CHAPTER 26.1
Ini bisa disebut kehidupan modern atau sebenarnya malah kemunduran, ya?
Ummm maksudku, yang namanya modern, kan, harusnya lebih baik dari sebelumnya. Lebih membantu, lebih menguntungkan, membuang yang kolot-kolot, apalah deh. Tapi ini aku merasa sih malah balik jauuuuh ke zaman batu. Gimana bisa, aku tidak merasa takut atau was-was dengan pertanyaan Papa-Bunda dan bisa menyakinkan mereka kalau baik-baik aja, tapi tidak di depan Saki?
Ini uaaaneehhh.
Begitu Papa-Bunda—mungkin—merasa sudah yakin tadi beneran cuma karena kecerobohanku tidak angkat telepon atau balas chat mereka, mereka akhirnya memberi ruang untuk aku dan Saki. Nah, masalah ini nih, sekarang aku berdua dengan Saki cuma diam-diaman. Ofkors aku tuh nggak bego banget gitu, lho, aku tahu arti dari situasi ini, aku tahu harus berbuat apa. The thing is ... aku tiba-tiba jadi cupu alias aku nggak berani untuk membuka mulut, untuk ngomong.
Uthi, ngomong, Uthi, ngomong!
Atau kalau memang nggak mau dan nggak bisa ngomong, lebih baik pingsan aja nggak sih?
Pura-pura pingsan maksudku.
"Kamu tadi beneran baik-baik aja di perjalanan, Sayang?"
"Oh!" Aku seketika meletakkan helm di sebelahku duduk. "Iya, baik-baik aja. Aku tuh tadi beneran nggak buka hape, dan bego banget sih itu asli." Aku memukul kepalaku sendiri. "Aku minta maaf, tadi aku main kayak orang yang nggak punya orang lain buat dikabarin. Padahal Papa, Bunda, dan kamuuuu, pasti khawatir. Maaf, ya, Byyyy?" Aku tidak sedang menjilat, aku beneran menyesal, puppy eyes dan panggilan 'by' hanya pemanis. Sumpah.
"Iya, tadi aku khawatir banget." Dia menatapku serius, tapi herannya tidak terlihat ekspresi atau tatapan marah. Beruntung banget bisa ketemu cowok ini dari banyaknya cowok tempramen di luaran sana—iya, kan? Banyak, kan? "Aku coba DM Sam, katanya nggak lagi main sama kamu, terus dia juga baik, dia nanyain ke temen-temen kamu yang lain, katanya emang lagi nggak main." Mendengar itu aku meringis, ini nanti kalau buka grup, pasti mereka sudah mengomel banyaaaak. "Aku udah keabisan cara, makanya aku ke sini. Aku tau kamu pasti nggak suka—"
"Enggak!" Aku menggelengkan kepala cepat. "Suka!" Aku mengangguk. Ini kenapa kalau dalam mode serius, melihat Saki serius, semua kemampuanku sebagai manusia pada umumnya seolah menghilang, ya? "Aku suka kamu di sini, nyariin aku, artinya kamu peduli. Tapi aku ngerasa bersalah. Aku tuh mau liat Cipung, Ki."
Tidak disangka, tidak diduga, dia tertawa, pelan. Eh eh, dia pindah duduk euy! Menyingkirkan helm-ku ke atas meja, dia menempati tempat sebelahku. Nih orang beneran ketularan energi tidak warasku. Ke mana anak ponpes yang dulu kalau duduk jauh-jauhan? Tidak ada. Sudah berubah menjadi Alsaki Nakal. "Kamu kalau mau nonton Cipung, jangan sendirian, bisa sama aku."
Aku meringis, karena baru sadar satu hal. Jadi ternyata ... aku tuh belum cerita ke Saki tentang teman baruku bernama Daffa itu, ya? Serius???? OMG, ini mah beneran aku akan mati, sih. Sudah pergi nggak ada kabar, ternyata perginya sama teman baru, berjenis kelamin cowok pulak! Mungkin nggak sih cowok cemburuan ini nggak marah? Tapi harusnya nggak marah, kan? Toh, Daffa temanku. Teman pengabdi Cipung. Dia tahu aku suka Cipung, jadi dia pasti bisa memahami situasi ini.
Aduh, mulutku terkunci rapat, pikiranku blank maksimal, aku tidak tahu harus memulai dengan kata apa untuk menjelaskannya.
"Sayang? Kok ngelamun?"
"He?" Aku menelan ludah, menggaruk kepalaku yang mendadak gatal. "Kamu suka kalau kita saling jujur, kan, Sayang?" Aku melihat tatapan bingung di wajahnya, tapi dia langsung menganggukkan kepala. Aku mendesah pelan. "Kamu tau, kan, aku tuh suka ngobrol sama orang? Maksudnya, aku nggak yang pemalu dan pendiem gitu, lho."
"Iya, tahu kok. Kamu friendly, humble, dan nyenengin sama semua orang." Senyumnya itu, lhoooo!
"Kamu keberatan sama itu?"
Dia tidak langsung menjawab, sepertinya sih takut terjebak. Memang benar, kalimatku tadi niatnya menjebak. Oh easy, bukan bermaksud yang kriminal-kriminal banget, aku cuma ... ya amplop, mau melindungi diri sendiri ternyata begitu syuliiiit! "Kamu mau ngomong apa, Sayang?" Ummm okay fine, dia sudah beneran mencium niat busukku, karena aku tidak terlalu jago menyusun strategi. Kalau kata Sam, aku terlalu berbelit-belit, mau ke pasar, tapi bisa nyasar ke sawah dulu, zoo, dan apalah banyak.
