CHAPTER 22
"Arrghhhhhhh!!!"
Aku berharap teriakanku tadi bisa tembus sampai ke planet lain dan ofkors aku bisa saja mengeluarkan volume itu kalau memang boleh—kalau memang kondisinya memungkinkan. Tapi, sekarang aku cuma boleh merasa puas cuma dengan teriakan tertahan oleh bantal sofa. Ya Tuhan, ya Allah, aku rasanya sudah frustasi berat melihat kekacauan ini.
Aku mungkin pemalas, aku juga tidak serajin itu dalam bersih-bersih rumah, tetapi jujur, kepalaku cenat-cenut dan rasanya mau meledak kalau melihat sesuatu seberantakan ini. Apalagi yang bikin berantakan bukan aku sendiri. King sudah meminta maaf dan harusnya perasaanku ini sudah kembali normal. Ditambah dia juga sangat kooperatif dan sekarang mengajukan diri untuk ke dapur mengambil kain entah apa maksudnya. Dia anak yang baik, dia anak yang manis, tapi ternyata itu belum cukup untuk membuatku menjadi manusia sabar dan pemaaf. Aku tetap stres dan menangis kalau menghadapi hal-hal semacam ini.
Aku buru-buru menarik napas dalam, mengembuskannya kencang, mengelap wajah dan pasang senyum lebar waktu King datang lagi sambil membawa kain dari dapur. "Oh my Baby, come here!" Aku menarik tubuhnya untuk aku peluk erat. "Makasih, yaaa udah jadi adik yang super baik buat Uthi."
"Maaf ya, Uthi."
"It's okaaaay. Kita bersihin, yaaa. Abang boleh elap airnya yang itu." Aku menunjuk air yang tumpah di lantai. Air minumnya tadi. "Uthi ambilin pecahan gelasnya. Abang belum boleh pegang yang ini, nanti tangannya luka, okay?"
Kepalanya mengangguk.
Di tengah kegiatan kami, tiba-tiba aku mendengar dia bilang, "Uthi, awas tangannya luka, ya."
Huuuu, manusia mungil ini memang sangat lembut dan manis. Itu kenapa aku bisanya cuma marah sama keadaan, bukan pada dia. King nggak akan pernah membuatku marah atau menyesal sudah ambil babysitting duties yang nggak tahu deh ada berapa part ini. Dia layak untuk aku berikan semua perhatian dan kasih sayangku.
Aku mengecupnya karena sudah mengatakan hal semanis itu.
Cintaku yang super banyak ini buat kamu, Abang.
Kecelakaan kecil itu nggak beneran bikin keseluruhan hariku chaos, kok. Hari ini berlalu tetap terasa cepat dan baik. Hidup bareng Abang dan Adek akan selalu berusaha aku nikmati. Karena mereka tidak akan selamanya sekecil itu, mereka nggak akan melulu membutuhkan bantuanku. Nanti, ada saatnya mereka bisa ngelakuin apa pun sendiri atau mungkin bahkan malah malu kalau aku terlibat di kehidupan personal mereka. Jadi, seenggaknya, kalau saat itu tiba, aku sudah melakukan bagianku dengan baik—ya walaupun pasti banyak kurangnya lah yaaa.
"Lho ini nggak dijemput Saki, Thi?" Bunda muncul di saat aku siap menutup pintu depan.
Aku meringis. "Aku mau me time kok, Bun. Nggak sama dia. Boleh, kan?"
Bunda menganggukkan kepala. "Boleh boleh, boleh banget. Cuma mastiin aja, kalau sama Saki kok dia nggak masuk dulu gitu. Kalau memang mau me time, hati-hati, yaaa." Senyumnya muncul, selalu seramah itu. "Kamu selalu bikin Bunda bangga." Ugh, manusia cantik ini kayaknya memang nggak mau aku berhenti mengaguminya. "Tetep sayang diri kamu lebih banyak daripada orang lain, okay? Termasuk pasanganmu. Bunda percaya kamu tau porsinya dari kalimat itu."
Aku mengangguk.
"Tapi Saki tahu kamu keluar sendiri?"
