14. Dihajar Lagi
"Aku berhenti berbicara tentang bagaimana perasaanku, karena aku tahu tidak ada yang peduli."
💙 Happy Reading 💙
.
.
.
Remaja itu memandang jam di pergelangan tangannya dengan perasaan risau. Sudah jam empat sore dan ia masih berada di tempat parkir menunggu sang kakak selesai dengan pertemuan organisasi yang dipimpinnya.
Hal seperti inilah yang tidak ia sukai ketika papanya menyuruh untuk berangkat dan pulang bersama Mattew. Dia harus menunggu selama kurang lebih satu setengah jam agar bisa pulang. Suasana tempat parkir pun sudah sepi, hanya ada beberapa sepeda motor serta mobil milik siswa yang kebetulan ada kegiatan ekstrakurikuler di hari ini.
Huh, jika bukan karena patuh pada perintah orang tua, Daniel mungkin sudah pulang dengan memesan ojek online atau membonceng Arsen. Ia takut jika harus berpapasan dengan Wahyu dan kawan-kawannya, karena akhir-akhir ini kelompok berandal itu tampak tengah mengintainya.
Hal itu Daniel rasakan saat tadi siang ia pergi ke toilet bersama Arsen, remaja berperawakan kekar itu seperti hendak menerkamnya, tetapi tertahan karena ada Arsen di sana. Jika hal itu terjadi lagi sore ini, mungkin dia tidak akan selamat.
"Wow, ini takdir apa gimana, sih? Kok bisa ketemu di sini?"
Daniel nyaris terjungkal saat seseorang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Berujar dengan suara rendah dan berbisik tepat di samping telinganya, cukup untuk membuat bocah berkaca mata itu merinding.
"Ka–kalian ...." Daniel mengambil langkah menjauh saat tahu jika orang yang baru saja terlintas di pikirannya kini berada tepat di hadapannya.
"Hei, hei, hei. Jangan panik gitu, santai aja. Kita masih punya cukup waktu buat main sambil nunggu Abang lo selesai kumpul. So, santai aja, oke?" tukas Wahyu lantas meraih kasar lengan Daniel.
Berdasar pada pengalaman yang dulu pernah terjadi, Daniel tak mau tinggal diam dan pasrah saja. Ia berusaha untuk berontak agar lepas dari genggaman Wahyu. Lagi pula siapa juga yang mau dirundung?
"Nggak usah berontak, nggak guna. Gue janji ini bakal jadi yang terakhir gue gangguin lo. Jadi nikmati saja, ya?" ujar Wahyu dengan senyum menyeringai.
Daniel menggeleng, tak ada yang namanya berhenti jika seseorang sudah menikmati saat merundung orang.
"Jangan ...." Masih dengan perlawanan Daniel berusaha untuk lepas dari kepungan Wahyu.
"Ye, dibilang diem nggak usah banyak tingkah, masih aja ngeyel. Gemes, deh," celetuk salah satu kawan Wahyu.
"Bayak bacot kalian, hajar aja langsung." Memberi instruksi pada kawan-kawannya, Wahyu melayangkan satu pukulan ke wajah Daniel yang sialnya tidak dapat anak itu hindari.
Empat lawan satu? Ayolah, Daniel sudah kalah jumlah. Alhasil ia hanya bisa pasrah saat empat orang yang lebih dewasa darinya itu mulai melayangkan pukulan ke tubuhnya. Entah itu perut, wajah, dada maupun punggung. Ia menerimanya dan tak mau untuk melawan. Rasanya lelah juga jika terus-menerus memohon agar tak diserang, Daniel pikir memang sudah kodratnya menjadi sasaran amukan para berandal ini.
Di saat seperti ini, ia masih berpikir bagaimana reaksi papanya nanti jika tahu wajahnya terluka. Bukannya kasihan, justru beliau akan murka dan menuduh Daniel telah menjadi anak nakal. Lagi pula, sejak kapan ia terlihat baik di mata mereka?
"Argh!"
Daniel merintih keras saat sebuah tendangan mengenai tepat di tulang keringnya. Demi apa pun, itu sakit sekali. Dia pikir mungkin tulangnya retak dan akan pincang setelah ini.
"Bro, Bro. Udah woi. Gila itu kakinya bisa patah."
Salah seorang kawan Wahyu menahan gerakan tangan kawannya ketika hendak melayangkan pukulan ke bagian tubuh Daniel lagi. Dia menyadari jika serangannya sudah mengenai salah satu bagian tubuh yang penting. Jika diteruskan, mereka bisa mendapat masalah serius.
