CHAPTER 28

Aku punya pacar yang banyak luar biasanya; luar biasa baik, luar biasa ganteng, luar biasa perhatian, luar biasa dalam menunjukkan sayangnya, (berusaha) luar biasa sabar hadapi aku, dan ofkors luar biasa gemas.

Gongnya sih sudah jelas banget ketika aku lihat Saki menangis pulang dari rumah Mama. Gimana, yaa, aku nggak terlalu ekspektasi yang gimana-gimana sama hubungan ini. Oh easy, bukan artinya aku tidak sungguh-sungguh, ya. Maksudku, aku cuma nggak menyangka perasaan Saki bisa sedalam itu. Entah dia memang terlalu lembut hatinya—jadi sebenarnya mau siapa pun orangnya, dia tetap akan menangis—atau karena dia memang sudah ada di titik sayang sama aku mentok maksimal.

Ummmm, karena aku nggak siap menerima sakit hati—belum siap lebih tepatnya, jadi aku pilih nomor dua. Delusional dikit nggak masalah.

Untuk itu, aku bertekad sungguh-sungguh akan menjadi cewek yang baik, lembut, dan tidak mudah emosi atau lenjeh deh main sama cowok lain walaupun aku menyebutnya sih teman ya. Aku tetap tidak terima kalau pertemanan cowok dan cewek nggak bisa dilakukan. Mungkin itu memang pengalaman Saki, tapi yaudahlah, mari hargai Saki.

Dia berhak mendapatkan segala kebaikan karena dia baik banget, aslik.

Nih sekarang ini, aku sudah menghabiskan waktu berjam-jam—mungkin, karena aku nggak beneran menghitungnya. Bolak-balik ke Instagram, TikTok, Twitter, Shopee, Tokopedia, semua deh. Mau dia media sosial yang katanya untuk hiburan sampai platform belanja online pun aku telusuri. Demi apa? Demi menemukan ide brilian, konsep atau produk langsung untuk Saki.

Hadiah dia wisuda.

Tapi serius, aku kok blank ya.

Tidak menemukan apa pun yang aku rasa cocok banget untuk cowok hebatku itu.

Aku kasih anak sih yang yakin banget dia suka.

Dia, kan, suka anak kecil. Iya, kan? Eh tapi meskipun dia suka Abang dan Queen, belum tentu juga dia mau punya anak. Bisa jadi dia sayang karena memang sudah ada, dan mereka adalah adik-adikku. Mau nggak mau, ya Saki harus menerima fakta itu. Bukan lantas aku bisa sebut dia mau punya anak. Kalau dia ternyata childfree gimana? Atau, setelah melihat hidupku bersama dua adik, dia langsung trauma sendiri dan nanti nggak mau punya anak gimana?

Who knows?

"Eeeerrggghhhh!"

Aku mendesah kencang dan lelah. Untuk kuenya aku sudah siap dan yakin dengan pilihanku sih. Sudah hubungi mereka juga dan diskusi keinginanku dengan desain kue inspirasi jajanan favorit Saki, mereka pun sudah OKE, semuanya sudah beres. Tapi untuk hadiah ini, lho! OMG, kenapa mau membuang uang pun bisa serumit ini.

Ini kalau Saki tahu, dia pasti akan bilang 'nggak usah, nggak pa-pa'. Semua kalimat yang mengandung 'nggak pa-pa'-nya itu akan keluar dengan lancar. Dia, sih, jelas nggak apa-apa, masalahnya aku yang apa-apa! Aku nggak mau, ya, cuma datang ke wisudanya, foto bareng bawa buket bunga, nyengir depan kamera, terus posting dan tag Saki dengan semua kata-kata pacaran. Aku mau membawa sesuatu yang kalau bisa bikin Saki nggak tidur 7 hari 7 malam.

Tapi mungkin karena niatku aja sejelek itu, makanya Tuhan nggak kasih restu dan berujung pikiranku buntu.

