Chapter 1
Ini kali pertama bagi Keynan Jason Junior menghirup kembali udara Jakarta setelah hampir 20 tahun meninggalkan Indonesia untuk menetap di Negeri Kanguru. Ada banyak hal yang membuat pria berambut coklat tembaga dengan manic mata coklat madu itu enggan untuk pulang ke jakarta. Tapi demi permintaan Ibunya yang bernada 'harus', untuk menemani saat acara pembukaan cabang toko bunga berlangsung, Junior rela menyusul pulang ke Indonesia. Meski Junior tahu, pasti akan terjadi hal yang tidak dia inginkan.
Junior menarik napas panjang, meyakinkan dirinya untuk turun dari taksi yang berhenti di sebuah rumah besar di Kawasan Pakubuwono. Ibunya pasti akan terkejut dengan kedatangannya tanpa kabar terlebih dahulu. Namun jauh di dalam hatinya dia berharap semoga nanti dia tidak dikejutkan dengan apa yang menjadi alasannya enggan pulang.
Sesaat matanya menatap bangunan bergaya amerika dengan pagar putih tinggi itu. Kemudian melangkah mantap, mengesampingkan apa yang menjadi ketakutannya. Tangannya menekan bel pintu, berharap benar Ibunya yang membukakan pintu.
"Junior?! Ya Tuhan, kamu beneran mau menyusul pulang? Kenapa nggak ngabarin Mami dulu? Mami bisa jemput kamu di Bandara," pekik ibunya terkejut sekaligus senang ketika membuka pintu, mendapati sosok Junior berdiri di sana.
Junior meringis tipis, merentangkan tangannya untuk memeluk ibunya yang sudah seminggu lebih dulu pulang ke Jakarta. Dia merindukan wanita yang begitu sempurna di matanya ini. Senyum tipis tercipta singkat ketika wanita itu mengecup pipinya.
"Surprise. Everything for you, Mam," ucap Junior singkat namun mampu membuat hati orangtuanya menghangat. Junior memang paling irit bicara ketimbang kedua adiknya, Levine dan Kyle.
"Terima kasih. Ayo, masuk. Sini tasmu biar Mami bawa. Oya, di dalam ada Tante Dila lho sama anaknya, si Raline. Let's go, kita salaman dulu," ujar Anna mendorong punggung lebar itu untuk masuk tanpa mengingat apa yang Junior takutkan, sambil menyangkutkan tas ransel hitam di satu bahunya. Sementara Junior menegang seketika.
Ini adalah salah satu alasan mengapa Junior enggan untuk pulang. Hari pertama dia malah bertemu dengan salah satu masalah itu. Bertemu dengan Raline. Gadis cantik dengan rambut panjang terurai itu masuk dalam urutan nomor dua dari daftar alasan dia enggan pulang. Karena Raline selalu mengejarnya sekalipun Junior menolaknya berkali-kali. Baik lewat Video Call, telepon, email, messenger bahkan kedatangan Raline dua tahun lalu saat liburan akhir tahun.
"No. Mami," Junior menahan kakinya untuk melangkah.
"Say Hi, dong. Kan lama nggak ketemu. Tante Dila penasaran pengen ketemu kamu. Soalnya Mami cerita kalau gantengnya Channing Tatum idolanya, kalah jauh sama kamu," ujar wanita dengan rambut kuncir ekor kuda itu terkikik, menciptakan garis lurus di bibir Junior karena menahan geram. Terkadang Ibunya iseng membuat heboh temannya, Tante Dila, yang membantu mengurus toko bunga itu.
"Enggak," Junior bersikeras menolaknya.
"Kenapa sih? Malu?" tanya Ibunya menggodanya dengan kerlingan matanya.
"Bukan. Tapi,"
"Sebentar aja," paksa ibunya. Kali ini sambil menarik lengan Junior menuju ke ruang tengah di mana mereka tadi sedang bercengkerama sambil membicarakan mengenai persiapan acara pembukaan cabang toko bunganya.
"Mami!" geram Junior tertahan kemudian terdiam pasrah ketika dua wanita sedang duduk di kursi kayu minimalis itu menoleh ke arahnya.
Untuk sesaat Junior menahan napas, menatap ke arah lain. Matanya terpejam, sementara otaknya bicara bahwa dalam hitungan ketiga pasti akan terjadi kegaduhan. Entah kenapa kali ini ibunya tidak bisa membaca situasi bahkan melupakan mengenai perasaan dari putri temannya terhadap Junior.
