CHAPTER 36
"Wait, wait, wait, Al, ini ke rumahmu, kaaaan?"
Ofkors seluruh manusia di muka bumi ini akan sama syoknya denganku. Sibuk terancam dan bingung memikirkan kondisi canggung tadi dan selama perjalanan juga Al bersikap sangat menyebalkan cuma karena dia kembaran pacarku—bener nggak, ya, aku pakai kata 'cuma' di kalimat itu? Nanti salah lagi, hadeh, serba salah jadi aku euy! Ketika otakku sudah sadar, tiba-tiba aku tahu mobil kami memasuki gerbang komplek rumah Saki, ya rumah Al juga.
Di sebelahku, tanpa muka bersalah, lagi-lagi mirip dengan Saki, Al jawab, "Iya, rumah Saki juga."
"Aku tahu!" seruku sudah layak disebut teriakan sih, ya bodo amat ini aku beneran panik alias siapa yang siap tiba-tiba dibawa ke rumah pacarmu, cobaaa? "Maksudku, ngapain kita ke sini?"
"Kok ngapain, Thi?" Dia ketawa, santai banget. "Saki emang sabar banget anaknya ya, heran. Itu kalau aku jadi dia dan denger kalimat itu barusan, wah sakit hati banget sih."
"Okay fine, pertama kamu bukan Saki, kedua, demi apa pun Tuhan semesta alam, Saki nggak pernah ya ajak aku tiba-tiba kayak gini ke rumahnya. Al, please, aku mau pulang. Aku nggak siaaapppp."
"Lah ini, kan, bukan pertama kali, kan?"
"Apalah, pertama kedua, intinya aku nggak siap. Kamu sendiri coba posisiin jadi aku deh sekarang."
"Posisi gimana?"
"Tiba-tiba ke rumah Ami, deh, emang bisa dadakan?"
"Bisa aja."
Aku mengerang frustasi. Ini kok bisa ya Ami tahan sama modelannya begini? Hiiiii, aku memang harus dan akan bersyukur selamanya karena yang menghampiriku waktu itu adalah Saki, bukan Al. Tidak pernah terbayang karena cuma mau mengintip skenario khayalan di kepala aja aku sudah ngeri maksimal, membayangkan kalau yang berhubungan denganku adalah Al. Saki pasti akan paham hal sesederhana ini; ke rumahnya tidak pernah sederhana untukku.
Aku pasti akan selalu panik dan butuh persiapan mateng.
Nggak tahu ya kalau nanti sudah jadi istrinya. Ckckck, bayangan ke sana belum boleh dulu, Uthiiiiii!!!! Ummmm, okay fine, ini sekarang gimanaaa?? Rasanya aku mau menjambak rambut Al dan membenturkan kepalanya ke setir mobil. Jangan dia kira karena outfit-ku lucu seperti kue—kadang—terus dia berharap jiwaku selalu selembut kue, giut? Noway! Aku bisa juga lho berubah jadi Hulk, Neneknya Hulk malah kalau dia memang mau.
Mau, nih?
Hwaaaa! Tapi aku nggak berani untuk sekarang ini karena sudah telat banget. Jarak rumah mereka dari gerbang, kan, nggak sejauh bayangan selesainya skripsiku. Tuh lihat tuh, mobil kami—mobil Al, papanya, bodo amat—sudah memasuki area rumah, ke garasi dan selama itu pula, bola mataku rasanya mau keluar karena aku nggak mau kedip. Soalnya kalau aku kedip, terus pas buka mata lagi, tiba-tiba ada papanya Saki gimana? Kalau Tante Moza sih, aku sudah ... sudah apa, Thi? Ummm, maksudku, ya pernah ketemu sih, walaupun masih gugup, tapi nggak parah amat lah.
"Ayok!"
Aku masih bersedekap tangan, tidak melepas seatbelt atau pun gerak-gerik mau membuka pintu mobil. You're right, aku mogok gerak dan mau diam di sini sampai Al kasih solusi berguna untuk masa depanku, putar balik dan mengantarku pulang, misalnya. Nggak susah, kan?
