CHAPTER 37
The DAY has finally arrived, pemirsaaaa!
Hari ini memang bukan hari besarku, tapi rasa antusias yang aku punya sekarang nggak bisa disepelekan. Ini malah kalau mau coba-coba adu besaran mana sama rasa antusias Saki, aku rasa lebih besar yang aku punya deh. Soalnya, kalau diingat-ingat, tuh cowok, kan, lempeng abis! Jangan-jangan, hari wisuda ini di matanya nggak ada beda sama hari-hari lainnya. Tetap bisa tidur, bangun, melakukan aktivitas seperti biasa. Ohiya, bentar deh, jangan-jangan iya lagi! Aku tiba-tiba panik sendiri dan mencari-cari handphone mau coba telepon dia. Takutnya, dia terlalu santai nanti ada sesuatu yang tertinggal. Nggak mungkin, kan, sudah duduk manis sesuai kursi, mendadak harus pulang ke rumah mengambil printilan yang tertinggal. Dia akan tamat di sana, mati deh.
"Halo, Sayang?"
"Kiiiii!" Aku mendengar suara tawa pelan. Kan! Dirasa-rasa orang ini beneran santai banget nih! Nggak terdengar gugup atau apa tuh. "Kamu hari ini wisuda, lho! Demi apa pun, ini kamu persiapannya gimana? Udah aman semua?"
"Udah. Makasih, yaaa, udah ingetin dan peduli."
"Ya peduli lah, sinting kali aku, pacarku mau wisuda aku diem aja." Aku tertawa sendiri, lalu teringat sesuatu dan menepuk jidat karena merasa geli. "Karena kamu ngiranya aku, kan, sensitif sama hal-hal berbau skripsi dan orang-orang yang udah wisuda, ya? Iya, sih, aku suka iri dengki tapi nggak ada pergerakan, ck ck ck ck, sifat buruk yang harus dibuang jauh-jauh. Anyway, nggak ada ceritanya ya aku tetap iri dan nggak semangat hari ini. Aku ngga sabar lihat kamu pake toga dan baju wisudanya, pasti cakep banget."
"Takut kayak kelelawar," lirihnya, aku yakin dia sambil senyum nih.
"Mana adaaaa! Kan udah dicoba dulu."
"Iya, sih. Tapi nanti jangan diketawain, yaaa?"
"Aku ketawain ah. Sakiiii, kamu mana semangatnya ihhhh, mau wisuda lho! Demi apaaa! Kamu udah beneran beres sama kuliahmu, Kiiiii! Udah bye-bye deh sama dunia penat iniii, huft, finally! Yaaa kecuali tetiba kamu ngide lanjut S2, yaaa."
"Boleh nggak?"
"Apa?"
"Aku lanjut S2?"
"Whaattt?!" Aku tidak terima mendengar pertanyaan ini. Kalau kata orang-orang yang intelektualnya TOP, pertanyaannya ini tendensius abis nih! Nggak bisa dibiarin. "Apa maksudnya nanya kayak gitu, hm? Bisa-bisanya kamu tanya boleh apa nggak lanjut S2 ke aku, By? Emangnya aku Tante Moza yang biayain kamu kuliah? Yang bantuin kamu ngurus semua berkas-berkas? Aku tuh pacar kamuuuu, jangan-jangan kamu mikir aku kayak mamamu, yaaa? Ih nggak boleh tahu." Suara kekehannya malah terdengar di saat aku beneran lagi ceriwis banget ini. Harus! "Kamu nggak boleh anggap aku kayak mamamu. Aku maunya jadi pacarmu, pasanganmu, nggak mau ya didik dan besarin kamu."
"Maksudku tadi, kamu akan ngerasa baik-baik aja kalau aku lanjut S2?"
"I know!" ucapku nyaris kayak seperti teriakan maut. Untung Mama-Papa lagi rungsing bersama Abang dan Adek di bawah, kalau lagi santai, mereka pasti mendengarku dan seketika naik, mengetuk kamar untuk memastikan. "Aku paham banget maksud pertanyaanmu dan justru itu aku sebel, ya! Aku kesinggung ya sama pertanyaanmu."
"Aku nggak ber—"
"Aku emang frustasi sendiri kalau liat sekitarku udah beres sama skripsi sementara aku masih di sini-sini aja, tapi aku sadar kok itu kan karena akunya yang bikin dan memang otak orang tuh beda-beda. Tapi aku nggak gila. Aku jelas happy banget punya pacar yang pinter, suka sama pendidikan, mau lanjut S2, S3 sampai S berapa kek, aku suka, Kiiii. Dan kalaupun misalnya aku ngerasa insecure terus bikin kamu jadi mundur atau tutup buku sama cita-citamu, harusnya kamu tahu saat itu juga kalau aku sama sekali nggak pantes dapetin kamu. Kamu harus sama seseorang yang bisa diajak berkembang bareng, Ki. Kalaupun pasanganmu berkembangnya butuh waktu dan nggak bisa sama plek waktunya bareng kamu, seenggaknya cari yang nggak halangi kamu. Inget itu, ya?"
"I love you," ucapnya, di luar dari semua jawaban yang aku duga. Aku ngomong apa panjang lebar, jawabannya malah tentang perasaannya. "Aku happy banget kamu bisa begini, Sayang. Aku seneng kalau kamu nggak insecure, kamu selalu supportif. Overthinking itu nggak pa-pa, manusia emang tempatnya rasa takut, tapi gimana kamu masih bisa ngimbangi diri dengan pemikiran tadi, aku bangga banget. Kita saling nemenin dan duku satu sama lain, apa yang kita lakuin sekarang, apa yang mau kita tuju ke depan. Bener katamu, meski mungkin waktu tempuh kita beda, tapi kita nggak ninggalin gitu aja."
