CHAPTER 7

"Tadi makannya Abang abis nggak, Thi?"

Aku yang sedang memakaikan baju untuk King  mendongak, menatap Bunda yang memasuki kamar King dan Queen. Ia mengambil alih tugasku, memberi senyum dan ucapan terima kasih. Aku melirik Abang sebelum menjawab, memberinya kesempatan untuk berbicara.

"Abis, Bunda," katanya dengan senyuman lebar. "Uthi tadi bobo waktu Abang makan, bunyi dikit."

Aku menggaruk tengkuk. "Sori, Bund. Tapi tadi ikannya aman dari duri, udah aku pilihin kok semuanya. Jadi, pas aku ketiduran di meja makan, Abang—"

Elusan lembut di lenganku diberikan oleh Bunda. "It's okay. Bunda juga yang udah pengalaman kayak gitu. Ketiduran waktu momong itu wajar. Makasih, ya, udah jagain adek-adekmu dengan sangat baik. Bunda mint—"

"No." Aku menggeleng tegas.

Aku tahu kehadiran mereka mungkin sedikit membuatku sibuk dan lelah, tetapi bukan berarti Bunda harus meminta maaf. Dia anak dari Papa, mereka juga adikku. Aku belum bisa kontribusi banyak untuk keluarga ini secara materi, kan? Jadi baby sitter keren juga, kok. Nanti, kalau-kalau ditanyain Mamanya Saki kelebihanku apa, aku bisa jawab, aku momong dua anak sebelum menyandang gelar ibu, hehe. Bisa-bisa terkesima beliau.

"Dah ganteng nih anak Bunda. Turun, ya, main sepeda sama Papa."

Kepala si bocil mengangguk, kemudian berlari meninggalkan kamarnya. Sekarang, kulihat Bunda berdiri tegak, kami berhadapan, saling tatap. Duh, aku paling deg-degan nih dengan posisi begini. Tidak ada yang easy dengan tatapan serius itu. Ditambah, gelagat sungkan yang Bunda keluarkan dan aku rasanya mau kabur. Pilihannya cuma dua; kabur sekarang atau pura-pura sebelum pingsan beneran dengan cara tidak menawan.

"Bunda dan Papa tuh ngerasa bersalah sama kamu."

"Bun?"

"Seusia kamu mungkin harusnya nikmati waktu, keluar rumah, cari pertemanan—"

"I do!"

"Tapi kamu dibebani dua anak sebelum waktunya. Tunggu sebentar lagi, ya, Thi? Sampai Papa bisa beresin, kita pasti lebih tenang. Bunda nanti nggak perlu ikutan kerja dan akan fokus rawat rumah ini."

"Itu yang Bunda mau? Atau sebenarnya Bunda suka kerja?"

Dia terdiam.

Aku nggak salah tanya, kan? Maksudku, di media sosial tuh rame soal cewek yang setelah menikah merasa dunianya terampas secara sadar dan nggak sadar. Waktu gadis pekerjaan OKE, pas nikah full ngurus rumah. Ada yang memang itu maunya dan happy—kita nggak bahas soal rasa bosan, ya, karena apapun yang kita lakuin, pasti ada rasa bosan sesekali—menjalani, ada juga yang karena paksaan suami atau keluarga.

Nah, aku nggak mau Bunda terjebak di pilihan kedua itu.

"Atau aku sambil cari kerja biar bi—"

Kepalanya menggeleng. "Bunda gini-gini tipe yang fleksibel lho," Dia tertawa kecil. "Bunda suka di rumah, sama anak-anak, tapi Bunda juga suka kumpul sama temen kerja. Semua ada plus dan minus. Tapi, karena nikah dan punya anak udah jadi pilihan Bunda, udah pasti harus milih salah satu. Bunda lebih milih di rumah sebenarya. Tapi, karena Papa lagi ada masalah, Bunda mau bantu. Maaf jadi kamu juga harus ikutan bantu."

"Dengan momong Abang dan Adek?" Aku tertawa. "C'mon! Nilai aku sekarang soal momong pasti udah di level advance, Bund. Percaya deh."

Bunda tertawa kecil.

"Tapi, nanti setelah kamu wisuda, kamu kerja, Bunda sama Papa akan usahain sebisa mungkin kasih kamu kebebasan buat hidup kamu. Kamu boleh kalau mau kost, coba hidup sendiri. Tapi bukan berarti nggak dibawah pengawasan kami, ya?"

"Iyaaaa. Nanti, kalau aku udah kerja, aku mau bantu keuangan kita."

