CHAPTER 21
Manusia tidak ada yang sempurna.
Sepertinya kalimat itu memang beneran nyata tidak tahu mau diartikan gimana pun. Manusia di mata manusia lainnya, mungkin memang akan selalu ada kekurangan. Padahal katanya, manusia makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk lain. Eh ternyata di mata sesama manusia, malah adaaaa aja kurangnya. Bahkan buat seratus orang nggak kurang, menurut satu orang alias pasangannya bisa jadi nggak ada kelebihan, ditinggalin gitu aja.
Ummmm, okay, ini kalau dipikir-pikir omonganku sudah melantur ke mana-mana! Aku tadi mau cerita kalau ternyata, Saki itu lho, cowok yang aku sebut-sebut good at everything dan pujianku pokoknya tidak ada habisnya deh kalau ngomongin dia. Si paling sip, paling lembut, paling peka, paling observer, royal, nih orang ngembat semua love language itu.
Tapi bukan berarti semua nggak ada minusnya. Ternyata belum keluar aja. Belum ketemu sama momen yang bikin kekurangannya muncul. Ini aku ngomong nggak dalam kondisi komplain, muka bete, atau menyesal pacaran sama Saki, yaaa. Jangan macam-macam deh kamu, aku cuma lagi mau cerita aja.
Sebenarnya lucu, yaaa lucu-lucu agak ngeselin dikit.
Dia ternyata bisa sangat-sangat rewel untuk sesuatu.
Nah lo!
Paham, kan, maksudku tadi gimana?
Seorang Saki, yang kita tahu—you're right, aku jadikan kamu dan aku sebagai subjek di sini, kan kamu juga tahu perjalananku bareng Saki—kalem, cool, lumayan diam, manis, duh pokoknya tipe-tipe anak keluarga ponpes (pondok pesantren) gitu deh. Terus, sejak kejadian skripsiku yang nggak banget ituuuu ... bentar deh, ini boleh nggak menggantikan skripsi dengan objek lain? Yang penting jangan kata itu karena aku muak banget dengarnya. Oh anyway, kita lanjut, sejak tragedi skrip—tiiiit itu, ofkors permasalahan buat Saki bukan di bagian ganti judul dan tetot tetot lainnya. Dia ikutan bersedih untukku, tapi jelas itu nggak terlalu mengganggu kepala dan hatinya. Dia pintar dan tenang, jadi gampang buat dia meluangkan waktu, tenaga dan otak untuk membantuku. Bagian yang mengusik dunianya adalah Pak Budi.
Aku nggak tahu ada cowok yang cranky abis gara-gara sesama cowok.
Oh easyyyyyy!
Aku minta maaf karena barusan kalimatku beneran standar ganda, setelah aku sadari. Karena ... ya memang bukannya iya? Maksudku, aku aja bete maksimal berhari-hari gara-gara Mira. nah, Mira jenis kelaminnya cewek. Jadi, kayaknya nggak peduli cewek atau cowok deh, apalagi zaman sekarang si ganteng bucin ke ganteng lainnya, si cantik juga nyaman dan bucin ke cantik lainnya. So, the conclusion abal-abal dari aku adalah; kita akan merasa terancam—entah ini kata-kata perlu atau setelah ini aku akan dirujak warga manusia—sama siapa pun yang menurut kita akan mengusik kursi kita, mengambil yang kita rasa 'milik' kita.
Hubungan tuh relationship, ya, Uthiiiii, bukan ownership.
Milak-milik, mulutmu itu!
Sorrryyyyyyy, okaaayyy?
Masalahnya, ini aku nggak punya pengalaman merayu cowok—pacar. Demi Allah, aku nggak bohong atau apa yaaa, intinya mantanku dulu tuh bagian momong. Momong aku. Sebagai anak pertama, cewek pula, yang kemudian aku tahu orang tuaku harus pisahan, aku sudah membayangkan dan prediksiku nggak akan meleset kalau aku akan punya keluarga baru dan banyak, jadi aku akan jadi orang yang harus tahan banting. Bener, kan? Hadir Bunda, King, Queen, yang bikin hidupku semakin stroooong. Itu kenapa, dulu kalau ada cowok dewasa hadir, aku sudah nggak bisa mikir. Aku serahkan semua tugas berpikir ke dia. Aku cuma bagian napas.
Jadi, aku yang ngambek, dia yang ngerayu.
Nah, Saki ini ... aku sebenarnya nggak mau membandingkan, iya sekarang aku sedang membandingkan tapi demi mencari solusi. Maksudku, Saki dewasa juga kok, dia bahkan mau tuh kayaknya ambil alih tugas otakku buat berpikir. Yang membedakan, Saki tuh generasi 'respect your value' gitu lho. Biar aku jelasin, kalau cowok-cowok sebelumnya yang aku maksud tadi, dia akan kayak gini; aku beliin hape baru buat kamu, warna ungu, karena aku tau kamu suka ungu. Saki enggak, dia memperhatikan kemungkinan-kemungkinan lain, kayak; gimana kalau ternyata warna favorit aku berubah? Gimana kalau ternyata kali ini aku penasaran sama warna baru? Jadi, instead of langsung jebret doing something, dia suka tanya aku maunya apa, dia suka aku berekspresi.
