CHAPTER 20.2
Kebaikan apa ya yang pernah aku lakuin sampai Allah tuh percaya buat kirim manusia sebaik ini di hidupku. Waktu dikenalin bolak-balik sama temen aja gagal semua dan aku mikirnya memang mungkin belum waktuku buat hahi-hihi menganut bucinisme. Tapi, ternyata malah muncul Saki dengan tak terduga.
Ingat Sam itu? Yang mengenalkanku dengan temannya si Goa-Goa baj—tiiiiit itu? Dia waktu aku go public—hueeeekkkk, berasa artis terkenal ya kamu, Uthi, menjijikkan, cuihhhh! sama Saki di Instagram—sama Saki langsung replied story aku dengan histeris. Aku sih yang bacanya pakai nada histeris. Habis dia kirim banyak emoji seolah menggambarkan reaksinya yang terkejut. Sampai tanya berkali-kali, ini hasil dikenalin siapa, genk aku yang mana yang berhasil jadi cupid kali ini. Helllaaawww, emangnya aku nggak bsia apa ya kenalan sendiri? Yaaaaa bener sih, ini hasil dikenalin geng internal, alias Papa-Bunda. Kalau dipikir-pikir, masih aneh dan kadang terasa kayak mimpi. Oh by the way, ngomongin soal geng, kok ternyata benar, ya, kita tuh buat nggak ngerasa sendiri, ternyata nggak butuh ribuan relasi atau teman main atau apa, kita cuma butuh satu pasangan yang bisa sekaligus jadi teman. Oh easy euy, aku bukannya mau bilang kalau kita sebagai manusia yang lolos quality control ini tidak butuh manusia lain, yaaa, nooooppeeee, tapi maksudku pasangan yang baik dan tepat, ternyata beneran bisa terasa cukup, bikin kita nggak berusaha cari validasi atau hiburan dari sana-sini untuk pelengkap perasaan.
Ofkors aku masih butuh kenalanku untuk beberapa aspek lain, aku masih perlu ngobrol sama mereka untuk memenuhi kebutuhanku sebagai makhluk sosial. Tapi poinku, aku tidak rungsing ke sana-sini, sibuk pengen main keluar sama geng a b c d cuma biar nggak kesepian—padahal aku tahu, pulang main, begtu tutup pintu kamar, kesepian masih ada.
Sama Saki, meski dia mungkin nggak seasyik teman-temanku, lebih banyak aku yang ngomong daripada dia, tapi aku tak pernah merasa sepi. Aku merasa dia mendengarkan, memperhatikan, dan melihatku. Aku tak pernah khawatir ceritaku layak didengar orang atau hanya cerita absurd yang harusnya dipendam sendiri. Dia bahkan bilang kalau dia follow akun yang related dengan Cipung dan Kang Mas Nicput. Katanya, supaya dia paham setiap obrolanku, atau dia bisa memberiku informasi kalau-kalau aku melewatkannya.
How cute!
"Aku pasang timer boleh?"
Ummmmm, astagaaaa! Jadi dari tadi tuh aku melamun nggak jelas? Mukaku kayak mana? Plonga-plongo dong? Aku bahkan baru sadar pikiranku jalan-jalan ke alam lain saat mendengar suara Saki. Entah itu kalimat dia yang ke berapa pulak! Aku mengibaskan tangan, tertawa pelan sambil kembali menyendok gelato ... ini mah sudah siap mencair namanya euy! "Timer buat apa, Ki?"
"Kamu ngelamun." Kekehannya keluar, dia mengatupkan kedua tangannya di atas meja, menatapku—tatapan Saki tuh selalu terasa tenang tapi kalau lama-lama ya berasa disedot juga alias akunya salting sih sebenarnya, cuma aku agak lebih pintar dari dia aja. Mungkin gengsiku juga yang kegedean buat menunjukkan itu atau sesimpel karena salting-nya lebih lucuuukk dan aku lebih menikmati itu dibanding salting-ku sendiri. Ew. "Kamu butuh waktu berapa lama, Sayang?"
