CHAPTER 29

Ummm, pembukaan curhatanku kali ini sepertinya kurang OKE euy! Karena ... ini gimana, yaaaa, aku sudah mencoba mencari-cari kalimat dengan kosa kata terbaik, biar kesannya aku nggak terlihat pamer-pamer banget begitu, tapi ... okay fine, aku tidak menemukan apa-apa.

So, yeah, aku 'cuma' mau bilang kalau Saki, makin ke sini makin ke sana. Oh easy, tahan dulu mulut kejammu yang mau menyebutku tidak tahu diri seperti aku menyebut diriku sendiri sebelumnya, aku tidak sedang komplain, aku menyukai ini, walaupun, ya tetap aja aku mau bercerita nggak sih?

Intinya, dia makin clingy.

Atau apa ya istilah yang tepat untuk cowok yang gampang banget mau ketemu? Mesum kah? Lebay kah? Love language-nya physical touch kah? Atau apaaaaa???

Kami punya jadwal pasti, yaitu weekend, itu pun kalau tidak ada halang-melintang dari kehidupan kami karena yaaaa hidup bukan cuma soal cinta-cintaan aja, ya! Ada banyak sekali aspek-aspek lain, termasuk skrip—sssstttt, jangan dilanjut kata-kata paling haram untuk saat ini. Aku bukan berlagak mau kasih afirmasi negatif, tapi ya memang mau menghindari kata itu aja sih.

Tapi Saki tuh dikit-dikit mau ketemu. Dia pulang kantor ajak ketemu. Aku bilang di weekend aja, tapi katanya kelamaan. Listen to me, Saki bilang menunggu weekend tuh kelamaan, lho! Ini kemarin aku pakai pelet yang mana sih buat Saki? Apa kelebihan dosis ya, itu kenapa sintingnya dia maksimal begini? Padahal, kalaupun ketemu, dia tidak melakukan apa-apa, ummmm, kami ngapa-ngapain. Bukan, bukan, ini bukannya aku tersirat seolah aku mau melakukan sesuatu yang itu dengannya, aku cuma ... masalahnya ini harus jawab apa bossss?!

Ketika Saki sudah mengirimi chat; kamu nggak kangen dan nggak beneran sayang aku kah?

Kalau kamu mau tahu, aku sudah memandangi chat Saki puluhan menit. Ekspresi sudah nggak tahu lagi deh berubah berapa kali; dari mulai kaget, bingung, horor, geli, ketawa, meringis, agak jijik tapi senyam-senyum, aaaaaaaaaaa, pusing, hehehe. Kalau ditanya kangen atau enggak, gimana jawabnya orang kami sama sekali tidak menjalani hubungan jarak jauh. Kami ketemu rutin setiap minggu kadang lebih, seringnya lebih! Kami berkomunikasi lewat handphone juga baik banget kok jalannya!

Jadi, masih bisa dia tanya aku kangen dia apa enggak?

Menurut dia, aku harus jawab apa????

Kangen banget gitu? Sementara nyaris tidak ada jarak di antara kami.

Tapi kalau aku jawab terus-terang, aku tahu, cowok dengan hati selembut tahu sutra Bandung itu pasti akan terluka. Aku pasti akan menyakiti hatinya yang moengil sekali itu. Beginilah jadinya, aku masih memandangi room chat kami dan belum nemu jawaban apa yang seharusnya aku ketik. Bisa-bisa sampai jam kerjanya berakhir dan tiba-tiba dia beneran sudah di depan rumahku.

Aku bukannya terkesan tidak sayang atau tidak mau bertemu dengannya. Masalahnya ... ayolah, kamu tahu sesinting apa aku kalau di depan Saki. CCTV aja rasanya tidak mampu lagi jadi pencegah tindakanku yang tidak-tidak. Bukan cuma sentuhan fisik aneh-aneh yang akan aku lakukan pada Saki, tapi pertanyaan sintingku yang akan dia terima, belum lagi aku mendadak menekan tombol off untuk fungsiku sebagai manusia karena aku berharap dia yang mengerjakannya untukku, termasuk berpikir.

Jadi, coba kamu kasih tahu aku, masih perlukah aku ketemu dengan Saki ... beneran setiap hari?

Bumi akan gonjang-ganjing, ofkors!

OMG!

Amira, Amiku sayang, Aminya Al, thank you soooo much! Aku refleks bangun dari rebahan dan duduk tegak di atas kasur. Dia datang sebagai penyelamat. Tiba-tiba chat aku menawarkan untuk diskusi langsung tentang perkadoan Saki. Di tengah kebimbangan hidupku menentukan mau bertemu Saki atau menolaknya, Ami datang membawa solusi. Aku tentu mengiyakan ajakannya dan kami janjian di sebuah kafe setelah isya; maksudnya, jam 8 sudah di tempat. Jadi, sekarang tinggal merangkai jawaban untuk Saki ... and send it!