Aku ubah deh niatnya, aku mau kasih sesuatu buat Saki supaya dia merasa dia beneran aku cintai dan sayangi sepenuh hati, dia pantas mendapatkan hal-hal manis karena dia juga sangat manis perilakunya. Aku mau dia tahu dia diterima dengan baik seperti yang dia lakukan padaku. Berusaha meyakinkan aku hebat dengan cara berbeda dari Mama. dia tahu kalimat Mama menyakitkan, padahal aku sudah bilang kalau niat Mama pasti baik.

Aku selalu ingat apa yang Papa bilang; "Segimana pun jahatnya kalimat Mama yang kamu denger, mungkin nanti dia adalah satu-satunya orang yang bisa kamu cari kalau kamu butuh."

Aku mengartikan sebagai; nggak pa-pa aku benci Mama, kecewa dan sakit hati, tapi aku tidak boleh lupa dia tetap Mamaku dan yang dia inginkan hanya yang terbaik untukku. Dia cuma nggak tahu caranya. Dia cuma tidak ingin aku seperti dirinya. Menerima banyak kalimat jahat dari orang lain.

Ummmm okay, pikiranku sudah mulai ke mana-mana.

AHA!!!

Kenapa aku tidak kepikiran ini sejak awal, ya amplooooopppp! Aku, kan, punya saudara ipar bernama Amira! OMG, iyaaa, aku baru ingat ada Ami di dunia ini. Ya Allah, maaf ya, Ami, aku melupakanmu. Tapi tidak lagiiii! Sekarang aku langsung chat dia di WhatsApp untuk tanya dia sedang free atau tidak. Aku mau telepon.

Saat dia bilang sedang santai, ofkors aku langsung telepon dia!

"Amiiiiiiii, please please, ini hidup dan mati, bantuin akuuuuuu!"

"Pastiii tentang wisudanya Saki," ledeknya sambil tertawa.

"Ofkorsssss!!!" Aku ikutan terpingkal. "Ihh sumpah, bloon bangeettttt, nge-blank dooong. Mau minta tolong kasih rekomendasi kado buat ayang apa aja, yaaaa. Kamu kan udah pengalaman sama Al. Well, mereka beda tipe sih, tapi paling enggak, aku butuh ide, Miiiii."

"Kamu dateng ke orang yang tepat. Urusan beginian, aku suka banget, Thi. Nanti aku cari ide-ide gemes, nanti aku kasih tau ke kamu."

"Ya Allah, makasih banyaaak!"

"Kamu ada permintaan khusus nggak? Misal temanya apa gitu?"

"Apapun apa aja. Mau tema Upin-Ipin sampe Dinosaurus, boleeeeh."

"Gilaaaaa!" Ami terbahak-bahak.

Gila? Sinting? Yes, I am!


***


"Kamu dapet izin pulang cepet karena nggak enak badan, tapi malah ke sini? Ini termasuk bibit-bibit korupsi nggak sih, Ki?"

Entah ya, ini cuma perasaanku atau gimana, tapi sejak tragedi—harus banget ini tangisan Saki waktu itu disebut tragedi ya?—di rumah Mama, aku merasa seolah-olah Saki tuh setiap melihat aku kayak melihat kitten yang sendirian, menyedihkan deh kalau-kalau kamu suka nemu video fyp di TikTok.

Aku tuh merasa kayak ... manusia paling mengenaskan, kasihan, atau apalah.

Nih, tiba-tiba abis lihatin aku lama, dia tertawa pelan. Menunjuk Abang yang main mobil-mobilan sendirian, sementara dia masih memangku Adek dan menggoyang-goyangkan badannya pelan. "Abang suka banget diajak ke sini, ya, Sayang?" tanyanya.

Aku mengangguk, tapi menatapnya bingung.

Aku tidak butuh distraksi ya bosss!

Saki yang pintar langsung bisa membaca maksud dari tatapanku, dia tersenyum tipis. "Mungkin bener, ini bibit-bibit korupsi, tapi yang aku tahu, HRD di tempatku masih manusia, Sayang. Kalau memang ada yang nggak enak badan, boleh pulang, dan kerjaannya di-backup yang ada. Daripada dia stay di kantor dan nggak fokus juga."

"Lalu Andaaaa??"

