CHAPTER 23
"Nanti bimbingan lagi lo weekend lagi, Kak?"
Dia meski aku bilang aku belum tua-tua amat, masih aja kekeh manggil 'kak'. Apa mau dikata, suka-suka dia. "Nggak tau sih, gue sebenernya free kalau weekend, tapi ya gitu, kepotong deh waktu main."
Sintia tertawa. "Bener banget! Tapi weekdays nih Pak Budi alesan mulu anjir, kapan kita kelarnya."
Aku mengangguk setuju. "Lo weekend juga, Na?"
Nana menggeleng. "Terserah baginda Budi sih, gue bisa kapan pun."
"Mantep!"
Aku melambaikan tangan. "Gue pamit duluan, yaaaa! Nanti kabarin di grup aja mau bimbingan kapan."
"Grup yang ada Pak Budinya?"
"Oiya, nggak ada yang kita sendiri, ya?"
"Bikin aja nanti, gue bikinin deh."
Cakep tuh Nana, inisiatif.
Aku mengucapkan terima kasih, dan melambaikan tangan pada mereka, lalu berjalan meninggalkan rumah Pak Budi, ke gerbang kompleks, dan belok kiri untuk berjalan sedikit lagi ke cafe kecil rumahan tempat Saki menungguku.
Selama jalan kaki, pikiranku balik lagi ke keanehan yang aku rasakan sejak bimbingan tadi mulai sampai berakhir.
Meski bimbinganku sudah selesai, meski semuanya berjalan dengan lancar, aku dan beberapa teman bimbinganku juga sedikit diskusi, dan semuanya menyenangkan. Termasuk Pak Budi.
Tapi bentar deh, justru ini yang bikin uaneh rasanya.
Ummm, kok malah baik-baik aja?
Maksudku, bukannya ini harusnya aku, skripsiku dan Pak Budi adalah drama terbaik sejauh ini? Sudah berakhir dramanya euy! Bahkan sebelum aku tahu dialogku apa, alurnya gimana, konflik sungguhannya apa, dan ofkors ending-nya apa. Pak Budi tadi selama bimbingan tidak ada tanda-tanda cringe atau bikin takut kayak yang selama ini coba aku infoin ke kamu. Yaaaa maaf deh, kalau aku giring opini negatif dan kamu jadi berburuk sangka ke Pak Budi—tapi, kan, emang beneran nggak sih?
Tapi tadi selama bimbingan, blio beneran berperan sebagaimana dosen pembimbing seharusnya. Memberi insight, memberi nasihat, memberi revisi ofkors, dan yang menyenangkan, dia sudah menerima judul baruku dengan editan tipis-tipis hasil diskusi kami. Lalu, aku dan anak-anak lain diberi minum dan ditawari makan dengan sopan. Apa memang selama ini aku yang kepedean, ya?
OMG, malu banget rasanya!
Untung waktu itu aku nggak langsung konfrontasi Pak Budi, bisa-bisa aku dilempar lagi ke dosen lain, ulang lagi dramanya, dan beneran sampai tua aku di kampus ini. Amit-amit jabang bayi deh.
Oh senyumku merekah, melihat pacarku yang manis itu lagi fokus banget main handphone. Di meja kecil depannya ada cup minuman dingin dan piring kecil yang makanannya sepertinya sudah habis. Aku melihat sekitar, di sini cuma ada ... 5 meja kecil dengan masing-masing dua kursi, karena memang ini rumah pribadi sih sepertinya. Di pojok kananku sana, ada dua cewek juga lagi ngobrol pelan sambil minum cantik. Ini jelas bukan tempat perkumpulan manusia suara lantang seperti aku dan teman-temanku.
Sekarang aku fokus lagi pada Saki yang belum ngeh kehadiran, makin mendekat, aku sedikit menundukkan kepala dan bilang dengan pelan, "Boleh duduk sini, Kak?" Kepalanya menggeleng tanpa menoleh—tapi seketika kepalanya mendongak karena mungkin baru ngeh suaraku dan wajahnya langsung bahagia. Lucunya. "Aku mau kenalan nih. Sendirian aja."
Dia tertawa pelan, meletakkan handphone-nya yang layarnya sudah terkunci.
"Sibuk ngapain tadi?" Aku menarik kursi di depannya, dan duduk.