"Tau." Aku meringis. Apalagi melihat senyum Bunda yang aneh itu, dia pasti mau menertawakan nasibku ini. Lucu amat deh pacaran sama Saki. Diem-diem cemburu bossss! Hadeh. "Dia ... gimana, ya, Bun."
"Gimana tuh?"
"Wajar nggak sih kalau dia cemburuan?" Aku gelengin kepala sambil aku toyor sedikit. Bukan begitu kalau mau bertanya, Uthi! Yaelah. "Gini-gini, lupain tadi pertanyaan aneh." Aku menunda keberangkatan, menutup kembali pintu rumah dan mendekati Bunda. Ini kami ngobrol sambil berdiri, lho, entah siapa pulak yang tanya. "Kan, salah satu poin dari offer lists Bunda sama Papa itu adalah ... Saki orangnya nggak neko-neko, kan?"
Bunda tertawa pelan. Aku menatapnya bingung. "Sori, sori, kamu jelasinnya pake offer lists udah kayak orang marketing." O! Aku ikutan ketawa, geli sendiri. Iya juga, nggak sadar. "Betul, sepengetahuan kami, dia memang nggak neko-neko. Adem ayem, sopan, pendiam." Ekspresi Bunda seketika berubah. "Uthi, dia—"
"Eh eh eh bukaaaaan!" Aku jadi panik sendiri. Jangan sampai ini obrolan kami jadi bawa Bunda pada kesimpulan kalau Saki ini problematic atau apalah. Enak aja. "Aku cuma penasaran, ruang lingkup nggak neko-neko itu gimana?"
"Ow." Bunda mengangguk-anggukkan kepala, kelihatan sama peningnya nih denganku. "Ini gampang tapi susah." Bunda tertawa. "Kalau dari sudut pandang Bunda, tapi ini nggak mewakili Papamu, ya, nanti bisa tanya pendapat dia. Nggak neko-neko versi Bunda sebagai Ibu kamu dan juga sebagai perempuan, itu maksudnya ... Saki itu aman. Istilahnya apa, ya, nggak ada tanda-tanda yang harus dihindari. Dia sayang orang tua, sopan sama orang tua, dia bukan yang sayang banget sama hewan tapi dia nggak kasar sama mereka, dia ... sama Al hubungannya baik, sama ART di rumahnya juga sopan, sama anak kecil dia sabar. Oh tapi kalau yang kamu maksud itu soal kehidupan personal dia, maksud Bunda, gaya pacarannya, Bunda nggak tahu juga ya. Kamu ada masalah sama cowok yang ... yang—"
"Udah nggak perjaka?"
Bunda meringis, aku juga ikutan meringis. "Mungkin nggak sejauh itu, misal, gaya pacarannya yang nggak cuma buat nemenin belajar. Tau maksud Bunda nggak?"
Aku mau ngakak, tapi cuma bisa dalam hati. Kasihan Bunda kelihatan hati-hati banget buat bahas ini, karena mungkin dia mikirnya aku masih kecil. Padahal, kalau soal gaya pacaran, kayaknya malah aku yang mancing Saki buat keluar dari batas 'nggak neko-neko' versi Bunda dan Papa sebelumnya.
Ini gimana, ya?
Bukan ke arah sana, jadi malah ke sana-sana.
"Ummm, maksudku tadi, Bun, gini. Apa namanya." Mulai oleh nih aku, kehabisan cara untuk menjelaskan hal aneh ini. "Saki tuh cemburu sama Pak Budi."
Bunda melongo.
Aku nggak bisa menahan diri lagi untuk tidak tertawa. Jadi, kami sama-sama ketawa, tapi berusaha sepelan mungkin karena siapa tahu di kamarnya sana, Papa lagi berusaha mati-matian membuat Abang tidur.
"Serius, Thi?"
Aku mengangguk yakin. "Weird."
"Tapi kan Pak Budi udah tua. Udah tua, kan?"
"Belum, sih."
Bahu Bunda merosot, dia menatapku lelah. "Ya wajar dong, Uthi."
"Oh wajar, ya?"
