CHAPTER 5

Gimana caranya meminta maaf sama stranger yang masalahnya kamu pun nggak salah-salah amat?

Apa aku kabur sekarang aja ya ketimbang pingsan di sini dengan tidak menawan karena diaaaaam terus kayak orang nahan kentut dan BAB. Lagian orang di sebelahku ini apa mulutnya nggak gatal pengen ngomong gitu ya? Diam aja kok betah. Aku memukul wajahku sendiri, karena merasa setan di dalam diriku sedang mulai tantrum kecil-kecilan. Ya, segini tuh masih hitungan kecil. Aku kadang bingung sama diri sendiri. Tahu salah, tapi tidak mau berubah.

Apa namanya kalau bukan cewek sinting?

Aku melirik cowok patung di sebelah nih, ternyata masih hidup. Walau aku nggak tahu itu napasnya cuma formalitas atau dia beneran sadar 100%. Kalau nunggu dia ngomong, kayaknya nggak bakalan kejadian deh, ini harus aku yang gerak nih. Tapi aku juga nggak perlu minta maaf kan atas kalimat goblokku tadi?

Ya, kayaknya nggak perlu.

"Nama lengkap lo siapa?" Entah ide dari mana pulak ini aku tiba-tiba menyerongkan badan dan mengulurkan tangan. Ofkors aku tahu betul dia lagi nyetir, tapi tanganku jangan sampai cinta bertepuk sebelah tangan. Kalau dia nggak mau kudorong badannya sampai keluar mobil. Jangan dikira badanku kecil ini nggak ada kekuatan.

Ia terlihat kesulitan karena berusaha memberiku tangan kanannya, tetapi kami berhasil bersalaman sebentar. Karena aku juga belum mau mati sekarang. Jangan dulu. "Alsaki Lakshan," jawabnya.

"Lo nggak tanya nama gue balik?"

"Boleh"

Boleh?

Jawaban macam apa itu???? Boleh? Aku memejamkan mata. Aku tahu, mungkin bagi Papa dan Bunda, hidupku ini terlalu abu-abu, makanya mereka mengantarkanku pada manusia seperti ini. Yang sudah pasti, ke depannya, hidupku akan seperti kora-kora; maksudku, bagian efek sampingnya seperti mual, muntah, kepala kliyengan, jantung nggak keruan, dan mendekati gila.

"Gue Dyuthi Indrina." Tahu responsnya? Hanya mengangguk pelan. "Kenapa lo nggak dipanggil Al?"

"Adikku udah dipanggil Al. Biar nggak ketuker."

"Oh lo punya adik? Berapa tuh?"

"Satu."

"Wah mau adu nggak? Menang nih gue," tantangku dengan senyuman selebar kakak-kakak mahasiswa yang lagi foto wisuda. Dia tersenyum! memang tipis banget, tapi aku bisa melihat dari profil samping wajahnya. Manis uga nih cowok kalau senyum. "Gue dong punya dua adek. Mau tau nggak namanya siapa? Anak-anak sekarang namanya kalau nggak aneh nggak idup keknya. King dan Queen, nama adek-adek gue. Lo boleh ketawa, Ki."

"Namanya bagus kok."

"Ha!" Aku mencemooh pujiannya. "Nama adek lo siapa? Al siapa?"

"Alfauzan."

"I see." Aku menganggu-angguk. "Umur?"

"23 juga taun ini."

"What?! Oh mati! Lo kembar?"

Dia tertawa pelan! Renyah bener, Om, ketawanya. Gitu dong, biar berwarna nih perjalanan kita. "Namanya Muhammad Alfauzan Lakshan."

"Berarti nama lo ada Muhammad-nya juga dong?"

"Yep."

"Kok nggak lo sebut?"

"Takut. Dia nama suci, kadang ngerasa kayak nggak cocok?"

"Iya sih, kita kan penuh dosa, yaaa." Aku meliriknya dan tersadar sesuatu. "Gue maksudnya, elo mah nggak tau ya suci apa berdosa."

Dia diam.

"Gue puter lagu boleh?" Buat jaga-jaga, kalau setelah ini aku tidak memiliki lagi pertanyaan dan kami diam, aku tidak mati gaya dengan mendengarkan lagu-lagu pilihan. "Lo suka lagu apa atau siapa?"

"Coldplay."

"Nice." Aku tersenyum lebar. "Mau lagu yang mana?"

