CHAPTER 39

Demi apa pun, ini kalau aku dan Saki tiba-tiba bulan depan putus entah alasan apa pun, aku akan malu seumur hidup! Ditambah kalau abis foto studio apalah ini, aku jadi centil dan sok iye memposting hasil foto ke Instagram seolah bakalan beneran jadi keluarga. Habis aku dibikin malu sama jeja digital di kemudian hari.

Apa ... aku janjian sama Saki dulu, ya, buat keep foto-foto ini? Kita posting nanti setelah kita sah menjadi suami istri? Jadi, konsepnya ala-ala throwback gitu, lho! Tapi, kalau lihat gimana muka-muka orang-orang di sini antusiasnya bukan main, aku rasanya juga ikutan nggak sabar mau pamer ke warga online euy!

Tadi di luar juga waktu nunggu, aku melihat ada beberapa keluarga lain di yang kayaknya ... bawa pacarnya deh. Bedanya, yang ada di posisiku yang cowok dan kelihatan nggak tertekan sih buat foto-foto. Aku juga mungkin harus begitu.

Kalau dipikir-pikir ... nggak usah dipikir deh!

Nikmati aja.

Ami aja kelihatan enjoy banget tuh gantian foto. Sekarang giliran mereka soalnya, ummm maksudnya, Saki di tengah, kiri-kanan Ami dan Al. Terus Tante Moza dan ... wait a minute, aku tuh sebenarnya sudah dikasih tahu nama papanya Saki belum sih? Ya amplop, Uthiiiii, gimana bisa aku tidak tahu nama calon mertuaku sendiri. Ini bukan karena gugup atau apalah, yaa, tapi sumpah, aku merasa belum pernah mendengar nama papanya Saki deh.

Tet tot.

Sudahi lamunanku, karena sekarang aku dipanggil untuk maju ke depan. Ami dan Al gantian duduk, ofkors Ami dengan jiwa positifnya itu menyemangatiku seolah-olah aku mau perang. Memang benar sih, ini lebih mengerikan daripada—ya ngomong gini karena aku tidak beneran ada di zaman perang, kalau ada juga pasti aku sudah ... okay, kita sudahi pembahasan hal berat itu, fokus ke hal berat di depanku sekarang.

Aku tuh paham, aku bukan cewek pemalu yang lembut dan lucu, tapi siapa sih yang nggak gemeteran gugup kalau harus ikut foto studio macam ini coba? Maksud aku, ini gimana aku posenya euy! Mau merangkul Saki malah merasa berdosa banget, tapi masa iya, tangan di samping badan, kayak mau foto KTP aja.

"Kakak sama pacarnya boleh foto santai, Kak, nggak harus formal."

Oh nice, photographer! Informasi yang aku butuhkan. Kalau titah itu keluar dari mulutnya, aku tidak akan merasa berdosa-berdosa banget, hehehe. Aku lihat orang tua Saki juga angguk-angguk dengan ekspresi yang mendukung. Jadiiiii, ya aku langsung aja peluk Saki. jepret satu! Saki rangkul aku, jepret dua! Terus aku meletakkan genggaman kedua tangan di belakang tubuh dan mencondongkan tubuh ke Saki, pipiku menempel pada bahunya.

Sekarang adalah gantian foto semuanya.

Kalau yang ini beneran nggak perlu merasa canggung atau gimana, karena ya yaudah, baris, senyum ke kamera, jepret. Atau duduk mengikuti instruksi, tatap kamera, jepret. Beres deh! Nanti tinggal menunggu hasil akhir yang akan mereka edit supaya maksimal tet tot tet tot lainnya.

Kami percaya, Mas!

Sekarang, kita lanjut mau makan malam bersamaaaa! Waduh, beneran deh judulnya hari ini adalah; a day in my life with my boyfriend's family! Mungkin Ami sudah pernah sebelumnya, itu kenapa selama proses tadi dia sama sekali tidak terlihat kaku atau gugup. Dia menemani Al selama pendidikan hingga lulus, sepertinya, jadi sekarang sudah biasa. Aku mau ngobrol dan tanya-tanya juga nasibku belum baik ini. Entah kenapa, di saat Al dan Ami bawa mobil sendiri—yang aku tahu adalah mobil Ami, Saki malah tetap masuk ke mobil bareng orang tuanya.

Padahal, bisa aja lho, kami gabung ke Al-Ami dan lebih rileks.

Aku yang rileks.

Kalau Saki, ya di mana sama aja, ini juga orang tuanya.

"Uthi ada alergi bahan makanan atau apa gitu, Sayang?" Tante Moza nih asil, manis banget. "Jadi nanti biar aman, jaga–jaga."