Menurutku sama-sama baik sih, tergantung dijalanin sama yang mana.
Cuma ... soal yang satu ini, aku beneran bingung.
Setelah rewel abis, bilang kalau dia mau antar aku ke kampus urus pergantian dosen pembimbing, bilang kalau Pak Budi jelas nggak benar, bilang lagi katanya cowok punya insting cowok lain kalau mau jadi pemangsa, kasih aku artikel atau jurnal tentang kasus-kasus akibat kekuasaan, mahasiwa yang nggak berani speak up atas tindakan tak bermoral dosen, bahkan Saki sudah kirim kontak-kotan untuk dihubungi demi meminta perlindungan secara hukum.
Nah, saking kebingungan, aku cuma bilang; kamu tenangin diri dulu, yaa?
Ya karena aku ikutan nggak napas, lho!
Lalu dia beneran menenangkan diri alias ... dia nggak ada kabar euy! Sampai sekarang!
Apa aku samperin ke rumahnya, ya?
Maksudku, dia butuh berapa lama buat menenangkan diri kayak yang dia bilang? "Aku lagi bete banget, bukan sama kamu, aku butuh waktu." Cliiiiing! Setelah itu dia beneran nggak kelihatan hidup. WhatsApp-nya nggak kelihatan online, Instagram juga enggak, di-SMS juga nggak dibalas. Aku sebenarnya bisa aja tanya Al atau mamanya, tapi aku belum sesinting itu. Belum.
Jadi, aku memutuskan untuk memberi dia waktu sebanyak yang dia mau. Seperti yang dia lakukan ketika aku bilang jangan membahas skripsiku dulu—by the way, aku sudah diskusi dengan Papa-Bunda soal skripsiku, meminta maaf pada mereka karena dramaku nggak ada habisnya, dan ofkors aku menceritakan tentang Pak Budi. Aku butuh tahu pendapat dari orang yang lebih tua. Kalau kata Papa sih dicoba dulu, mungkin Pak Budi begitu ke semua anak bimbingannya, memberi kenyamanan dengan cara itu. Saran lanjutan Papa adalah ... jangan sendirian ke sana dan jangan balas chat kalau mulai melenceng.
Aku nggak bilang respons Saki ke Papa sih, takut Saki malu.
Okay fineee, karena weekend ini Saki masih mau sendirian, jadi aku memilih menerima ajakan main Sam dan Sherin. Cecilia absen dulu kali ini karena mau ibadah sama Dion dan setelah itu mereka ada makan-makan keluarga. Ya amploooppp, Cecil sudah sampai di ibadah bareng dan makan keluarga, aku dan Saki masih sibuk mempermasalahkan nih Pak Budi sinting atau memang beneran baik hati. Huft, capek deh.
"Gue padahal mau lihat Saki in real life, lho, Lek. Kata Sherin ganteng abis, gue sih nggak percaya ya."
Tidak tahu dia, kalau Saki aja sedang trantrum.
"Ibadah jarang, menghujat lebih sering. Pedenya kalau bakal disayang Tuhan." Setelah kalimatku keluar, Sam benar–benar terbahak, kemudian kurasa tenggorokannya kering karena dia langsung menyedot minumannya banyak-banyak.
"Jangan langsung ulti lah, Thi," Sherin ngikik di tempatnya, menggeleng-gelengkan kepala. "Si Sam, yaa, padahal udah jelas dan terbukti selera gue gimana. Dia bisa liat lah Izzam seoke apa." Duhhh, membanggakan pasangan dalam masa-masa kampanye memang indah. "Jadi, kalau gue bilang Saki ganteng, ya ganteng titik, gue nggak lagi bilang tapi orangnya baik blah blah blah. Gue ngomongin fisik. Titik."
"Tapi lo nggak objetif, Rin!" Sam dengan muka tengil tak terima. "Uthi temen lo, dan lo udah pasti diceritain Uthi seberapa hebatnya si Saki. Jadi pas lo liat yaa udah bias lah. Cewek kan mana bisa objektif."
"Tarik kata-kata lo," ancamku serius.
Sherin mendukung dengan bilang. "Dua lawan satu menurut lo mau sampe mana lo, Sam?"
Aku tertawa geli mendengar kalimat itu, lalu menggeplak Sherin. "Bisa nggak kalimat biasa ajaaaa?"
"Geli, ya?" tanya Sherin yang akhirnya ikutan tertawa. Begitu pun Sam.
"Bukan geli, tapi lucuuuuukkkk."