Wahyu menatap bocah yang kini berbaring di lahan parkir itu dengan raut yang mulai berubah. Ia menyadari jika tadi dirinya menendang cukup keras pada kaki anak itu. Ekspresi kesakitan yang anak itu tunjukkan mungkin sebuah pertanda jika sesuatu yang serius telah menimpa.
"Buruan cabut!" titah Wahyu ketika seseorang terlihat mendekati area parkir.
"Woi, jangan kabur! Sialan, ngapain lo pada?" Lelaki berperawakan tegap itu berlari tergopoh menuju tepat di mana kerumunan tadi berkumpul.
Keempat siswa tingkat akhir itu sudah melesat jauh dari pandangan Mattew saat ia sampai ke lokasi. Mengabaikan mereka yang melarikan diri seperti pencuri, Mattew justru dibuat ternganga dengan pemandangan yang didapatinya. Daniel, sang adik, terbaring di lantai kotor dengan keadaan yang bisa dibilang tidak baik-baik saja.
"Niel!" Mattew berlari mendekati sang adik dan membantunya untuk duduk.
"Lo kenapa? Apa yang udah mereka lakuin sampai lo babak belur gini?" tanya Mattew sarat akan kekhawatiran.
Daniel hanya menggeleng lemah ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir kakaknya. Ia sibuk menahan rasa sakit yang menempa kaki kirinya, sepertinya benar dugaan Daniel jika tulangnya bermasalah.
"Niel, denger gue nggak? Kita ke rumah sakit, ya? Takut ada yang parah lukanya."
Sementara berucap, Mattew membantu Daniel untuk berdiri dan membawanya menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang.
"Aw ... sakit, Kak! Kaki gue sakit," desis bocah itu saat dirasa nyeri yang teramat di bagian kakinya.
"Tahan bentar, itu mobil cuma di situ, kok," ucap Mattew mencoba menenangkan sembari menunjuk letak mobilnya yang memang hanya tinggal beberapa meter lagi.
Rasa perih di ujung bibir, lebam di sekujur tubuh serta kaki yang seakan hendak putus membuat Daniel tak karuan. Jika saja tidak merasa malu pada Mattew, mungkin dia sudah menangis. Dia tidak mau dianggap cengeng oleh sang kakak.
"Udah, tahan bentar lagi, ya. Rumah sakitnya deket, kok."
Sembari fokus pada kegiatan menyetirnya, Mattew kembali mengucapkan kalimat penenang pada sang adik. Rasa khawatir menguasai dirinya kali ini. Ia tak ingin hal buruk terjadi pada sang adik. Dirinya memang benar-benar kakak yang buruk, dia tak tahu apapun soal Daniel. Hingga hal seperti ini terjadi, ia jadi kalut sendiri.
"Kak, please, jangan kasih tau Papa sama Mama soal ini."
Mattew sontak menatap ke arah adiknya dan mengernyit. "Lo gila? Siapa yang bakal jadi wali lo nanti kalo mereka nggak tahu? Lagian mana mampu gue bayar biayanya kalo mahal," sergah Mattew tak setuju dengan apa yang baru saja Daniel pinta.
"Lo berharap gue luka parah?"
"Hah?" Mattew yang masih dalam kondisi menyetir lantas menggeleng ribut. "Bukan gitu maksudnya, gue cuma mau orang tua kita tahu keadaan anaknya," ujarnya mencoba menjelaskan.
Daniel memalingkan wajah, menatap jalanan dari balik kaca jendela mobil lantas menghela napas. Memang benar, tak ada yang benar-benar memahami Daniel selain dirinya sendiri. Kepedulian yang saat ini Mattew berikan hanya semata-mata karena ia adalah adiknya, tidak lebih maupun kurang.
🍁🍁🍁
Realita memang tak seindah ekspektasi, apa yang ada di pikiran Daniel tak seperti apa yang saat ini berlangsung. Sudah dua jam semenjak dokter memintanya untuk rawat inap karena ada keretakan di tulang kakinya, tapi hingga saat ini pula papa maupun mamanya tak kunjung tiba. Hanya Mattew yang kini tertidur di kursi karena kelelahan.
Anak itu menatap kaki kirinya yang kini terbungkus perban. Miris, pikirnya. Dengan kondisi seperti ini, ia tidak mungkin bisa masuk sekolah esok hari. Padahal ini sudah mendekati ujian semester.