"Lihat siapa yang datang?" kata wanita itu bersemangat, meminta Dila dan anak gadisnya untuk menebaknya.
Dua wanita beda generasi itu menajamkan penglihatannya, sesaat terdiam mencoba menerka. Sang ibu segera beranjak perlahan mendekat diikuti anak gadisnya. Menatap Junior dengan begitu penasaran serta penuh tanya.
"Ja.. Son Junior?" tebak anak gadis itu pelan bernada ragu sambil mencoba mencocokkan dengan apa yang sering dia lihat di media sosial atau saat dia men-video call lelaki di hadapannya. Seseorang di dalam dirinya membuka mulutnya lebar, berdecak kagum. Jason Junior begitu sempurna, nyata di matanya.
Anna mengangguk di antara senyumannya membenarkan jawaban gadis itu. Untuk sekilas Junior menoleh, menatap ibu dan anak itu. Tatapan tidak percaya dia dapatkan sebelum berubah menjadi kegaduhan seperti yang dia prediksi sebelumnya.
"Junior? Anna, kamu serius ini Junior?!" desis wanita dengan rambut tersanggul rapi menatap Junior. Tangannya kini menyentuh Junior untuk memastikan apa yang dilihat. Sementara anak gadisnya menatap Junior dengan senyum samar tergambar di bibirnya.
"Iya. Dia emang selalu bikin kejutan. Aku pikir dia benar-benar nggak mau nyusul pulang," jawab Anna sambil mengusap-usap punggung Junior tanpa bisa menyembunyikan rasa senangnya.
"Wah, udah gede, ya. Terakhir aku lihat dia masih sekolah, sepuluh tahun lalu. Pas libur akhir tahun. Dua tahun lalu sayangnya aku nggak bisa ikut Raline ke sana. Nggak beda sama Papinya. Junior, masih ingat Tante kan? Ann, dia bisa bahasa Indonesia kan?" tutur Dila kemudian menoleh pada Anna bertanya memastikan.
"Bisa. Aku sama Papinya biasain anak-anak pakai bahasa Indonesia kalau di rumah. Biar pas ngobrol sama saudaranya bisa ngerti."
Ada decak kagum dari wanita bernama Dila itu. Tangannya menepuk-nepuk bahu Junior. Kemudian menatap anak gadisnya sebelum kembali menatap Junior.
"Duh, beneran lebih ganteng dari si Channing Tatum. Senang ya akhirnya kalian bisa ketemu? Kamu tahu nggak, Ann. Raline sering cerita sama aku kalau mereka sering komunikasi. Akhirnya nggak cuma lewat HP aja ya, sekarang ketemu orangnya. Kamu harus sering-sering pulang ajak Junior biar nggak cuma ibunya aja yang saling kenal," ujar wanita itu kali ini sambil merengkuh anak gadisnya.
"Oya? Junior nggak pernah bilang. Tapi," Anna mendadak bungkam, menatap Junior ketika menyadari ada sesuatu yang terlewat.
Benar saja, Junior hanya diam dengan wajah dinginnya. Seperti tidak mendengar kehebohan di hadapannya. Itu tandanya, Junior sedang menahan rasa tidak sukanya dari sesuatu hal. Kali ini tentang Raline dan perasaan gadis itu.
Dengan cepat, Anna berusaha mengembalikan keadaan, tersenyum lebar pada ibu dan anak itu.
"Nanti kita sambung lagi obrolan ini kalau Junior udah istirahat. Aku antar dia ke kamar dulu. Kasihan, pasti capek," lanjut Anna, menghadirkan sedikit kelegaan bagi Junior. Apalagi saat melangkah semakin dekat dengan kamarnya. Pintu itu harus selalu tertutup. Junior sama sekali tidak menginginkan masalah kedua itu ada. Raline dan perasaannya.
"Maaf, Mami lupa," ucap Anna pelan ketika Junior menutup rapat pintu kamar itu.
Junior hanya menghela napas, meletakkan koper kecilnya di depan lemari putih itu lalu menghampiri ibunya yang meliriknya dengan senyum sesal. Sesaat Junior menanam tatapannya pada Anna kemudian menggeleng singkat.
"Ini kenapa aku nggak suka Mami ajak ke sini. Mami kalau sudah ketemu teman Mami itu suka lupa kalau anaknya...,"
"Oke, Mami minta maaf. I'm so sorry. Janji, nggak akan lupa lagi," potong Anna dengan senyum meyakinkan.