Aku mengernyitkan kening, belum siap nih kalau tiba-tiba dia minta serius dan nikah. Bisa gila akuuuuuuuuu! Perkara skripsi aja belum kel—
"Buat bahas skripsi."
"Oh! Okay." Agak malu sedikit, jadi aku menutupinya dengan gerakan super cepat mengedepankan sisa rambut yang aku kepang ke depan dada. "Semangat banget nih Om Saki mau bantuin Adek lulus."
Dia salah tingkah lagi!
Juara satu salah tingkah digodain pacar, ya Saki pemenangnya kayaknya. Karena aku jurinya, hahaha.
Setelah selesai dengan tawanya yang nggak gede-gede banget itu, dia sekarang angkat pandangannya lagi buat natap aku. "Biar nggak kelamaan stresnya?" tanyanya, terdengar nggak begitu yakin. "Ngerjain skripsi emang bikin stres, tapi bisa lolos dari itu akan bikin kamu lega. Jadi, kalau memang bisa dan mampu, mending dikerjain, agak dipaksa, biar nanti bisa plong."
Senyumku cerah sudah kupasang di wajah. Kalau dia yang ngomong kalimat nasihat dan bijak, didengarnya enak gitu. Seolah nggak ada bullshit-bullshit-nya. Padahal, aku biasanya kalau dengar motivasi tuh telingaku rasanya bernanah dan aku mau teriak; BISA DIAM NGGAAKKK???
Tapi kalau yang ngomong ayang, rasanya memang beda. Ditambah dia, kan, beneran sudah buktiin sendiri. Sudah lulus euy!
"Next weekend deh bismillah, gimana menurutmu?"
Kepalanya langsung mengangguk. "Sip."
Sip lagi deh.
"Kamu beneran mau bantuin?"
Kepalanya mengangguk, lagi.
"Kalau aku ajak kamu sleep call tapi sambil coba-coba bikin judul di hari kerja, yang besoknya kamu mesti bangun pagi buat kerja, tetep mau nggak?"
"Mau kok."
Sinting nih anak.
Apa karena hubungan kami masih di masa-masa kampanye, ya? Jadi vibes-nya tuh apa, yaaa. Semacam; I'll do anything for you, babe. Begitu. Masih renyah-renyahnya, masih penuh janji manis dan memang diwujudkan. Ummmm, kayaknya memang harus dinikmati apa yang ada di depan mata deh, nggak usah aku mikirin nanti gimana setelah masa kampanye habis. Takut mendadak gila sekarang.
Tapi buat aku nggak cukup ngobrol sedikit sama Saki karena dia selalu mengiyakan. Aku maunya tanya yang banyak sampai dia terpojokkan. Jadi, ya aku mau lanjut kasih pertanyaan konyol yang aku sendiri paham banget kadar konyolnya sebesar apa. "Kalau aku lagi mulai mikirin skripsi sih, tapi tiba-tiba kepikirannya di jam-jam 10an pagi sambil aku kasih gabut sama Queen, terus aku chat kamu, spam chaaaaaat buanyaaaak, gimana?"
"Boleh." Mikir sedetik aka nggak lho anak ini. Apa dia bahkan nggak mencerna kalimatku, ya? "Kalau aku tau kamu chat, aku pasti bales." Ummmmm, okay, ternyata dia paham kalimat absurdku.
"Kalau aku tiba-tiba pengen liat seberapa yakin kamu sama pendapat yang kamu kasih tentang skripsi aku lewat ekspresimu—" Aku tertawa geli lihat ekspresinya serius banget, sampai matanya sedikit memicing. Aku tahu ekspresi itu, saking berusaha kerasnya dia memahami susunan kataku yang tidak mencerminkan aku duduk di bangku perguruan tinggi. Ofkors dia tidak protes, tapi menambah bensin untuk hasil maksimal kerja otaknya. "—dengan kata lain aku video call di jam kerja, belum jam istirahat, gimana By?"