Bagaimana nasibnya nanti jika sampai tertinggal materi pelajaran? Meski terbilang cukup cerdas, Daniel tetap tak mampu memahami materi sekolah tanpa bimbingan guru. Ia tak sehebat Mattew yang mampu memahami sebuah teori hanya dengan membaca sebongkah buku.
"Kak, Kak Matt," panggilnya.
Suara Daniel terdengar serak karena sedari tadi tenggorokannya memang belum tersiram air setetespun. Pantas jika rasanya kering sekali.
"Kak Matt!" Lagi Daniel memanggil Mattew, kali ini dengan melemparkan bantal yang menjadi tumpuan kepalanya ke arah sang kakak.
"Aduh! Eh ... kenapa, Niel?" Masih dengan mata setengah terbuka, Mattew bertanya.
Melihat wajah kakaknya yang terlihat lucu ketika bangun tidur, Daniel sekuat tenaga mencoba untuk tidak tertawa. Ia jadi merasa bersalah karena sudah membangunkannya dengan tidak sopan.
"Kenapa?" tanya Mattew bingung.
Daniel menggeleng. "Nggak apa-apa, kok."
"Hah?" Mattew dengan wajah khas bangun tidurnya mengernyit heran, jadi apa maksud anak itu membangunkannya?
Ingin kembali tidur pun sepertinya tak bisa, jadi Mattew memutuskan untuk berdiri mendekati ranjang sang adik. Ia usap kaki yang kini terbungkus oleh perban itu secara perlahan.
"Sakit, ya?" tanyanya sembari terus menatap kaki Daniel.
Si lawan bicara hanya bungkam ketika pertanyaan itu terlontar dari mulut Mattew, lagi pula perlukah pertanyaan retoris seperti itu dijawab? Daniel lebih tertarik dengan isi pikirannya yang sedari tadi berputar pada satu hal. Yaitu tentang ....
"Niel, kok diem, sih?" Merasa diabaikan, Mattew kembali bertanya.
"Lagian pertanyaan gituan apa perlu dijawab, sih? Yang namanya habis digebukin sampai babak belur dan tulang retak itu sakit, semua sakit. Lagian itu 'kan pertanyaan retoris, kenapa harus dijawab?" ketusnya tanpa minat.
"Lah, kok, ngegas? Lo kenapa, sih?"
Bukannya tak terima dengan jawaban sang adik, hanya saja ini bukan seperti Daniel yang biasanya. Anak itu jarang berbicara panjang lebar dengannya, dan saat ini ketika ia berbicara, justru anak itu berujar ketus. Aneh, pikir Mattew.
"Udahlah, Kak. Mending kita pulang aja, udah sore. Gue nggak apa-apa, kok. Nanti biar Bi Atun yang bantu ngerawat lukanya, gue nggak suka rumah sakit," tukas Daniel ketika Mattew hendak berucap kembali.
Alhasil, Mattew menuruti permintaan adiknya yaitu pulang ke rumah setelah mendapatkan ijin dari dokter yang tadi memberi penanganan.
Mattew memapah Daniel menuju mobil, karena anak itu menolak memakai kursi roda dan memilih untuk mengenakan tongkat. Tak nyaman katanya.
"Kenapa lo bisa kena masalah sama Wahyu, sih? Dia itu berandal yang paling gila di sekolah, sering banget bully orang tapi nggak pernah ketahuan sama pihak sekolah karena dia selalu ngancem korbannya," ujar Mattew memecah keheningan yang tercipta ketika mereka menelusuri lorong rumah sakit.
Lelaki berlesung pipi itu mencoba untuk berkomunikasi dengan adiknya, berharap jika anak itu bisa sedikit terbuka padanya. Karena akhir-akhir ini Mattew sadar jika hubungan yang terjalin antara ia dan Daniel sangatlah renggang. Sebagai seorang kakak, ia bahkan tak tahu tentang apa yang disukai dan dibenci oleh adiknya itu.
Dirinya seperti orang asing yang sama sekali tidak tahu kepribadian seorang Daniel Immanuel, padahal mereka tinggal seatap. Sepercik rasa bersalah hinggap di dada Mattew, apalagi setelah ia melihat sang adik dikeroyok oleh geng nakal di sekolah. Dirinya merasa seperti orang bodoh karena tidak bisa melindungi adiknya sendiri, padahal mereka berada di satu sekolah yang sama.