Junior tidak menyahut. Dia tahu, ini bukan salah ibunya. Ibunya tidak perlu tahu alasan apa saja yang membuatnya enggan pulang karena sudah terlalu banyak yang ibunya korbankan untuknya sedangkan dia belum bisa membalas sedikitpun.
"Junior."
"Aku mau istirahat. Nggak enak sama teman Mami."
"Tapi nggak marah kan?"
Junior menggelengkan kepala, memberikan senyum singkatnya lalu menghempaskan tubuh lelahnya di tempat tidur dengan seprei abu-abu gelap. Warna favoritnya. Menggambarkan jiwanya yang sedikit gelap tak ingin tersentuh. Junior tersenyum kecil menatap ke sekeliling kamarnya sepeninggal ibunya. Dalam hati memuji kepedulian ibunya hingga pada hal-hal kecil.
***
"Nak...,"
"Ini Mama, Sayang. Nak..."
Junior tergagap. Suara itu kembali hadir menyentuh pendengarannya. Selalu, napasnya tersengal-sengal dan kepalanya berdenyut. Terlihat jelas sepasang tangan dengan kutek merah menyala berusaha meraih tubuhnya. Dia terbangun dari lelap sesaatnya.
Tangannya mengusap wajah pelan, duduk terbangun dari tidurannya dengan kaki masih mengenakan sepatu, menjuntai ke lantai. Dia menatap pada jam dinding. Menghela napas singkat ketika menyadari dia tertidur selama hampir setengah jam.
Sudah cukup lama dia tidak memimpikan hal buruk itu. Tapi kali ini rasanya jauh lebih nyata. Junior beranjak, menuju ke rak sepatu untuk melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal. Kemudian dia memutuskan untuk mengambil tas ranselnya. Berusaha melupakan mimpi buruk yang baru saja dia alami dengan laptop kesayangannya. Mengerjakan beberapa foto yang harus dia edit sebelum dikirimkan untuk ikut kontes street photographer di akun Instagram Aussie Street Photography.
"Junior?" suara Anna memanggilnya setelah ketukan pintu terdengar.
"Ya?"
"Buka pintunya," perintah wanita itu membuat Junior terpaksa beranjak, membuka selot pintu kamar.
"Minum sama cemilan buat kamu sambil istirahat," ujar Anna melenggang masuk bersama nampan di tangannya. Langkahnya terhenti sesaat ketika matanya menangkap sebuah laptop yang masih menyala di tempat tidur.
"Jangan bilang kamu bawa kamera juga. Iya?" tanya Anna menyelidik.
"What's wrong?" sahut Junior menutup kembali pintu kamarnya lalu kembali duduk di tempat tidur.
Anna menggelengkan kepalanya, ikut duduk di samping Junior. Memperhatikan apa yang Junior sedang lakukan.
"Kamu ini, Mami selalu bilang kan jangan terlalu sibuk dengan kamera kamu. Kamera kamu bawa kemana-mana sampai lupa cari pacar."
"Easy, Mam," jawab Junior singkat kembali fokus pada sebuah foto gadis kecil berambut pirang dengan es krim setengah meleleh di tangannya. Tertawa lepas di pinggir trotoar. Dia mengambilnya saat berjalan-jalan di pusat perbelanjaan Sidney. Tangannya mulai menggerakkan mouse wireless untuk mengedit foto itu di Adobe Lightroom. Sebuah aplikasi edit foto yang cocok bagi Street Photographer seperti dirinya.
"Anaknya lucu banget. Ini kamu buat kontes lagi?" tanya Anna mulai teralih perhatiannya karena foto gadis kecil yang sedang tertawa lebar memperlihatkan gigi susunya yang keropos.
"Yapp," sahut Junior singkat. Tanpa sadar kini bibirnya tersenyum sendiri mencermati foto menggemaskan itu. Gadis yang sangat beruntung bisa tertawa lepas. Bahkan fotonya saja mampu membuat orang ikut tersenyum melihatnya.
"Jadi ingat kamu waktu kecil," kekeh Anna sambil mengusap bahu Junior. Sesaat tatapannya terhenti ketika menyadari ada yang Junior lupakan, "Kebiasaan ya kamu lupa pakai kacamata. Pakai dulu, terlalu sering kena radiasi laptop nggak bagus buat kesehatan mata."