"Dari semua ceritamu yang bilang kalau dia nggak masalah kamu bimbingan di rumahnya, terus kamu disuruh ulang judul, yang artinya waktu kamu sama beliau tuh makin banyak." Ditambah kirim foto makanan dan caption super cringe itu. "Tapi buat beberapa cowok mungkin itu biasa aja sih, Thi. Cuma emang ada kok cowok yang cemburuan. Dia kasar nggak, Thi?"
"Enggak, sama sekali enggak."
"Kamu ngerasa kewalahan sama cemburunya Saki?"
"Ummm, sejauh ini nggak sih." Aku menggaruk kepala. "Kalau dia beneran bermasalah, harusnya aku nggak boleh me time kan, ya, Bun? Karena dia cemburu aneh atau apalah."
"Betul."
"Yaudah deh, nanti kalau mulai nggak aman, aku kabari Bunda."
"Semoga aman, tapi kalau memang kamu tertekan, jangan ragu buat bebasin diri kamu, ya Sayang ya?"
"Siap!"
"Okay hati-hati, have fun! Oh jangan lupa share profil driver-nya."
Aku mengangguk, memberi hormat pada Bunda sebelum akhirnya keluar dari rumah. Duduk di kursi teras, barulah aku memesan ojek online. Apa naik taksi online aja, ya, jangan motor? Ini perkara lebih aman yang mana, tapi untuk dua masalah. Masalah angin malam atau masalah keselamatan fisik nih. Kalau naik motor, driver biasanya aman sih, cuma badanku yang ada aja kemungkinannya masuk angin. Kalau taksi, aman sih dari angin, tapi kadang kriminal terjadinya di dalam mobil tuh.
Aku menggelengkan kepala. Jangan ketularan Saki deh, mikirnya bisa ke mana-mana, padahal variabelnya cuma satu; aku di-ghosting sama Goga.
Tuh, kan!
Alhamdulillah aku aman-aman aja naik taksi sampai ke cafe yang lumayan jadi favoritku ini. Alasannya simpel, nih cafe sepi, jadi aku suka. Maaf, ya, Owner, tapi kalau lagi sendirian emang rasanya lebih aman dan nyaman kalau sepi. Beda cerita kalau aku sedang bersama teman-teman, mau di tengah orang orasi juga nggak masalah deh, toh kami juga akan sibuk dengan keramaian kami sendiri.
Aku memesan minuman andalanku di sini; green tea latte dan singkong goreng karamel. Terus kamu tanya aku ngapain di sini? Melamun. Bukan baca buku atau nonton atau apa, aku suka melamun kalau sendirian gini dan sepi. Bahkan apa yang ada di otakku juga nanti aku nggak ingat lagi. Jadi, biarin otakku mikir super random, aku izinin.
"Green tea latte? Kak Uthi?"
"Oh bener, Mas." Aku menerima pesananku dengan suka cita. "Makasih, ya, Mas."
Dia mengangguk dengan senyuman. "Ada lagi, Kak?"
"Segini dulu, Mas."
Di saat aku lagi khusyuk banget melamun sambil minum green tea latte ini, tiba-tiba muncul orang di hadapanku yang lumayan bikin kaget; cowok. Apa aku salah duduk kah? Atau gi— "Boleh gabung duduk di sini?" tanyanya lembut dan ramah.
Aku refleks lihat sekitar dan masih menemukan kursi kosong yang lumayan kok. Kayak yang tadi aku bilang, nih cafe sepi dan enak, jadi nggak susah buat dapat kursi di sini. Jadi pertanyaannya, dia kenapa pilih yang sudah jelas ada orangnya? "Di sana ada, tuh, Kak," jawabku berusaha seramah mungkin.
Dia tertawa pelan. "Bener. Tadi aku duduk di sana juga." Oh okay, ini aku tahu ke mana arahnya. "Siapa tau kamu butuh temen?" Kalau aku butuh teman, bukannya aku akan datang ke sini bawa teman? Ini aku sendiri, artinya ya memang aku mau sendiri nggak sih? Atau memang ada orang yang datang ke cafe dengan harapan dapat teman baru?
Aku tertawa pelan. "Sebenernya enggak sih, Kak. Lagi mau me time ceritanya, cuma mungkin harusnya kalau me time di kamar aja kali ya."
