CHAPTER 30
"Kenapa senyum-senyum gitu?" Pertanyaan Papa sekaligus ekspresi menelisiknya itu seketika bikin aku bete, dan hilang sudah blush on di pipiku tadi, ofkors! "Kayaknya tadi Bunda bilang kamu pergi sama Ami deh, bukan sama Saki. Atau ini jangan-jangan sama gebetan lain?"
"Papa ... kayak Papa nggak pernah happy aja pulang main sama temen. Senyum-senyum, kan nggak harus sama pacar sih, Pa."
"Tapi happy bareng temen jelas beda sama pacar. Emang kalau sama Ami, kamu pake acara cium kening dan salim tangan segala?"
"Ah!" Aku menyerah, melengos pergi sebelum pembicaraan ini semakin panjang. Pada intinya, ini masalah cium kening dan salim tangan, aku yakin deh akan jadi bulan-bulanan Papa entah sampai kapan. Kiamat mungkin. Tapi aku baru mau naik tangga, Papa sudah manggil aku lagi. "Apaaaaa," jawabku mulai lelah. Lelah sama cowok-cowok di sekitarku yang senang melebih-lebihkan sesuatu. Kadang positif, sisanya negatif euy!
"Duduk sini, Papa mau ngomong sesuatu."
Mati aku, mati kau!
Kita semua akan mati permirsaaaa!
Kalimat itu tetap menyerakan meski yang bilang bukan pasangan kita, lho! Sudah pasti obrolannya akan serius. Kali ini tentang apa, ya, kira-kira? Skripsiku? Mama dan sikap kurang ajarku terhadapnya? Kinerjaku momong King dan Queen? Atau ... gaya pacaranku sudah melewati ba—
"Kamu pengen staycation nggak?"
Aku melongo. Menggelengkan kepala berkali-kali berharap sesuatu yang aku dengar tadi hanyalah hasil dari delusiku saking takutnya sama topik pembahasan yang akan Papa bawa.
"Thi?"
"Eh gimana, Pa? Sori, sori, apa tadi? Ihhhhh aku tadi kena angin malem, nih kupingku jadi budek deh, asliii."
Papa memasang wajah tidak percaya, ofkors! Alasan dadakanku tadi terdengar konyol, aku sendiri mengakuinya. "Papa sama Bunda rencananya mau kasih kamu hadiah. Bukan hadiah banget sih, karena yang nikmati nantinya kita rame-rame." Ihhhh Papa bisa nggak sih kalau ngomong tuh langsung ke intinya jangan mampir ke mana-mana dulu kebur habis bensin ini mah! "Siapa tau kamu lagi bosen sama suasana kamarmu, terus pengen liat view lain, di pagi dan malam hari." Ya amploooop, aku sabar menunggu. "Kamu mau staycation di mana, Thi?" Oh jadi beneran. Aku nyengir lebar. Baru mau jawab, Papa sudah mengangkat tangan dan bilang, "Bukan kamu doang, satu keluarga. Tapi kamu yang milih, kali ini bebas mau di mana."
"Masih di Jakarta?" tanyaku sambil meringis alias males banget.
Papa mengangguk.
"Papaaaa! Kalau masih sama-sama di Jakarta apa bedanya? Cuma pindah kamar aja."
"Kan, tadi Papa bilang gitu."
Iya, sih. Ekspektasiku aja yang ketinggian ini mah. Aku menunduk lesu.
"Kabar baiknya, kamu boleh ajak Saki."
Aku langsung mengangkat kepala. "SERIUS?" Seketika sadar semuanya percuma, bahuku merosot lagi. "Tapi kan sama keluarga."
"Lah kamu maunya cuma berdua? Sekamar berharapnya? Itu namanya bulan madu. Tau syaratnya biar bisa bulan madu apa? Nikah. Skripsi aja belum."
Aku tertawa, membungkukkan sedikit tubuh. "Thanks for reminding me, Sir." Berasa ketahuan niat binalku di hadapan orang tua, sementara pacar yang mau aku ajak kerja sama tidak tahu apa-apa di sana. Membayangkan Saki yang kebingungan aja sudah lucu banget. "Yaudah, nanti aku cari-cari deh hotelnya. Berapa hari nih, Pa?"