"Main catur." OMG, bisa-bisa membunuh kebosanan dengan main catur. Kalau aku, yang ada makin gila alias stres berat penuh amarah. "Gimana skripsinya? Gimana Pak Budinya?" Saki ikutan tertawa saat aku tergelak mendengar pertanyaannya barusan. Pasti yang paling bikin dia penasaran adalah pertanyaan kedua.
"Pertanyaan pertama cuma formalitas, kan? Yang paling kamu butu jawaban adalah yang kedua?"
"Enggak kok, aku butuh jawaban keduanya, kalau mau nggak keberatan jawab."
"Kalau keberatan? Aku banding ke mana?"
Kekehannya keluar, dia menoleh sekilas kanan sambil mengelus-elus telinganya. Kulit manusia kok gampang banget berubah warna nih orang. Manusia apa bunglon boss? "Mau aku pesenin apa, Sayang?"
"Minta punya kamu aja nggak sih? Irit." Aku meringis.
Saki tertawa pelan. "Nggak boleh dong. Maksudnya, kamu boleh banget ambil minumanku, tapi nggak pa-pa pesen lain. Kasihan owner-nya, masa kita cuma numpang duduk belinya dikit. Mereka juga untungnya nggak banyak. Nanti kalau kamu nggak abis, aku yang abisin."
Baik amat nih orang nongkrong aja masih kepikiran omset dari si owner.
"Aku sih pasti abis, ya." Aku tertawa geli. "Kamu lupa aku bahkan sering ambil separo nasimu kalau makan?"
Sudut bibirnya terangkat, dia mengangguk ragu.
"Untung badanku tipe yang susah gendut. Tapi apa justru itu bahaya ya, Ki? Soalnya kan aneh, masa diisi banyak nggak gendut-gendut. Well, aku suka sih, tapi aneh gitu maksudnya. Iya, nggak sih?"
"Tapi kamu nggak keliatan kayak kekurangan gizi kok."
Aku memutar bola mata. "Ya iyaaaaa. Kamu suka badan aku?"
"Hah?"
Ya amplop lucunya tidak ada tandingan sedunia. "Maksudku, ukuran badanku? Segini nih kamu suka? Liatnya lho, kan kamu belum ngerasain." Dia langsung membuang muka sambil tertawa pelan, aku ikutan tertawa geli akan reaksinya.
"Suka kok."
"Kok?"
"Suka." Kepalanya mengangguk. "Banget."
Aku tersenyum lebar. "Okay." Sekarang aku berdiri, tapi kemudian menatapnya bingung waktu dia tanya aku mau ke mana. "Pesen minuman, tadi katanya kasihan owner-nya."
"Oh aku aja yang pesenin."
"Aku bisa," jawabku yakin.
"Aku tahu kamu bisa, tapi aku yang pesenin aja, boleh nggak?"
"Kenapa?"
Ekspresinya terlihat kebingungan. "Nggak pa-pa."
"Ya artinya sama aja. Aku aja nggak pa-pa." Aku sudah melangkah sekitar tiga langkah, baru kemudian sadar sesuatu. Mungkin ini memang aku sebelumnya. Aku bisa melakukan sendiri, tapi saat aku memilih menerima Saki hadir di hidupku, aku nggak bisa, kan bersikap seolah dia nggak ada dengan dalih 'ya gue emang begini'? Jadi, aku balik lagi ke kursiku dan menatapnya super lembut sambil kasih dia senyuman muanis. "Kayaknya aku pengen minuman pilihanmu, deh. Kamu yang pesenin, mau?"
"Sure." Dia tersenyum lebar, langsung berdiri. "Bebas pilihanku?"
Aku mengangguk.
Dia berjalan mendekati kasir yang berdiri di dekat etalase dessert itu. Melihatnya dari belakang, aku jadi senyam-senyum. Laki-laki ini kenapa stok sabarnya banyak banget, ya? Aku mungkin sering tidak sesuai dengan keinginannya, tidak sesuai dengan caranya menjalin hubungan selama ini. Dimulai dari panggilan yang susah banget mau manggil 'sayang—mungkin karena sebelumnya aku panggil pasanganku tuh 'mas, abang' gitu kali, ya atau yaaa panggilan lucu 'bubub' dan semacamnya, sementara sama Saki kenalannya aja random dan gue-elo'—dan dia pernah komplain sekali dengan cara yang lembut pulak. Tapi aku bandel, masih manggil nama kadang nggak sadar juga, dan dia diam. Terus dia yang cemburuan, sementara hidupku isinya kayaknya ketemu orang terus; sejauh ini cuma Pak Budi dan Goga sih yang bikin dia cemburu.
