CHAPTER 35

"Lo beneran masih mau di sini, Thi? Sendirian dong?"

"Nggak pa-pa, sendirian nggak meninggal." Aku ketawa receh banget, tapi dia ikutan ketawa entah emang ngerasa beneran lucu atau cuma menghargai aku. Ya, kan? "Lagian nggak beneran sendirian, ini tempat makan, banyak mahasiswa di sini tuh."

"Yaudah deh, gue balik yaaa. Sori nggak bisa nemenin."

"Hati-hati yaaa, sampai ketemu di bimbingan selanjutnya!"

"Semoga nggak ada revisi."

"Aamiin!" Aku berharap ini dengan segenap hati.

Aku kembali duduk di kursi, menikmati minuman yang masih tersisa sambil kembali membuka kertas skripsi hasil cora-coret tangan Pak Budi. Enak banget, yaa, tuh tangan main sreet sreeet terus kasih tulisan yang jelek gini? Inia pa pulak ini bacaannya ya amplop, mataku bisa-bisa juling nih pas wisuda nanti. Emang paling tepat, setelah bimbingan tuh masukin kertas-kertas ini ke dalam tas, terus buang pikiran alias pikiran yang lain lah!

Misalnya---

"Uthi?"

"Oh, hai!" cengiranku refleks keluar.

Daffa nyengir lebar dan melihat sekitar, terus ke aku lagi. "Sama siapa?"

"Sendirian." Aku tertawa. "Aneh, yaa?"

"Oh enggak, tadi kirain sama siapa. Gue lupaaa, kampusmu deket sini, kan?"

"Iyaaaa. Lo ngapain di area sini, Daff?"

"Temen gue ada di kampus lo sini." Dia tertawa bersalah ketika aku memicingkan mata. Karena bisa-bisanya aku tidak tahu kalau dia punya teman di kampus yang sama denganku. Oh ini bukan soal dunia it uluas dan manusia itu banyak, yaaa! Tapi ini soal kami, kan, sudah temanan dan ngobrol banyak, tapi nggak pernah bahas ini. "Iyaa, gue lupa bilang, sorry."

Aku mengibaskan tangan sambil tertawa. "Apalah, nggak usah bilang sorry. Temen lo mana?"

"Tuh di sana." Dia menunjuk segerombolan cowok-cowok yang alhamdulillah banget karena mereka tidak ada satu pun yang melihat ke sini. Karena aku tidak tahu lagi harus acting seramah gimana biar nggak awkward buat kenalan atau nyapa. Hiiii, kebayangnya aja sudah malu bangey euy! "Lo mau ditemenin atau memang lagi me time?"

Aku tergelak. "Me time apanyaaa, ini abis bimbingan. Nih liat, isinya revisian semua." Ofkors aku refleks mundur ketika tiba-tiba badannya menunduk dan nggak sengaja tuh dikit lagi kepalanya kena mukaku. "Kebaca nggak, Daff, tulisannya? Gilak, nih dosen apa dokter, ya?"

Daffa tertawa kencang, lalu dia duduk di depanku, dan meminta revision untuk di abaca ulang. Aku lihat mukanya serius banget, kening sampai berkerut-kerut. Wah ini mah beneran sulit sepertinya dan kalau sampai dia juga nggak bisa ja--- "Wah nyerah gue, Thi." Daffa terbahak-bahak.

Aku jadi ikutan juga. "Ya, kaaann? Dah nggak pa-pa, nanti gue tanya pacarku. He's best at everything, you know." Tawaku makin kencang ketika melihatnya pura-pura memasang waja tak suka, lalu memegang dadanya seolah patah hati. Cowok humoris satu ini benar-benar menghibur. "Siniin, Daff."

Dia menyodorkan kembali revisianku. "Pulang naik apa, Thi?"

"Someone I met on app."

"Hah? Serius?"

Aku nggak bisa menahan acting dan ketawa geli. "OMG, Gojek keleesssss."

"Lo bener-bener, yaaa. Nggak ada ampun gue, kayak apotik tutup."

"Diiihhhhh."

