#1: Agitation

❝To the world that rejected us, we've declared a rebellion.❞

###

Lapangan itu nun hijau lagi sepi, enam anak—tiga laki-laki dan tiga perempuan—tengah bermain sepak bola. Anak adam menendang bal dengan semangat, sementara anak hawa ikut berlarian di belakang.

Bisa jadi tercipta kesan aneh jika orang lain memperhatikan penampilan keenam anak itu. Untuk yang laki-laki, insan pertama, tubuhnya kecil dan sangat lincah. Insan kedua, menggunakan kacamata. Insan ketiga, mengenakan pakaian bermotif seragam tentara dan juga baret. Sementara itu, untuk yang perempuan, insan pertama, berkulit sawo gelap serta berambut abu-abu keriting panjang. Insan kedua, memiliki jangat putih pula rambut pirang. Insan ketiga, memakai baju muslimah panjang berwarna merah jambu.

Tanpa sepengetahuan orang-orang, dua pria dari kejauhan berdiri mengamati: pria jangkung; dan pria berbadan gemuk, lebih pendek. Keduanya memakai jaket kulit hitam dan kupluk. Dua pria tersebut tampak sangat berhati-hati lagi waswas, seperti akan melakukan sesuatu yang tidak diperkenankan norma. Mimik gugup pula ragu, tetapi nafsu tetap ingin melaksanakan.

"Hei, ayo berhenti saja, mungkin saja berbahaya. Kita juga kurang berpengalaman," gusar pria gemuk.

"Tidak. Tidak bisa. Sudah sejauh ini, mau berhenti? Sesuatu yang kita mulai juga harus kita selesaikan," balas pria jangkung.

Atmosfer hening menerkam tengkuk siapa pun yang berada di sekitar sana. Suara tawa anak-anak bahkan menambah suasana mencekam.

Melanjutkan, pria jangkung bersilang tangan, "Mereka itu anak-anak yang telantar. Mereka tidak diperhatikan orang tua mereka dan ditelantarkan begitu saja. Suatu hal yang menjijikkan, membuatku ingin mengakhirinya."

Pria gemuk menghela napas. "Perkataanmu selalu begitu. Memiliki arti tertentu. Sulit. Maksudku, maksudmu adalah, 'karena orang tua mereka tak memerhatikan maka kemungkinan mereka khawatir anaknya tak ada adalah nol', 'kan?"

"Kau selalu begitu. Bukankah kau sudah tau perasaan itu hal terpenting," sanggah pria jangkung.

Temannya mengerling. Sesaat, ia melihat ke arah lapangan, di sana berdiri enam anak, berdampingan, menatap dengan manik mata nan merah.

Sontak pria gemuk terkejut. Setelah ia mengerjap, pemandangan di lapangan hanyalah ada enam anak yang tengah bermain dengan asyik. Seketika hal itu membuat dirinya ketakutan.

"Hei! Hentikan! Hei! Ayolah!" paksa pria gemuk tiba-tiba. "Oh, ya, bukankah kau punya adik kecil? Maka pikirkanlah perasaan! Seperti yang kau bilang!" katanya.

Dengan amat marah, pria jangkung menjawab, "Bukankah sudah kubilang! Jangan pernah melibatkan dia! Dia tidak ada hubungannya dengan ini!"

Pria gemuk pun terdiam. Ia cukup mengerti apa yang dirasakan temannya itu. Satu-satunya keluarga, dan harus bekerja keras demi dia. "Tapi, bukan berarti menggunakan segala cara apalagi hal ini," bisik si gemuk dalam hati.

Dua pria asing tersebut mendekati anak-anak di lapangan, yang tanpa intensi, telah membuat permainan mereka tersetop.

"Hei, adik-adik manis. Om ini akan bagi-bagi permen, nih. Kalian mau tidak?" Pria gemuk merayu sambil menunjukkan permen-permen di atas telapak tangannya. Namun, anak-anak hanya terdiam.

"Enak, lo. Tenang saja, Om enggak akan berbuat jahat, kok." Pria jangkung memperkuat persuasi rekannya.

Kemudian, anak laki-laki yang paling kecil, dengan muka malu lagi murungnya, perlahan meraih permen di tangan pria gemuk. Berikutnya, lima anak yang lain turut mengikuti serta memakan permen bersama-sama.

***

Di dalam mobil, seorang anak melihat dua orang berbicara dan berdebat hebat, lamun dia tak mengerti apa topik nan dibicarakan. Hal itu karena ... suara mereka seperti layar TV rusak di rumahnya yang belum diperbaiki.

