EPILOG

Aku nangis bukan karena apa kok, Ki, memang sih ini snack rasanya nggak enak, tapi gini doang nggak akan bikin aku nangis sambil memakannya. Aku bisa aja lempar dia sejauh mungkin, kan? Aku cuma lagi kangen kamu, pengen coba tahu perasaanmu tiap mengunyah makanan ini kayak apa. Ternyata ... rasanya pahit. Ngunyah campur air mata bikin nih makanan makin-makin pengen aku musnahin dari dunia. Kok kamu bisa secinta itu sama makanan ini, sih, Ki?

Aku mengelap mataku kasar, menatap bungkus kuning di tanganku yang sebenarnya menarik mata. Walaupun aku nggak suka makanan ini, tapi mulai sekarang, rasanya pasti beda setiap lihat dia. Rasanya pasti spesial karena akan keinget kamu, Ki, Brand Ambassador terbaiknya.

Ki, mungkin nanti, aku bisa ikutan menikmati Chiki Balls favorit kamu ini, selayaknya gimana kamu menyukainya.

Ki ...

Aku mau kok belajar suka sama nih jajanan, kamu nggak mau nyaksiinnya langsung?

Ki ...

Aku nggak tahu, hidupku yang dulu keren karena ada dua bab, di dalam rumah dan luar rumah, ternyata berubah menjadi satu kesatuan yang menyenangkan sejak ada kamu. Layer-layernya makin banyak dan semuanya aku nikmati dan syukuri. Sekarang, rasanya aneh, dan aku nggak tahu akan jadi gimana. Terbagi menjadi berapa keping.

Aku ngerasa ... everything is pointless, sekarang ini. Kamu bikin aku berubah lebih baik dalam banyak hal, Ki, kamu harus tahu itu. Hidupku jadi berwarna dan indah.

"Masih nyari ketenangan dari langit?"

Suara itu terdengar sedikit familiar, tetapi aku tidak ya—Oh, there he is. Goga. Kembali dari goa persembunyiannya. Tak ada yang berubah darinya, toh kami juga belum berpisah seabad lamanya. Yang berbeda hanya pakaian olahraganya daripada kali pertama kami bertemu, di sini. Aku ingat dia waktu itu pakai serba hitam, hari ini bajunya putih meski celananya tetap sama hitam.

"Masih idup lo." Aku tertawa pelan. Memastikan kembali air mataku tidak nampak di mata atau wajahku.

"It's been a tough year. How are you, Thi?"

Aku tertawa miris, memandangi snack di tanganku. Aku bahkan nggak tahu harus menjelaskan apa kalau ditanya kabar oleh orang lain. Baik-baik aja kah? Atau jawab ditinggal mati pacar? Oh, bukan cuma pacaran, dia satu-satunya sahabat yang kupunya di tengah banyaknya orang yang kukenal. Support system terbaik. Guru terbaik. Partner diskusi terbaik. Pacar terbaik.

Tapi, aku tetap berusaha senyum dan menatapnya. "I'm hangin in. Thanks for asking. Lo gimana?"

Dia tak langsung menjawab, menatapku beberapa detik—ini karena aku berduka, makanya tatapannya seolah ketularan, padahal dia jelas nggak tahu aku kenapa—kemudian menatap kilat snack di tanganku. "I'm really sorry for your loss."

Dia tahu?

Aku tersenyum tipis, mengangguk.

"Sam yang bilang."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Aku memang mengirimkan berita duka ini kepada grup yang kupunya. Saat itu, yang kupikirkan adalah aku mau sebanyak mungkin orang mendoakan Saki. Kenal atau tidak, entah dikabulkan Tuhan atau tidak, aku cuma bisa berusaha. Goga adalah temannya Sam, meski kami tidak berhubungan lagi—Goga dan aku—tapi mungkin mereka sesekali masih.

Aku meliriknya. "Thanks."