"Aku tuh punya temen baru, namanya Daffa. Aku udah mau cerita ke kamu kok, sumpah!" Tapi aku lupa, maaapppp, Ki, ya Allah maaapppp. "Ini bukan karena aku ganjen terus kenalan sama stranger gitu aja yaaa, apalagi dia cowok. Aku tau perasaanmu, aku berusaha hargai kamu yang kemungkinan besar akan cemburu." Aku istirahat dulu sebentar, menarik napas.
"Okay??"
"Tapi ini temen sesama pengabdi Cipung." Aku mendesah lega. "Kamu inget waktu aku me time itu? Okay aku sering me time, tapi pokoknya kami kenalan di sana karena aku tau dia suka Cipung, makanya aku iyain. Aku seneng punya temen yang buat menggilai Cipung."
Saki tidak menjawab apa pun.
Sepertinya setelah ini, aku beberan akan pingsan dengan cara tidak menawan ini mah. Mungkin memang sudah waktunya, ketimbang aku mendengar atau melihat kekecewaan Saki makin banyak, kan? Tapi ini memang salahku, sih. Argh!
"Ki?" panggilku pelaaaan, mirip cicitan tikus.
"Sebentar, Sayang," jawabnya. "Aku butuh waktu sebentar." Saki menunduk, kedua tangannya bertumpu di atas paha, dia menutup mukanya. Diam. ini remote AC mana, ya? Biasanya Saki kalau mau diam buat menenangkan diri butuh udara lebih dingin, dan keheningan yang ... beneran hening.
Aku menunggunya sambil menghitung. Begitu sampai di hitungan 51, dia akhirnya bersuara lagi. Yeay! Yeay?
"Yang pertama ngajak kenalan siapa, Dyuthi?" OMG, aku nggak suka ini. I knoooow, aku memang kurang ajar. Jarang memanggil Saki sayang tetapi langsung merasa tersakiti setiap dia memanggilku nama. Seolah dia sudah tidak mau lagi sama aku.
"Dia," jawabku lesu.
"Dia tau dari mana kamu suka Cipung? Phone case kamu bukan Cipung seingetku."
Oh.
He's right.
Aku melupakan detail yang satu itu dan lupa juga kalau nih cowok bisa tantrum perkara sesama cowok dan ... ini memang salahku. Jangan mencari pembelaan apa pun, Uthiiiiii, kalau nggak mau nasibmu tamat. "Aku nggak pake atribut Cipung apapun, sih, dan bener, dia nggak tahu kok kalau aku suka Cipung." Lebih baik jujur dan bertengkar sekarang daripada nanti jadi bom di tengah jalan dan kami sama-sama wafat. "Dia awalnya emang mau ajak kenalan, tapi aku bilang aku udah punya pacar, jadinya dia mundur. Terus aku nggak sengaja liat lock screen hape dia pas nyala, gambar Cipung, jadi aku ajak ngobrol dan ... yaaa, akhirnya kita tukeran IG. Tapi demi Allah, Ki, obrolan kita sebatas soal Cipung. Kamu bisa cek DM-nya." Aku berusaha merogoh isi tas, tapi ditahan Saki, dia gelengin kepala.
"Nggak pa-pa. Aku percaya kamu."
"Kamu serius? Nggak marah?"
"Aku nggak marah kok."
"Tapi?"
Dia menahan senyum, membuang pandangan sebentar, sebelum kembali menatapku. "Sebenernya aku bukan orang yang percaya temenan cewek sama cowok sih." Saki menggaruk kepalanya, meringis. "Sebelah pasti ada yang suka. Daffa itu, kan, jelas tertarik sama kamu. Kebetulan aja ada Cipung di tengah kalian. Kalau dia nggak suka kamu, alasan Cipung doang nggak akan bikin dia jauh-jauh main sama kamu. Dia bisa pergi sendiri ke sana. Cowok biasanya mau temenan sama cewek kalau dia suka sama cewek itu. Tapi ya nggak semua, tapi aku yakin Daffa ini begitu."
"Oh gitu, yaaa." Aku beneran nggak tahu harus ngomong apa lagi, karena takut semuanya terdengar pembelaan bullshit di telinga Saki.
"Tapi aku percaya sama kamu. Kita jalanin hubungan ini nggak harus pake caraku, kalau pake caraku mungkin duniamu isinya aku dan keluargamu aja." Saki tertawa pelan, menundukkan kepalanya. "Aku berusaha biar nggak cemburuan. Tapi please, kalau main atau ke mana, kabari aku, yaaa."
Aku mengangguk.
"Aku mau kok nemenin kamu ngejar-ngejar Cipung dan Nicholas Saputra. Aku juga suka nontonin video Cipung yang kamu kirim. Jadi, kalau kamu mau bahas soal Cipung atau apalah apalah, kamu bisa sama aku juga." Saki tersenyum lebar.
Ini mah beneran aku kayak cewek nggak tahu diri, ya.
"Kamu tuh bukan manusia, ya, Ki?"
Dia tertawa pelan. "Terus apa?"
Aku mengendikkan bahu. "Alien mungkin?"
Kepalanya menggeleng.
"Terus apaaa?" Aku menyipitkan mata, pura-pura menganalisa dirinya. "Aku yakin kamu bukan manusia. Kamu apa, Ki?"
"Pacar kamu."
Waduh, waduh, waduh!
Sepertinya proses menandai area kepemilikan sudah dimulai euy! Wajah boleh senyam-senyum, kalimat boleh semanis politik dan penguasa, tapi gerak nggak boleh berhenti boss! Diam-diam, area target berhasil dikuasai deh! Ini seolah-olah, Saki mau menegaskan sekali lagi, kalau aku nggak boleh aneh-aneh, lenjeh, ke cowok lain karena aku sudah punya pacar.
Dia.
Aku meringis.
---
awokwokwok, rakyat bingung ini gimanaaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top