Aku tersenyum lebar. "Suka banget tiap kamu ngomong sepanjang ini."
Saki ketawa. "Mau denger lebih panjang?"
"Mauuuu!"
"Enggak ah, malu," katanya. "Kamu nanti ke kampusku jadinya sama siapa?"
"Sendiri paling. Katamu Al nyusul, jadi bareng Ami. Aku sendiri aja, deh."
"Maaf, yaaa, kursinya cuma buat dua orang."
"Ihhhh nggak pa-pa. Udah pasti buat Papa-Mama kamu dong. Kecuali aku istrimu, kayaknya baru buat aku dan anak kita." Aku terbahak-bahak sendiri membayangkan pasti di sana mukanya merah banget karena salah tingkah. Dia juga nggak bersuara apa pun sebelum aku dengar suara dehamannya berkali-kali. "Ki."
"Ya?"
"Sekali lagi selamat, ya! Aku seneeng banget seneng seneneeeng seneeeeng sebesar dunia dan isinya bisa kenal kamu, jadi orang yang kamu panggil 'Sayang'. Diperhatiin kamu di saat aku sehari-hari harus ngasih perhatian ke adik-adikku. Aku bisa, lho, seketika bikin sel otakku nggak bekerja waktu sama kamu, setelah hari-hari isinya ngurus bocil. Kamu tau, ini bukan complain soal adik-adik, aku sayang mereka, banget, tapi aku bahagia dan terharuuu banget sama kehadiran kamu. Kadang masih ... OMG, I don't deserve him. You. Makasih udah sabar banget sama aku. Orang-orang pada nggak suka sama cewek yang ramah, apalagi ke cowok katanya, contohnya Al, tapi kamu sabar banget. Aku udah janji akan tau batasan dan aku emang nggak bisa pastiin instan. Soal Daffa, aku beneran minta maaf, aku pikir dia nggak sejauh itu, tapi kayaknya dia beneran suka aku. Aku nggak ada niat kepedean sih, tapi kayaknya iya." Aku tertawa, melanjutkan. "Terus abis ini nanti pacarku beneran jadi orang dewasa, yang hari-harinya full isi kerjaan, mikirin masa depan. Aku mau jadi bagian di list masa depanmu itu, ya, Ki? Boleh, ya?"
"Boleh banget kok. Boleh banget."
Aku nyengir, refleks memegang perut karena merasa melilit aneh. "Nggak harus jadi yang paling tinggi atau prioritas satu-satunya, tapi aku maunya aku tetap sama kamu. Nemenin kamu lanjut magister, wisuda lagi, ngerjain deadline kerjaan, traveling, terus aku jugaaa. Aku emang belum kepikiran mau lanjut S2 sih, tapi siapa tau nanti abis aku wisuda, traumaku sama skripsi sembuh dan mendadak pengen nambah ilmu, kan."
"Pasti. Pasti. Aku juga mau sama kamu."
"Pasti nyenengin nanti lihat anak kita bangga punya orang tua kayak kita. Punya papa yang nggak cuma ganteng, tapi sabar, love language full diembat semua, pinter, sopan, aduh apa ya kurangnya?."
"Kalau mamanya?"
"Kalau mamanya .... Ummmm, seksi dong!" Kami sama-sama tertawa. "Ya walaupun skripsinya butuh waktu agak lama, tapi nggak bodoh-bodoh banget, kan?"
"Enggak. Terus?"
"Apa lagi ya, Ki?"
"Kamu bisa jelasin aku dengan banyak kebaikan, kamu harus bisa deksripsiin dirimu jauh lebih baik. Coba apa?"
Aku tergelak. "Lucu. Aku kadang mikir aku lucu, karena kamu suka ketawa sama aku, atau ngetawain aku sihhh?" Dia ikutan tertawa. "Sekali lagiii, selamat wisudaaa! Sampai ketemu nan—"
"Jangan lupa kirimi aku fotomu ya, Sayang?"
"Ya Allah!" Ofkors aku refleks memutar bola mata, tapi ketawa juga pada akhirnya. "Aku belum siaaaap! Masih pake baju tidur, masih gembel."
"Kamu nggak pernah gembel di mataku. Boleh dikirim sekarang atau nanti yang kamu udah siap. Mana aja, hapeku siap."
"Waduh, waduh, waduh. Siapa, Pak Sakiiiii."
Dia tertawa. "Aku lanjutin siap-siap dulu, ya, Sayang? Sampai ketemu nanti."
Sampai ketemu nanti tuh sama Saki, kan? Atau ya mentok sama keluarganya lah yang jelas ikut ke sini. Mamanya, papanya, Al, Ami, atau teman Saki, tapi, kenapa mataku tiba-tiba melihat dia di sini? Dari sekian banyaknya orang lalu-lalang bawa bunga dan hadiah, kenapa mataku melihat dia? Seingatku, mereka satu SMA yang sama, bukan satu kampus juga. Atau Mira punya teman di sini yang hari ini wisuda juga bareng Saki? Atau temannya itu ya Saki? Temannya? Saki sama Mira temenan? Aku kok nggak ikhlas ya kalau Mira beneran datang ke sini buat widuanya Saki.
---
hadehhhh. drama rumah tangga seumur jagung ini capek deh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top