"Oh nggak juga sih, bisa kok di mana aja. Sori sori."
Aku nggak sengaja lihat handphone-nya nyala kesenggol jarinya sepertinya dan siapa sangka pemirsa, lock screen dia foto Cipung! Ya amplooopppp, aku refleks nahan dia dan bilang, "Kakak suka Cipung juga?"
Dia yang tadinya mau balik badan, nggak jadi. "Oh ini." Menunjukkan layarnya ke arahku. "Kayaknya bayi yang bisa diterima buat orang yang belum punya bayi cuma dia nggak sih?"
"Riiiiillll!" jawabku semangat. "Duduk aja, Kak, nggak pa-pa."
"Nggak jadi me time?"
Aku tergelak. "Bisa kapan aja. Aku jadi tertarik mau dengerin soal Cipung dari sudut pandang cowok dong. Aku taunya rakyat dia kan cuma cewek isinya."
"Mungkin karena yang cowok nggak pada berekspresi aja sih kayak rakyat cewek di sosmed."
"Masuk akal."
"Mau liat nggak hasil editan-editanku buat wallpaper?"
"Foto Cipung?"
Kepalanya mengangguk.
"Mauuuuuu." Aku menerima handphone-nya dan menggeser-geser foto dari galerinya, ofkors setelah dia kasih izin. "Aaaaa ini lucu banget siiihhh, ini jugaaa. Demi apa, semuanya lucuuuuu. Orang kok bisa ya kreatif begini. Aku modalnya cuma ke Pinterest tau." Aku tertawa miris.
Dia ikutan tertawa. "Mau wallpaper-nya?"
"Boleeeehhh???"
"Boleh dong. Aku kirim lewat apa?"
"Airdrop?"
"Sure."
Lalu begitu aja, aku sudah mendapat banyak wallpaper menggemaskan dari bayi menggemaskan itu. Rakyatnya Cipung memang terbaik, skill editnya luar biasa. Aku bagian yang menikmati dan menghargai. "Thank you! Aku gantiin traktir minuman, boleh?"
Dia ketawa. "Nggak perlu nggak perlu, thank you."
"Jadi ini wallpaper gratis?"
"Itu foto juga kan bukan aku yang ambil, aku bagian edit aja. Tapi kalau mau barter, boleh sama Instagram kamu." Dia kasih tawa di belakang kalimatnya.
"A a." Aku memicingkan mata sambil ketawa. "Aku udah punya pacar by the way."
"Nggak masalah, nambah temen sesama rakyat Cipung."
"Ohiya bener, sori." Aku menertawakan diriku sendiri, malu euy karena mikir tadi kalau dia lagi berusaha ajak aku kenalan untuk ke arah sana. Uthi, Uthi, bener-bener deh lo! Aku memberinya username Instagram-ku dan dia langsung follow aku di sana. Buset, niat banget nih orang kelola Instagram dia, rapi dan estetik. "Daffa, is that you?" Username dia nggak jelas, begitu di profil, nggak ada nama atau apalah. Tapi aku nemu komen orang nyebut nama itu di postingan terbarunya.
Dia mengangguk. "U ... Uthi? Ini apa? D for—"
"Dyuthi."
"Oh I see. Dyuthi, dipanggilnya Uthi?"
"Betuull!"
"Rakyatnya Cipung yang cewek emang pada cantik-cantik, ya?" katanya pelan sambil tertawa.
"Look at you!" Dia nggak ngaca ya kalau yang namanya Daffa emang pada cakep-cakep. Ya walaupun belum mampu menandingi kecakepan Sa—waduh, wauduh, waduh! Pacarku tadi mana nih. Lumayan panik, aku menyalakan handphone dna membuka WhatsApp. Benar aja, chat Saki belum aku balas. Tapi aku mengembuskan napas lega, karena isi chat-nya adalah; nikmatin me time-nya ya, Sayang. Nanti kalau udah kabari aku, kalau mau dijemput pas pulangnya, lemme know. Aku mau banget.
Manisnya ngalahin gula apa pun di dunia.
---
Ki, Sakiiiiiii, liat noh cewek lu friendly abis nemu sesama golongannya menjdi rakyat cipung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top