Dia masih dengan tawanya. Jangan bilang aku ngga tahu ya maksudnya apa! Flirting kelas teri jelas aku tahu banget, bertebaran di TikTok tuh kata-kata gombalan. Walau gitu, yaaa tetep lumayan bikin malu kalau yang ngomong gitu orang lain, tapi aneh juga kalau tiba-tiba yang ngomong Papa. Aneh sih, Uthiiii! "By the way, gue liat rajin main badmin tuh."

"Aduh sial! Lupa nge-hide elo lagi." Aku tertawa kencang ketika melihat matanya melotot. "Serius, lo harusnya gue hide sih, karena gue maluuuu. Image gue kalau buat orang-orang luar tuh harus kece tau, Daff. Duh, ketahuan deh sekarang."

"Tapi lo keliatan udah keren tau di situ."

"Outfit-nya yang lagak-lagak pro, lo tau nggak? Raket gue pernah melayang waktu main sama Saki."

"Serius?" Tawanya terlihat lepas banget, aku tersenyum masam karena sudah siap dengan reaksi ini. "Tapi Saki jago, kan?"

"Like I said, he's best at everything, Bro."

"Iya deh yang paling best."

"Emang iya yaa!!!"

"Ajak gue dong kapan-kapan main badmin lo kalau main di mana?"

"Di Gor Samudera namanya. Lo bisa main, Daff?"

"Ya nggak best kayak pacar lo sih."

"Dih apaan siiiiih. Tapi pasti lebih jago dari gue dong? Gue bisa mukul bola tuh setelah ratusan kali percobaan lo tahu." Aku lihat dia senyam-senyum. "Gue rajin main sama temen, kalau sama Saki nunggu weekend. Lo kalau mau ikutan main kabarin ajaa, bisanya kapan."

"Pas weekend bareng sama pacar lo emang boleh?"

"Waduh." Aku tertawa. "Gue sih boleh banget, malah kalau nggak boleh rasanya aneh kayak selingkuh. Padahal, kan, lo temen. Cumaaaaa, ini terbuka aja, yaaa. Saki nggak akan suka konsep itu, bukan karena dia nggak open minded atau apalah yaaa, tapi gue menghargai itu emang perspektifnya. Dia bolehin gue punya temen cowok, main sama temen cowok, tapi kalau masih ambil waktu gue sama dia yang bisa puas cuma di weekend, gue ngerasa egois. Ya nggak sih, lo sebagai cowok, Daff?"

"He's so lucky to have you."

"Likewise."

"Gue jarang deh nemuin cewek yang bisa sebegini pahamnya sama apa yang dipikirin cowok."

"Pardon me??????" Aku memutar bola mata. "Nggak kebalik, Bro? Cewek tuh paling jago ya soal memahami cowok. Coba aja liat seberapa banyak presentasi orang yang jadi nggak aktif sosmed setelah punya pacar. Cewek, lo tau. Karena apa? Ngasih puk-puk buat rasa posesifnya cowok. Karena tau, cowok lebih gedean ego timbang kepalanya."

Daffa tertawa kencang.

"Tapi untungnya Saki nggak begitu sih. Proud girlfriend here."

"Kayaknya ini mah ditungguin sampai kapan pun nggak akan ada kesempatan, ya, Thi?"

"Heh, ya nggak ada lah! Jangan macem-macem dan rusak kesempatan pertemanan yang gue kasih."

"Siap, Suhuuu" Dia membungkukkan sedikit badannya sambil tertawa, aku pun sama. "Gue anterin balik, yuk?"

"Lo, kan, masih main sama temen-temen lo?"

"Ya nggak pa-pa, tinggal pamit."

"Nggak deh."

"Kenapa?"

"Nggak siap digibahin gerombolan cowok ituuu. Hiii, lo harus tau, gibahan cowok rasa sakitnya sepuluh kali lipat dari gibahan ibu-ibu."

"Apa yang mau digibahin dari lo? Lo sempurna gini."

Aku menatapnya ngeri. "Oh berarti yang digibahin beneran fisik?"

"Banyak hal lah. Yang kita bahas fakta kok."