"Bzzzt—"
"Bzzzt—"
"Bzzzt—"

***

"Hei, bagaimana jika kita begini. Ancam kedua orang tua mereka, minta tebusan. Pasti uangnya lebih besar daripada menjual mereka. Aku dengar mereka itu anak-anak dari orang kaya yang sibuk sekali. Ayolah!" Pria gemuk merayu sambil bersender pada kotak kargo truk.

"Tidak boleh. Kita sudah memutuskan untuk membawa mereka ke Mas Dion," tolak pria jangkung, berada tidak jauh dari rekannya.

Pria gemuk mendengkus pelan.

"Apalagi kita berjanji membulatkan sejak awal," amarah pria jangkung mendadak memuncak, suaranya meninggi, "jual dengan penuh, dan hasilnya yang banyak dibagi dua!"

Teriakan si rekan membuat pria gemuk terdiam. Dalam benak hatinya, geram. Ia membanting penutup truk dan berjalan cepat, masuk ke sisi kursi pengemudi.

***

Malam hari telah tiba. Waktu pada jam digital di atas dashboard truk menunjukkan pukul 23.17. Jalanan gelap, tanpa diterangi oleh pencahayaan lampu. Ketika di kiri jalan terdapat sebuah jalan kecil, truk pun berbelok. Kendaraan melaju lurus terus, sampai berhenti di depan suatu konstruksi gedung yang terbengkalai, masih berupa kerangka dan lantai serta dinding semen.

"Kita bermalam di sini. Bawa anak-anak itu ke dalam. Ayo," perintah pria jangkung, membuka pintu truk dan melompat keluar.

Pria gemuk mengerti dan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh si rekan. Ia dan pria jangkung membopong tubuh mungil semua anak-anak yang masih terlelap, masing-masing tiga. Setelah semua selesai dibawa masuk, kedua pria tidur di dalam ruangan gedung nan gelap lagi sejuk.

***

Burung-burung bernyanyi, membangunkan pagi. Di ufuk timur, sinar jingga telah memenuhi angkasa. Cahaya memasuki ruangan gedung, membuat pria jangkung membuka netra perlahan. Ia menerawang ke sekeliling, menemukan dirinya sendirian di dalam sana.

Setelah mendapatkan kesadaran penuh, pria jangkung sontak berlari keluar gedung, membabi buta, menendangi segala macam benda di atas tanah dan memukuli batang pohon di sekitar.

"Kurang ajar! Kurang ajar!" Ia menggigit bibirnya sesaat setelah berkata.

Setelah puas dan kelelahan, pria itu beralih ke posisi jongkok. Tangan kiri ditekuk di atas paha kiri, lengan kanan menahan tanah. Beberapa saat ia berpikir. Selanjutnya, tatapan mata si pria berubah dingin serta penuh aura mencekam. Ia ambil uang logam di saku, berjalan menuju telepon umum terdekat, lalu menggunakan fasilitas umum tersebut.

Tut...! Tut...!

Cek—!

"Halo, anak Anda telah kami culik."

"Huh?" Suara wanita terdengar dari seberang.

"Kami menginginkan uang tebusan sebesar seratus juta rupiah. Waktu kalian adalah dua puluh empat jam. Jika uang tidak diberikan, maka nyawa anak kalian akan hilang. Ikuti perintah saya...."

〜〜〜〜〜***〜〜〜〜〜

Pada bagian depan di dalam truk, dua orang pria duduk dengan santai. Sang sopir bernama Angga, 27 tahun; sementara pria di sampingnya bernama Indra, 24 tahun. Mereka tampak bercakap-cakap informal selama perjalanan.

Truk sudah sampai di depan sebuah gedung nan terbengkalai. Pada bagian serambi depan, duduk seorang pria di atas kursi plastik. Ia berpakaian layaknya preman.

Kendaraan pun berhenti. Angga dan Indra keluar, menyapa dengan lambaian tangan. "Yo, Akang."

Pria yang dipanggil Akang itu membalas, "Di dalam truk itu, apakah anak-anak yang akan kau jual?"

***

Ketiganya terlihat sedang melakukan transaksi di depan gedung.

"Berapa masing-masing?" tanya Angga.

"Satu anak dua setengah juta," jawab Akang.

"Murah sekali!" Indra berseru.

"Tapi, kalau begitu, kita dapat dua lima, dong. Banyak, berarti." Angga terlihat bodoh.

Indra menjadi kesal kepada temannya. "Baiklah. Urusan kita selesai. Jangan hubungi kami lagi." Ia menerima koper hitam yang sedari tadi diulurkan oleh Akang.

"Dimengerti. Hidup kalian akan kembali tenang lagi." Akang menyeringai.

***

Jalan raya nan lebar dan ramai. Sebuah truk melesat dengan kelajuan tinggi. Akang adalah sopir truk itu. Di dalam kontainer truk yang tertutup, enam anak duduk di sana, merenung, bersama beberapa anak-anak lain.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top