Tiba-tiba dia ketawa. "Ini Saki pacaran sama anak SD apa gimana?" Aku tahu banget dia bahas soal sikapku sekarang yang terang-terangan ngambek. Dibayangin aja sudah ngeri, berani ngambek di depan calon ipar, tapi aku akan pikirkan rasa malu ini nanti, karena ada yang lebih besar dari semua ini. "Bokap nggak ada di rumah, Thi. Kamu aman."
Mataku langsung berbicara ofkors! "SERIUS?!"
"Yaelah, iyaaaa!"
"Bilang dong dari tadiiiii."
"Ya kamu nggak bilang kalau itu yang jadi masalahmu coba. Emangnya sini mind reader."
"Lah itu buktinya bisa."
"Iya deehhh. Buruan, turun nggak? Atau mau dikunci di dalam mobil sampai Saki balik? Bentar lagi balik katanya."
Aku refleks melihat jam tangan dan benar, pacar rupawanku itu sebentar lagi akan sampai di rumah. Rumahnya. Ada aku sekarang di rumahnya, secara mendadak. Ya amplop, bahkan semalam aku tidak mimpi apa-apa. Hari ini sudah dimulai dengan sangat dramatis, mungkin memang sudah seharusnya berjalan seperti ini.
"Tapi aku nggak bawa apa-apa, Al! Gimana sih, ini kan main ke rumah camer."
"Kamu tuh yang lebih diharap-harapin sama nyokap ketimbang barang—by the way, kamu ngerasa kasar atau gimana nggak kalau pake gue-elo?"
Mataku melotot. "OMG, itu yang gue tunggu!"
"Ya kaaannn?" Mberbinar. "Demi deh, ngomong sama lo masa kudu hati-hati banget, pake aku-kamu lagi susah bedainnya nanti. Tau, kan, maksud gue?"
"Tau bangeeett!"
"Kalau Saki pake aku-kamu, bahkan saya juga luwes aja, gue geli ngerasanyaa. Cuma takut nggak sopan sama calon ipar. Tapi ini deal, yaa, nggak masalah?"
Aku memberinya kepalan tangan, mengajak tos sambil memasang ekspresi santai yang keren maksimal. "Santai, Broooo!" Saat dia terbahak, aku ikutan juga. "Yaudah, ini gue nggak bawa apa-apa, semoga selamat sampai tujuan.
Seharusnya sih aku sudah tahu semua ini, ya, kalau Mamanya Saki nggak akan pernah memberi tatapan atau vibes pengusiran. Yang ada, begitu disambut dengannya, aku malah merasa sangat nyaman dan aman—ya kalau gugupnya masih dong, namanya juga orang tua pacar.
"Kamu abis bimbingan ya, katanya?"
"Iya, Tante. Mau lihat nggak hasil corat-coret dosen aku?"
"Mau banget kalau boleh, tadi mau bilang gitu, takut Uthi-nya nggak nyaman."
Aku tertawa pelan. "Sebentar." Aku mengubek-ubek isi tas dan mengeluarkan kertas revisian, lalu menyerahkan pada Tante Moza. "Nih, Tan."
"Dikit banget ini revisiannya ah," komentarnya sambil membolak-balik kertas. "Pasti bisa diberesin, ini kamu hebat lho, revisinya cuma segini."
Aku sempat melongo sebentar, kemudian tertawa awkward. Karena ... segitu sedikit???? Itu, kan, banyak bangeeettt! Dia cuma mau menghibur atau memang ada yang pernah dia lihat revisiannya lebih banyak?
"Nanti makan malam dulu di sini, yaaa? Baru pulang dianter Saki. Atau nginep aja dong?"
Hah! Gimana jawabnyaaa???? Ngineeeeppppp? OMG, ide brilian tapi mematikan. "Ummm, emang udah boleh nginep-nginep? Kan, belum menikah."
