipis."
"Udah, Sen. Nggak usah panjang lebar jelasin. Intinya kalo lo mau ikut kerja kelompok, sore ini datang ke rumah Arsen." Sony yang sedari tadi memperhatikan kini angkat bicara.
Arsen membelalak tak terima. "Kok rumah gue, njir?"
"Halah, beramal dikit apa salahnya, sih? Kan di antara kita bertiga, nyokap lo, tuh, yang paling dermawan," sahut Brian, ikut andil dalam memanas-manasi Arsen.
"Bodo amat, cumi gurun!"
Kesal dengan kawannya, Arsen turun dari meja dan hengkang dari kelas. Dua kawannya hanya terbahak menyaksikan Arsen yang merajuk, meski terlihat seram tapi sesungguhnya anak itu berhati lembut.
Mengalihkan pandangan dari sosok Arsen yang menghilang di balik pintu kelas, Sony menatap serius pada Daniel.
"Sepulang sekolah, ngikut kita aja. Lo bisa gunain otak encer lo buat kerjain laporan," tukasnya kemudian berlalu.
"Semangat, bro." Brian menepuk bahu Daniel cukup keras sebelum akhirnya mengikuti langkah Sony.
Setelah dilarang mengikuti jam pelajaran, kini Daniel mendapatkan harus satu regu dengan Arsen dan kawan-kawan dalam mengerjakan tugas kelompok. Apakah ini kesialan sesi lanjut yang Daniel dapat? Daniel mengacak rambutnya dengan kasar. Entahlah, dia lelah.
🍁🍁🍁
Sore hari saat matahari sudah tidak terlalu terik. Empat anak dengan empat sepeda motor, mengendara beriringan memecah bisingnya jalanan ibu kota.
Kondisi jalan yang lengang mempercepat mereka dalam mencapai tempat tujuan. Hanya butuh waktu kurang dari setengah jam agar sampai ke rumah Arsen.
Daniel ternganga saat menyadari di mana dia berpijak. Ya, tempat itu adalah rumah Arsen, yang tak lain adalah anak dari Tante Tia. Wanita yang kerap berbincang dengannya saat berlari pagi.
"Cupu! Ngapain matung di situ, buruan masuk. Diculik sama pemulung baru tahu rasa, lo," sergah Arsen saat tahu jika Daniel melamun di depan pintu rumahnya.
"I–iya." Tak mau berdebat, Daniel memutuskan untuk melangkahkan kakinya memasuki rumah yang terbilang mewah itu.
Di depannya sudah terdapat Sony dan Brian yang menyeruak kegirangan saat memasuki kamar Arsen. Di sana sudah terdapat bermacam jenis Snack yang tertata rapi di atas meja. Tanpa basa-basi, keduanya langsung menyambar camilan tersebut.
"Dasar temen laknat," umpat Arsen saat tahu jika kondisi kamarnya berubah menjadi layaknya kapal pecah.
Daniel yang menyaksikan aksi anarkis Sony dan Brian hanya bisa mengusap dada. Ia agak terkejut dengan apa yang dilihatnya, karena ini adalah kali pertama Daniel ikut serta dalam mengerjakan tugas. Sebelumnya meski itu adalah tugas kelompok, Daniel lebih memilih untuk mengerjakannya secara pribadi.
Seolah tahu dengan apa yang ada di pikiran Daniel. Arsen tertawa miris.
"Kasian banget, sih, lo. Nggak punya temen, makanya kaget pas lihat tingkah setan mereka," cibirnya pada Daniel.
Kata-kata Arsen cukup untuk membuat mental Daniel goyah. Meski terkesan kasar, tapi apa yang diucapkan oleh Arsen selalu benar. Daniel memang tidak memiliki teman, jadi dia tidak pernah merasakan bagaimana rasanya sosok teman itu bertamu dan menghancurkan isi kamarnya.
"Loh, Daniel? Kamu ada di sini?"
Sebuah suara membuat Daniel terkejut. Di hadapannya sudah berdiri seorang wanita dengan nampan berisi minuman di tangannya.
"T–tante Tia? Halo, Tante." Dengan sedikit canggung, Daniel menyapa wanita yang mengenakan daster bermotif bunga tersebut.
"Jadi kamu teman sekelasnya, Arsen? Kenapa nggak bilang sama, Tante?"
Meletakkan nampan yang dipegangnya ke atas meja, Tia kembali mendekati Daniel.
Daniel menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Maaf, Tante. Aku juga nggak tahu kalau Arsen itu anak Tante Tia."
Perbincangan berlangsung singkat, karena Tia harus memasak untuk makan malam nanti. Jadilah Daniel harus kembali berkumpul dengan tiga iblis di kamar tersebut.
"Eh, kampret. Lu jangan ngadu ke mama gue, ya. Awas aja sampe lo bilang macem-macem soal gue ke Mama," ancam Arsen saat tahu jika sang ibu mengenal Daniel.