Oh dia sudah kembali, ofkors pesanannya belum jadi.
"Sekarang siap dengerin ceritaku?"
Dia memasukkan dompet ke kantung celana, sambil kepalanya mengangguk antusias.
"Judulku di-acc dong!" Aku tersenyum lebar, membusungkan dada sambil mengibaskan rambut yang hari ini aku kuncir kuda. "Terima kasih, Om Saki atas bantuannya buat nyari kata-kata yang josss! Diubah dikit sama blio, tapi tetep amaaan."
Senyumannya lebar, dia kelihatan ikutan bahagia banget. "Congrats! Kamu hebat banget."
"Baru judul doang, lho."
Kami sama-sama tertawa.
"Ya nggak pa-pa, setiap progres itu perlu diapresiasi, disyukuri."
Aku mengangguk. Positif banget memang pacarku ini, mungkin nanti kapan-kapan aku mau suruh dia biki podcast deh, isinya nasihat untuk anak muda. "Laluuuuu, kabar baik yang kedua adalah ... kayaknya aku salah deh soal Pak Budi."
"Salah maksudnya?"
"Dia nggak kayak yang aku takutin, maksudnya—" Aku keburu tertawa sendiri, tawa miris untuk diriku. "—ya nggak mungkin nggak sih blio suka aku? Tadi sopan dan khas bapak-bapak dosen, kok, Ki. Amaaaannn."
Dia mengangguk. "Sip."
Aku memicingkan mata. "Kok gitu doang? Kesannya kayak kamu udah tau blio bakalan—wait wait, jangan bilang ... Ki kamu nggak nemuin Pak Budi di belakang aku, kan?"
"Aku cuma—" OMG, harusnya aku sudah menduga ini dari tadi! Obrolan kami terhenti karena pesanan datang. Aku berterima kasih—ofkors Saki juga—dan langsung menusuk sedotan ke plastik penutup, menyedot minumannya lumayan banyak. Auranya mulai panas ini. "Aku cuma lakuin seperlunya aja."
"A!!" Aku mengangguk sambil menatapnya tajam.
"Aku nggak bilang aneh-aneh, Sayang." Kenapa dia yang terlihat bingung dan takut? "Aku cuma ajak beliau ngobrol."
"Ngobrol apa?"
"Aku cuma bilang kalau kamu udah pusing sama hidupmu, jadi aku minta dia buat nggak mempersulit skripsimu, dan aku bilang supaya dia bersikap sewajarnya sebagai dosen ke mahasiswa."
"Terus kamu ngerasa keren?" Aku melihat matanya sempat membeliak, terus dia mau buka mulut tapi nggak jadi, tatapannya berubah jadi sedih dan bersalah yang memang seharusnya begitu. "Kamu ngerasa berhak gitu nyeritain hidupku ke orang lain? Bilang hidupku pusing? Buat kepentingan kamu sendiri?"
"Bukan itu, Sayang. Aku—"
Apa sih maksud anak ini coba?! "Aku tahu kamu cemburu, aku berusaha paham dan menghargai, tapi kamu kelewat bates, Ki. Ngelakuin sesuatu di belakangku kayak gitu, menurutmu aku nggak bisa beresin ini sendiri? Atau minimal kamu ajak aku diskusi? Apa di matamu aku kayak cewek plonga-plongo gitu?"
"Bukan, bukan, please dengerin aku dulu, Sayang."
Aku meraih tas dan menyampirkannya di lengan, lalu menarik laptop sleeve-ku, dan berdiri. "Aku mau pulang sendiri."
"Sayang. Dyuthi."
Kenapa sih lagi emosi masih sempat-sempatnya aku kebelet pipis?!
---
waduh, waduh, waduh
btw gais, aku mau coba rutinin apdet-nya tiap weekend yaa untuk Saki-Uthi, tapi kalau tetiba weekdays apdet ya rejeki kita semoa hihi muach. met mingguaaan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top