10. Rumah Nenek


💙 Happy Reading 💙


Suasana rumah yang biasanya sepi kini mendadak ramai karena Mattew yang sibuk mencari sneakers kesayangannya. Di saat semua anggota sudah siap untuk berangkat, Mattew justru meruntuki nasib karena lupa menyimpan sepatu itu.

"Sayang, kenapa nggak pakai sepatu lainnya aja, sih? Udah siang loh ini, nanti jalanan makin macet kalau kita nggak berangkat," tukas Reina saat mendapati sang putra masih sibuk mencari sepatu padahal waktu sudah menunjukkan pukul 08.15 WIB.

"Tapi, Ma. Itu sepatu yang beliin Sheila, nanti kalau dia tahu aku dateng dan nggak pakai sepatu itu, bisa mati anakmu ini. Mama kayak nggak tahu aja gimana kelakuan keponakannya," ujar Mattew bersikukuh untuk menemukan sepatu tersebut.

Menyaksikan keributan tersebut, Daniel hanya berdiam diri di depan kamar sang kakak tanpa ada niatan untuk ikut campur. Matahari memang sudah mulai terik, dan rencana untuk berangkat pagi sama sekali tidak terlaksana karena Mattew lupa meletakkan sepatu.

Saat dirasa kegiatan mari menemukan sepatu Mattew akan berlangsung lama, Daniel memutuskan untuk bertolak kembali ke kamarnya. Ia teringat jika ia belum memberi makan kucing yang tiga hari lalu ia adopsi.

"Kamu mau ke mana? Sebentar lagi kita berangkat, jangan pergi jauh-jauh," tegas Reina saat mendapati putra bungsunya mengambil langkah menjauh.

Daniel yang baru saja melangkah lantas berhenti dan menghadap Reina. "Ke kamar sebentar, Ma. Mau ambil topi," dustanya pada sang ibu.

Merasa tak perlu memperpanjang percakapan, Daniel buru-buru memasuki kamarnya dan mengunci pintu tersebut rapat-rapat. Ia dekati sebuah kotak kecil yang kini ia jadikan sebagai kandang sementara si kucing karena ia belum sempat membelikan kandang yang layak untuk dihuni.

"Kevin," panggilnya pada kucing yang ia beri nama Kevin. Hewan lucu itu tengah asik bergelung di dalam kardus.

Seakan paham sang tuan memanggilnya, hewan berbulu tersebut bangkit dan mulai berjalan mendekat ke arah Daniel. Kucing itu lantas mengusap-usapkan tubuhnya ke kaki Daniel dengan manja. Melihat hal tersebut, sebuah senyum cerah terpatri di bibir tipis anak itu. Ia berjongkok dan meraih kucing tersebut ke dalam gendongannya. Dielusnya bulu yang kini halus dan harum tersebut dengan kasih sayang.

"Kamu laper? Bentar, ya, aku udah beli makanan buat kamu. Maaf juga kemarin cuma aku kasih makan sosis." Daniel berucap dengan halus seakan kucing tersebut adalah seseorang yang sangat ia sayangi.

Sembari membawa Kevin di dalam gendongannya, Daniel berjalan menuju sebuah kotak berukuran sedang yang ia letakkan di atas meja belajarnya. Kotak itu ia gunakan khusus untuk menyimpan makanan kucing kesayangannya itu. Ia ambil wadah yang kemarin sudah dibeli, kemudian menuangkan makanan itu secukupnya.

"Nih, makan sampe kenyang, ya. Nanti sore aku kasih lagi," ujarnya sembari menurunkan kucing itu ke depan tempat makan. Ia berjongkok agar bisa lebih dekat ketika memperhatikan Kevin makan.

Pintu kamar Daniel diketuk dengan cukup keras hingga mengusik keasikan anak itu dalam memperhatikan si kucing memakan makanannya. Ia palingkan pandangan ke arah pintu lantas menghela napas lega. Beruntung tadi dia sudah mengunci pintu tersebut, jika tidak seseorang di luar sana akan menerobos asuk tanpa permisi dan mungkin jika dia adalah sang ibu, Daniel akan langsung dimarahi.

"Niel, lo ngapain, sih? Udah ditungguin, woy. Buka pintunya! Lo ngapain, sih?"

Dari suaranya pun bisa ditebak jika yang berada di luar adalah Mattew dengan jiwa bar-barnya. Lelaki itu tak pernah bisa santai jika soal mengetuk pintu sang adik, dan Daniel sudah terbiasa akan hal itu. Pernah suatu hari, Mattew mengetuk pintu kamar Daniel namun tak kunjung dibuka karena Daniel sedang mandi. Alhasil, Daniel-lah yang mendapat omelan sang mama karena membuat Mattew lama menunggu. Pilih kasih memang, tapi Daniel bisa apa selain merasa iri?

Lagi, pintu itu diketuk dengan keras ketika si penghuni tak kunjung membukakannya. Membuat Daniel buru-buru mengankat Kevin dan memasukkannya ke dalam kardus. Tak lupa ia masukkan wadah berisi mmakanan yang masih tersisa separuhnya ke dalam kardus tersebut.

"Kamu di sini aja, jangan ke mana-mana, ya. Nanti Bi Atun yang bakal kasih makan siang kamu," ujarnya pada sang kucing kemudian berlari kecil guna membukakan pintu.

"Lama banget, sih. Cuma bukain pintu doang," sergah Mattew begitu pintu terbuka.

"Maaf," balas anak itu singkat, ia sedang malas untuk menanggapi ocehan Mattew saat ini.