Dunia ini memang lucu. Aku berharap Goga tidak pergi dan melanjutkan pertemanan atau perkenalan kami, tetapi yang datang malah Saki. Saat aku sudah merasa Saki adalah bagian dariku, dia malah gantian pergi dengan cara yang sama sekali tidak bisa ditebak, kemudian manusia ini datang kembali.

Aku membiarkan Goga pergi—kedua kali, setelah menemaniku melamun cukup lama. Tak ada obrolan apa pun, dan aku berterima kasih akan itu. Dia mengakhirinya dengan menepuk pundakku beberapa kali, kemudian meninggalkanku sendirian.

Aku menundukkan kepala, mengurungnya di tengah-tengah kedua lutut, tak lagi mampu menahan diri. Aku menangis tersedu-sedu, nggak peduli kalaupun tiba-tiba ada satpam yang lagi keliling dan melihatku kayak orang gila, atau dia ngira aku titisan kunti yang sedang galau maksimal. Aku cuma mau rasa sesak di dadaku sedikitnya berkurang dengan menangis ini. Karena—

"Uthi!!!"

Aku membuka mata dan refleks duduk. Seketika kepalaku rasanya seperti dihantam pesawat saking peningnya. Aku menyentuh wajah, mata, dan ... nangis beneran? "Astagfirullah, ya Allah." Aku menekan dadaku, rasanya seolah ada raksasa yang menindihnya saking sesaknya. Aku ... aku berusaha mencerna semua ini. Apa? Ini apaaa? Suara gedoran di pintu semakin kencang, aku juga mendengar teriakan Bunda. Dengan badan gemetaran, aku berusaha bisa berdiri tanpa oleng, dan jalan ke pintu, karena lihat kuncinya masih menggantung. "Bun?"

"Berapa kali Bunda bilang jangan pernah kunci pintu dari dalem apalagi kuncinya digantungin gitu aja, hah?!" Aku masih belum paham, tiba-tiba dia menarikku ke dalam pelukan sambil berteriak memanggil Papa. "Kamu kenapa? Mimpi buruk?"

"Hah?"

Bunda melepas pelukan, dia menggoyang-goyang tubuhku. "Uthi, fokus, liatin Bunda. Kamu kenapa? Mimpi buruk?"

"Yang mimpi yang mana, Bun?" Aku terduduk lagi dan menutup muka untuk menangis. Tidak, sekarang aku sudah berteriak dan nggak peduli lagi kalaupun tangisanku tembus sampai rumah gubernur Banten. "Saki. Aku belum bisa bales kasih sayang sebanyak yang dia kasih, Bun. Saki."

"Mas! Cepetan ke sini!"

Aku mengangkat kepala dan melihat Papa datang dengan napas ngos-ngosan, dia ... bawa apa itu di tangan? Mesin apa? Wajahnya panik banget, mesin itu jatuh gitu aja, terus dia memelukku erat dan bilang kalimat yang sama berkali-kali. "Papa di sini."

"Saki, Pa. Saki pergi. Kenapa semua orang yang aku sayang pergi? Kenapa aku seolah nggak berhak nerima kasih sayang yang banyak dan lama, Pa?"

"Hey, Saki nggak ke mana-mana. Dia udah jalan ke sini. Bunda, telepon Saki."

"Dia nggak ker—astagfirullah, ini hari Minggu. Okay sebentar."

"Emang Saki masih bisa dibalikin? Diizinin sama Allah?"

"Uthi ... hey, sini." Papa menuntunku untuk kembali ke dalam kamar, duduk di tepi ranjang. Dia mengambil botol minum di atas meja dan kasih ke aku. "Minum dulu."

Aku menggeleng.

"Minum dulu sedikit, biar kamu lega." Lega apa? Mana bisa lega? Air minum bisa bikin lega? Bikin masalah teratasi? "Fokus, Uthi, itu cuma mimpi. Nggak ada yang ninggalin kamu, nggak ada. Bahkan Mama juga masih sama kita, Mama nggak ninggalin kamu."