"Ya emang fakta, mungkin, tapi emang nggak bisa, ya---"

OMG, aku mati, sekarang aku mati, aku mau pingsan dengan cara apa pun meski nggak menawan sama sekali! Sekarang juga, tolong, Tuhan! Mataku bukannya buru-buru buang pandangan malah seolah terkunci di pandangan yang sama. Dari sekian banyak manusia di bumi, kenapa harus bertemu dengannya di sini? Kenapa harus dia yang sekarang terlihat sama terkejutnya, lalu berbelok dan menghampiriku.

Tidak, tidak, tidak!

Aku mau pingsan! Right now!

"Uthi?" panggilnya dengan muka bingung maksimal saat menatapku dan Daffa bergantian. Sementara aku sudah terduduk kaku, rasanya beneran tak bernyawa. Aku tadi baru bilang kalau aku tidak suka sembunyi karena malah terasa berselingkuh. Tapi maksudku bukan begini juga, please banget. Kalau yang ketemu Saki, mungkin malah nggak akan masalah. Tapi, kalau ini Al, kembarannya, dia bisa aja punya perspektif lain, nanti diceritakan ke Saki dengan nada dan narasi versinya, terus Saki kesulut emosi. Terus Al memandangku nggak sama lagi. Lalu, dia cerita ini ke Mama-Papa mereka, dan keluarganya jadi tidak respect lagi ke Papa, Bunda, dan terutama aku.

Aku harus gimana sekarang?

"Hai, Al. Lagi ngapain di sini?"

"Makan?" jawabnya ragu. Ofkors pertanyaan bodoh yang keluar dari mulutku. "Kamu ngapain?" Dia masih melirik ke Daffa meski pertanyaannya untukku.

"Aku ... makan?" jawabku sambil tertawa canggung. "Tadi abis bimbingan. Terus nggak sengaja ketemu Daffa. Kenalin, ini Daffa, temen pengabdi Cipung, kalau kamu kenal Cipung hehehe. Daf, ini Al. Kembarannya Saki, pacarku. Yang pacarku yang Saki, ya."

"Oh hai, Al." Daff mengulurkan tangan.

Al menjabat tangan itu. Tersenyum sopan. "Gue Al, salam kenal." Al menatapku lagi. "Bimbingannya udah selesai?"

"Udah kok, ini nanti mau pulang."

"Sekalian sama gue aja nanti."

Mataku melotot mendengar kalimat yang keluar dari mulut Daffa. Apa tadi aku memang sudah mengiyakan? Atau, aduh ini aku nggak tahu lagi deh! Kenapa jadi kacau begini sih! Malah lebih mematikan rasanya ketemu Al mendadak daripada Saki yang marah. Lebih ... menakutkan?

"Saki tahu?" tanyanya, langsung pada intinya, tanpa basa-basi atau ramah tamah.

Aku meringis. "Tau apa?"

"Kamu pulang mau dianterin dia. Tadi kamu bilang dia temen pengabdi Cipung, berarti bukan temen bimbingan atau yang berhubungan sama skripsi, kan? Dia yang nemenin kamu skripsian?" Meninggal ini mah, di tempat, tunggu apa lagi, kan? Mendadak mulutku juga kaku nih, boro-boro bisa membela diri. Bersuara pun nggak mampu. Al sepertinya memang posesif banget ke Ami, jadi nggak heran dia jelas tidak menyukai konsep pertemananku dan Daffa ini dari sudut pandangnya. "Aku nggak tau Saki gimana sama kamu selama ini, Thi, tapi kayaknya nggak ada pertemanan cewek-cowok setulus dan se-chill ini buat ngabdi Cipung dan anterin ke sana-sini. Dan nggak ada cowo yang dengan senyum Bahagia izinin pacarnya dianter pulang cowok lain." Dia menatap Daffa. "Lo cowok, Bang, pasti tau hal-hal kayak gini harusnya, kan? Kita bisa saling menghargai di sini?"

"Maksudnya gimana, Bang?"

No no no no!!!!!! kepalaku mau meledak.

