#5: Smother

"There is neither six nor thirteen wolves in the train. In fact, there is none of them."

Ruangan gelap itu hanya mendapat penerangan dari sebuah tabung kaca, yang di depannya duduk seorang pria memakai baju tanpa lengan. Pada tabung kaca itu ditampilkan sebuah berita.

"Pemirsa, kasus penculikan anak akhir-akhir ini sering terjadi. Di K̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̈́҉̶̷̶̶̷̶̾҉̶̷̶̶̷̶̆҉̶̷̶̶̷̶ͦ҉̶̷̶̶̷̶̽҉̶̷̶̶̷̶ͣ҉̶̷̶̶̷̶͛҉̶̷̶̶̷̶͋҉̶̷̶̶̷̶̆҉̶̷̶̶̷̶͌҉̶̷̶̶̷̶̿҉̶̷̶̶̷̶̀҉̶̷̶̶̷̶͓҉̶̷̶̶̷̶͍҉̶̷̶̶̷̶̺҉̶̷̶̶̷̶͍҉̶̷̶̶̷̶̣҉̶̷̶̶̷̶̦҉̶̷̶̶̷̶̦҉̶̷̶̶̷̶̠҉̶̷̶̶̷̶̩҉̶̷̶̶̷̶̜҉̶̷̶u̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̿҉̶̷̶̶̷̶ͦ҉̶̷̶̶̷̶̃҉̶̷̶̶̷̶̊҉̶̷̶̶̷̶̨҉̶̷̶̶̷̶̧҉̶̷̶̶̷̶̛҉̶̷̶̶̷̶̨҉̶̷̶̶̷̶̞҉̶̷̶̶̷̶̗҉̶̷̶̶̷̶̺҉̶̷̶̶̷̶̙҉̶̷̶̶̷̶̠҉̶̷̶̶̷̶͖҉̶̷̶̶̷̶̬҉̶̷̶̶̷̶̫҉̶̷̶̶̷̶̹҉̶̷̶̶̷̶̳҉̶̷̶d̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶ͮ҉̶̷̶̶̷̶́҉̶̷̶̶̷̶̔҉̶̷̶̶̷̶̆҉̶̷̶̶̷̶ͤ҉̶̷̶̶̷̶̓҉̶̷̶̶̷̶ͭ҉̶̷̶̶̷̶ͦ҉̶̷̶̶̷̶ͣ҉̶̷̶̶̷̶ͩ҉̶̷̶̶̷̶͐҉̶̷̶̶̷̶̃҉̶̷̶̶̷̶̌҉̶̷̶̶̷̶ͯ҉̶̷̶҉̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶͡҉̶̷̶̶̷̶̡҉̶̷̶̶̷̶͟҉̶̷̶̶̷̶̠҉̶̷̶̶̷̶̠҉̶̷̶̶̷̶̙҉̶̷̶̶̷̶̘҉̶̷̶̶̷̶̻҉̶̷̶̶̷̶ͅ҉̶̷̶̶̷̶̺҉̶̷̶̶̷̶̥҉̶̷̶̶̷̶̻҉̶̷̶̶̷̶̮҉̶̷̶̶̷̶̖҉̶̷̶̶̷̶͙҉̶̷̶̶̷̶̣҉̶̷̶̶̷̶͚҉̶̷̶̶̷̶͚҉̶̷̶u̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶͋҉̶̷̶̶̷̶̎҉̶̷̶̶̷̶̚҉̶̷̶̶̷̶̌҉̶̷̶̶̷̶ͦ҉̶̷̶̶̷̶̓҉̶̷̶̶̷̶ͮ҉̶̷̶̶̷̶ͤ҉̶̷̶̶̷̶̊҉̶̷̶̶̷̶͂҉̶̷̶̶̷̶̚҉̶̷̶̶̷̶ͦ҉̶̷̶̶̷̶̇҉̶̷̶̶̷̶̓҉̶̷̶̶̷̶̐҉̶̷̶̶̷̶̉҉̶̷̶̶̷̶̀҉̶̷̶̶̷̶̛҉̶̷̶̶̷̶̝҉̶̷̶̶̷̶̹҉̶̷̶̶̷̶͇҉̶̷̶̶̷̶̙҉̶̷̶̶̷̶̬҉̶̷̶̶̷̶͔҉̶̷̶̶̷̶̗҉̶̷̶̶̷̶̙҉̶̷̶̶̷̶̜҉̶̷̶̶̷̶̞҉̶̷̶s̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̊҉̶̷̶̶̷̶