Ofkors, aku refleks ketawa! Kebohongan macam apa sih itu?

"Saki mau ngomong sama kamu, Sayang. Nih."

Aku menatap handphone Bunda dan Bunda bergantian, maksudnya gimana?

"Dyuthi, Sayang, hey, aku sebentar lagi sampe. Tunggu sebentar yaaa."

Aku kembali menatap Bunda juga Papa karena suara itu terdengar sangat real, itu suara Saki. OMG, itu Sakiiiii! Beneran Saki! Jadi .... Aku menoleh ke sekitar, nggak menemukan selendang atau pakaian bekasku ngelayat semalam di mana pun. Aku berdiri, dengan panik cari handphone-ku sendiri, aku mau memastikan sesuatu. Coba chat Ami, karena aku lihat Ami sama hancurnya kok kayak aku. Aku mau tanya dia sekarang di mana.

Ami:

Sent a picture

Lagi masak nih broo, calon istri idaman gini-gini.

"ARGGHHH!" Aku berteriak kencang, dengan perasaan campur aduk. Aku tidak tahu mana yang harus aku syukuri tapi, tapi rasanya ... ya Allah, semua itu rasanya seperti nyata. Aku nyaris nggak bisa napas. Apalagi ketika Bunda minta aku buat cuci muka dan gosok gigi, beneran dejavu yang menyakitkan. Tapi aku nurut, dan ikut turun mereka ke bawah, katanya kita mau nunggu Saki.

Aku nggak mau melewatkan satu detik pun.

Dan saat bel rumah bunyi, jantungku detaknya sudah nggak biasa lagi, tapi yang buka pintu Bunda, dan dia kembali bareng sama ... Saki. Dia beneran Saki? Dia beneran masih hidup? Atau ini mimpi lagi? Mana yang mimpi atau siapa yang masih hidup sebenarnya? Atau aku yang sebenarnya sudah ada di dunia lain? Atau kami berdua ada di dunia lain?

Dia duduk di sebelah, memelukku erat. Ini wanginya. Ini hangat tubuhnya. Ini suaranya. Ini semua nggak kayak mimpi. Aduh, aku beneran sulit membedakan mana yang sebenarnya mimpi. Aku menarik diri, memegang wajahnya, menelusuri wajahnya sambil nangis. Aku berusaha cari bukti kalau ini bukan mimpi.

"Maaf aku semalem nggak ngabarin kamu," katanya, mukanya merasa bersalah. "Aku pulang sekitar jam tiga, Aku sama Al berantem, tapi kami baik-baik. Aku baik-baik aja, Sayang. I'm here."

"Kamu beneran di sini?"

Kepalanya mengangguk. "Iya. Kita, kan, nanti malem mau dinner, kamu udah prepare banyak hal, aku nggak mungkin nggak dateng."

Aku tersenyum.

Ini nyata.

Ini nyata.

Ternyata pengalaman dua kali belum cukup bisa bikin aku belajar, aku masih gampang banget dikecohkan sama mimpi. Beneran nggak bisa membedakan kenyataan dan mimpi, karena semua ... semua rasanya masuk akal dan real.


***


"Kamu tau, kan, kamu nggak perlu ngelakuin semua ini, Sayang?"

"Kenapa nggak perlu? Kalau aku yang bilang gitu ke kamu, jawabanmu apa?"

Saki tersenyum, dia mulai membuka kado kedua dariku. Setelah tadi yang pertama, aku memberikannya kue custom-ku temanya Chiki Balls. Mukanya semringah level maksimal kayaknya, dia bilang terima kasih berkali-kali sampai aku capek jawab 'sama-sama'. Sekarang, dia buka ... polo shirt yang aku kasih. Warna green ... ini emerald bukan sih? Pokoknya warna ini pasti cantik banget di kulit Saki yang putih ceria itu. "Thank you," lirihnya dengan mata berkaca-kaca, lalu memeluk kaos itu.

"Next," perintahku.

