2. Luka Baru

"Aku adalah aku, bukan orang lain yang kau impikan."
.
.

💙Happy reading💙

Lembutnya embusan angin menerpa wajah Daniel, membuat beberapa helai rambut di dahi anak itu sedikit berantakan dan menutupi matanya. Meski begitu, remaja bermata rubah itu sama sekali tidak merasa terganggu akan hal tersebut. Ia tetap fokus dengan sebuah buku di genggamannya.

Hari sudah mulai sore, sinar yang mentari curahkan pun sudah tidak seterik siang hari. Kelas sudah usai sejak satu setengah jam yang lalu, semua siswa juga sudah pulang ke tempat tinggal masing-masing kecuali mereka yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Meski Daniel belum mengikuti ekstrakurikuler apa pun, ia memilih untuk tidak langsung pulang. Anak itu malah pergi ke tempat ini, yaitu di atas atap sebuah gedung yang terletak di sebelah selatan untuk mempelajari pelajaran yang guru berikan hari ini.

Daniel melepas kacamata yang sedari tadi bertengger di hidung mancungnya. Tangan kanannya bergerak untuk mengucek mata yang mulai perih karena terlalu lama membaca.

Ia mendesah pelan, berusaha menghalau sebuah rasa yang tiba-tiba hinggap di dada. Netranya beralih menatap sang surya yang kini perlahan mulai terbenam, meninggalkan semburat jingga di atas cakrawala. Ditatapnya arloji yang melingkar di tangan kirinya, waktu sudah memasuki pukul 17.45 WIB. Pantas saja jika anak-anak ekstrakurikuler sudah mulai berkemas dan bersiap untuk meninggalkan area sekolah.

Daniel tahu jika sebentar lagi area sekolah akan ditutup. Namun, meski begitu, dirinya masih enggan meninggalkan tempatnya berpijak kini. Pribadinya masih ingin mengamati bagaimana sang surya kembali ke peraduan. Menikmati indahnya senja dengan pantulan jingganya.

Daniel melangkah lebih dekat ke tepi atap. Kemudian dengan keberanian yang tak tahu datang dari mana, ia berdiri tepat di tepi atap tersebut. Dari atas sini dia bisa melihat betapa luasnya sekolah tempat ia menuntut ilmu. Gedung yang masing-masing terdiri dari bangunan tiga lantai itu dilengkapi dengan tiga buah lapangan untuk voli, sepak bola dan basket. Ada juga sebuah gedung khusus untuk para siswa ekstrakurikuler renang. Sungguh sekolah yang megah.

"Lo ngapain di situ?" Sebuah suara bariton tiba-tiba muncul dari belakang tubuh Daniel, menimbulkan rasa terkejut pada anak itu dan membuatnya nyaris terjatuh jika saja seseorang itu tak menarik tangannya.

"Astaga!" Daniel terjatuh ke lantai begitu orang tersebut menariknya dengan kuat.

Mengabaikan rasa sakit di bagian pantat, Daniel berdiri dan bertatap muka dengan seseorang yang nyaris membuatnya terjatuh.

"Arsen?"

Fakta bahwa seseorang yang baru saja menyelamatkannya adalah Arsen membuat Daniel sedikit terkejut. Pasalnya dia tadi sudah melihat anak itu mengendarai sepeda motornya meninggalkan area sekolah. Akan tetapi, mengapa sekarang anak itu malah berdiri di sini?

Sosok yang tengah Daniel perhatikan kini tengah asik mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik api dari dalam saku seragamnya. Menempelkan ujung benda bernikotin yang telah dibakar itu ke belahan bibirnya kemudian menyesapnya secara perlahan dan sesaat kemudian meniupkan asap ke udara bebas. Anak itu mengulangi kegiatan tersebut beberapa kali sebelum akhirnya menyadari jika seseorang tengah memperhatikannya.

"Biasa aja, dong. Kek nggak pernah liat orang ngerokok aja," sinisnya pada Daniel yang sedari tadi khusyuk memandangi dirinya.

"Emang nggak pernah," gumam Daniel pelan.

Merasa tidak ada yang perlu dibicarakan, Daniel mulai mengemas barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas. Dilihatnya Arsen belum beranjak dari tempatnya berdiri, dia masih menikmati hisapan rokok yang belum habis setengah itu. Dalam hatinya, Daniel merasa beruntung karena saat ini Arsen sepertinya sedang tidak berminat merundungnya.

"Eh, cupu!" Arsen memanggil tepat sebelum Daniel menarik kenop pintu menuju atap.

Tak menjawab, Daniel hanya berbalik dan melayangkan tatapan bertanya pada Arsen.