ͥ҉̶̷̶̶̷̶̇҉̶̷̶̶̷̶ͧ҉̶̷̶̶̷̶̔҉̶̷̶̶̷̶ͧ҉̶̷̶̶̷̶̇҉̶̷̶̶̷̶ͧ҉̶̷̶̶̷̶͑҉̶̷̶̶̷̶ͥ҉̶̷̶̶̷̶̓҉̶̷̶҉̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶͞҉̶̷̶̶̷̶̘҉̶̷̶̶̷̶͕҉̶̷̶̶̷̶͙҉̶̷̶̶̷̶͖҉̶̷̶̶̷̶̖҉̶̷̶̶̷̶͙҉̶̷̶̶̷̶̙҉̶̷̶̶̷̶͍҉̶̷̶̶̷̶̥҉̶̷̶̶̷̶̣҉̶̷̶̶̷̶̺҉̶̷̶̶̷̶̞҉̶̷̶̶̷̶͍҉̶̷̶̶̷̶͎҉̶̷̶̶̷̶̲҉̶̷̶,̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶ͮ҉̶̷̶̶̷̶ͤ҉̶̷̶̶̷̶͋҉̶̷̶̶̷̶ͬ҉̶̷̶̶̷̶̀҉̶̷̶͏̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̯҉̶̷̶̶̷̶͕҉̶̷̶̶̷̶̱҉̶̷̶̶̷̶̟҉̶̷̶̶̷̶̻҉̶̷̶̶̷̶̼҉̶̷̶̶̷̶͔҉̶̷̶̶̷̶̦҉̶̷̶̶̷̶͈҉̶̷̶̶̷̶̪҉̶̷̶̶̷̶͍҉̶̷̶̶̷̶̟҉̶̷̶̶̷̶̗҉̶̷̶̶̷̶͙҉̶̷̶̶̷̶͔҉̶̷̶̶̷̶̗҉̶̷̶ ̶̷̶͋҉̶̷̶̶̷̶͂҉̶̷̶̶̷̶̇҉̶̷̶̶̷̶ͧ҉̶̷̶̶̷̶̇҉̶̷̶̶̷̶͜҉̶̷̶̷̶̷̶҉̶̷̶̷̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̯҉̶̷̶̶̷̶̳҉̶̷̶̶̷̶̻҉̶̷̶̶̷̶͓҉̶̷̶̶̷̶̱҉̶̷̶̶̷̶͔҉̶̷̶̶̷̶̜҉̶̷̶̶̷̶̺҉̶̷̶̶̷̶̮҉̶̷̶̶̷̶̠҉̶̷̶̶̷̶̹҉̶̷̶̶̷̶̭҉̶̷̶̶̷̶̜҉̶̷̶̶̷̶̪҉̶̷̶J̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶ͫ҉̶̷̶̶̷̶͆҉̶̷̶̶̷̶̀҉̶̷̶̶̷̶̒҉̶̷̶̶̷̶ͧ҉̶̷̶̶̷̶̏҉̶̷̶̶̷̶̊҉̶̷̶̶̷̶͋҉̶̷̶̶̷̶̅҉̶̷̶̶̷̶ͩ҉̶̷̶̶̷̶ͤ҉̶̷̶̶̷̶̔҉̶̷̶̶̷̶̽҉̶̷̶̶̷̶̋҉̶̷̶̶̷̶̾҉̶̷̶͏̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̡҉̶̷̶̷̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶͔҉̶̷̶̶̷̶̦҉̶̷̶̶̷̶̰҉̶̷̶̶̷̶̯҉̶̷̶̶̷̶̗҉̶̷̶̶̷̶̭҉̶̷̶̶̷̶͖҉̶̷̶̶̷̶̩҉̶̷̶̶̷̶̯҉̶̷̶a̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶͊҉̶̷̶̶̷̶̉҉̶̷̶̶̷̶͗҉̶̷̶̶̷̶̒҉̶̷̶̶̷̶̈́҉̶̷̶̶̷̶̇҉̶̷̶̶̷̶ͮ҉̶̷̶̶̷̶̋҉̶̷̶̶̷̶͜҉̶̷̶̶̷̶͠҉̶̷̶̸̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶͟҉̶̷̶̶̷̶̺҉̶̷̶̶̷̶̦҉̶̷̶̶̷̶̹҉̶̷̶̶̷̶͕҉̶̷̶̶̷̶̟҉̶̷̶̶̷̶̞҉̶̷̶̶̷̶͕҉̶̷̶̶̷̶̣҉̶̷̶̶̷̶̱҉̶̷̶̶̷̶̱҉̶̷̶̶̷̶͙҉̶̷̶̶̷̶̥҉̶̷̶̶̷̶̜҉̶̷̶̶̷̶̱҉̶̷̶̶̷̶̤҉̶̷̶̶̷̶͇҉̶̷̶̶̷̶̝҉̶̷̶̶̷̶ͅ҉̶̷̶w̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶́҉̶̷̶̶̷̶̌҉̶̷̶̶̷̶̈҉̶̷̶̶̷̶͑҉̶̷̶̶̷̶̋҉̶̷̶̶̷̶̚҉̶̷̶̶̷̶ͪ҉̶̷̶̶̷̶ͬ҉̶̷̶͏̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶͞҉̶̷̶͏̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶͓҉̶̷̶̶̷̶͉҉̶̷̶̶̷̶͔҉̶̷̶̶̷̶̠҉̶̷̶̶̷̶̙҉̶̷̶̶̷̶͕҉̶̷̶̶̷̶̩҉̶̷̶̶̷̶̬҉̶̷̶̶̷̶̭҉̶̷̶̶̷̶͇҉̶̷̶̶̷̶͉҉̶̷̶̶̷̶͇҉̶̷̶̶̷̶͇҉̶̷̶a̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̈҉̶̷̶̶̷̶ͤ҉̶̷̶̶̷̶̿҉̶̷̶̶̷̶͗҉̶̷̶̶̷̶ͯ҉̶̷̶̶̷̶̐҉̶̷̶̶̷̶͛҉̶̷̶̶̷̶ͯ҉̶̷̶̶̷̶ͦ҉̶̷̶̶̷̶͑҉̶̷̶̴̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̪҉̶̷̶̶̷̶̞҉̶̷̶̶̷̶̫҉̶̷̶̶̷̶̥҉̶̷̶̶̷̶͖҉̶̷̶̶̷̶̣҉̶̷̶̶̷̶͓҉̶̷̶̶̷̶̱҉̶̷̶̶̷̶͔҉̶̷̶̶̷̶͙҉̶̷̶̶̷̶̜҉̶̷̶̶̷̶͓҉̶̷̶̶̷̶ͅ҉̶̷̶ ̶̷̶̄҉̶̷̶̶̷̶̏҉̶̷̶̶̷̶̅҉̶̷̶̶̷̶͂҉̶̷̶̶̷̶ͣ҉̶̷̶̶̷̶̊҉̶̷̶̶̷̶̾҉̶̷̶̶̷̶͛҉̶̷̶̶̷̶͝҉̶̷̶̶̷̶̧҉̶̷̶̶̷̶̞҉̶̷̶̶̷̶͍҉̶̷̶̶̷̶͇҉̶̷̶̶̷̶͖҉̶̷̶̶̷̶͖҉̶̷̶̶̷̶̝҉̶̷̶̶̷̶͔҉̶̷̶̶̷̶̪҉̶̷̶T̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̊҉̶̷̶̶̷̶̒҉̶̷̶̶̷̶̏҉̶̷̶̶̷̶͊҉̶̷̶̶̷̶ͥ҉̶̷̶̶̷̶ͩ҉̶̷̶̶̷̶̒҉̶̷̶̶̷̶̅҉̶̷̶̶̷̶̋҉̶̷̶̶̷̶ͭ҉̶̷̶̶̷̶̊҉̶̷̶̶̷̶͗҉̶̷̶̶̷̶ͭ҉̶̷̶̶̷̶͊҉̶̷̶̶̷̶ͩ҉̶̷̶̶̷̶̧҉̶̷̶̶̷̶͘҉̶̷̶̶̷̶͠҉̶̷̶̶̷̶̳҉̶̷̶̶̷̶̘҉̶̷̶̶̷̶̪҉̶̷̶̶̷̶̣҉̶̷̶̶̷̶͎҉̶̷̶̶̷̶̣҉̶̷̶̶̷̶͚҉̶̷̶̶̷̶̞҉̶̷̶̶̷̶͍҉̶̷̶̶̷̶͙҉̶̷̶̶̷̶̠҉̶̷̶̶̷̶̗҉̶̷̶̶̷̶̭҉̶̷̶̶̷̶̮҉̶̷̶e̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̅҉̶̷̶̶̷̶̅҉̶̷̶̶̷̶̊҉̶̷̶̶̷̶͗҉̶̷̶̶̷̶ͭ҉̶̷̶̶̷̶̾҉̶̷̶̶̷̶͛҉̶̷̶̶̷̶͡҉̶̷̶͏̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̡҉̶̷̶̶̷̶ͅ҉̶̷̶̶̷̶̙҉̶̷̶̶̷̶̲҉̶̷̶̶̷̶͓҉̶̷̶̶̷̶̥҉̶̷̶̶̷̶̖҉̶̷̶̶̷̶̹҉̶̷̶̶̷̶̭҉̶̷̶̶̷̶̰҉̶̷̶̶̷̶͚҉̶̷̶̶̷̶̲҉̶̷̶̶̷̶̬҉̶̷̶̶̷̶̺҉̶̷̶̶̷̶ͅ҉̶̷̶̶̷̶̱҉̶̷̶̶̷̶̜҉̶̷̶n̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶ͩ҉̶̷̶̶̷̶ͧ҉̶̷̶̶̷̶̆҉̶̷̶̶̷̶ͬ҉̶̷̶̶̷̶ͤ҉̶̷̶̶̷̶̋҉̶̷̶̶̷̶ͥ҉̶̷̶̶̷̶̀҉̶̷̶̶̷̶̐҉̶̷̶̶