Dia meletakkan kaos tadi di kursi belakang—oh anyway, ini aku pulang dari dinner romantis sama Saki, dan sekarang kami lagi di parkiran Mcdonalds, hahaha. Habis drive thru es krim dan kopi. Sebenarnya, numpang di parkiran aja sih, maaf yaa, Donalds. Dia menemukan jam tangan kulit berwarna coklat tua, langsung dipakai dengan muka happy. Nih anak beneran apresiatif banget sama hal apa pun yang aku kasih. "Thank you."

Aku mengangguk. Bertepuk tangan. "Lagi, buka lagiii."

Saki menatapku bingung saat lihat kado yang satu ini. Music frame gitu, yang bisa di-scan terus nanti ke Spotify dan ke lagu yang aku mau Saki dengar. Mungkin bukan lagu favoritnya, tapi aku mau dia tahu sebahagia dan seberuntung itu aku bisa kenal dan bisa mencintai dia. Di frame itu juga ada ucapan 'happy graduation, Sayang!'

Aku ketawa. "Aku mikirin itu sama Ami lama banget tauuuu, cari-cari the most romantic song dan bacain liriknya. Terus ini aku suka banget sama yang Let's Stay Together versi Seal. Nanti kamu dengerin yaaa."

"Pasti. Makasih, ya, Sayang."

Aku mengangguk. "Yang terakhir dong."

"Kamu banyak banget ngasihnya lho."

"Ihhh cepetan."

"Hoodie?" tanyanya sambil tertawa. "Oh wow, ada inisial D. D is for Dyuthi?" Dia tersenyum lebar setelah aku mengangguk. Huruf inisial juga nggak norak kok, kecil dan cuma di dada kiri.

"Kita couple, tau. Punyaku ada huruf S." Aku tertawa kencang, ngerasa geli juga sih sebenarnya.

"Yeay!" serunya. "Ini ... gelang? Couple juga kah?"

"Ofkors!" Aku membantunya mengeluarkan gelang couple yang aku pesan dari box itu. "Nihhh, ada hurufnya jugaaa. Kamu pake yang D, aku yang S." Kami sibuk memakai untuk masing-masing, lalu menempelkan tangan kami berdua. "Tuh lucu, kan?"

Saki mengangguk. "Banget. Aku nggak tahu lagi harus pakai kata-kata apa buat bilang makasih dan bersyukur karena punya kamu."

"Ssstttt." Aku menempelkan jari ke bibirnya. "Kamu better nggak usah ngomong apa-apa nggak pa-pa, Ki. Beneran. Daripada kayak kemarin malem, kalimat-kalimatmu itu kayak orang mau ngasih warisan tau. Aku jadi kebawa ke alam bawah sadar, digabung sama rasa khawatir sampe mimpinya kayak gitu."

"Sorry." Dia memelukkku. "Aku buruk banget ya soal kata-kata kayak gitu. Padahal maksudku, aku cuma bilang aku seneng banget dan bersyukur sama kamu. Makanya aku tuh selalu berdoa semoga bisa terus lebih baik buat kamu, supaya apa pun yang kita jalani itu lancar. Malah jadi kayak gitu."

Aku tertawa geli. Menepuk-nepuk punggungnya.

"Aku nggak mau sembunyi-sembunyiin ini, tapi kamu jangan marah ya, Sayang?" katanya setelah menarik diri. "Aku sama Al malam itu beneran berantem, karena ..."

"Karena?"

"Kamu inget nggak aku bilang mereka nggak bisa ikutan foto karena ada panggilan keluarga?"

Aku mengangguk.

"Sebenernya bukan."

"Hah?"

"Mereka berantem. Jadi akhir-akhir ini, setelah Al ketemu kamu itu lho, terus kalian ke rumah. Itu Ami cemburu sama kamu."

Aku melongo.