"Ummm, enggak, Tante, amaann."

"Ada makanan khusus yang disuka dan kurang suka?"

Aku tersenyum. "Suka semua."

Dia tertawa. "Pantesan rajin masak." Waduh, rajin masak? Siapa nih? Beneran aku yang dimaksud? Aku melirik Saki, dia cuma tersenyum tipis. "Orang yang suka makan biasanya emang seneng masak biasanya, Thi. Tante juga sama. Kalau mereka nih beda lagi, suka makan kalau dimasakin."

Aku tertawa. "Gitu, ya, Tante?"

"Iyaa, nanti kamu kalau nikah sama Saki, marahin aja kalau dia nggak mau ikutan di dapur."

"Jangan ngilang-ngilangin, Mama." Saki kali ini bersuara. "Saki masih sering bantuin Mama di dapur ketimbang Al."

Tante Moza tertawa. "Jadi, mau diungkit-ungkit?"

Padahal tadi Tante Moza sendiri yang ungkit, lucu banget! Aku benar-benar menahan diri untuk tidak tertawa kencang. Sementara kulihat di sebelah, Saki tidak melawannya lagi, cuma mengangguk, tersenyum dan memberi jempol andalannya. Tumben nggak ada kata 'sip' yang keluar dari mulut manisnya itu.

Manis dilihat atau dirasa, Thi?

Astagfirullah, bisikan setan yang sangat tiba-tiba bikin aku blank. Tapi kayaknya aku beneran akan pura-pura pingsan setelah ini, karena blank-nya aku cuma sesaat, setelahnya malah melirik Saki dan menyiarkan ulang di kepalaku betapa gantengnya dia hari ini. Kalau hari-hari biasa dia sudah terlihat sangat manis, hari ini beneran bersinar.

"Tuh, Al nih selalu deh." Tante Moza sudah kembali ngomel ketika kami turun dari mobil di parkiran resto. "Selalu yang paling telat, padahal tujuan dan start-nya sama. Heran, dia tuh sebenernya lewat jalan mana sih? Atau mampir ke mana gitu. Coba, Ki, telepon udah sampe. Nih kalau Mama yang telepon udah pasti nggak diangkat. Kebiasaan banget."

Aku tersenyum dalam hati.

Ternyata semua mama di dunia ini memiliki kesamaan. Bunda pun sama, sering mengomel kalau Papa begini dan begitu, kalau aku juga curang soal waktu Abang main tablet. Benar kata Papa, seorang ibu itu menunjukkan rasa sayangnya sering kali terlihat keliru di mata yang mendengar.

"Lo di mana?"

"..."

Aku memperhatikan Saki yang sedang menelepon Al.

"Lama nggak itu?"

"..."

"Tapi kira-kira keburu nyampe sini?"

"Kenapa, Ki? Di mana dia? Nggak bisa ke sini?" Tante Moza sudah kembali heboh.

Lalu suaminya mengingatkan. "Ma, biarin dulu Saki ngomong sih."

"Yaudah kalau gitu, nggak pa-pa kok."

"..."

"Sip." Saki memasukkan handphone ke dalam saku celana dan menatap mamanya. "Ada telepon dadakan dari ortunya Ami, katanya. Jadi dia langsung anter balik Ami."

"Lho, kenapa?"

"Nggak tau, tapi kata Al, aman kok."

"Yaudah nggak pa-pa." Papanya Saki memberi kesimpulan. "Mungkin ada yang harus diurus, bisa ajak mereka makan malam kapan-kapan. Yuk, masuk!"

Aku menelan ludah.

Ami selamat, malah aku yang masih harus bersama mereka sampai malam. Bukannya tidak suka, ya, demi Allah, aku suka orang tua Saki karena mereka juga baik padaku. Tapi, aku tuh belum istirahat dari rasa gugup di dekat mereka. Jadi, rasanya aku ingin rebahan dan menyendiri, mengembalikan energi yang habis beberapa jam ini.

Tapi, memang aku sadar, aku bukan memacari cowok sebatang kara, jadi aku sudah pasti harus membaur dengan keluarganya, cepat atau lambat. Eh ternyata cepat. Bersyukurnya, karena makan malam itu berlangsung sangat aman. Tidak ada obrolan yang membuatku mati gaya, seperti ditanya tentang skripsi, rencana masa depan soal karir atau pendidikan lanjutan, ditanya tentang keluargaku, mama kandung, apalah apalah.

Aku benar-benar bersyukur kenal mereka.

