CHAPTER 4
Apa iya di dunia ini nggak ada yang namanya kebetulan? Masa sih?
Bahkan untuk sekecil pertemuan dengan orang asing, ternyata sudah diatur. Kalau nggak diatur Tuhan ya diatur manusia. Oh easy, aku paham kok Tuhan memang pasti terlibat atas segala hal yang terjadi di muka bumi ini. Yang kumaksud adalah ... manusia yang ngatur ini aku tahu dengan kepala mata sendiri gitu, lho.
Bunda.
Ummm, kuyakin Papa juga terlibat.
Mereka selalu satu suara, kan?
"Kamu udah dewasa, Papa dan Bunda secara resmi udah bolehin kamu punya pacar yang serius. Tau, kan, serius yang Papa maksud di sini? Bukan berarti besok minta nikah. Tapi lebih ke ... jalin hubungan dengan cara dewasa. Nggak boleh sembunyi-sembunyi, nggak boleh main-mainan kayak anak kecil, harus positif untuk keduanya, jangan saling ngerusak diri dan masa depan. Ngomong-ngomong, Saki anak yang baik, sopan, nggak neko-neko, pemalu. Jadi bisa ngimbangin kamu."
See?
Kalimat sepanjang itu diucapkan Papa di perjalanan pulang kami dari rumah saudaranya Bunda waktu itu. Aku mengesampingkan kalimat pujiannya untuk Saki meski artinya adalah sifatku kebalikannya dari cowok itu. Gitu, kan, pasti maksud Papi? Oh itu pula mungkin alasan 'pakaian harus tertutup'.
Ckckckck!
Menariknya, tentu itu bukan satu-satunya, lho! Kamu harus dengar kalimat pendukung dari partner terbaik Papa. Yep, Bunda.
She said "Proses skripsi itu susah, lebih butuh fokus yang extra ketimbang bertahun-tahun tugas sebelumnya. Ngerjain skripsi cenderung bikin stres, nunggu dospem yang suka ngilang, kasih revisi nggak manusiawi, nge-down buat lanjutin bab, liat temen udah sidang, dan lain-lain." —termasuk ngurus dua bocah, tambahku dalam hati. Kok bisa sih Bunda enggak memasukkan itu ke list di kalimatnya?— "Bunda tau perasaan itu dan Uthi boleh fokus ke hal lain juga. Pasangan bisa bikin kita lebih semangat. Tapi, karena nggak semua hubungan itu nyenengin, apalagi kalau ketemunya cowok yang enggak banget tuh, makanya Bunda coba kenalin ke Saki. he's the best. Kayak yang Papa sebutin tadi. Cara Bunda ngenalinnya ke kamu nggak kerasa kayak perjodohan Siti Nurbaya, kan?"
Saat itu, aku cuma bisa meringis dan menjawab, "Ya, ini lebih kerasa kayak perjodohan modern. Mungkin cocok dinamanin Perjodohan Dyuthi Indrina."
Kalau memang ini perjodohan, ya Bunda memang benar. Aku bahkan nggak merasakan vibes dijodohin tuh waktu itu. Yang kerasa cuma diliatin orang aneh yang lagi makan snack ... apa sih snack-nya dia waktu itu? Giliran disapa, eh ternyata diminta nganterin susu Queen. Harusnya, kalau perjodohan, dia ngomong lebih banyak dari sekadar 'Saki' yang kudengar sebagai 'Sakti' itu.
Oh atau ... dia juga sama denganku, baru diberi penjelasan panjang-lebar saat di perjalanan pulang.
Here's the thing.
Kalau begini caranya, aku mendingan terlibat diperjodohan Siti Nurbaya aja—dengan cowok yang OKE ofkors—daripada nasibku sekarang. Saking modern-nya cara Bunda, aku benar-benar hanya diberi tahu letak pintu. Boro-boro pintunya dibukakan, ini aku harus mencari kuncinya sendiri. Maksudku, aku dikasih nomor WhatsApp Saki, tapi pertanyaannya, terus Bunda berharap aku gimana?
Hai, ini aku, yang kemarin kamu liatin.
Hai, ini aku yang kemarin lagi momong bocah, dan ternyata kita dijodohin lho!
Hai, ini aku, yang budeg dan mikir namamu Sakti hihi.
Hai, ini aku—AH AKU MEMANG NGGAK BISA SELEMBUT OUTFIT-KU! Mereka semua boleh melabeliku cewek bunga, cewek, kue, apalah. Tapi aku sama sekali nggak bisa bersikap kayak mereka-mereka yang kulihat itu. Yang lembut, kalem, dan lucu. Aku kadang budeg, judes meski nggak bermaksud begitu, dan aku suka ngegas tiba-tiba.
Treatment melatih emosiku adalah King dan Queen, Papa dan Bunda tentu aja, sisanya, kesabaranku hanya setipis dompetku selama proses skripsi ini.
Kenapa pula harus aku yang memulai coba? Ofkors aku paham it's 2023! Sudah sangat nggak zaman tuh buat dulu-duluan make a move. Tidak ada istilah tugas cewek dan cowok tet tot tet tot tet tot! Tapi please lah! Kalau kondisinya begini, boleh, kan, aku berharap dia yang memulai?
Aku nggak ngerti cara mulainya!
Aku mungkin pernah bilang aku pernah menembak cowok duluan, tapi itu case-nya beda. Kami sudah kenal, dia duluan yang approach, terus kami temenan. Aku pikir aku kena serangan friendzone, dan saat itu aku gambling abis: diterima atau kehilangan dia selamanya. Eh diterima dong! Meski hubungannya cuma sebulan dan setelahnya beneran kehilangan dia, ngakak banget kalau ingat ini.