"Dua malam aja, cukup, ya?"
"Sip."
Papa menyipitkan mata, aku nyengir.
"Beneran boleh ajak Saki, Pa?"
"Boleh dong! Nanti pesennya yang ada connecting door, ya? Biar Papa yang tidur sama Saki."
"Nanti kalau dia grogi tidur sama Papa gimana?"
"Kalau sama kamu nggak grogi?"
"Ya enggak gitu, maksudnya, kan bisa." Bisa apa, Thi? Aku nggak tahuuuuuuu!!!! Aku menempeleng kepalaku sendiri. "Bisa ajak keluarganya Saki misalnya. Kan seru tuh, besanan staycation bareng." Ummm okay fine, itu emang ide gila yang spontan keluar dari mulut. Maaf, Kiiiiiiii.
Papa tertawa. "Kayak yakin aja udah pasti jadi."
"Papaaaaa!"
"Itu mah nanti, Uthiiii. Terlalu dini lah liburan besanan, hubunganmu aja masih lamaan waktu skripsimu kok." Kalimatnya bikin aku mendesah lelah. "Kalau nggak mau ajak Saki ya nggak masalah. Papa sih happy happy aja ada Bunda."
Aku merengut. Lalu memutuskan untuk pamit ke kamar dengan dalih mulai mencari rekomendasi. Padahal yang aku lakukan adalah menelepon pacarku dong! Aku mau bilang sudah sampai rumah, dan pacarnya ini hari ini menjadi anak baik dan pendiam. Karena tidak kenalan dengan orang baru apalagi cowok, tidak mampir ke mana-mana, sesuai SOP dan selalu ngabarin. Laluuuuu, aku cerita ke Saki tentang ide Papa.
Sudah ketebak, kan, jawaban cowok polo shirt itu?
"Boleh, Sayang. Mau dibantuin cari hotelnya?"
Bolah boleh bolah boleh.
Masalahnya nanti kami di sana akan se-awkward apa boss????? Tidak bisa bebas ngomong dan gelendotan sama Saki dong? Bisa-bisa langsung dinikahin detik itu juga. Aku sih mau aja, tapi, kan, Saki bilang dia belum siap. Belum siap uang, mental, dan ... apalah banyak hal.
Diskusi kami soal anak dan lahiran pakai cara apa, di mana, aja belum menemukan kesimpulan.
Ini kenapa sih papa tiba-tiba ngide mau staycation, ajak Saki pulak!
***
That day is coming, expectedly, tapi aku tidak memiliki antusias seperti yang aku bayangkan. Ummmm, siapa sih yang nggak punya cita-cita liburan bareng ayang? Freak sih kalau ada. Ya walaupun liburan jauh terdengar berat, at least, ya staycation lah, pindah kamar tidur, kalau kata Papa.
Tapi ... emang harus bareng sama keluarga inti, like ... semuanya gitu?
Aku sudah berusaha memasang wajah semringah kok, I swear, asliiiiikkk! Aku berusaha keras coba segala cara supaya kelihatan kayak orang anak yang happy mau diajak liburan keluarga, setelah menunggu sekian lama. Tapi ini semua bakalan terjadi kalau malah nggak ada Saki. Karena nggak akan was-was, awkward atau apalah! Jadi, aku beneran bisa menikmati liburan keluarga.
Apa Saki aku batalin aja, ya?
Aaaaaa! Salahku sendiri kenapa tiba-tiba nurut dengan ide Papa untuk ajak Saki, dan kenapa juga tuh cowok mengiyakan aja cobaaaa! Kan, bisa nolak gitu, lho! Okay fine, tetap aku ngaku aku yang salah kok.
"Ini udah koper terakhir?" tanyaku sambil meringis.
Bunda mengangguk, lalu tersenyum geli, sambil melirik Papa yang sedang menggendong Queen tapi sambil memasukan tas lain—yang aku yakin isinya printilan anak-anak. "Ada yang nggak happy nih, Pa, staycation-nya rame-rame."