Obrolan malam itu santai, tentang makanan, tentang wisuda Saki hari ini, tentang Saki masa kecil.

Sampai akhirnyaaa, tiba di penutup hari, yaitu Saki mengantarku pulang.

"Sekalian aja, Ki, kita anter Uthi dulu," kata Om Jalal, akhirnya aku tahuuuuuuuuu! Tadi aku dengar langsung Tante Moza sebut nama Om Jalal di depanku, dan dalam hati aku berteriak kemenangan. Soalnya, kalau tanya ke Saki, pasti aneh dan nanti kalau dia bilang 'lho, aku kan udah pernah bilang', mati aku.

"Tapi muter, Pa. Kalau dari sini arahnya, itu malah lewatin rumah kita jatohnya."

"Oya?"

"Kayaknya iya, Pa." Tante Moza nimbrung. "Sampai di lampu merah kematian itu, kan, kita udah deket banget, luruuss dikit, ke kanan, nggak lama sampai komplek. Kalau ke rumah Uthi ke mana arahnya, Ki?"

"Dari lampu merah?"

"Iyaaa."

Aku tertawa dalam hati, lampu merah kematian? Apa maksudnya?

"Ke kanan, itu masih jauh. Memang udah beda arah sih. Kita mending pulang aja dulu, Papa sama Mama istirahat, aku nanti sekalian jemput Al."

"Yakin kamu? Nggak capek?"

"Enggak kok. Rasanya aneh juga Al tadi nggak ikut, jadi nanti habis anter Uthi, aku bisa nongkrong dulu. Boleh, kan?"

"Ihh sampe jam berapa? Kamu seharian kecapean, masa bega—"

"Ma ...." Om Jalal menggelengkan kepala. "Waktu mereka libur tuh jarang sama, ditambah ini momen spesial buat Saki, jadi nggak pa-pa mereka ngabisin waktu berdua." Om Jalak terlihat menatap ke rear-view mirror. "Boleh, Ki. Tapi hati-hati, tetap dilarang minum alkohol."

"Sip."

Lucu juga, yaaa, cewek tuh mau ngomel sebanyak apa, kalau dinasehati sama pasangannya dengan lembut dan masuk akal, pasti ngalah juga pada akhirnya. Tante Moza juga nggak kelihatan ngambek atau gimana kok, kami masih ngobrol ringan selama di perjalanan, hingga akhirnya mobil berhenti di depan rumah Saki. Aku ikut turun karena mau pamitan juga sama mereka.

Tante Moza memelukku. "Makasih ya, Nak, udah mau luangin banyak waktu dan tenaga buat Saki hari ini. Nggak cuma Saki yang seneng, Tante sama Om juga seneng banget." Dia mengelus pipiku. "Nanti kita luangin waktu buat main berdua atau bertiga sama Ami, ya?"

"Iya, Tante. Makasih banyak buat hari ini dan maaf kalau ada sikap dan kata-kataku yang mungkin nggak enak tapi aku nggak sadar."

"Enggaak. Kamu anak manis dan baik, nggak ada yang perlu minta maaf. Titip salam buat Papa sama Bunda, juga adik-adik, yaaa?"

"Iya, Tante."

"Bilangin Papa, ya, Thi, kapan-kapan diajak main golf sama Om Jalal gitu." Om Jalal tertawa pelan. "Berani nggak dia kira-kira?"

"Sombong banget!" Tante Moza melotot.

Aku tertawa. "Papa sih pemberani, Om, nanti coba aku bilangin, ada taruhannya nggak nih?"

"Wah, kamu megang papamu?"

"Iya dong."

"Kita bahas nanti lebih lanjut.

Tapi tiba-tiba Saki muncul setelah entah apa yang dia lakukan di dalam mobil. "Wah kalau taruhan, aku vs kamu dong?" tanyanya padaku. "Karena aku juga pasti dukung papaku."

"Ih udah udah." Tante Moza memang kadang tidak seru, tapi aku tetap tertawa karena paham akan tujuannya. "Sana pulang, keburu kemaleman anak orang. Nyetirnya ati-ati, Kiii."

"Iyaaa."

Akhirnyaaaaa!!!!

Kesabaranku membuahkan hasil. Aku bisa berduaan dengan Saki tanpa perlu canggung dengan orang tuanya! Yuhuuuuu! Sekarang, aku sudah senyam-senyum memandangi Saki yang sedang asyik menyetir. Oh aku baru ngeh, dia sibuk di dalam mobil tuh beresin isi mobil sekaligus melucuti atasan dan menggantinya dengan polo shirt putih, andalan. Sekarang, dia juga pakai kaca mata.

Dia menoleh sekilas dan tersenyum.