"Bagian mana yang lo nggak paham maksudnya, Daf-fa?" Al dan Saki ternyata memiliki kesamaan juga tentang ini. Diam-diam menyakitkan. Nggak diam juga sih si Al, aduh, Papaaaaaa! "Gue bakalan telepon Saki buat bilang Uthi pulang biar bareng gue."

"Apa bedanya sama dia pulang bareng gue?"

"Seriously? Nggak paham konteks saudara atau keluarga?"

"Udah udah resmi jadi ipar lo kah?"

"Okay, stop!" Aku berdiri, merapikan barang-barang dan memastikan memasukkan semuanya ke dalam tas karungku ini. Lalu menatap Daffa. "Gue pulang bareng Al, Daf. Dari awal gue tadi nggak ngeiyain ajakan lo, dan gue harap lo bisa minta maaf dan memperbaiki omongan lo tadi next time."

"Nggak akan ada next time."

Aku buru-buru menoleh langsung ke Al dan memicingkan mata. "Sorry?" Aku menahan tangan meminta Daffa untuk tidak membuka mulut karena ini bagianku. "Al, aku tau kamu mungkin nggak suka atau gimana, tapi kamu bukan Saki, dan Saki nggak akan ngelakuin kayak gini."

"Karena dia nggak mau berantem sama kamu. Dia nurut biar kamu nggak pergi atau risih." What?! "Kalau dia suruh jujur dan ngaku, iris kupingku kalau dia dengan suka rela liat kamu temenan haha-hihi berduaan sama cowok kayak gini, nggak ada hubungannya sama hal penting lagi."

Aku diam, karena benar-benar merasa marah.

Lalu menarik kasar tasku dan berjalan tergesa-gesa.

"Mobilku di sebelah sana," katanya, dan aku menurut demi kebaikan ... nggak tau deh kabaikan siapa. Semua cowok emang nyebelin! Banyak mau dan harus diturutin! Apa-apa merasa terancam. Pacaran aja sana sama patung biar nggak punya kenalan siapa-siapa. "Aku tau kamu punya banyak temen, kamu ramah bukan main, kamu friendly. Tapi juga tolong hargai Saki, Thi, dia---"

"Aku emang ngapain sih, hah? Aku tadi peluk-pelukan? Cium-ciuman? Kamu boleh posesif sama Ami terserah tapi jangan samain dong cara kamu hubungan ke Saki juga. Dia aja nggak masalah lho, yang penting aku tau batasan kok---kenapa ketawa?"

"Kamu coba deh tanya sama Saki pelan-pelan sampai dia jujur. Cemburu enggak sih tuh anak sama si Daffa-Daffa ini. Cowok tuh ngebolehin aja ceweknya punya temen cowok, Thi, tapi harus sama yang jelek."

"What?!"

"Ya lo tanya sama Saki buat jujur. Daffa ganteng nggak menurut Saki."

Aku beneran speechless.

Teori apa lagi ini sih! "Aduh, Al, terserah deh, aku mau pipis duluuu!" Aku buru-buru membuka pintu mobil, terserah deh mau ditinggal juga malah bagus, aku pulang sendiri. Tapi nih anak memang pantang menyerah, aku balik dia masih ada! Aku kembali duduk, memasang seatbelt dengan bibir monyong, aku yakin. Bete maksimal.

"Kamu tau nggak, pertanyaan terkonyol Saki ke aku sejak kenal kamu?"

"Apaaa?!"

"Buset galak banget." Al ketawa, aku jadi ikutan ketawa, menertawakan situasi aneh ini. Ew. Lucu amat. "Malem-malem, masuk kamar, kirain ada hal penting apa. Eh dia nanya; Al, menurut lo normal nggak sih kalau cewek panik atau kesel atau apalah, terus tiba-tiba pengen kencing? Gue inget tuh kalimat dia. Ternyata kamu emang seunik itu ya."

Sepanjang dia ngomong, aku cuma menganga saking nggak percayanya kalau Saki kepikiran hal itu dan bertanya ke kembarannya.

Sakiiiiii!



---

aaaahhh detik-detik mau tamaaattttt huhu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top