Terkekeh pelan, Daniel tak menyangka jika sosok Arsen yang senakal itu masih takut dengan kemarahan ibunya. Dia masih punya rasa hormat pada orang tua.
"Woi, kapan ngerjain tugasnya, nih? Gue udah kenyang masa nggak ada hasilnya," celetuk Sony yang sudah selesai mengisi perutnya.
Sore itu berlalu dengan kericuhan di dalam kamar Arsen. Sebenarnya hanya tiga orang yang ricuh, karena sedari awal Daniel duduk anteng mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru mata pelajaran sosiologi. Lagi pula, keberadaannya seperti tak terlihat bagi mereka bertiga yang kini asik bermain game.
Daniel menghela napas, ia pandang Arsen dan kedua kawannya kemudian menunduk dan meremas ujung seragam yang menempel di tubuhnya. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia iri. Daniel juga ingin memiliki teman, dan merasakan keseruan masa remaja yang hanya terjadi sekali ini.
🍁🍁🍁
Waktu sudah memasuki pukul 22.00 WIB saat Daniel sampai ke rumah. Tubuhnya benar-benar lelah, ia hanya butuh beristirahat dengan tenang di dalam kamarnya. Namun, niat itu hanya angan semata, saat ia mengetahui sang ayah sudah menunggu Daniel di dalam kamar anak itu.
"Papa ...." Entah sudah kebiasaan atau apa, tubuh Daniel selalu bergetar saat harus berhadapan dengan sosok ayah itu.
Pria berusia empat puluh delapan tahun itu berdiri membelakangi Daniel. Punggung tegap dan postur tubuh yang atletis membuat ia terlihat lebih muda dari usianya.
"Dari mana kamu?" Masih dengan posisi membelakangi, pria itu bertanya pada sang anak.
"Dari ... dari belajar kelompok, Pa. Iya, belajar kelompok sama temen di kompleks sebelah," jelas Daniel tanpa ada niat untuk berbohong.
Thomas, ayah Daniel, membalikkan tubuhnya dan menatap langsung ke netra kelam milik Daniel.
"Kenapa kembali selarut ini? Apa saja yang dilakukan saat mengerjakan tugas hingga kembali selarut ini?" Tak langsung percaya, Thomas kembali melontarkan kalimat tanya pada Daniel.
Senyum kecut terpatri di bibir tipis Daniel, ia sudah menduganya. Tidaklah asing jika sang ayah tidak percaya dengan apa yang ia ucapkan. Miris memang.
"Aku jujur atau pun bohong, di mata Papa 'kan nggak ada bedanya. Jadi kayaknya aku nggak perlu repot-repot jelasin lagi, 'kan?" Entah mendapat keberanian dari mana Daniel bisa mengucapkan hal tersebut.
"Kamu! Apa kamu mau melawan Papa?" tanya Thomas berubah geram.
Daniel menggeleng. Ia lelah dan hanya ingin beristirahat, tapi mengapa di saat seperti ini ia malah di hadapkan dengan ayahnya.
"Aku nggak ngelawan, cuma ngomongin fakta kok. Di mata Papa, aku itu selalu salah, 'kan? Beda dengan Mattew, si anak emas it—"
"Jaga ucapan kamu, dia itu kakakmu!" Thomas memotong ucapan Daniel sebelum anak itu menyelesaikan kalimatnya.
"Apa yang harus Daniel jaga? Faktanya emang gitu, Papa sama Mama cuma peduli sama anak emas itu di banding aku. Aku juga anak kalian, apa Papa lupa?"
Serentetan kata yang terlontar dari bibir Daniel cukup untuk membuat Thomas bungkam. Kalimat itu menohoknya, tetapi dengan cepat terkalahan oleh ego dalam dirinya.
"Kamu memang anakku, tapi aku sendiri menyesal punya anak yang nggak tahu sopan santun sama orang tua sepertimu," ucap Thomas sebagai balasan atas kalimat Daniel.
Pria itu lantas meninggalkan kamar Daniel dan menutup pintu dengan kasar. Tak lama setelahnya, sang empu kamar meluruhkan tubuhnya ke lantai. Tubuhnya lelah, serangan verbal yang baru saja dilontarkan oleh sang ayah cukup untuk melukai hatinya. Ia peluk kedua lututnya dan perlahan mengurai isakan.
Dalam sunyi yang senyap, satu luka terukir indah di hati anak yang sejatinya hanya ingin menjadi diri sendiri di hadapan sosok yang disebut orang tua.
🍁🍁🍁
Selamat membaca~
Dan buat yang kepo kelanjutannya tapi nggak sabar nunggu seminggu sekali. Cuss ke KaryaKarsa yaaa. Link ada di bio.
Dan terakhir, jangan lupa follow IM_Vha 😗
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top