"Kalau mau bunuh diri, jangan di sini. Cari aja tempat lain yang sepi gitu. Kalau di sini, kasian nanti arwah lo gentayangan terus jadi hantu penunggu sekolah. Kasian ini sekolah udah jelek terus berhantu juga," tutur Arsen dengan sarkasnya.

Daniel mendengus kesal. "Lo aja yang bikin gue hampir jatuh. Lagian siapa juga yang mau bunuh diri?" balas Daniel ketus sebelum benar-benar menutup pintu dengan agak keras meninggalkan Arsen yang kini menatapnya aneh.

'Gue nggak mau mati, setidaknya untuk saat ini,' batin Daniel dengan wajah kembali muram.

🍁🍁🍁

Padatnya jalanan ibukota membuat perjalanan Daniel dari sekolah menuju rumah yang hanya di tempuh dalam tiga puluh menit menjadi tiga kali lipat lebih lama. Pada akhirnya Daniel sampai di rumah ketika jam makan malam usai. Ia melihat jika terdapat tiga mobil terparkir di bagasi rumahnya. Itu berarti seluruh keluarga ada di rumah, termasuk sang kakak yang kemarin menginap di rumah temannya.

"Den Daniel. Kenapa jam segini baru pulang?" Seperti biasa, Bi Atun adalah orang pertama yang menyambut kepulangannya.

Daniel mengembangkan senyumnya. "Iya, Bi. Tadi jalanan macet banget, motorku bener-bener nggak bisa gerak. Jadi sampai rumah jam segini."

Memang benar, hari ini Daniel memilih untuk mengendarai motor sendiri karena sopir yang biasa mengantar dan menjemput dirinya sedang cuti.

"Ya ampun. Pasti Aden capek, sini Bibi bawain tasnya. Aden mandi aja dulu," ujar wanita itu hendak mengambil alih tas di punggung Daniel, namun ditolak halus oleh anak itu.

"Nggak usah, Bi. Biar aku bawa ke atas aja sekalian," balasnya kemudian berlalu menuju kamarnya.

Anak itu menaiki anak tangga agar sampai ke kamar yang terletak di sudut lantai dua. Kamarnya bersebelahan dengan kamar milik Mattew. Sebelum kamar Mattew terdapat kamar yang ditempati oleh Papa serta Mamanya.

Dan inilah yang membuat Daniel merasa was-was. Jika sang ayah mendapati ia pulang selarut ini, ia mungkin akan dimarahi. Ia melangkah dengan terburu hingga tak menyadari jika seseorang tengah berdiri di hadapannya.

"Aw ...." Ia nyaris terjatuh karena menabrak orang di hadapannya.

"P-papa ...." cicit Daniel begitu tahu jika seseorang yang ia tabrak adalah sang ayah yang baru saja keluar dari kamar Mattew.

"Daniel? Sudah jam berapa ini? Dan kamu baru pulang, pergi ke mana saja kamu?"

Rentetan pertanyaan langsung menghujani rungu Daniel begitu sang ayah mendapati dirinya masih mengenakan seragam sekolah.

"Maaf, Pa. Tadi aku belajar dulu di sekolah dan pas pulang jalanan macet banget," sahut Daniel namun tak berani bertatap mata dengan sang ayah.

"Berhenti buat alesan nggak masuk akal. Papa bosan dengan alasan kamu. Dari pada main-main nggak jelas begitu lebih baik gunakan waktumu untuk belajar. Papa perhatikan nilai kamu nggak ada kenaikan yang signifikan, stuck di situ terus. Kalau begitu terus, bagaimana kamu bisa juara sekolah seperti kakakmu?" tukas Thomas, ayah Daniel.

Lagi, kalimat itu selalu terlontar dari bibir sang ayah tiap kali ia berbuat yang dinilai salah. Meski sudah berulang kali mendengar, tapi entah mengapa rasa sakitnya masih sama tanpa berkurang kadarnya. Daniel sangatlah sadar jika kecerdasan masih jauh di bawah Mattew, dan ia juga sudah belajar kelas untuk setidaknya menjadi juara satu di kelasnya. Apa itu masih kurang?

"Dan lagi. Papa lihat nilai bidang olahraga kamu benar-benar buruk. Selalu pas dan terkadang di bawah rata-rata. Contoh dong kakak kamu yang bisa imbang di segala aspek. Sedangkan kamu? Hanya pengetahuan saja yang kamu kejar. Bahkan itupun nggak sesuai dengan ekspektasi Papa," lanjut Thomas yang membuat Daniel tak berkutik.

Daniel menundukkan kepalanya dan berucap maaf dengan lirih.

Thomas meraup wajahnya dengan kasar. "Maaf nggak akan menyelesaikan masalah, Daniel. Daripada kamu buang-buang waktu untuk minta maaf, lebih baik kamu masuk ke kamarmu dan belajar. Tunjukkan kalau kamu itu pantas dibanggakan seperti Mattew," tukas Thomas sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Daniel yang masih mematung di depan kamar Mattew.

