CHAPTER 33

Wing! Wiiiing! Wiing! Teeetooot!

Tahu sound viral di TikTok yang begitu bunyinya? Yang isinya tuh video-video kebodohan lucu umat manusia itu, lho! Nah, sound itu sekarang yang terngiang di kepalaku sejak aku dan Saki memulai saling lempar bola badminton ini. Apa namanya, kok kalau tidak salah ingat.

Aku beberapa kali lihat video orang-orang—terutama cewek-cewek—main badminton dan nggak bisa kalau tidak tertawa. Karena mereka benar-benar cuma capek ambil bola, bukan saling tangkis-menangkis. Nah masalahnya, waktu lihat itu aku merasa kok sesulit itu sih mereka? Padahal kelihatannya mudah, tinggal pukul, tangkis, loncat kalau dirasa tinggi, apalah.

Nyatanya?

Dari tadi aku sama sekali belum bisa menerima lemparan Saki. Sama sekali belum. Saki bilang kami punya waktu yang seharusnya cukup, yaitu 2 jam. Tapi ini sudah setengah perjalanan dan satu-satunya kemajuan yang aku berhasil raih adalah bisa memukul bola pertama kali itu—ya amplop, aku lupa istilahnya. Service kah? Nggak tahu deh, bodo amat! Intinya aku sudah berhasil yang itu dan bolanya bisa sampai ke Saki, tidak nyangkut di net.Tapi, begitu Saki dengan mudah menerima itu dan mengembalikan bola aku, hanya raketku yang begerak di udara, bolanya mah tidak kena.

Ternyata susah banget euy!

Aku melihat Saki maju sambil tertawa mendekati net, lalu tangannya melambai-lambai memanggilku. Ofkors aku menghampirinya dan mendengar dia bilang:

"Mau minum? Mau istirahat dulu?"

Aku menggeleng kuat. "Aku mau istirahat kalau udah bisa."

"Jangan terlalu dipaksa, Sayang. Nggak ada orang langsung hebat di percobaan pertama."

"Tapi aku malu sama outfit-ku!" Aku meringis, Saki ikut-ikutan. "Masa gayanya udah kayak professional begini, nangkep bola aja nggak becus."

"Belum, bukan enggak. Tadi mukul bola udah bisa."

"Ihhh tapi maunya bukan kayak gitu! Minum dulu deh, dehidrasi gue lama-lama." Aku berjalan ke pinggir lapangan, mengambil botol dari dalam ransel yang kami bawa dan menenggaknya banyak-banyak. Aku lihat Saki juga lagi sibuk ambil botolnya dan duduk Ketika meneguk minumannya. Aku buru-buru ikut duduk di sebelahnya dan melanjutkan minumku sambil lihat pasangan di sebelah lapangan kami. Bersyukur banget Saki booking lapangan yang paling pinggir, mentok, katanya sebelahnya sana ada mushola dan toilet. "Ihhh mereka jago, Ki. Padahal pakaiannya nggak gayaan kayak aku."

"Mereka pasti sering latihan, nanti kita juga bisa kok."

"Tutupin, tolong dong, By?" Aku menyerahkan tumblr minumku, kemudian menekuk lutu dan meletakkan daguku di sana. "Mereka ngetawain aku nggak ya, Ki? Aku tuh sebenernya nggak suka feeling insecure or inferior or something, tapi kali ini aku kayak ... kemakan omonganku sendiri? Maksudnya, aku tuh ngegampangin ini, dan masih heran kenapa video cewek-cewek itu pada kesusahan main. Kan tinggal gini, teng teng teng!" Aku menggerakkan tanganku yang kosong dari raket. "Ternyata susah, kampret."

"Eh?" Saki tertawa pelan, merapatkan duduknya denganku, menempel, lalu berbisik. "Di sini, nggak ada yang ngetawain satu sama lain, karena ini lapangan di-booking untuk latihan, bukan kompetisi. Jadi, fokus sama diri kita sendiri. Rilex, be happy, inget tujuan main awal buat apa?"

"New hobby, buat nambah sumber happiness. Stress release."

"Nah, jadi jangan malah main badmin makin stress. Tarik napaaaas, embusin pelan-pelan. Good girl," katanya sambil tangannya mengelus atas kepalaku, lalu dia totally menyerongkan badan menghadapku. "Rambutmu kendor kuncirnya, mau aku bantu benerin?"

Lucu amat, ofkors aku ketawa. "Iya, sih, sama kamu kadang fungsi badan aku jadi off, tapi nggak semuanya jadi ngalamin disfungsi kok. Nguncir rambut masih bisa." Aku lihat Saki mengangguk dengan ibu jarinya di depan wajahnya alias 'sip'. "Bayar coach gitu mahal nggak ya, Ki?"

"Nanti aku cari tau." Dia masih fokus lihatin aku yang lagi mengingkat rambut, aku berusaha memberinya tatapan kenapa lewat mata, tapi dia Cuma kasih senyuman muanis. "Do you know that I looooove when you're doing thing like this?"

"Apa?"

"Nguncir rambut, benerin rambut, megang rambut, apalah." Dia terkekeh, menundukkan kepala sesaat, lalu lihat aku lagi. "You and your crown are gorgeous."

"Waduh waduh waduh!" Aku ikut tertawa. "Jangan sampai ya aku cium kamu di lapangan."

"Emang nggak boleh?"

"Heiiiii!" Aku berdiri tegak setelah mengambil Kembali raketku alias aku mau mengalihkan salah tingkahku yang sudah ada di level maksimal euy! "Ayo main lagiiiii! Aku tadi bilang nggak mau istirahat, mau minum doang!"