"Bebas. Kamu yang pilih nggak apa-apa."

"Gue nanya lo, jawaban bebas nggak ada di pilihan." Oh easy, aku tahu dia menoleh dan menatap mataku sebentar. Mungkin batinnya sudah menjerit dan bertanya kapan dia terbebas dari cewek yang kelihatan feminin tapi ternyata punya jiwa preman ini. Maaf, ya, Saki, kadang teman-temanku di luar sana juga kaget kalau sudah mengenal jiwa premanku. Apalagi kamu yang tipenya karakter-karakter bangsawan ini. "So?"

"Amazing Day."

Oh?

Aku mengangguk, dan mencari lagu itu di antara deretan list song Coldplay. Setelah kuputar, aku mulai menggoyang-goyangkan badan. "Ternyata lo mellow-sweet-romantic-apalah apalah itu, yaaa," kekehku geli sendiri. Aku tuh sebenarnya bisa, lho, nggak cengo melongo bego kayak waktu dikenalin ke Gago sama si Sam. Kalau kenalannya dikasih waktu, jangan ditembak kayak waktu itu. Nge-freeze lah gilak! "And timeeee seemed to say ... forget the world and its weight."

"Waktu liat kamu di akikahan Sabian, aku langsung keinget lagu ini."

Jogetan pelan tubuhku seketika terhenti, aku menoleh, menatapnya, kemudian terpingkal-pingkal sendiria. See? Kalau Bunda nggak terima cowok ini kusebut weird, okelah aku setuju kalau dia ini memang unik. Unik mampus. "Terus lo bayangin dong punya anak sama gue?" Aku makin terbahak saat melihatnya mengangguk, sambil menahan senyum. "Gue pasti kece banget ya, hari itu. Sopan pake tunik, momong bayi pulak. Idaman cowok yang emang nyari pasangan yang tipe keibuan. Terus pas lo tau gue sekarang ini, lagu apa yang lo inget?"

Kepalanya menggeleng.

"Sweet but psycho?" tanyaku geli.

"Atau a head full of dreams-nya Coldplay juga bisa."

Please, dia lucu abis! Tawaku tak berhenti dari tadi. Dia sesekali menoleh, dan bibirnya terangkat sedikit, hanya senyum tertahan. Pasti dia berpikir aku beneran cewek sinting yang dari tadi nggak berhenti ketawa. Dia lebih sinting karena ternyata imaginatif banget. Ew tapi lucu.

"Eh betewe, lo kok nggak bawa laptop?" tanyaku baru sadar di sekitaran tidak menemukan benda keramat untuk mahasiswa akhir itu.

"Memang enggak."

"Lah, katanya mau ngerjain skripsi di Perpusnas."

"Iya, kamu."

"Elo?"

"Udah selesai, tinggal nunggu jadwal sidang."

Aku mengeram frustasi.

Kenapa tidak ada yang senasib denganku???? Kenapa semua orang yang kutahu sudah melewati masa-masa kritis sementara aku kok jalan di tempat? Ya walaupun aku sendiri sih yang gampang kelelahan kalau lari, makanya milih jalan di tempat. Tidak tahu deh kapan sampe finish-nya. Nggak seru ah, Saki! Aku jadi bete, karena ternyata nanti yang stres di Perpusnas cuma aku.

"Nggak apa-apa, nanti aku bantuin."

"Semua? Yang nyari buku, yang nyari materi, ngetik, dan analisa?"

"Nanti kamu pas sidang nggak ngerti apa-apa, gimana?"

Aku tergelak. "Bercandaaaa! Tapi kalau lo mau alhamdulillah." Aku nyengir lebar. Kemudian mengatupkan mulut rapat-rapat. "Lo nggak akan cerita apa pun ke Bunda, kan?"

"Cerita apa?"

"Obrolan kita ini."

"Kamu maunya gimana?"

"Awas ya kalau Bunda tahu detail."

"Siap."

Kami mulai memasuki area gedung Perpustakaan Nasional. Jadi inget dulu kali pertama ke sini, aku norak abis. Maunya foto sana-sini, nyari buku mah opsi kesekian. Tempatnya lumayan, kok, bagus maksudku, dan ada kantinnya! Cuma, ya, kadang buku atau referensi yang kita cari tidak selengkap itu. Tapi, ini sudah kabar baiiiikkk dengan adanya ini di Jakarta.