Bocah itu tetap berdiri di tempatnya beberapa saat sampai pintu kamar di depannya terbuka lebar, menampakkan sosok yang tadi dibangga-banggakan oleh sang ayah.

"Lo ngapain kek patung gitu?" Mattew yang hendak menutup pintu kamarnya dibuat heran karena mendapati Daniel yang berdiri di depan kamarnya.

Daniel menatap penampilan Mattew dari atas hingga bawah, kakaknya ini sudah mengenakan piyama tapi di tangannya terdapat buku tebal serta kedua telinganya tersumbat oleh headset. Baiklah, dapat disimpulkan jika meski pintu terbuka, Mattew sama sekali tidak mendengar pembicaraan antara Daniel dan sang ayah.

Daniel menggeleng. "Nggak apa-apa. Good night, Kak," ucapnya kemudian melesat ke dalam kamar dengan terburu.

"Hah? Lo ngomong apa?" Mattew berteriak nyaring saat sang adik berlalu lebih dulu padahal ia belum mendengar kalimat yang anak itu ucapkan. Maklum, headset masih setia menyumbat indera pendengaran Mattew.

🍁🍁🍁


Beralih pada sebuah ruang kamar bernuansa gelap. Terdapat sosok rapuh yang terduduk sembari memeluk kedua lututnya. Daniel sengaja tidak menyalakan lampu di kamarnya, bahkan tadi dia mandi dan berganti pakaian dalam keadaan kamar gelap gulita.

Kalimat yang ayahnya ucapkan tadi masih terngiang di telinga Daniel hingga kini. Tentang bagaimana Thomas yang selalu membanggakan Mattew di hadapannya membuat Daniel merasa kesal pada dirinya sendiri yang tidak pernah bisa setara dengan kakaknya.

"Please, jangan lagi," ucap Daniel dengan suara bergetar. Kedua tangannya ia gunakan untuk meremas rambutnya keras.

Daniel terus berada di posisi yang sama hingga bulir keringat mulai membasahi pelipisnya. Anak itu mencoba untuk bertahan, tak ingin rasa putus asanya membuat ia kembali melakukan hal itu.

Sungguh, ia tidak ingin melakukan tapi dorongan dalam dirinya untuk melakukan hal itu sangatlah kuat. Alhasil dengan ragu ia membuka laci meja di samping ranjangnya. Dengan penerangan minim, ia mencoba menemukan benda ajaib itu. Dan tak butuh waktu lama bagi Daniel untuk menemukan benda yang dimaksud karena ia memang sengaja meletakkannya di bagian yang mudah dijangkau.

"Maaf."

Usai mengucapkan kata tersebut, maka saat itu pula Daniel mulai mengukir karyanya. Kali ini ia memilih untuk menggunakan lengan bagian kiri sebagai medianya. Karena luka di tangan kanannya belum sembuh benar, dan ia tak mau ambil resiko jika luka itu mengelupas lagi di saat yang tidak tepat.

"Ashhh ...."

Dua gores horizontal berhasil ia buat. Tidak terlalu dalam, tidak pula terlalu dangkal. Namun cukup untuk membuat cairan berwarna merah menyeruak keluar dari bekas goresan tersebut.

Daniel menghela napas. Sensasi perih yang didapatkan membuatnya mau tak mau menarik senyum di ujung bibirnya. Demi apapun, ada rasa lega yang ia dapat usai menorehkan karya di atas media berwujud kulit tersebut.

Ditemani cahaya purnama yang menyeruak dari celah jendela. Daniel dapat melihat jika cairan anyir yang mengalir dari lukanya, cukup banyak. Jika darah itu adalah tinta, mungkin dia bisa menggunakannya untuk membuat lukisan bendera negara Indonesia berukuran sepuluh kali dua puluh lima senti meter.

Daniel terkekeh dengan apa yang baru saja terlintas di pikirannya. Ide gila selalu muncul di saat dia melakukan kegilaan semacam ini.

Anak itu masih setia memandangi tiap tetep darah yang mengalir dari lengannya untuk beberapa menit ke depan. Dan setelah ia capai kata puas, maka dengan telaten ia obati luka tersebut dan membersihkan sisa-sisa darah di lantai hingga keadaan kamar kembali seperti semula.

Apa yang Daniel lakukan malam ini dan malam-malam sebelumnya adalah rahasia yang hanya diketahui oleh dua pihak. Yaitu Daniel dan satu lagi adalah Tuhan.

🍁🍁🍁


Sugeng ndalu~

/yang tau lanjutin liriknya :v

Dan aku kembali menawarkan buat yang mau baca cerita ini sampai tamat, bisa langsung ke KaryaKarsa yaa.

See you next part~

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top