Dia tertawa, berdiri juga dan kami sama-sama berjalan ke lapangan. Ayo, Dyuthiiiii! Sudah bayar pakai uang—uang Saki pulak—masa iya cuma main-main. Ini kalau aku beneran begini-begini aja sampa waktu kami habis, aku harus bayar uang yang dikeluarkan Saki. Karena maluuuu!"Eh kamu udah bilang Al, By?" tanyaku Kembali berjalan ke net dan berjinjit-jinjit untuk melampaui tingginya pembatas itu.

"Kita mau main bareng?" tanyanya.

"Iyaaa. Sama Ami! Aku mah udah bilang, ofkors dia semangatttt! Tapi dia ternyata udah sering main, aduh tamat aku."

Saki tersenyum. "Aku lupa bilang Al, maafff. Nanti aku bilang."

"Tapi Al suka main nggak?"

"Suka," jawabnya cepat banget. "Aku, Al, dan Papa dulu suka main bertiga. Cuma udah pada kerja masing-masing, jadi yaaa jarang."

"Aduuuuuh! Al sama Ami pasti menang dong nanti?"

"Belum tentu. Nanti kita Latihan yang semangat. Kalaupun mereka menang, ya nggak pa-pa, start-nya kan beda."

Iya beda, tapi aku malu!

Malu banget!

Apalagi kalau nanti orang tuanya Saki tahu dan ... OMG! Kayaknya aku nanti harus bilang ke Saki, Al, dan Ami untuk merahasiakan ini dari Tante Moza dan suaminya. Jadiiiii, aku harus semangat pokoknya! Ayo ayun kuat-kuat raket ini dan ... "YA ALLAH!" Aku refleks duduk sambil ketawa nggak abis-abis. Bukannya si bola yang melambung dan menghampiri Saki, malah raketku yang melayang dan mendarat di area Saki dana, untung nggak kena siapa pun. Aku lihat Saki juga jongkok dan ketawa, cuma bedanya ketawanya dia, kan, nggak brutal. Waktu sadar ada yang melihat, aku kaget bukan main karena ternyata benar, orang-orang di sini melihat ke arah kami dan ikut tertawa. Aku buru-buru menangkupkan tangan di dada, membungkukkan badan dan kepala, sambil bilang maaf.

Mereka mengucapkan, "Semangaat, Kaaakk!"

Meski malu level maksimal, aku tetap merasa terharu. Apalagi waktu Saki datang menyerahkan raket, lalu jongkok di depanku, mengelus lenganku dan bilang, "Nggak pa-pa, mereka bukan ngetawain kearah negatif, tapi ngerasa terhibur."

"I know," jawabku pelan masih dengan tawa. "Padahal genggamanku tadi kuat banget lho, kenapa masih melayang, yaaa."

"Nggak kebayang kalau kamu juga ikut terbang."

"Kiiii???"

Kami ketawa lagi, lalu Saki bantu aku berdiri, dan menyodorkan raket miliknya. "Mau coba tuker?"

"Emang beda?"

"Mungkin? Kayak kata orang, jodoh-jodohan."

OMG, manusia ini sweet-nya mengalahkan siapa pun manusia di bumi ini! Aku mencebikkan bibir, menatapnya penuh haru. "Kamu kok punya sejuta cara dan kata-kata sih kalau buat hibur dan nenangin aku? Aku terharu banget tau."

"Oya?" Dia tersenyum lebar. "Aku seneng kalau gitu. Masih semangat atau udahan?"

"Ummmmm," Aku pura-pura berpikir keras, tapi pada akhirnya .... "Kok laper banget, ya? Kita udahan aja yuk, By? Mau maem."

"Boleh. Maem apa?"

"Nooo!" Aku meringis sambil menutup telinga dengan tangan yang bebas.

"Kenapa, Sayang?"

"Kupingku yang tebel ini nggak bisa denger imutnya kamu bilang 'maem'. So cuteeeee, nggak sanggup."

Dia meringis. "Geli, ya?"

Aku mengangguk. "Iya, tapi lucu, tapi geli tapi gemes, apalah bodo amat, ayooo kita cari baksoooo!"

"Mau makan bakso?"

Aku mengangguk. "Kamu lagi mau apa?"

"Bakso juga."

Pret! Pasti diam au bakso juga karena aku sudah terlanjur bilang mau itu. Kadang aku tuh masih suka lupa term dalam hal memilih makanan. Seharusnya, jangan langsung menyebut, tapi bertanya Saki lagi mau apa. Karena kalau aku sudah bilang A, dia pasti pakai sejuta cara buat meyakinkan aku seolah dia memang mau A juga. Tapi ini tadi karena aku memang sudah kelaparan maksimal, jadi aku sudah tidak memikirkan term yang aku bikin sendiri itu.

Yaudah deh, kali ini nggak pa-pa, aku maafin diriku sendiri. Kasihan, sudah banyak berjuang selama 2 jam tadi—belum ada dua jam, ya amplop. Maaffffff!!!!

Aku sudah selesai berganti pakaian—tapi nggak mandi, ofkors—dan kembali ke tempat Saki bersama tas kami. "Aku bau keringet nggak?"

"Enggak," jawabnya bahkan nggak mencoba mencerna dengan menghirup dulu atau gimana.

"Seriuuuss, coba dicium dulu—maksudnya dihirup bossss!" Aku terkekeh. "Kecium keringetku nggak?"

"Wangi, Sayaaaang," katanya, terus berdiri dan membawa pakaian gantinya. "Aku ganti dulu, ya?"

"Sip!"

Dia tersenyum malu-malu, lalu melenggang ke arah toilet.

Pokoknya ini nanti, aku mau makan banyak banget nget nget nget! Titik!



---

pokoknya aku mau cari Saki ihhhh bodo titik, 

terseraaaaaaah, maksa ya Allah tolong ah

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top