̷̶̉҉̶̷̶̶̷̶͗҉̶̷̶̶̷̶͆҉̶̷̶̶̷̶ͦ҉̶̷̶̶̷̶͂҉̶̷̶̵̶̷̶҉̶̷̶̴̶̷̶҉̶̷̶̴̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̢҉̶̷̶̶̷̶̪҉̶̷̶̶̷̶̳҉̶̷̶̶̷̶͔҉̶̷̶̶̷̶̻҉̶̷̶̶̷̶̹҉̶̷̶̶̷̶̠҉̶̷̶̶̷̶̩҉̶̷̶̶̷̶̯҉̶̷̶̶̷̶̤҉̶̷̶̶̷̶̰҉̶̷̶̶̷̶̻҉̶̷̶̶̷̶̝҉̶̷̶g̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̒҉̶̷̶̶̷̶͛҉̶̷̶̶̷̶̚҉̶̷̶̶̷̶ͩ҉̶̷̶̶̷̶̔҉̶̷̶̶̷̶̽҉̶̷̶̶̷̶̔҉̶̷̶̶̷̶̈҉̶̷̶̶̷̶̾҉̶̷̶̶̷̶͐҉̶̷̶̶̷̶̆҉̶̷̶̶̷̶̐҉̶̷̶҉̶̷̶҉̶̷̶̷̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̛҉̶̷̶̶̷̶̩҉̶̷̶̶̷̶̣҉̶̷̶̶̷̶̪҉̶̷̶̶̷̶̦҉̶̷̶̶̷̶̖҉̶̷̶̶̷̶͇҉̶̷̶̶̷̶̯҉̶̷̶̶̷̶̳҉̶̷̶̶̷̶̜҉̶̷̶̶̷̶̞҉̶̷̶̶̷̶ͅ҉̶̷̶̶̷̶ͅ҉̶̷̶̶̷̶̳҉̶̷̶̶̷̶̭҉̶̷̶̶̷̶͈҉̶̷̶̶̷̶͚҉̶̷̶a̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶́҉̶̷̶̶̷̶͆҉̶̷̶̶̷̶̈́҉̶̷̶̶̷̶̈́҉̶̷̶̶̷̶͐҉̶̷̶̶̷̶̿҉̶̷̶̶̷̶ͩ҉̶̷̶̶̷̶̍҉̶̷̶̶̷̶̛҉̶̷̶̸̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̡҉̶̷̶̶̷̶̮҉̶̷̶̶̷̶̣҉̶̷̶̶̷̶͚҉̶̷̶̶̷̶̫҉̶̷̶̶̷̶͓҉̶̷̶̶̷̶͔҉̶̷̶̶̷̶͈҉̶̷̶̶̷̶̱҉̶̷̶̶̷̶̱҉̶̷̶h̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶͆҉̶̷̶̶̷̶̚҉̶̷̶̶̷̶̇҉̶̷̶̶̷̶͋҉̶̷̶̶̷̶̉҉̶̷̶̶̷̶̏҉̶̷̶̶̷̶͐҉̶̷̶̶̷̶̀҉̶̷̶̶̷̶ͬ҉̶̷̶̶̷̶̔҉̶̷̶̶̷̶̇҉̶̷̶̶̷̶̐҉̶̷̶̶̷̶ͦ҉̶̷̶̶̷̶̋҉̶̷̶̶̷̶̔҉̶̷̶̶̷̶̚҉̶̷̶̶̷̶͐҉̶̷̶̸̶̷̶҉̶̷̶̶̷̶̯҉̶̷̶̶̷̶̪҉̶̷̶̶̷̶̲҉̶̷̶̶̷̶̟҉̶̷̶̶̷̶̪҉̶̷̶̶̷̶̞҉̶̷̶̶̷̶͔҉̶̷̶̶̷̶̥҉̶̷̶̶̷̶̣҉̶̷̶̶̷̶͚҉̶̷̶, enam anak diculik oleh orang asing. Pelaku penculikan meminta tebusan sebesar seratus juta rupiah. Jika uang tidak dikirim dalam waktu 24 jam, maka pelaku akan membunuh semua anak. Polisi masih mencari tempat pelaku menyembunyikan korbannya. Orang tua para korban bersikeras akan menuntut pelaku penculikan dengan hukuman yang berat. Pelaku kini masih dalam proses pelacakan polisi."