Cinta nggak didapat, teman pun melayang.
Nasib.
"Uthi!" Ketukan di pintu terdengar. Aku buru-buru meletakkan handphone di kasur dan berjalan tergesa untuk membuka pintu. Bunda. "Saki udah di bawah."
"WHAT?!" Aku berdeham, menatap Bunda tak mengerti yang anehnya dia malah membalas tatapan bingung juga. Harusnya aku yang bingung di sini dong, Bun! Seolah ngeri Saki akan mendengar, aku berbisik lirih, "Kenapa dia di sini?"
"Katanya mau ajak kamu ke Perpusnas. Cari-cari buku referensi atau ide buat lanjutin Bab."
"Dia bisa, lho, chat aku dulu."
"Lho, dia nggak chat?"
"I know right?" jawabku karena paham ternyata Bunda juga sama bingungnya dengan makhkuk itu. "He's weird."
"Nggak weird lah, cuma unik."
"Seriously, Bun?"
"Yaudah gini aja, kamu boleh jalan-jalan keluar rumah, nikmati hari Minggu. Kamu bisa lho, nyolong dan bohong, Thi. Sampe sana pisahan dari Saki, pesen ojek sendiri ke mana kek. Masa kayak gitu aja diajarin sih, Nak? Atau mau hari Minggumu momong King dan Queen biar Bunda dan papa yang keluar jalan-jalan?"
Selaluuuuuu pilihan yang sulit! Yang keluar dari mulutku, "Okay, Bunda. Aku pilih keluar. Mind to help me, please? My outfit."
"Okay."
***
Ini aneh, tapi muuuaanis kalau kata Om Anang.
Aduh kamu harus lihat langsung deh cowok satu ini. Sambil melakukan scanning penampilannya, aku lagi berusaha mencocokkan dengan deskripsi yang digemborin sama Papa dan Bunda. Saki baik, Saki sopan, Saki nggak neko-neko, dan Saki pemalu. Apakah semua deskripsi itu cocok untuk cowok di depanku ini yang berpakaian ... ummm, aku jelasin satu-satu deh, ya, nanti kamu bantu menentukan. Dia ... mengenakan polo shirt warna dongker dan celana ... aku yakin itu berbahan kain, warnanya cokelat tua. Apa sih nama-nama jenis celana cowok tuh?
Masa iya ada istilah kulot.
Okay, aku setuju sama Papa dan Bunda, dia memang kelihatan anak 'baik-baik'. Tapi pakaian nggak menentukan apa pun, hey! Bisa aja besok dia bersikap kurang ajar seperti Goga, yang minggat tanpa sebab dan pamit.
Aku dan Saki sudah berada di mobilnya, mobil orang tuanya, ah nggak tahu lah. Mungkin begini yang dimaksud Papa hubungan serius. Keluar pamitan dengan resmi. Dia belum ngomong apa pun, meski tadi membantuku membuka pintu mobil. Aku mengetesnya dengan tidak langsung memasang seat belt.
Coba dong, Saki, ayo tunjukkan gerakanmu.
Yeay! Mungkin dia mendengar suara batinku, dia menoleh, dan menatap seat belt dan aku bergantian. Aku tahu maksudnya, tapi aku mau mendeng—wait, mataku malah salah fokus sama snack di dashboard, itu snack yang sama! Sepertinya aku kenal snack itu. Dia ini umur berapa sih? "Itu Chiki Ball, ya?"
Dia mengangguk. "Mau? Ambil aja."
Aku menggeleng. "Nggak enak." Aku terdiam setelah sadar akan kalimatku yang kejam dan tidak sopan. Berdeham beberapa kali, aku langsung meralat kalimatku. "Maksudnya, gue kalo makan ciki langsung batuk, makanya jadinya nggak enak."
Baru pertemuan pertama, sudah penuh kebohongan. Tapi untuk jajanan Chiki Ball, aku memang jujur. Sorry ya fans-nya, tapi dia memang nggak enak.
"Betewe lo punya hape?" tanyaku kebingungan mencari letak benda itu. Oh mobil kami sudah jalan, ya, setelah aku akhirnya memasang sabuk keamananku. Aku melihat kepalanya mengangguk. "Punya aplikasi WhatsApp?"
"Punya."
"Punya kuota? Atau memang ngandelin wifi di rumah?"
I know, I know, dia terlihat kebingungan. Menoleh beberapa kali, menatapku aneh. Dipikirnya aku cewek gila kali ya. "Pu ... nya."
"Jari bisa ngetik?" Aku menunjuk jari-jarinya di atas setir itu.
Dia tak menjawab, cuma menatapku sebentar kemudian menatap jalanan lagi.
"Bisa ngetik?"
"Bisa."
"Terus kenapa nggak chat dan tiba-tiba udah di rumah gue?"
"Oh! Aku pikir ... kamu udah tahu."
"Lo pikir terus gue nggak mikir?" Ya amplop, aku ngomong apa, sih?? Wajar dia melongo bingung, aku aja bingung sama kalimatku sendiri. Aku berdeham dua kali, mengibaska rambut tebal dan sehatku ini, pura-pura menatap jalanan.
Sekalinya yang nggak ghosting, bentukannya malah begini; memancing kesabaranku yang memang tipis mampus.
Sabar, Uthi, sabar.
Oh atau sebenarnya kalimat yang benar adalah; Sabar, Saki, sabar.
---
Ya Allah, pengen suami kayak Randy Bachtiar.
Tapi istrinya aja levelnya Tasya Kamila :(((
kalau kamu maunya apa? huhu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top