Well, mobil kamisudah di parkiran basement, aku dan Saki sedang berjalan ke Mbak-Mbak yang di depan itu, lho! Apa sih namanya. Kami diberi tas jaring untuk nanti membawa buku dan barang yang boleh kami bawa. Diberi kunci loker, satu berdua demi kecukupan tempat. Saki mah gampang, cuma bawa hand bag kecil warna abu-abu yang aku nggak tahu isinya apa. Dompet doa ka—eh enggak! Di tetap memasukkan hand bag itu ke loker setelah mengambik dompetnya dan memasukkanya ke kantong. Kemudian tangannya terulur, meminta alih dari tas jaring yang kubawa; berisi laptop, handphone, dan kertas revisianku.

"Oh bentar, dompet gue belum!" seruku, saat dia sudah main jalan aja mau keluar. "Nanti di kantin atas takutnya nggak bisa cashless, ge lupa deh bayarnya gimana."

"Aku punya cash kok," jawabnya.

"Yaiyaa, tapi gue juga mau bawa."

"Buat?"

Aku memandangnya aneh. "Ya buat bayar toh, Bosss!"

"Kan aku punya."

Aku mengibaskan tangan, kemudian memasukkan dompetku ke tas jaring di tangannya itu lagi. Jangan sampai kita gelut di sini dan disaksikan banyak orang yang sedang sibuk menentukan barang mana yang akan disimpan di loker. "Ayok!" ajakku, pada akhirnya. "Lo punya membernya nggak?"

Kepalanya mengangguk.

"Okeehhhh. Siniiiii!" Aku menarik tangannya karena dia tidak mau masuk ke dalam lift. "Lo kalau mau tetap hidup di sini harus berani tempur," bisikku berusaha sepelan mungkin. Menutupi bibirku dengan tangan dan berjinjit agar memastikan bibirku dekat dengan telinganya. Wow, aku baru sadar dia wangi. Tidak mencolok karena nyatanya harus menempel baru tau wanginya.

"Tapi tadi mbak-mbak mau masuk."

Aku memutar bola mata. "Ya semuanya mau masuk kaliiiiii. Di sini turunin dulu level kebaikannya, soalnya kalau kayak gitu, lo nggak naik-naik. tetep di depan pintu lift sampe Pak Jokowi digantiin Pak Prabowo noh. Eh malah senyam-senyum? Gue serius." Aku tersenyum lebar ketika ada Mbak-Mbak di lift melirikku. "Punten," lirihku sambil mengatupkan kedua tangan.

Akhirnya kami keluar dari lift dan aku mengembuskan napas super lega.

Kami memasuki gate kecil, kemudian mencari-cari meja kosong di tengah rak-rak buku untuk meletakkan tas jaring ini. "Itu!" ucapku berusaha tidak teriak, kuseret Saki berjalan sebelum ditempati orang. Ini makhluk jalannya lambat banget sih. "Lo mau tunggu sini? Biar gue cari bukunya dulu."

"Dibalik aja gimana?"

"Apanya?"

"Kamu duduk di sini, biar aku yang cari bukunya."

"Emang lo tahu?"

Kepalanya mengangguk. "Bundamu udah cerita tentang penelitianmu."

Aku terdiam.

Bunda?

Aku tidak tahu kalau dia ternyata selama ini beneran mendengarkan setiap aku bercerita tentang perkembangan skripsiku. Kukira, saat dia bertanya, itu hanya formalitas orangtua yang ingin tahu keadaan anaknya.

Well, Bunda yang baik jadi bikin aku merasa bersalah kalau kadang membuatnya kesal. Apalagi soal keadaan rumah, King, atau Queen. Sambil menunggu Saki mencari referensi, aku menyalakan laptop dan membuka file MAHA PENTING. Ini hilang, bukan cuma masa depan yang melayang, tapi nyawaku juga. Selesai menampilkan hasil kerjaku sebelumnya, aku membuka handphone, tentu aplikasi TikTok untuk melihat anak online-ku.

The one and only, Cipung Abubu Hacikule Abracadabra.

Aku hanya suka tiga anak kecil di dunia ini; King dan Queen—ofkors kamu tau alasannya dong?—dan tentu Cipung! Moodbooster di tengah gempuran orang ribut di media sosial. Aku bahkan rela kadang-kadang begadang untuk melihat vlog-nya. Aku refleks mengunci layar handphone saat sadar Saki sudah balik membawa beberapa buku. Maaf Cipung, aku minta waktu sebentar untuk menyongsong masa depan. Kamu mah aman, masa depan terjamin, aku ini yang masih ketar-ketir. "Lo tau Cipung, kan, Ki?"