Junior tertawa lirih melupakan sekilas kenangan masa kecilnya, segera beranjak mengambil kaca mata bingkai hitam yang dia selipkan di tas ranselnya. Namun tangannya urung untuk mengambil ketika pintu kamarnya ada yang mengetuk. Secara alami Junior meningkatkan kewaspadaannya. Matanya langsung menatap Ibunya.
"Tante Dila, mungkin. Coba kamu buka. Mami mau lihat-lihat foto kamu boleh ya?"
"Enggak. Jangan sentuh itu nanti aja kalau sudah jadi," larang Junior cepat. Terakhir dua bulan lalu, ibunya diam-diam membuka laptopnya yang masih menampilkan draft kerja dan hasilnya tidak perlu dipertanyakan. Foto yang baru setengah dia edit itu hilang, membuatnya harus mengulang dari awal lagi pengeditannya.
"Oke, oke. Mami cuma lihat nggak apa-apain. Tapi tolong bukain pintu," ujar Anna mengalah.
Junior mengatupkan rahangnya, mengacak rambutnya sekilas. Dengan sedikit geram akhirnya dia menghampiri pintu dan membukanya.
"Hai, Junior. Tante Anna ada? Bunda nanyain mau jadi pakai baju yang mana buat acara besok malam," ucap gadis itu sedikit grogi. Tidak menyangka jika Junior yang akan membukakan pintu.
Sementara Junior terdiam kaku, menahan diri untuk tidak langsung menutup pintu. Kesan pertama, cukup berbeda. Sebelum bertatap muka, Raline begitu agresif mendekatinya lewat media sosial dan telepon. Tapi tidak tahu nanti. Junior hanya merasa ini baru awal.
"Dila? Masuk, La. Aku lagi lihat hasil potretnya Junior yang mau buat kontes," seru Anna lalu tidak lama terdengar langkah kaki mendekat, "Oh? Kamu, Line? Tante pikir bunda kamu. Ada apa?"
"Nggak. Itu bunda nanyain Tante jadinya setuju pakai baju yang mana buat acara besok."
"Oh, iya. Tante ke sana deh." Anna bergegas meninggalkan Junior dengan Raline begitu saja.
Tidak ada suara sepeninggal Anna selain tatapan datar dari Junior pada Raline yang enggan beranjak meninggalkannya. Mata bening itu menatap kagum pada Junior. Tatapan yang begitu intens lengkap dengan senyum samar di bibir merah mudanya.
"Apa lagi?" tanya Junior akhirnya merasa sudah tidak tahan.
"Enggak. Cuma mau bilang, senang akhirnya bisa ketemu kamu. Nggak nyangka sama sekali."
"It's okay," sahut Junior singkat kemudian bersiap menutup pintu kamarnya.
"Tunggu sebentar," katanya menahan, membuat Junior menaikkan alisnya sebelah.
"Gimana kalau kita mulai dengan berteman? Aku lihat kamu kaku gitu. Anggap aja kita teman lama yang nggak pernah ketemu dan sekarang kita ketemu?"
Raline mengulurkan tangannya sambil menyebutkan namanya. Hal yang sama dia lakukan seperti saat usia empat tahun dan Junior saat itu berusia delapan tahun. Pertama kalinya Raline berkenalan dengan Junior, langsung suka sampai sekarang. Ini sungguh konyol bagi Junior, untuk apa? Junior menggelengkan kepalanya, bergidik singkat lalu menutup pintu kamarnya tanpa sepatah kata.
"Hm, sikapmu malah bikin aku jadi tambah suka. Karena kamu berbeda, Junior," gumam Raline dalam hati, menyunggingkan senyumnya menatap pintu yang tertutup rapat itu.
Junior di mata Raline adalah pria paling sempurna seperti yang ada di drama Korea yang selalu dia tonton itu. Dingin, gantengnya maksimal dan menantang. Adalah sebuah tantangan tersendiri untuk mendapatkan hati seorang Keynan Jason Junior.
Jemari lentiknya segera mengetik sederet pesan di ponselnya tanpa menyurutkan senyumannya.
Selamat datang kembali di Jakarta.
Sebaris pesan itu membuat Junior memejamkan matanya menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Moodnya untuk mengedit foto hilang total seketika. Padahal Junior berencana untuk menyelesaikan hari ini meski tenggat pengiriman foto paling lambat masih tiga hari lagi. Ini baru hari pertama dia di Jakarta. Entah bagaimana nanti untuk hari ke depan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top