"Aku tuh sebenernya cuma pusing dikit sama meriang, tapi kalau di rumah, bakalan makin kerasa. Di sini, sama anak-anak dan kamu ..." Saki sudah keburu ketawa sendiri, terus aku baru sadar mungkin ekspresiku yang enggak-banget karena dia mengusap wajahku dengan sebelah tangannya. "Di sini aku lebih happy."

Aku meringis. "Kamu emang sinting, sih, By. Kok ada ya manusia yang malah nyamperin masalah dan keberisikan duniawi."

Ekspresinya terlihat tidak terima, matanya memicing, tetapi bibirnya tetap tersenyum. Orang nggak cocok jadi antagonis aja sok-sok-an mau pasang wajah seram. Dia pikir aku akan takut? Enggak euy! Malah gemas maksimal. "Kamu sama hidupmu itu bukan masalah. Berisik mungkin, iyaa, tapi berisik itu aku butuh dan mau buat gantiin sepi."

"Aku cium nih."

Dia menunduk sambil tertawa pelan, memandangi Queen di pangkuannya, tubuhnya bergoyang-goyang pelan. Lalu tiba-tiba dia mendongak, menatapku dengan kedua mata yang sudah memerah. Waduh, seperti akan ada air mata susulan? Nih anak nggak mau nangis lagi, kan? Nanti gimana jelasinnya ke Abang kalau dia kebingungan tanya Abang Saki kenapa.

Aku sudah panik banget, lalu dengar kalimatnya yang bikin makin melongo.

"Kamu liat deh Adek, Sayang," lirihnya. "Aku seneng banget, terharuuu, apa yaaa, dia lahir di keluarga yang baikkk, sayang diaa, dan pikirannya keren, positif semua. Anak bayi kayak gini, mereka tuh sama semua, harusnya nerima kasih sayang dan perlakuan yang sama, kan?"

Aku kayaknya tahu nih arahnya ke mana.

"Tapi kenapa kamu dibedain?" KAN! Dia sih nggak menatap aku waktu ngomong itu, kedua tangannya menggendong Adek, diangkat sedikit dari pangkuannya, ditatap dalam-dalam seolah bayi itu ngeri aja kalau sedang bersama cowok keren. "Kamu ngelakuin salah apa sama Mamamu, Sayang?"

Ummmm, okay. Aku sepertinya harus menjelaskan panjang lebar, supaya Saki tidak hidup dengan membenci Mama. Hidup Saki sudah bersih, jangan sampai kotor karena rasa bencinya ke Mama. Aku tidak mau.

"Aku emang belum pernah denger langsung dari mulut Mama, sih, tapi aku tau ini dari cerita Papa dan Nenek dulu. Hidup Mama tuh lumayan keras lho, Ki." Aku tertawa pelan, bukan ngetawain Mama, tapi gimana turun-temurun drama memuakkan ini. "Dulu, dia bukan cuma nerima kalimat jahat, tapi serangan fisik juga." Aku mendongak, supaya bisa menahan air mata. Aku tidak suka menangis, apalagi untuk hal-hal ... apa, ya. "Dulu dia nggak ditemenin temen kelasnya, Ki." OMG, suaraku sudah tercekat, padahal belum apa-apa. "Dia dikata-katain anak orang kaya tapi kok jelek, kayak nggak pernah mandi. Dia suka didorong jauhan gitu, katanya bau." Aku tertawa, mungkin aku sendiri yang tahu tawaku ini artinya apa. "Kata Nenek, dia setiap pulang sekolah nangis, minta pindah terussss."

Aku dan Saki saling tatap, dia beneran diam dengan mata berkaca-kaca.

"Jadi, begitu dia udah ngeh, dia beneran jadi keras banget sama diri sendiri, rawat dirinya kayak orang ... pokoknya kayak besok mau meninggal." Aku meringis. "Hebatnya, Mama nggak cuma rawat diri secara fisik, dia juga pendidikannya bagusss, jago public speaking, lho, dia bisa bisnis, Ki. Dia bantu para UMKM bertahan atau bahkan berkembang. She's amazing."