Tante Moza tertawa. "Ya boleh, tidur sama Tante." Waduh waduh waduh! Yang ada aku akan melotot sampai pagi dengan napas putus-putus saking canggungnya. "Ami juga pernah nginep, lho. Tante seneng banget kalau pacar anaknya Tante nginep. Nanti Tante ajak keluar berdua, kita belanja, makan berdua, sama ... kalau kamu mau nemenin Tante ikut arisan. Seru tau, Thi."
Seru?
Aku tertawa aneh, aku sendiri bisa mendengar tawaku sangat aneh. "Kasian Papa sama Bunda, Tante, besok belum weekend, nggak ada yang urus adik-adik."
"Oiyaaaa!" Tante Moza menepuk jidatnya sambil ketawa, terus menyentuh lenganku dan ngelus pelan. "Kamu hebat banget, orang tua pasti juga hebat besarin kamu, bagi kasih sayangnya pas, makanya kamu sekarang bisa gentian bagi ke adik-adik. Uthi kalau butuh sesuatu atau bantuan dan nggak berani minta sama Tante, bilang ke Saki, ya, Nak, ya?" Ya amplop, hari ini beneran nano-nano abis! Bisa-bisa hasil dari rasa gugup dan tak ingin masuk ke rumah ini malah semua kalimat manis yang aku dengar barusan. Aku memangnya sebaik apa sampai layak menerima kalimat baik nggak ketolong barusan? Jadi terharu sampai mau nangis ini mah. "Tante nggak akan marah kalau kamu minta tolong atau bantuan ke Saki, dia juga pasti seneng banget. Dia meski nggak punya adik jarak jauh kayak kamu gini, tapi Tante bisa pastiin dia sayang dan sabar kok sama anak-anak."
Aku tersenyum lebar, mengangguk cepat-cepat sambil berharap itu sebagai distraksi biar nggak menangis nih aku. "Proven, Tante. Aku udah lihat langsung."
"Ya, kaaann? Tante seneng kalau kalian bisa saling tumbuh bareng-bareng, nerima background kehidupan masing-masing dan jalaninnya berdua. Mungkin nggak mudah buat adaptasi sama sikap masing-masing atau kehidupan yang berbeda, tapi bukan berarti mustahil, kan?"
Aku mengangguk.
"Cuma kadang masih nggak nyangka aja sih lihat Al sama Saki tuh." Tante Moza tetawa pelan. "Rasanya tuh masih kayak ... baru kemarin ah perasaan Tante elus-elus perut gede, baru kemarin deh perasaan mereka nangis barengan mau nenen, kayaknya baru kemarin juga Tante sama Om saling ngetawain mata panda kami berdua karena begadang ngurus dua bayi. Eh sekarang masing-masingnya udah pada bisa ambil peran yang besar banget, jalin hubungan sama anak kesayangan orang lain, berusaha bikin mereka bahagia, dan jadi pelengkap masing-masing."
"Aduh, Tante, maaf." Aku tertawa bingung banget karena mau menutupi juga sudah nggak bisa. Air mataku beneran nerobos dan aku yakin Tante Moza bisa lihat itu. Dia terkekeh geli lalu mengusap-usap atas kepalaku. Ternyata benar ya, bentuk rezeki tuh sebegitu banyaknya di dunia ini dari Allah. Kayak ... aku bisa kenal sama Saki dan keluarganya yang hebat ini aja rasanya masih nggak nyata.
"Terima kasih banyak, udah hadir di hidup Saki, yaaa, Uthi. Di hidup kami."
"Tante—"
"Assalamualaikum. Ini bahas apa sampai nggak denger ada yang ucap salam?" Pacarku dataaaang! "Kalau yang datang orang yang nggak dikenal gimana?" Benar-benar di momen yang tidak tepat. Aku buru-buru mengelap mata dan menoleh untuk menatap Sa—mati aku! Ada papanya juga!
"Orang nggak dikenal emang bisa masuk sembarangan?" Yang jawab papanya. Lalu matanya menemukanku dan seketika itu juga rasanya perutku sudah melilit. Aku mau kabur, tapi kalimat selanjutnya dari papanya terlanjur keluar. "Ini Uthi, ya?" Dia berjalan mendekat.
Aku berdiri dan bersalaman, mencium tangannya. "Om, salam kenal, Om."
