O3.
Sepasang netra menatap kosong langit-langit kamar. Cahaya rembulan menerangi ruangan gelap gulita dari jendela yang terbuka lebar. Angin malam tetiba berhembus kencang, membuat gadis tersebut harus mengeratkan selimut putih yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.
Tok, tok. Bunyi ketukan pintu mengusik ketenangannya. Kepala dengan surai hitam legam menyembul, menoleh ke arah pintu kayu yang terdapat di ujung ruangan. Sebelah alis tertekuk heran.
"Masuk."
Suara serak nan pelan nyatanya terdengar oleh sosok di seberang sana dan membuatnya membuka pintu atas seizinnya. Di ambang pintu tampak sesosok jangkung yang perlahan kelihatan wajahnya saat cahaya bulan kembali menyinari ruangan.
"Tooru?"
Sosok itu tersenyum tipis, namun ( name ) dapat melihat betapa lelahnya ia pada binar netranya yang suram. Tak biasa ia menemukan Tooru yang memandangnya seperti itu.
Tooru berjalan mendekati ranjang dan duduk di pinggir dengan posisi menyamping. Sebelah tangannya terjulur untuk mengusap surai yang terasa halus di permukaan telapak tangan lebarnya. Ingin menepis karena malu, namun diurungkannya karena saat ini ia ingin membiarkan lelaki itu berbuat sesuai keinginannya. Toh, bisa saja malam ini akan jadi malam terakhirnya, bukan?
"Ada apa?"
( name ) mendesis kecil kala menyadari pertanyaannya yang membuat senyum pada wajah Tooru memudar, tergantikan oleh ekspresi tertekuk tampak berpikir. Tak seharusnya ia berinisiatif untuk mengatakannya, karena ia yakin apa yang akan diperbincangkan Tooru menjurus kepada masalah yang selama ini diderita mereka.
Belah bibir lelaki itu sempat terbuka, sebelum ia kembali mengatupkannya. Ia tersenyum. "Tidak apa-apa."
( name ) tersenyum kecut. Kalimat tersebut bermakna jutaan. Ia benci di saat Tooru tidak ingin menceritakan keluh kesahnya pada dirinya. Yang selama ini ia tahu, Tooru adalah sosok ceria yang selalu menjadi penyemangatnya. Sosok yang selalu ada untuk menemaninya dan mengusap air matanya. Sosok yang setia mendorongnya dan menepuk pundaknya di saat ia tengah depresi.
Sosok yang setiap malam selalu mengecup bibirnya dan membisikkan kata cinta padanya sebelum dirinya jatuh ke dalam dunia mimpi.
Tapi apa yang pernah diperbuatnya? Tidak ada. Nihil. Tak pernah ia melakukan sesuatu yang bermakna untuk Tooru. Bisa dibilang, ia hanya parasit bagi lelaki itu.
Ah.
Suara-suara itu kembali mengganggunya.
.
.
.
.
.
"Kau tidak berguna."
"Kau hanya bisa menangis dan berlindung, dasar pecundang!"
"Tidak ada orang di dunia ini yang menginginkanmu."
"Dasar jelek! Pencari perhatian!"
"Kau berani sekali melukai lenganmu dengan gunting."
"Kenapa kau tidak mati saja?"
.
.
.
.
.
Mati?
Ia melirik ke samping. Tersadar bahwa kamarnya berada di lantai yang cukup tinggi. Kenapa tidak menjatuhkan diri saja? Dengan begitu semua masalah akan menghilang dengan cepat. Baik masalah yang dihadapinya maupun orang-orang di sekitarnya.
Terutama lelaki yang kini meneteskan air mata di sebelahnya.
"..Tooru? Kau menangis?"
Tiba-tiba, dirinya ditarik paksa oleh Tooru yang memeluknya erat, seakan dunia akan berakhir jika ia melepaskannya. Kedua netra ( name ) terbelalak. Tooru menyembunyikan wajah sembapnya pada ceruk leher ( name ), menghirup dalam aroma yang menguar dari gadis belia itu.
"Tooru, kau kena—"
"Jangan mati."
Eh?
"Apa maksudmu?"
Tooru melepaskan pelukannya dan memegang erat kedua pundaknya seraya menatapnya tajam. Kedua pipi putihnya basah oleh air mata, membuat ( name ) tak kuasa untuk mengeringkannya dengan ibu jarinya. Ditepuknya punggung kokoh Tooru dengan sebelah tangan.
"Tooru, katakan padaku. Aku tidak akan mengerti jika kau tidak berce—"
"Apapun yang terjadi, jangan pergi."
"E-eh?" Netranya mengerjap bingung.
Tooru mendesah. "Operasi."
Ah, ia ingat. Tak lama lagi, ia akan melaksanakan operasinya. Tanpa sadar, bibirnya melengkung membentuk senyuman. Kepalanya tertunduk. Ternyata waktu berjalan begitu cepat, ya?
Tetap hidup, atau mati. Berjuang, atau pasrah.
Semua itu akan ditentukan saat operasi nanti. Bagaimana ia melawan segala sakit penyakitnya. Bagaimana ia menghadapi meja operasi beserta prosesnya yang menyakitkan. Setelah penantian yang cukup panjang pada akhirnya ia harus tetap melakukannya.
Ditengoknya lelaki yang masih setia menunggunya bicara. ( name ) terkekeh pelan, membuat Tooru terheran. Ditariknya pelan kedua tangan lelaki itu dan digenggamnya dengan tangan mungilnya.
"Aku, tidak akan menyerah."
Ia tahu, masih ada orang yang menginginkannya hidup dan berjuang demi dirinya di dunia penuh kepalsuan ini.
※
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top