"Lo ada masalah?" Lagi, Mattew bertanya ketika mobil yang dikendarainya mulai meninggalkan pelataran parkir rumah sakit.
Bukannya menjawab, Daniel justru menatap lekat pada wajah sang kakak. Ia heran kenapa Mattew jadi banyak bertanya seperti ini? Aneh, mana mungkin seorang apatis bisa jadi perhatian dalam sekejap.
"Niel, lo denger gue ngomong nggak, sih? Kenapa dari tadi diem aja, diajak ngomong nggak jawab. Kalo ada masalah cerita, jangan dipendam sendiri," tutur Mattew lagi. Ia sedikit kesal karena dari tadi ia seperti berbicara dengan orang bisu.
"Denger," jawab anak itu singkat.
"Jadi, lo ada masalah apa sebenernya? Kenapa bisa berurusan sama Wahyu?"
"Gue nggak ada masalah sama mereka. Emang dasarnya mereka aja yang suka ganggu orang. Apa lo kira gue bakal buang-buang waktu buat berantem sama mereka? Sedangkan nilai sekolah aja nggak ada peningkatan, gue nggak sebodoh itu buat cari masalah sama berandalan," balas Daniel.
Entah kenapa suasana hatinya tidak bisa membaik sejak sore tadi, ia kesal tanpa sebab. Ditambah Mattew yang terus berbicara membuat ia muak.
Mattew mengangguk. "Oke, gue percaya sama lo. Pesan gue, nanti kalau mereka ganggu lo lagi, bilang ke gue biar gue hajar balik mereka," tukasnya kemudian.
"Maksud lo? Lo mau balas perbuatan mereka demi gue gitu?" tanya Daniel yang dibalas anggukan oleh Mattew.
"Hahaha, nggak butuh. Mereka nggak bunuh gue aja, gue masih bersyukur. Lagian kalo lo berlaku begitu, nama baik lo bisa rusak dan itu bisa berpengaruh pada nilai lo yang sempurna. Gue nggak mau kakak gue yang tercinta ini gagal masuk universitas favorit cuma gara-gara hal bodoh kayak gitu."
Entah apa yang ada di pikiran Daniel hingga ia bisa berkata seperti itu, tapi yang terpenting adalah ia tak mau Mattew ikut campur urusannya. Ia sudah cukup tertekan dengan keadaan hidupnya saat ini, dan dia tak mau jika harus mengikutsertakan Mattew ke dalamnya.
"Maksud lo apa ngomong gitu? Kita saudara dan udah sepantasnya tolong menolong, lagian nggak diterima di universitas favorit pun bukan masalah buat gue, kok. Jangan berpikiran semacam itu, Niel." Mattew menoleh ke bocah di sebelahnya dan menatapnya dalam-dalam, lampu rambu tengah menyala merah saat ini.
Terkekeh pelan, Daniel berujar, "Nggak usah lebay, deh. Maksud gue ngomong gitu tuh biar lo nggak jadi anak yang nggak berguna kayak gue. Masa iya anak dua gagal semua, kasihan Papa sama Mama."
"Astaga, Daniel! Jadi lo anggap diri lo gagal dan gue berhasil gitu? Jangan—"
Suara klakson dari belakang mobil yang mereka tumpangi memotong perkataan Mattew. Anak itu menatap lampu yang kini telah menyala hijau kemudian mendengus pelan.
"Udah, gue capek. Bangunin kalo udah sampe rumah, ya. Gue mau kumpulin tenaga buat nanti, siapa tahu Papa mau ceramah lagi," tukas Daniel saat Mattew hendak melanjutkan kalimatnya. Anak itu buru-buru memejamkan matanya agar Mattew tak berbicara lebih banyak lagi.
Di lain sisi, Mattew mulai menyadari jika ada yang aneh dari setiap perkataan yang adiknya ucapkan. Dia memang anak yang cukup acuh dengan keadaan, tapi soal kepekaan? Dia termasuk kategori orang yang sangat peka. Ia bukan orang yang terlalu bodoh untuk menyadari arti dari setiap kalimat yang Daniel ucapkan. Membayangkan apa yang ada dipikirannya membuat Mattew bergidik ngeri. Oh, Mattew harap itu tidak benar.
🍁🍁🍁
Selamat membaca dan jangan lupa follow aku yaaa (◡ ω ◡)
Dan buat yang nggak sabar nunggu update seminggu sekali. Boleh banget mampir ke KaryaKarsa, link ada di bio.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top