Saki tertawa pelan. "Aku tau, aneh. Al juga mikir gitu, aneh, tapi ya tetep dia nggak terima aku marah sama pacarnya meski dia juga ngaku Ami yang aneh untuk kasus ini." Ini aku harus respon apa? Aku dan Ami sudah sedekat itu, dia bantuin aku pilih kado lho! "Tapi udah clear kok. Ami udah minta maaf dan bilang kalau dia lagi dapet." Bibir Saki jadi garis lurus, kayaknya muak banget dia. "Kamu nggak akan labrak Al atau Ami, kan, Sayang?"

Aku ngakak. "Sinting kali! Justru aku mikir ... aku tuh secentil itu, ya? Kok orang-orang pada cemburu?"

"Bukan centil. Wait, centil itu gimana arti harfiahnya?"

"Ki?"

"Maksudku, centil tuh artinya ramah, humble, dan ceria ke semua orang?"

"Gimana, ya?" Kok aku jadi ikutan bingung.

"Kalau iya, kamu memang centil."

Aku melotot.

"Oh bukan?" Mukanya panik. "Anyway, aku punya sesuatu buat kamu, gantian."

"Lah, aku kan belum wisuda, Ki!"

"Nggak pa-pa." Dia sibuk merogoh saku celana sambil melanjutkan. "Takut masih lama." Kepalanya langsung menoleh dengan ekspresi horor. "Sorry, Sayang, aku nggak bermaksud—maksudku, kasih kadonya kelamaan kalau harus nunggu, bisa kapan aja, kan, kasih gift ke orang yang kita sayang?"

Aku meringis. Lucu banget manusia satu ini. Aku bisa aja iseng jailin dia, tapi sudah keburu capek, jadi aku mengangguk. "Iya, aku paham."

Dia tersenyum lebar. "For you."

"Ki????? Kamu lamar aku?????"

"Oh bukan-bukan. Ini buka engagement ring, ini cincin biasa. Aku bingung kasih kamu apa, tapi kayaknya cewek suka pakai perhiasan? Aku bayangin ini pasti cantik di kamu. Ukurannya ngira-ngira, kalau nanti bermasalah, bisa kita benerin."

Aku menelan ludah.

Nih orang beneran sinting ya! Aku kasih dia printilan kado yang ternyata menelan dana nggak ada seperempatnya dari cincin ini kayaknya. Kebanting abis dong ini ceritanya! Aku harus senang atau sedih?

Tiba-tiba Saki meraih tanganku, dan menggenggamnya. "Kamu nggak tertekan, kan? Ini bukan kode ajakan nikah atau apa, serius." Kasihan banget, malah dia yang tertekan. Dia balas senyum setelah aku menggeleng dan tersenyum. "Aku akan berusaha jadi pendengar dan nanggapin apa pun yang ada di kepala kamu. Kamu certain ke aku, overthinking-mu, pikiran random-mu, yang kayak kemarin nggak akan keulang, I promise. Sama kayak yang aku bilang juga, semua tentang kamu nggak ada yang sepele, Sayang."

Aku menggigit bibir, karena mendadak jadi cengeng. Mimpi itu kadang masih ... apa ya, efeknya kayak masih terasa. Padahal cuma mimpi. Biasanya memang butuh waktu sih.

"Mungkin kita emang nggak bisa dapetin semua yang kita mau, Dyuthi. Tapi apa yang kita dapet sekarang, itu pasti yang terbaik. Kita juga nggak bisa maksa orang buat stay, tapi kita bisa apresiasi orang yang milih stay. Papa, Bunda, adik-adik, dan aku ... kami semua nggak pernah mikir dua kali buat ada di sebelah kamu. Semoga apa yang kami kasih ke kamu cukup bisa nutupin apa yang rusak dan hilang dari diri kamu, ya, Sayang?"

Aku nggak bisa lagi nahan diri, kembali menangis. "Kamu ... kamu udah diceritain Papa, ya?"

Kepalanya mengangguk. "Aku nggak bisa bayangin rasanya setiap mimpi itu. Aku juga nggak punya kata-kata penenang selain aku akan berusaha kasih yang terbaik buat kamu." Dia memelukku lagi.