Aku masih terus memandanginya.

"Kenapa, Sayang?" tanyanya, mukanya sudah memerah. Salah tingkah episode ke sekian.

"Nggak pa-pa, mau liatin pacarku yang ganteng banget." Aku melihat bibirnya berkedut. "Cieee, salah tingkah."

"Dyuthi."

"Apa, Om Saki?"

Saki ketawa. Lalu, tiba-tiba obrolannya berubah, menjadi agak serius. "Besok kamu beneran free? Nggak apa-apa sama Papa dan Bunda main sama aku berturut-turut?"

"Nggak pa-pa dong! Kan hari spesial kamu."

"Sip."

Aku yang tergelak. "Sip."

Dia melirikku. "Semoga besok lancar, yaaa, dinner kita."

"Whaaattt? Kamu doain dinner udah kayak doa mau resepsi tauuuu. Segala lancar. Ya lancar lah."

Saki tertawa pelan. "Kan, nggak tahu. Makanya doa dulu."

"Atau kamu nggak sabar ya mau liat kado-kado dari aku?"

"Salah satunya." Dia terkekeh. "Tapi yang paling penting, nggak sabar liat kamu mau secantik apa lagi di setiap momen yang beda."

"Aduh ngeriii, Om Saki udah pandai merayu nih." Aku terbahak-bahak. "Bayarannya apa nih, Om, atas pujiannya tadi?"

Dia menunjuk pipinya sambil tersenyum.

Aku ngakak maksimal. Tapi tetap anggap serius permintaan Saki, toh aku emang mau kok kecup pipi dia. Dia kayaknya nggak menyangka aku seriusin, refleks menoleh dan natap aku kaget. "Makasih," katanya.

"Sama-sama," jawabku geli.

"Kamu tau, kan, Sayang, kamu tuh luar biasa dan kamu pantes dapetin semua kebahagiaan dna kebaikan." Aduh, mulai lagi nih kata-kata manisnya. "Aku minta maaf ya, kalau selama jadi pacarmu, banyak kurang dan nggak peka, semoga ke depannya bisa lebih baik lagi."

"Sakiiiii. Nggak perlu kayak gitu ah."

Dia tertawa. "Aku serius."

"Aku juga serius."

"Kamu tau nggak?" tanyanya. "Sebenernya Al sama Ami tadi bukan dapet panggilan dadakan."

"Terus?"

"Mereka berantem."

"Hah? Sumpah? Secepat itu? Ummm maksudku, tadi kan baik-baik aja, Kiiii."

Dia mengangguk. "Nggak tau, Al belum bilang kenapanya, tapi nanti pasti bilang. Makanya aku mau jemput dia. Boleh, kan, Sayang?"

"Boleeeeh! Ih kenapa nggak boleeeh. Kita udah bareng lama banget dari tadi dan besok masih ketemu juga, dan besoknya dan besoknya. Tapi yang jelas, Al pasti butuh kamu malam ini."

"Thank you."

Aku mengangguk. "Menurutmu aku perlu tanya kabar Ami nggak?"

Saki terlihat berpikir. "Kamu ngerasa udah akrab sama dia?"

"Ummm...." Aku meringis.

"Kalau kamu nyaman, boleh aja, tapi kalau takut, nggak pa-pa, nanti kalau dia ngerasa perlu, pasti dia cerita ke kamu."

Aku mengangguk.

Sepertinya kalimat kedua dia yang paling bisa aku terima.

Setelah sampai di depan rumah, aku melepas seatbelt, Saki pun sama. Lalu dia mendekat dan memelukku erat sambil menepuk-nepuk punggungku pelan. "Sekali lagi, makasih udah nemenin aku hari ini. I love you, Sayang."

Aku mengangguk. "I love you. Hati-hati ya, By? Nanti kabarin aku yaaa."

Aku belum menerima chat dari Saki sampai aku sudah siap mau tidur. Jadi, aku pikir dia sedang sibuk menenangkan Al. Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi, masalahnya besar atau kecil, tapi yang jelas, mereka saling butuh dan akan saling bantu.

Aku selalu bangga sama Saki dengan rasa pedulinya yang besar.

Bahkan tadi, dia meminta izin padaku ketika mau repost story teman-temannya yang ikut merayakan salah satu hari besarnya. Dia menghargai teman-temannya, dia juga menghargaiku sebagai pacarnya. Aku merasa jahat banget kalau larang-larang dia, lagian beteku, kan, cuma buat Mira, bukan teman-temannya yang lain.




***

haiiiii! kalian tinggal di daerah manaa gengss? air amaann?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top