Sudut bibirnya terangkat, pasti karena satu kata tidak bermoral di akhir kalimat panjangku. Sekarang dia bahkan tertawa pelan, menundukkan kepala beberapa detik, lalu kembali menatapku dengan serius. "Video call?"
"Ummmmmm, bisa dibilang ya."
"Kalau memungkinkan, boleh."
"Apa ruang lingkup dari memungkinkan itu, Om?"
"Ummm." Dia tak langsung menjawab, pasti bingung tujuh keliling menghadapi cewek dengan semilyar ide konyol di kepalanya ini. Ideku nggak akan ada habisnya deh kalau buat Saki. Bahkan Papa aja sudah khatam anaknya ini, mungkin dia kasihan dengan calon menantunya—kalau jadi, huhu. Semoga jadi, aamiin! "Nggak ada meeting dadakan, nggak ada hal urgent di pekerjaan yang memungkinkan aku bisa video call kamu."
Aku ngikik sambil mengaduk gelatoku yang benar-benar sudah jadi lautan hijau dan coklat dan ... nggak jelas bentuk dan warnanya. "Tapi menurutmu, Ki, aku perlu nggak kejer Pak Budi sampe ke rumahnya beneran? Atau aku terima aja tuh jadwal normalnya di kampus walaupun nanti jadwalnya kacrut."
"Kacrut." Dia tertawa setelah mengulangi kata itu. "Kalau nanti dibutuhin, nggak pa-pa ke rumahnya. Beliau yang nawarin sendiri, kan?"
"Iya dooooong, masa aku yang minta."
"Yaudah nggak apa-apa ke sana. Nanti aku temenin."
"Kalau di hari kerja?"
Keningnya mengerut. "Di hari kerja kenapa perlu ke rumahnya? Bukannya dia ngajar?"
"Oiya. kalaupun dia ngajar di kampus lain, bisa aku samperin ke kampus itu ya. Aku naik ojek aja, gampaaaang."
"Nanti kita liat situasinya."
Aku cuma sempat mengangguk, karena mendengar handphone-ku berdenting. Ini semenjak memasuki dunia skripsi plus percintaan bersama Saki, mendengar notif tuh rasanya mirip alarm di dalam kepala. Harus langsung dilihaaaaat! Kebiasaan itu jadi bablas meski Sakinya ada di dekatku, tapi karena sudah kebiasaan menunggu chat-nya jadi ya be .....
BENTAR DEH!
Ini kayaknya ada yang salah nih. Ini normal apa nggak nih bosss? Tapi kayaknya enggak deh. Aduh Papaaaa, Bundaaaa. Aku mengangkat kepala, menatap Saki horor, padahal bukan Saki yang bikin aku takut.
"Kenapa, Sayang?"
Aku menyodorkan handphone baruku—ya doooong, mau pamer dolooooooo aku sudah aktivasi handphone baru dan semua kegiatan duniawiku pindah di sana—yang menampilkan chat WhatsApp untuk dibaca Saki. Aku mau lihat apakah reaksinya sama horor dengan reaksiku.
"Di kampusmu itu, gimana prosedur buat ganti dosen pembimbing, Sayang?"
KAN!
Cowok, yang katanya pride-nya sebesar dosa-dosa umat manusia ini, mana bisa tenang lihat dosen pembimbing ceweknya tiba-tiba kirim foto makanan dan minuman di troli dengan isi chat 'supaya nanti kamu kalau bimbingan merasa nyaman'.
SECARA TIBA-TIBA.
Duh, aku langsung mules, bingung antara mau BAB atau mau pingsan dengan sangat tidak menawan.
Drama hidupku kayaknya baru dimulai nih.
---
haiiiiii, absen dulu yukkkk mood-mu hari ini kek apa AWOKWOKWOK
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top