Bunda terkekeh geli. "Kita masih cukup, masih jauh dari kata kurang kok. Jangan terlalu dipikirin. Mulai besok, Bunda sama Papa mau coba cari daycare yang—"

"No no no!" Aku melihat ekspresi Bunda kebingungan. "Aku lagi nggak banyak yang kulakuin, aku udah nyaman dengan rutinitas sama Abang dan Adek, jadi aku nggak mau mereka diurus orang lain. Nanti gimana kalau—Bunda, biar aku aja. Kalau aku salah, Bunda bisa kasih tau kayak biasa."

"Tapi kamu—"

"Please? Kecuali nanti aku udah kerja beneran, baru aku serahin amanat istimewa ini ke Bunda dan terserah deh Bunda mau gimana."

"Bener-bener plek ketiplek Papamu, ya, ngeyelnya."

"Is it that bad?" cengiranku membuat Bunda tertawa, kemudian memintaku istirahat, padahal yang mau kulakukan adalah siap-siap untuk hangout bersama grup pertemanan yang lain. Maksudku, bukan Sam yang waktu itu, lho!

Mengasuh anak memang susah, tapi melihat Papa-Bunda kerja keras banting tulang, dan adik-adikku diasuh orang, rasanya malah kayak anak nggak berguna akunya. Jadi, biarlah kujalani ini meski sambil ngeluh dikit. Sama kayak motto hidup dalam meme anak-anak Twitter; hidup ini isinya 5 W + 1 H, waduh, waduh, waduh, waduh, hadeeeeh.


***


Saat umurmu 23 tahun, pencapaiaan apa yang paling kamu banggain?

I'll go first, disangka umur 30-an padahal umur 25 aja belum. Apa itu masalah buatku? NOPE! Aku malah senang kalau disangka sudah dewasa. Rata-rata, orang menilaiku begitu sih dari muka dan warna rambutku. Apakah warna rambutku aneh? NOPE! Light brown warna normal, kan, ya? Tapi, mungkin warna itu kasih kesan dewasa buat wajahku yang memang boros. Badanku memang nggak bongsor, aku cenderung kurus, tetapi mukaku tuh kayak judes-dewasa-ngeselin gitu, lho! itu testimoni orang-orang, ya. Yang membantu sebagai penetral buat semuanya adalah outfit-ku yang katanya sih gemoy. Warna-warna pastel yang lucu, potongan pakaian dan mix n match yang jago. Kalau kelakuan, ummm, nggak usah dibahas, ya! Aku lagi buru-buru mau ke tempat janjian nih.

Ya, cewek sinting mana yang sibuk menjelaskan kelebihan dirinya sepanjang itu. Aku.

"Mau pake helm, Kak?"

"Iya dong!" jawabku yakin, menerima helm dari bapak ojek online. Sang penyelamat kehidupan. Nggak ada nggak hidup aku sekarang. Pencapaian terbesarku bersama ojek online adalah bersedia pakai helm mereka sebau apa pun helm-nya. Aku meski sinting juga kadang punya hati nurani lah. Bau helm mereka ini aku nggak berani judge. Mungkin karena butuh banyak narik penumpang, jadi nggak sempat cuci helm, atau memang customer sebelumnya punya masalah sama rambut dan kepala, makanya jadi lebih bau.

Pada intinya, memang ada helm mereka yang saking baunya sampai perlu menahan napas ketika memakainya. Sampai di tempat tujuan, aku tinggal semprot rambutku, semua beres. Itu kenapa, aku bukan tipe cewek simpel yang bisa bawa tas kecil. Aku adalah makhluk rempong dan serba ekstra. Tasku mungkin sama besarnya dengan tas Bunda sebagai ibu dua anak. Terserah deh, kamu mau bilang aku pick ma pick me pick ma pick me.

"Ih anjrit tuh kan bedaaaa!" sambutan yang paling manis dari Ajeng, salah satu temanku.

"Gue kemaren ke salon udah bilang lho sama kayak yang lo bilang. Kok tetep beda sih layernya kita?"

Aku melempar pantat di kursi kosong, menatapnya sengit. "Makasih, lho, sambutannya. Lo bilang nggak kalau layer-nya jangan di dalem? yang di luar aja? Deket profil wajah gitu."

"Udaaaah. Bahkan gue play VN lo buat Masnya tuh. Ah bete."

"Udahlah, Jeng. Tetep cantiiiiiik. Tetep badai. Lagian, lo bentar lagi juga ditutup kerudung."

"Naaaah!" seruku, baru mengingat fakta penting itu setelah diucapkan oleh Fitri. "Problem solved."