Ya amploooopp, di-chat malah sekarang orangnya nelepon!

Aku berdeham beberapa kali sebelum mengangkatnya. "Hai!"

"Hai, janjian sama Aminya dari kapan?" tanyanya, lembut, mengayomi, pokoknya slogannya pak polisi aja kalah deh sama kesan yang aku ukir di kepalaku sendiri tentang Saki. "Aku dulu yang ajak ketemu atau Ami?"

Aku meringis, tapi harus tetap tenang. "Sebenernya Ami dulu, By." Nih aku baru sadar, lho, kurang ajarnya aku itu mulai menggunakan 'By' di momen-momen biar lolos dari keributan dengan Saki, terutama kalau aku sebagai penyebabnya. Maaf, ya, Ki. "Tapi aku tuh emang salah sih, aku lupaaaaa banget. Nah ini tadi dia chat lagi, makanya aku baru inget. Kamu marah, ya?"

"Enggak," jawabnya tanpa jarak waktu. "Nggak pa-pa. Mau ketemuan jam berapa sama Ami?"

"Jam delapan."

"Sama Al?"

"Enggak kok!" Aku tertawa pelan. "Kalau sama Al udah pasti aku sama kamu juga dong! Gimana sih Om Sakiiiii."

Aku mendengar suara tawa pelannya. Kok jadi aku yang kangen, ya? Tuh, kan, mendingan nggak usah dengar atau lihat aku tuh! Karena malah jadi kangen dan makin kangen! Kalau chat doang mah bisa di-handle! Ini Saki susah banget diajak kerja sama soal yang satu ini. Calon-calon meributkan hal yang itu-itu saja ini nanti. Huft!

"Atau kamu mau kita tetep ketemu, Ki?" tanyaku pelan, mulai menjadi orang toxic. "Tapi nanti kalau Ami cerita sama Al dia mau ketemu aku dan aku nggak bisa karena udah janjian sama kamu, terus Al mikir aku bucin banget sampe nggak mau bangun hubungan baik sama calon ipar, terus nanti Al mandang aku jelek, terus nanti dia cerita sama Tante Moza, terus nanti—"

"Boleh, Sayang." Saki terkekeh, pasti geli banget dengan semua skenario menjijikkan yang aku bilang barusan. Aku pun merasa geli, ew. Tapi berhasil, yeay! "Tapi nanti kabarin, yaaa, jangan menghilang kalau lagi di luar, biar Papa sama Bunda nggak khawatir."

"Papa-Bunda atau kamu?" Bahagia banget aku tuh setiap godain dia.

"Sip."

"Apaan sip!" Aku melotot tajam, tapi sayang dia nggak bisa melihat betapa aku bisa galak seperti Kak Ros yang payungnya dirusak Upin-Ipin. "Ki."

"Hm?"

"Gimana pendapat kamu tentang childfree?"

"Hah?" responnya yang spontan, kemudian aku mendengar dehaman berkali-kali.

I knooooowww, dia pasti sering senam jantung saat bersamaku. Sudah kubilang, kerja otakku tidak bisa diprediksi setiap bersamanya. Ini lewat telepon, bisa dibayangkan kalau ketemu langsung akan seperti apa? Kadang ...ya itu lolos aja dari mulutku, tanpa bisa kucegah. Kadang, ya memang pengin tanya aja sih, memangnya kenapa? Tidak boleh kah? Kalau password-nya Saki sih; boleh, Sayaaang.

"Aku kayaknya belum siap punya anak deh, Ki. Kamu nggak pa-pa?"

Suara batuk terdengar. OMG, dia sepertinya tidak akan pernah bisa beradaptasi dengan sinting dan random-nya pertanyaan atau pernyataan. Masih akan selalu tercengang, padahal ... dia tidak perlu menanggapinya serius—ummm nggak juga, dia memang harus serius ah.

"Nggak pa-pa," katanya. Aku yakin nih orang ngomong pasti bibirnya sambil senyum.

"Kalau nanti pikiranku berubah dan aku mau punya buanyaaakkk anaaakk pokoknya jaraknya yang dikit-dikit itu, lho, Ki. Yang anak pertama nih misal tiga tahun, yaa, terus aku mau dihamili lagi deh, nanti lahir deh, nunggu dia dua tahun, kita hamil lagi. Gimana, By?"

Aku tidak mendengar jawaban berupa kata-kata gemas, tetapi tawanya yang tak kalah gemas.