"Semuanya tuh kerasa real, Ki. Waktu pertama kali aku mimpi Mama pergi, aku bahkan masih inget detailnya di kepala, walaupun nggak sanggup buat ungkapin." Dia mengangguk di pelukanku. "Kenyataannya, Mama emang pergi, walaupun beda perginya. Dia masih di dunia, tapi sama-sama nggak bisa deket aku. Waktu mimpiin Bunda pun sama." Aku tertawa pelan. "Aku takut banget Bunda pergi, kehilangan sosok ibu kedua kali. Setiap sayang banget sama orang, aku saking takutnya kehilangan sampai segitunya di mimpi. Makanya Bunda selalu marah kalau aku kunci pintu apalagi kuncinya nggak dicabut. Kamu abis ini pasti mikir; wah berarti misiku berhasil, Dyuthi udah kecintaan banget sama aku sampe mimpi-mimpi kehilangan."

"Enggak," jawabnya. Kami melepas pelukan. "Pikiranku justru, wah ternyata cintaku nggak bertepuk sebelah tangan. Ternyata Dyuthi bukan mau sama aku cuma karena aku keliatan baik dan nggak akan nyakitin, tapi dia beneran cinta. Aku akan berusaha jadi pasangan yang baik. Kita sambut masa depan kita bareng-bareng dan pelan-pelan, ya, Sayang?"

Aku mengangguk.

Semoga setelah ini, aku berhenti memimpikan orang yang aku sayang meninggal. Karena rasanya benar-benar menyakitkan, meski sudah tahu juga itu cuma mimpi. Sesaknya nyata euy! Sakit banget.

Tapi anehnya, bukan cuma sakitnya yang sampai ke realita. Waktu kami di perjalanan pulang, aku dapat notifikasi DM Instagram dari orang yang tak terduga. Yang seharusnya dia kembali cuma di dalam mimpi.

Goga;

Hi, it's been ages, how have u been?

Aku melirik Saki, laki-laki di sebelahku ini sudah lebih dari cukup untuk segala hal, jadi aku tidak ingin kesalahan-kesalahan yang menurutku kecil seperti tentang Daffa terulang. Jadi, tanpa membuka DM itu, aku memilih langsung menghapusnya.

Nggak boleh ada tempat buat orang yang pergi sesuka hati dan berniat datang sesuka hati lagi.



---
emang bolee epilog sepanjang ini puh sepuh??
anywa, anj aku dapet ancaman dari part kemarin, yang paling wakwaw ini nih ngakak polll:

yakin puh gamaw baca part ini??

btw, ini terinspirasi dari mimpiku yang beneran DETAIL, LAMA DAN SEREAL ITU CUY😭 kalau diinget-inget apa yang kita takutin, walaupun kita bahkan ga sadar kita takut karena berusaha mendem, itu ke bawa ke alam bawah sadar. aku pernah mimpi mbahku meninggal, terus mamakku saking takutnyaa sebagai anak rantau (dulu) dan semuanya kayak nyata ya rabb😭😭😭😭

apalagi yang mimpi mamakku. pas zaman covid ituuuu. detail aku ke RS sama bapak, dialogku sama bapak, ekspresi bapakku, sakitnya tenggorokanku karena teriak-teriak soale gabole liat mayat mamakku lagi udah di bawa ambulan. ya Allah meski mimpi tapi pas bangun kayak orang linglung😭😭😭😭😭😭😭😭😭

bahkan di mimpi tuh aku kayak Uthi, berharap ini mimpi kan?🥲 malah yang meninggal di realita, ibu kost🥺😭

OKAAYYY KITA SUDAHI CERITA KEUWUAN INI YA GAESS. kalau mau part-part unyu projek sampingan, pantengin di KK, sapa tau ada nantii.

makasyi banyak udah sama aku rampungin perjalanan ini, sampai ketemu di perjalanan-perjalanan lain. muachhh💋💋🥰🥰👄👄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top