Ajeng melotot tak terima. "Emang kalau pakai kerudung terus rambut gue boleh asal-asalan, ya?" Ih maksudnya nggak gitu kelessss! Tapi boro-boro sempat menjawab, Ajeng keburu nyerocos. "Ditutup kerudung, kan, buat di luar, gue tetep mau cantik buat diri gue sendiri dan suami gue dong. Nggak mau gue tampil gembel di rumah."

Aku mau cerita dikit deh, sambil si Fitri dan Ajeng ribut soal gimana tampil cantik di rumah untuk suami dan dirinya sendiri. Karena kalau bahas soal itu, Fitri jelas lebih tahu dibanding aku. Kalau aku ikutan-ikutan, bisa-bisa Ajeng ikutan sinting dan gagalin pernikahannya. Oh balik soal cerita dikit tadi, kali ini tentang Ajeng dan perjalanan uniknya. Yang aku tahu, Ajeng ini bukan berasal dari keluarga yang paham agama. Maksudku, ya so-so kayak aku begini—aku tidak membanggakan diriku sendiri ya di sini, jangan dihujaaaat!

Terus, dia kenalan sama cowok, dia umurnya lima tahun di atas kami. Katanya, doi anak pondok yang lumayan beken gitu. Secara looks memang ganteng, pokoknya idaman Ajeng banget deh. Ditambah, katanya hafidz Quran, pokoknya ibadahnya TOP. Pengetahuan agama sudah jauuuuuh lebih bagus dari Ajeng. Lalu, Ajeng cerita, tentu syaratnya Ajeng bersedia pakai kerudung. Ajeng nego, setelah pernikahan. Mereka menikah setelah Ajeng sidang, yang berarti dua minggu lagi (Ajeng itu cewek unik, dia maunya nikah di KUA aja, cukup). Yang bikin aku kagum, dia bisa yakin menikah dengan orang yang belum dia kenal lama. Apa itu, ya, yang namanya jodoh? Diyakinkan meski apapun jalannya.

Lucu, ya, kisah-kisah orang ketemu jodohnya.

Nah, makanya sekarang dia lagi ribut sama Fitri soal rambut dan kerudung tuh. Aku tim nyimak dulu kali ini, lagi mikirin kalau menyaksikan pernikahan teman di KUA, pakaianku nanti yang gimana? Aku, kan, anaknya heboh mampus.

"Eh, Thi!"

Lamunanku langsung buyar.

"Lo mau nggak sama cowok kayak Haikal gitu?"

Aku menoyor lengannya. "Kayak Haikal? Maksud lo apa anjir, Ajeng. Calon suami sesempurna itu pake kata 'kayak'."

Fitri ngikik di kursinya.

"Maksudnya, yang ... ya gimana ya kan dia beda sama kita. Kalau lo siap, nanti kalau Haikal punya temen, gue kenalin. Bukan gue sih. Tapi mereka kayak punya orang gitu lho buat jadi jembatan dan pengawas? Gitu-gitu lah."

"Udah sinting lo, ya! Nih fitri aja!"

"Heh!" Fitri melotot. "Macem-macem, gue aja udah siap apply S2, kecuali dia mau nungguin gue, ya."

Aku meringis. Bukannya apa-apa, masalahnya—wait, handphone-ku berdenting, aku meminta izin sebentar untuk mengecek siapa yang mengirim chat. Ngeri kalau-kalau baginda Papa sudah menyuruh pulang. MATI AKU! Mati kau, mati kita semuaaaaaa! Aku tuh sudah punya pacar, ya????

Saki

Uthi, sori aku telat, tadi ban mobilnya bermasalah.

aku udah di rumahmu, kata, Bunda kamu pergi?

Aku buru-buru mengetik balasan sambil terus merutuki diri sendiri. Aku abaikan pertanyaan teman-temanku yang bingung dengan sikapku ini.

Me

YA ALLAH SAKIIIII MAAAAPPPPP😭😭😭

GUE LUPA KALO UDAH PUNYA PACAR DAN KITA UDAH JANJIAN MAU JEMPUT YA?

GUE UDAH BERANGKAT DULUAN😭😭😭🙏🏽🙏🏽🙏🏽

Ini yang salah siapa?

Aku yang lupa atau Saki yang memang nggak ada chat apapun, jadi aku nggak ingat kalau sudah punya pacar?

Aku menatap Ajeng dan menggeleng. "Sori, Jeng, gue nggak bisa nerima yang kayak Haikal yang lo maksud."

"Ihhhhh kenapaaaa?"

"Ternyata gue udah punya pacar."

"HAH?" Ajeng dan Fitri melotot dan kaget bersamaan.

Sama, aku juga kaget kok.

Uthi begooooooooo!



---
kelamaan jomblo apa
emang sedeng lho, Thii?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top