"Kamu siap nggak jadi bapak dari banyak anak, Ki?"

"Kamu siap nggak hamil dan lahiran berkali-kali?"

"Ih adaaa tau, Kiiii, aku liat di TikTok, cici-cici cantik lahiran pake cesar apa tuh, aduh lupaaa, pokoknya itu nggak sakit dan cepet pulih, dan dia ambil fasilitas yang mantep abissss!" Aku mengingat apa saja fasilitas yang diceritakan itu dan aku mau Saki tahu. "Kamarnya presidential suite, makanannya enak bangeeetttttt kayak hotel, terus kasurnya juga mantul, yang buat nunggu juga ada kasuur, ruangannya luassss, kamar mandiii dan perlengkapannya best deh! Harganya cuma 65 juta, Kiiiii. Dengan fasilitas kayak gitu, worth it maksimal, kan, yaaa?"

"Tapi beneran nggak sakit katanya operasinya?"

"Bener!" Aku melihat videonya berkali-kali dan ada beberapa video yang menjelaskan itu. Makasih, Kakak kreator. "Kata diaaaa, cumaa srek srek eh bayinya udah keluar nangis, terus beberapa jam apa ya, apa bentar kok, dia udah belajar jalan lagi. Mamanya yaa, bukan bayinya." Kami sama-sama tertawa. "Kala bayinya, kan, belajar jalannya masih lama. Nah, jadiiiiii, anggap aja waktu kita nikah nanti dan punya anak pertama, ada inflasi tuh, 65 jadi berapa, ya, Ki, kalau kena inflasi?"

Kasihan deh pacarku malah disuruh mikir inflasi.

"Mungkin jadi 80-an juta?" katanya tidak yakin. Ofkors tidak yakin, memangnya menghitung inflasi bisa secepat kilat begitu? Kan, tidak.

"Okay kita anggap segitu. Terus, terus punya anak lima. OMG, 400 juga buat lahiran doang, Kiiiiii!" Aku sudah ngeri sendiri membayangkan masa depan. "Mana, yaa, aku pernah tuh liat tweet dokter kandungan gitu, Ki."

"Tentang apa tweet-nya?"

"Katanya, biaya punya anak paling murah itu lahirannya. Jadi, kalau lahiran kita udah ngerasa kesulitan, mungkin sebaiknya dipikir berkali-kali untuk punya anak?"

"Noted," jawabnya pelan. "Itu kenapa, harus semangat cari uang. Buat biaya nikah, honeymoon, hamil, lahiran, rawat anak, dan bersenang-senang."

Aku terpingkal-pingkal. "Tapi aku masih rebahan." Mataku sampai berair menertawakan diriku sendiri. Takut masa depan, kelakuan aja begini. "Skripsi masih kabur-kaburan, tapi sok-sok bahas lahiran 80 juta. Ih, Kiiiii, udah ah jangan bahas itu."

Saki tertawa.

"Mending bahas kamu. Tadi seharian kerjaanmu gimana?" Aku melirik jam di dinding dan seketika melotot. "Jam kerjamu udah berakhir, kan?!"

"Udah."

"Kok belum pulang?"

"Masih telponan," katanya. Ya bener sih, tapi kan ... "Masih dengerin cerita kamu yang menarik banget soal biaya lahiran dan inflasi."

Tidaaaak! Dia mulai berani menggodaku!

"Jangan godain aku, Ki, kalau belum siap nikahi aku."

Dia tertawa. "Sip."

Aku memutar bola mata. Kapan bercandanya, kapan seriusnya, sih, boss??? "Ah udah ah, aku mau pipis. Byeeee! Hati-hati di jalaaan, kalau nanti aku nggak ada kabar, aku masih siap-siap atau udah di jalan, yaaaa!"

"Mau sekalian sama aku aja ke tempat janjiannya?"

"Nggak usaaaahh! Sana pulang, tiati, Sayaangku. Aku kebelet beneraaaan. Byeee!!!"

Baru turun dari kasur, mau jalan ke kamar mandi, tiba-tiba pintuku diketuk dan kepala Bunda nongol. Dia nyengir, "Malam ini mau ke mana, Thi?"

Aku meringis. "Keluar."

"Sama Saki?"

Aku menggeleng. "Sama Ami. Kenapa, Bun?"

"Oh kirain Saki, mau nitip makanan buat mamanya. Yaudah, nanti biar Bunda kirim ojek aja. Have fun!"

Aku kebingungan, tapi tetap mengangguk.

Terserah dulu deh, aku mau pipis!



---

Uthi, siniii, aku mesin cuci dulu kepalamu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top