Hening, beneran hening beberapa lama.

Terus aku melanjutkan lagi. "Yang selalu Mama bilang ke aku, semua kalimatnya itu, walau jahat tapi tujuan dia baik, dia sayang aku. Daripada temannnya dulu, kalimatnya jahat, niatnya pun jahat." Aku terkekeh geli. "Tapiii, harusnya Mama lebih tau gimana rasanya nerima kalimat jahat ya, Ki? Nggak peduli niat dia semulia apa. Aku boleh kan tetep ngerasa dia jahat banget ke aku?"

Saki mengangguk, menggigit bibirnya sendiri, menyeka matanya. Apa aku udahan aja, ya, cerita hidupku kalau dia begini? Nanti dia yang pingsan?

"Dulu, Papa yang selalu sembunyi-sembunyi, lho, Ki kalau mau nemenin aku makan cokelat atau jajan yang haram menurut Mama. Papa juga yang diem-diem ajak aku ke mana gituuuu, biar aku ada liburnya ngikutin program kecantikan Mama. Yang belajar, yang fisik, adaaaa aja. Maksudku, Mama harusnya jangan lampiasin sakitnya dia ke aku. Aku, kan, anaknya, yaaa? Aku paham, dan turut berduka sama masa lalu dia, tapi ..." Aku mengembuskan napas. "Orang bilang dia baru pertama jadi Mama, jadi harus maklum. Emangnya aku udah berapa kali, ya, jadi anak? Bukannya sama-sama pertama kali?" Aku mendengar Saki tersedak, dia pasti menahan dirinya dari tadi. "Aku nggak mau kamu benci Mama, Ki, Mamaku mungkin bukan yang terbaik, tapi kamu jangan khawatir, aku udah melewati itu. Ada Papa dan Bunda yang selalu usahain kebahagiaanku. Okay? Dan sekarang ada kamu juga. Jadi nambah deh alasan aku happy."

Dia tersenyum, lebih tepatnya maksa banget sih.

"Oh anyway, kalau kamu penasaran kenapa Papa dan Mama pisah, karena Papa nggak bisa nahan diri lagi buat selaluuuuu ngalah, yakinin Mama yang tetap insecure. Mama selalu ngerasa Papa lebih hebat dari dia dan Papa bisa dengan mudah dapetin perempuan lain. Jadi terus-terusan ribut, dari cuma cekcok mulut biasa sampe lempar-lemparan barang." Aku tersenyum tipis. "Aku pernah liat Mama lempar blender ke Papa. Aku jadi tau, orang yang belum nerima diri sendiri, mungkin memang kesulitan nerima orang lain di hidupnya, yaaa? Tapi sekarang aku seneng, kayaknya Om Andrew bikin Mama ngerasa aman. Walaupun aku kadang ... apa yaaaa, kangen sama Mama-Papa. Tetep ada memori manis di hari libur, di meja makan."

"I love you," lirihnya.

Ofkors aku tertawa pelan. Random juga anak ini, sepertinya ketularan aku deh. Aku mengangguk, tersenyum lebar. "Atau kamu kasihan sama aku?"

"Is that bad?"

Aku menyipitkan mata. "Nggak tau, yaaa." Terus ketawa lagi. "Aku paham perasaanmu, Ki, tapi mungkin kamu bisa kayak aku, inget kalau dia tetap Mamaku dan dunia dia juga pernah jahat banget, makanya dia begitu. Biar nggak benci-benci banget."

Saki mengangguk. "Aku ..." Dia kasih jeda sebentar. "Waktu pertama denger Mamamu ngomong ke kamu, itu kaget banget. Yang bikin makin sedih dan sakit itu karena liat respon kamu yang santai dan ketawa. Aku terus mikir ... sesering apa kamu denger kalimat itu sampe udah terbiasa? Sekeras apa kamu usaha biar bisa terbiasa?"

Aku tersenyum. Mengelus lengannya. "Oiyaaa, aku lupaa satu hal. Orang tuamu nggak masalah dapet besan dua pasang?"

Saki tiba-tiba batuk.



---

kenapa, Ki, tetiba batuk?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top