Pria itu menyeringai.

***

Gedung semen yang terbengkalai itu tersinari teriknya mentari. Di terasnya, duduk seorang pria di atas kursi plastik berwarna hijau. Ia memakai kacamata hitam, tengah merenung memandang ke kejauhan.

Sebuah bintik di cakrawala mengganggu kegiatannya. Motor itu datang tanpa mengusik kesunyian siang. Si pengendara kemudian berhenti dan memarkirkan kendaraannya. Ia melepas kacamata yang dikenakan. Pria itu memakai jaket kulit hitam yang membuatnya tampak keren dan gagah.

"Bro!" sapanya.

Pria yang duduk sedari tadi memandang curiga pria yang datang itu. "Mau apa ke sini, Bro? Kita tidak punya urusan," ucapnya dingin.

Pria berjaket kulit itu mendekat dengan cepat, menarik kuat kerah kaos yang dikenakan pria di hadapannya. "Jangan macam-macam denganku, bangsat. Kalau kau bersikap seperti itu lagi, akan kupukul wajahmu."

Pria yang duduk menunduk pasrah. "Baik, Bro...."

"Heh?! Tidak dengar!"

"Baik, Bro!" ucapnya dengan sedikit menaikkan suaranya.

"Begini saja." Pria itu melepas genggamannya. Kemudian, perbincangan pun berlangsung.

Pria itu berkata dengan terus-terusan menyeringai, sesekali melotot sambil melebarkan seringaiannya di beberapa kalimat. Sementara, pria yang duduk di hadapannya amat sangat tampak terkejut, keringat bercucuran dari dahinya. Kedua pupil matanya menyempit saat mendengar suatu kalimat dari lawan bicaranya.

***

Panas terik. Gerombolan burung gagak yang terbang ke sana ke mari mengitari angkasa. Pepohonan kering, ranting-ranting tak berdaun, rumput-rumput menguning. Pria itu berbaring di sana, menatap langit pilu menyilaukan.

Pria berjaket kulit itu menyudutkannya sampai ke tembok.

Tarik napas.
Tarik napas.
Tarik napas.

Pria itu menempelkan telapak tangan ke tembok.

Embuskan.
Embuskan.
Embuskan.

Menyeringai dengan tajam. Napasnya menderu-deru. Kedua kelopak matanya melebar.

Ia mendongakkan kepalanya ke belakang tempat ia berbaring, memandang gedung semen tua. Hening beberapa lamanya.

Ini adalah tempat aku dibesarkan.

Tempatku tinggal, bertahan hidup.

Seorang pekerja konstruksi mengarahkan beberapa pekerja lainnya, melakukan pekerjaan untuk membangun sebuah gedung yang saat itu masih berupa kerangka.

Dan kini, telah menjadi gedung semen—terbengkalai.

Ia beralih ke posisi berselonjor, memandang kakinya sebentar, lalu berdiri. Berbalik dan berjalan menuju gedung semen itu.

"Kalau kau tidak bisa membayarnya ... maka akan kuhancurkan hidupmu—!"