"Iya. Udah makan?"
"Nungguin Papa sama Saki, Paaa." Yang jawab Tante Moza, aku kebagian nyengir dan ngangguk, alhamdulillah. "Kalian bersih-bersih dulu gih, nanti kita langsung makan."
"Al mana?"
"Ada di kamarnya."
"Ada Uthi kok malah di kamarnya?"
"Tadi Uthi ke sini sama dia kok, lagi teleponan sama Ami mungkin. Nanti Mama panggil buat makan malam. Udah sana pada bersih-bersih badan dulu."
Aku melirik Saki, dia juga sedang menatapku dengan senyuman tipis. Aku harus gimana ini? Mendekatinya dan memeluknya erat? Seolah-olah Tante Moza nggak ada. Boleh enggak, ya? Mungkin boleh, tapi nanti setelah Saki antar aku pulang, pasti dia tidak diizinkan bertemu aku lagi.
"Kalau mau ngobrol sama Uthi, nanti aja, Kiiii." Nah, kan! Boro-boro pikiranku tadi terkabul. "Masih ada waktu makan malam dan nanti kamu anterin dia pulang. Sekarang kamu pasti kotor, keringat dan debu dan aduh sana mandi deh!"
Aku meringis.
Saki ketawa, pelan banget sampai-sampai nyaris tidak terdengar. Disebut senyum juga bukan, disebut ketawa juga kecil amat. "Nyapa Dyuthi dulu boleh dong, Ma?"
"Ya boleeeeehh."
"Sip."
Mendengar itu aku berusaha kuat menahan tawa. Bahkan mamanya pun kena 'sip'-nya Saki, lhoooo!
"Yaudah, Mama ke dapur duluan deh. Uthi, nanti begitu Saki udah selesai nyapa kamunya, boleh nyusul Tante ke dapur, yaaa. Daripada sendirian di sini."
"Iya, Tante."
Lalu Saki berjalan mendekatiku, terus senyum manis maksimal. "Hai, gimana bimbingannya?"
Aku memutar bola mata. "Revisiannya buaanyaaaakkk."
"Sebanyak apa?"
"Segunung." Aku cemberut. "Mana coretannya nggak kebaca lagi."
Dia tertawa. "Nanti aku coba lihat."
"Saki."
"Ya?"
"Aku minta maaf soal kekacauan yang aku buat hari ini."
"Revisian maksudmu?"
"Bukan. Soal Daffa, Al, dan semuanya tadi."
Dia nggak langsung jawab, menatapku lekat-lekat dan aku menelan ludah, siap menanggung akibatnya—ummm, sebenarnya nggak siap sih, boleh bilang nggak siap? Badanku kaget banget saat tiba-tiba merasakan pelukan dari Saki di saat aku sedang sibuk membayangkan kemarahannya. Dia mengusap-usap punggungku, terus bilang, "Makasih, yaaa, udah mau minta maaf." Hah? "Makasih juga udah mau ngalah dan ikut Al ke sini."
Aku speechless. "Ki?"
"Aku wakilin Al buat minta maaf kalau tadi ada kata-kata dia yang mungkin nyakitin kamu. Tapi dia baik, kok, Sayang. Dia nggak sama sekali bilang jelek tentang kamu." Saki melepas pelukannya, sekarang balik natap aku lagi. "Aku mungkin cemburu, tapi aku juga nggak mau kamu kehilangan duniamu. Aku tau kamu paham batasan dan kamu ngehargai aku kok selama ini. Jadi, jangan ngerasa bersalah, ya? Aku baik-baik aja, masih bisa handle semua perasaanku."
"Sip?" jawabku ragu karena memang berniat bercanda, supaya tidak menangis heboh di sini karena terharu. Berhasil kok, karena Saki ketawa sekarang, ya ketawanya Saki sekencang apa sih. Gitu-gitu doang, tetap kalem.
"Nanti mau nginep sini?" tanyanya dengan ... wait wait wait, dia bisa masang muka jail kayak begitu sekarang?!
---
kiii, Sakiiii??
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top