Meninggalkan Mattew yang masih beraut masam, Daniel memutuskan untuk menyempatkan diri datang ke dapur dan menemui bi Atun. Ia membisikkan sesuatu ke telinga asisten rumah tangga itu kemudian menyerahkan kunci kamar.

Tepat pukul 09.00 WIB, keluarga itu meninggalkan kediaman dan memulai perjalanan menuju rumah nenek.

🍁🍁🍁


Apa yang dibayangkan Daniel tentang bertemu sang nenek benar-benar di luar ekspektasi anak itu. Daniel pikir ini hanya kunjungan biasa antara keluarganya dan sang nenek, tapi kenyataannya ini adalah pertemuan keluarga besar Immanuel. Pertemuan yang dihadiri oleh seluruh anak dari Mr. Immanuel, kakek Daniel. Jika saja ia tahu ini bukan kunjungan biasa, Daniel lebih memilih mengurung diri di kamar dan bermain dengan Kevin sepanjang hari daripada harus berkumpul dengan keluarga besar. Adalah kesalahannya sendiri karena tidak bertanya lebih dahulu tentang maksud dari kunjungan tersebut.

Keluarga Immanuel memiliki tiga putra yang mana ketiganya menjabat menjadi CEO di masing-masing perusahaan yang kini di pegangnya. Thomas, ayah Daniel, adalah anak bungsu di antara keluarga itu, yang berarti Daniel harus memanggil semua sepupunya dengan panggilan 'kakak'.

Sampai di situ Daniel masih baik-baik saja, tidak masalah jika ia harus memanggil semua sepupunya dengan embel-embel kakak. Akan tetapi, ia paling tidak suka ketika mereka mengatakan soal dirinya yang tidak seterkenal sang kakak. Dan yang paling membuat Daniel jengkel adalah, mereka merendahkan dirinya yang mengambil jurusan IPS daripada IPA. Hei, ayolah. Apa di mata mereka IPS lebih rendah daripada IPA? Menyebalkan sekali.

"Niel, ngapain di sini? Nggak gabung sama yang lain?" tanya seseorang yang kini duduk di samping Daniel.

Saat ini Daniel sedang duduk di bangku taman yang terletak di belakang rumah neneknya, ia lebih memilih mengasingkan diri daripada harus menanggapi kalimat-kalimat sindiran yang sepupunya lontarkan. Seseorang yang tadi duduk di samping Daniel kini mulai mengusap rambut anak itu dengan lembut.

"Apaan, sih! Nggak usah pegang-pegang!" Daniel menepis tangan yang semula bertengger di kepalanya dengan sedikit kasar. Anak itu tak suka jika seseorang memegang kepalanya tanpa permisi.

"Hei, santai, brother. Ini gue, Lucas," tukas lelaki jangkung di samping Daniel.

Daniel tidak buta untuk mengetahui jika yang duduk di sampingnya adalah Lucas, anak sulung dari kakak pertama ayahnya. Dia sekarang menempuh pendidikan S1 Kedokteran di salah satu Universitas terbaik di Indonesia. Jelas ia tahu detail bagaimana seluk beluk sepupunya ini karena mamanya sering sekali membanggakan pria ini ketika ada waktu untuk berkumpul di ruang keluarga. Dan Mattew akan digadang-gadang sebagai generasi Lucas yang selanjutnya. Sementara Daniel? Huh, dia hanya akan duduk manis menyaksikan keharmonisan itu.

"Nggak baik ngalamun di tempat sepi, kesambet baru tahu rasa." Tidak menyerah meski disuguhi dengan kalimat ketus, Lucas lagi-lagi memulai percakapan dengan Daniel.

Mendengar ucapan yang baru saja terlontar dari bibir sepupunya itu, Daniel terkekeh pelan.

"Nggak usah sok peduli. Lo tuh sama aja kayak mereka, cuma bedanya mereka jujur sedangkan lo munafik, Kak." Tak ingin mengurangi rasa hormatnya, Daniel menambahkan kata sapaan 'Kakak' pada sosok yang sosok yang lebih tua.

Lucas yang sopan, Lucas yang baik, Lucas yang ramah itulah yang dilihat oleh semua orang. Tapi di mata Daniel, laki-laki ini tak lebih dari seorang bajingan bermuka dua yang rela merendah untuk meroket. Daniel tahu itu, kepribdian Lucas bahkan lebih buruk dari kelima sepupunya yang lain.

Tak ingin berlama-lama dengan sosok yang tak disukainya, Daniel memutuskan untuk bangkit dan mengambil langkah menjauh. Namun sebelum itu terjadi, sebuah tangan menggenggam lengannya erat.

Lucas berdiri kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Daniel. "Oke, gue nggak akan munafik di depan lo. Dan karena gue nggak mau munafik, makanya gue mau jujur. Lo pengin tahu apa yang ada di pikiran gue?"

Bergeming, tubuh Daniel luruh ke atas rerumputan taman usai Lucas membisikkan kalimat terakhir ke telinga anak itu. Sementara Lucas sudah berlalu meninggalkan area taman dengan senyum manis yang setia terpatri di bibirnya.

"Gue bener-bener menunggu saat di mana sampah kayak lo mati."

Kalimat itu terus terngiang di telinga Daniel usai kepergian Lucas. Alasan terbesar mengapa ia tak mau bertemu dengan anggota keluarga Immanuel adalah ia tak ingin bertemu dengan Lucas, seseorang berwajah malaikat dengan iblis di dalam hatinya.

🍁🍁🍁


Mulai sekarang insyaallah bakal up setiap Kamis sama Minggu, ya.

Jadi, jangan lupa vote, komen dan follow IM_Vha yaaa

Untuk baca lebih cepat, bisa ke KaryaKarsa yang link nya ada di bio😗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top