"Seratus juta rupiah...," gumam pria itu sebelum memasuki gedung.

***

Malam itu, anak-anak berusaha untuk tidur. Namun, mereka semua masih terjaga, di dalam ruangan gelap yang berlantai dan berdinding semen. Tiba-tiba, pintu ganda yang awalnya metutup terbuka. Sebuah siluet pria dewasa berdiri di sana, memegangi kedua gagang pintu yang saling menjauh.

***

Suara mesin menderu, anak laki-laki kecil itu membuka matanya. Dilihat bahwa di hadapannya ada seorang pria yang fokus menatap ke depan, tengah mengemudi truk. Ia yang awalnya dalam posisi berbaring beralih ke posisi duduk, mengetahui dirinya tidak sendirian. Ia mendengar suara dari belakang, dan saat menoleh, lima anak lainnya—yang selama ini selalu bersamanya—ada di sana.

***

Keenam anak itu dibawa oleh pria tadi ke sebuah rumah. Di sana, mereka disediakan tempat mandi khusus, diberi jamuan makanan yang enak, dipakaikan pakaian yang layak dan bagus. Setelah puas, mereka semua kembali masuk ke dalam mobil, melanjutkan perjalanan mereka.

***

"Kita sampai," ujar pria itu yang lalu membuka pintu truk.

Keenam anak yang berpakaian buruk dan wajah mereka yang tampak kotor itu turun keluar. Dilihatnya ke sekitar, jalan beraspal yang sempit dan sepi. Pria tadi menuntun mereka melalui suatu lorong, kemudian sampai di sebuah tempat. Tempat yang ditumbuhi rumput, di sana—di tembok belakang bangunan. Di sana terdapat mobil yang terparkir.

"Nah, masuklah. Kalau kalian ingin baju yang bagus, wajah yang cantik dan ganteng, masuk ke sana. Saya akan segera memberikannya. Dan, setelah itu, kalian semua bisa pulang." Pria itu tersenyum simpul.

Keenam anak itu memandang sebentar ke arah wajah hangat si pria, kemudian berjalan bersama dan masuk ke dalam mobil. Pria itu menutup semua pintu kecuali pintu di dekat kursi sopir, menyalakan mesin, pergi keluar, menutup pintu, memandang ke semua kaca mobil yang tertutup, lalu berlari menjauh.

***

Beberapa jam kemudian...

Seorang pemuda yang lewat melihat ada sebuah mobil bagus terparkir di dekat tembok di belakang suatu gedung. Karena penasaran, ia berjalan mendekat, mengintip lewat jendela, dan kemudian terperanjat akibat mengetahui terdapat anak-anak yang terbaring di dalamnya—tak bernyawa.

***

Atmosfer yang tak mengenakkan. Sorak-sorak tak senang terus bergema dari belakang. Dua pria itu—Angga dan Indra—berdiri menghadap meja hakim.

"Pembunuh hendaknya segera mengaku dan membayar semua tindakannya!" ucap seorang pria paruh baya.

"Kalian yang merenggut anak kesayanganku hendaknya mati saja!" jerit seorang wanita yang berambut unik dan dikucir dengan berbagai aksesori berbentuk stroberi.

"Setelah menipu polisi dengan ancaman palsu, kini akhirnya kalian tertangkap!" seru seorang pria tua berkacamata.

"Demi Allah! Dua pria ini telah melakukannya! Mereka membunuh anak saya dan kelima anak lainnya!" tuduh seorang wanita bercadar hitam.

"Semoga Tuhan segera membuat kalian berdua bertobat!" teriak lantang seorang pria yang mengenakan seragam TNI.

Palu mengetok-ngetok.

"Dengan ini, kami nyatakan kalian bersalah." Teriakan kemenangan pun bergemuruh.

Di salah satu kursi saksi, Akang duduk di sana, memerhatikan segalanya.

_

Akang berdiri, mendengarkan dengan perhati seorang bibi di depannya yang tengah berbicara dengan agak terisak-isak.

Kemudian, ia memasuki salah satu kamar, menemukan abu hitam di pojok ruangan.

Akang berdiri di pemakaman, di depan kuburan.

Akang berdiri di pemakaman, di depan kuburan penuh akan taburan bunga-bunga yang cantik.

***

"Heh." Kedua sudut bibir Akang terangkat.

Semua rencananya telah terlaksana. Kini, hanya tinggal menunggu konsekuensi yang diakibatkan oleh ulahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top