"Bundaaaa!" Ofkors aku panik! Buru-buru menatap Papa dengan senyuman manis semaksimal mungkin. "Happy kok, Paaaaa. Thank you sooooooo much!" Aku memberinya ciuman jauh.
Papa ikutan tertawa. "Belajar jalan dulu, Thi, sebelum maksa diri buat lari."
Aku mendesah.
Paham banget sama maksud kalimatnya. Tidak perlu nunggu mendapatkan gelar sarjana buat ngerti arti dari kalimat itu adalah ... sadar diri sama hubungan semu kamu dan aturan moral selama kamu jadi manusia! I knoooooowww! Tapi ini bukan cuma soal itu, ini soal—nggak tahu ah, pusyiiing!
"Saki gimana? Beneran ketemuan di sana?"
"Dia sih bilang maunya bareng ke sini, biar sama aku. Tapi, kan, mobil dia cuma satu tuh, kalau nginep, takutnya nanti Al atau ortunya butuh. Jadi, aku larang. Dia sih ngeyel aman katanya, tapi emang baiknya ketemuan di sana aja nggak sih, Pa?" Aku melirik Bunda yang tiba-tiba tertawa. "Bun?"
"Sori, sori." Bunda mengangkat tangannya. "Bunda tuh masih nggak bisa nahan tiap liat kamu atau Papamu cerita panjang, kayak ... kalian tuh emang beneran nggak usah tes DNA deh. Plek ketiplek." Mendengar itu, aku dan Papa saling tatap bingung, tapi akhirnya ketawa juga. Malu euy! "Tinggal ini nanti selanjutnya siapa yang niru, Abang atau Adek."
"Adek sih, fix!" seruku yakin. "Kalau Abang sih ... menurut analisaku sebagai orang yang sering sama dia ... dia bakalan jadi cowok cool. OMG, Bundaaaa! Dia akan banyak fans. Kalau Bunda penasaran gedenya Abang, liat Saki aja. Pasti gitu, hehe."
"Entah yang mana ini yang kena pelet," gerutu Papa membuat Bunda tertawa.
Akhirnya Papa masuk ke dalam mobil untuk bersama Queen dan meletakkannya di kursi bayi. Sementara Abang, tahu sedang apa? Ofkors duduk di kursi singgasananya dengan tablet! Cheating deh dia waktu nontonnya kalau lagi ribet begini.
"Siap semuanya????"
Aku di belakang mengangguk yakin. "Yooooo! Fyi, Guyssss! Saki udah di lobby hotel." Aku menatap mereka lesu. Papa dan Bunda menoleh ke belakang dan tatapan horor mereka membuatku mengangkat tangan, menyerah. "See? He's weird. Gimana yaaa ... perfect tapi aneh, tapi sayang. Ini bukan on time lagi namanya, kan?" Aku membaca lagi chat-nya yang menyusul. "Nah, dia udah reservasi salah satu resto di deket hotel, buat kita makan siang sebelum check-in."
Papa meringis. "Ini dia kalau mau nginep hotel, biasanya selalu early check-in, ya?"
Aku ngakak. "Nggak tau, belum pernah nginep hotel sama Saki. Aku lolos jebakan pertanyaan Papa barusan, kan, Bun?
Mereka sama-sama tertawa, lalu fokus menghadap jalanan, dan ngeeeeng akhirnya kita jalan juga deh! Aku langsung mengabari pangeranku kalau kami sudah di perjalanan ke hotel dan meminta maaf karena dia pasti akan menunggu lumayan lama. Salah siapa, kan? Tapi aku tidak mungkin bilang begitu, nanti hati imoet-nya terluka.
Balasan Saki adalah; nggak pa-pa, Sayang. Aku mau jalan-jalan dulu. Hati-hati yaa🥰
What?!
Dia mau ngopi cantik kali, ya, di lobby hotel?
Biarin lah! Aku mau tidur dulu selama perjalanan.
---
hehehee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top