"Bukan lucu, kalian berdua aja emang receh dan prik. Bocah prik."
"Lah lo juga ketawa, yaaa!" Sherin mengacungkan bogem andalan.
"Ya, kan ketawa nular gimana sih!"
"Udah, udah, udah, mending kalian bantuin gue." Aku mengangkat tangan, kemudian menatap mereka lesu. Karena teringat drama hidupku. "Emang skripsi tuh boleh, ya, ganti judul?"
"Boleh kalau lo emang nyawanya sembilan. Ngulang dari awal lo kira gampang? Tinggal sebiting badan lo yang ada, Lek." Tahu, kan ini kalimat siapa?"
"Setuju. Tapi kalau emang judul yang ini bikin mental breakdance, nggak pa-pa ganti, Thi. mental lo lebih penting. Allah pasti kasih jalan." Tahu juga, kan, ini kalimat siapa?
Aku mendesah lesu. "Masalah yang nyuruh ganti bukan gue."
"Pak Budiiiiiii? Demi apaaaa?"
"Jesus!" teriak Sam sampai matanya melotot. "Duh, kenapa alasannya?"
"Katanya udah ada penelitian sebelumnya. Emang bisa, ya? Maksud gue, waktu proposal aman, lho. Tapi blio bilang itu kecolongan dan dia nggak mau aja nanti jadi benci buat ke gue depannya kalau nekat tetep yang ini."
"Astagfirullah, innalillahi, ya Allah." Sherin menyebut nama-nama Allah dan aku bagian mengaminkan dalam hati semoga kami disayang Allah.
Tapi Sam gimana? Aku melirik anak itu dan ... dia lagi berdoa tuh kayaknya. Aduh berarti masalahku serius dong ini???? Hwaaaaaaaa! Kok Saki santai aja, tapi dua manusia ini bersikap seolah aku nggak akan lulus sampai nanti Cipung punya adek cewe.
"Pasti gue tamat, yaaa." Aku mencebik tapi herannya aku tuh tidak menangis. Apa saking muaknya ya sama skripsi ini? Aku mau ke luar negeri aja kalau begini caranya.
"Kalau alasannya itu, emang masuk akal sih, Thi." Sherin menatapku sedih. "Dan ada beberapa kasus kayak gitu. Jadi, nggak pa-pa ganti judul, yaaaa. Dikerjain pelan-pelan, hubungi kita kalau perlu sesuatu, kita pasti bantu."
"Thank you."
"Cowok lo tuh udah kelar skripsinya?" Sam yang tanya.
Aku mengangguk.
"Dia bisa bantuin lo?"
"Dia selalu bantuin, cuma yaaaa dia kan kerja juga, lagian nggak mungkin dia kerjain dari bab satu sampe lima." Tapi aku senyum lebar, karena mengingat sesuatu. "Tapi nggak pa-pa deh, seenggaknya gue ngerjainnya kali ini dalam hati berbunga-bunga, nggak gersang kayak dulu."
Sherin nyengir polos, Sam menggaruk-garuk kepalanya.
Mungkin kalau ceritaku tadi tidak menyedihkan tentang skripsi, sekarang mereka sudah menempeleng kepalaku berkali-kali.
"Okay, kita hibur Uthi duluuuu, ayo kita foto-fotooooo! Gue bikinin JJ TikTok nantiiii." Sam siap dengan handphone-nya, dan memanggil salah satu karyawan cafe untuk meminta tolong fotoin kami. "Portrait aja, ya, Mas."
"Siap."
Satu kali.
Dua kali.
Lima kali.
Selesai!
Kami mengucapkan terima kasih, dan sekarang pada sibuk airdrop untuk bagi-bagi hasil foto, hasil editan jedag-jedug Sam menyusul, ofkors. Aku merogoh tasku untuk memastikan airdrop nyala tapi malah melotot liat notifikasi chat, dari Saki.
Everyone! Pacar aku sudah balik!
Wait a minute.
Kamu kok nggak nyariin aku, Dyuthi?
Lagi main sama temen-temenmu, ya?
Dari mana dia tahu aku main? Aku nggak bikin story, baik di Whatsapp maupun di ... aku menatap Sam dan Sherin. Lalu buru-buru membuka status di WhatsApp, mereka berdua tidak membuat story juga. Aku ke Instagram dan ... ya, Sam bikin story, ada aku di video pendeknya itu. Bahkan aku tidak sadar tadi dia bikin story. "Sam, lo sama Saki follow-follow-an?"
Dia mengangguk tanpa beban.
"Pas lo go public, gue follow dia langsung, dia follback. Tapi belum pernah DM-DM-an sih. Kenapa tuh?"
Aku salah, ya, main?
Aku harusnya nyariin dia? Tapi, kan, dia bilang dia butuh waktu?
Mati kau, mati aku, kita semua mati.
Tamat.
---
Ki, Saki
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top