"Cipung?"

Ummmm, roman-romannya nih orang nggak tahu. Aku kembali membuka layar handphone dan menunjukkan padanya. "Ini lho, terapis gratis dan paling manjur buat orang-orang gila sekarang."

"Oya? Bayi?"

Aku melotot. "Dia bukan bayi biasa, ya. Dia bayi Cipung."

"Apa bedanya sama Queen?"

"Arghhhh!" Aku mengeram tertahan. Jangan sampai aku menjawabnya dan terdengar seperti Kakak sinting untuk Queen. "Lupain. Thanks anyway." Senyumanku lebar, menatapnya penuh haru. "Mau ketikin sekalian nggak, gue yang dekte?"

"Boleh."

"Sinting lo ya?" Aku tertawa pelan melihatnya kebingungan. "Jangan baik-baik lah, Ki, jadi orang. Nanti gue jadi nggak tau diri. Sini biar Dyuthi menyelesaikan misi. Nggak harus semua sekarang. Inget, yang penting ada progres." Aku memberi motivasi untuk diriku sendiri. "Menepuk kedua tangan di depan layar laptop, aku— "Ehiya, belum gue baca bukunya. Haha." Aku menarik salah satu buku dari tumpukan yang dibawa Saki, membacanya dengan berusaha sangat fokus. Tapi, tiba-tiba aku merasa aneh. Kan! Kulirik, Saki malah memangku kepalanya yang miring itu dengan sebelah tangan di atas meja, menatapku. Tanpa menoleh, aku mendorongnya pelan. "Jangan liatin kayak gitu kalau nggak mau jadi pacar gue."

"Mau kok."

Aku meringis, menatapnya konyol. Kemudian menggaris miring jidatku dengan telunjuk alias memberitahunya kalau otaknya miring.

"Kamu beneran belum punya pacar?"

Gimana mau fokus ini bacanya, menatap buku cuma buat pura-pura. Aku mengembuskan napas, masih menatap buku di hadapanku. "Ya kalau punya, ngapain gue ke sini sama lo. Aneh."

"Uthi."

"Hm."

"Uthi."

"Apasiiihhhh," bisikku mulai kesal dan memutuskan untuk memberinya tatapan tajam.

"Kamu percaya ada istilah tertarik di pandangan pertama?"

"Percayalah! Kayak pertama kali liat Cipung."

"Bukan bayi, tapi orang gede."

"Iy percayaaaa, maksudnya sama aja."

"Sip."

Aku memandangnya aneh. "Sip apaan?"

"Ya?" Dia malah kebingungan sendiri. "Oh, sip maksudnya. Berarti kita sepakat soal itu."

"Terus???"

"Kamu mau nggak kita coba ini beneran?"

Demi apa?!

"Ki ... lo nggak nembak gue, kan?"

"Oh enggak. Maksudnya ... okay lupain. Serem, ya?"

Aku menggelengkan kepala, menatapnya serius. "Maksudnya apa?"

"Aku mau coba kita bisa sejauh apa. Nanti, kalau kamu ngerasa nggak cocok, nggak apa-apa berhenti." Mendengarnya bikin aku melongo. "Aku mau coba. Kalau aku keliru ngelakuin sesuatu, kamu boleh banget kasih tau. Kayak tadi, tiba-tiba ke rumahmu. Aku pikir Bundamu dan kamu udah ngobrol. Aku minta maaf." Ini dia bisa ngomong banyak, lho! "Tapi ngasih taunya jangan galak-galak, ya, Thi?"

"Hah? Emang gue galak?"

Dia tersenyum tipis, menggaruk kepala belakangnya.

"Tapi nggak langsung pacaran, kan, Ki? Atau tiba-tiba lo ajak gue nikah kelar lo sidang. Jangan sinting."

"Enggak engak. Senyamannya kamu. No rush."

"Okay."

Kepalanya mengangguk. "Thank you."

Dunia modern memang begini apa, ya?




---
Dunia modern fiksi doang, Thiiiiu. Soale kalo realita nih tetep jomblo😔🙄

Salam,
Jomblo menawan💋🗿

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top