CHAPTER 20.1
Tapi nyatanya, aku tidak pulang.
Aku sudah kirim chat informasi yang singkat, padat, dan—maaf banget nih—keparat ke grup keluarga, yang isinya cuma aku, Bunda, dan Papa. Tak ada niat sama sekali buat lihat apa balasan mereka. Entah akan marah atau kecewa, aku pasti paham dan terima, tapi aku memutuskan buat archive dulu grupnya dan mute. Aku akan pikirin nanti deh di rumah, nangisnya di rumah. Yang penting, di chat informasi tadi, aku juga sudah bilang kalau aku mau keliling dulu, nggak langsung pulang.
Aku juga ngabarin pacarku yang seharusnya jadi super bangga karena aku habis bimbingan. Seharusnya dia pamerin hasil bimbinganku di story Instagram-nya, nyusul story-nya tadi. Si paling siap wisuda. Aku ngakak sekaligus nangis dikit ingat story Saki. bisa-bisanya habis didoakan pacar diap wisuda malah ngulaaaaaaaang!
Aku boleh, kan, bilang; badjiiingaaaaaaaaan!
Hah!
Sekarang aku sudah di toilet mall, setelah heboh menghabiskan keringat di Timezone. Aku juga kayak orang gila yang foto-foto sendirian di photobox. Bukan cuma keringat yang keluar dari tubuhku, aku juga sedang menstruasi, jadi sekarang kembali mengganti pembalut lama ke yang bersih. Ini sudah yang ke berapa, ya? Tiga nggak sih? Aku tadi sampai nggak peduli deh mau tembus, terus diusir warga atau gimana, terseraaaaah!
Terserah.
Hidup konyol, kampret, nggak sukaaaaaaaaa!
Mau segimana pun aku berusaha tenang dan tidak marah-marah, aku tetap memproduksi banyak kata umpatan di dalam kepala. Bahkan beberapa katanya yang mungkin jarang aku keluarkan lewat mulut. Babik! Tuh misalnya.
Maaf ya Allah, tapi aku marah bangetl lho ini!
Marah sama Pak Budi, tapi lebih besar marahku pada diri sendiri.
Tuh lihat!
Kumpulan 3 cewek bestian yang masing-masing buka laptop, buku, dan lembaran yang aku sudah hafal maksimal kalau itu hasil revisi penelitiannya pasti! Muka-muka stres, kayak orang mau gila, tapi juga nggak sabar buat lulus dan udahaaaaan gitu nih dunia skripshiiiiiiit! Mungkin orang-orang sekitar di coffee shop ini menatap kumpulan cewek itu kelihatan semangat, sementara lihat aku kayak orang nggak makan sebulan. Aku juga sudah pesan ... dua cup coffee kayaknya nih. Nggak tahu deh butuh berapa kafein supaya aku bisa merasa tenang dan puas. Tapi katanya, kafein bikin denyut jantung makin cepat? Tapi juga bikin bisa lebih konsentrasi dan tenang? Ini yang benar yang mana?
Aku merogoh tas karung untuk cari handphone, karena aku mau Googling buat pembuktian yang mana yang benar. Artikel bermunculan, dari blog khusus pembahasan kopi, sampai artikel kedokteran. Ummmm, bikin stress kalau minumnya kebanyakan. Dua cup harusnya masih aman nggak sih? Apalagi, kopi yang kupesan, kan, bukan pure kopi? Pasti ada susu, krim apalah apalah, terus sirop lain ... lho, aku tadi belum pesan favoritku yang satunya ya? Asian Dolce Latte. Kamu harus cobain juga, best!
Baru mau masukin lagi handphone ke tas, aku salah fokus sama notifikasi chat Saki yang bilang dia sudah di jalan ke sini dan itu sudah sekitar setengah jam-an yang lalu. Ke sini? Ke mana nih, Om? Emangnya dia tahu—ummmmm, okay fine, ternyata aku tadi nggak terlalu sadar chat apa aja tuh ke dia. Aku shared live location ke dia. Yang lebih bikin heran, ini tuh dunia sudah mulai gelap kah? Alangkah cepatnya ya berlalu, padahal hidup aku lagi nggak baik-baik banget, tapi waktu bahkan nggak mau tuh repot-repot pause dunia bentar. Tetap aja muter, jahat.
Masya Allah!!!!!
Sekarang ada yang berhasil menarik pandanganku dari fokus ke kakak-kakak skripsi itu ke arah pintu masuk. Pacar aku lagi jalan ke sini, kelihatan buru-buru sambil sibuk sesekali natap saku karena—hahaha, dia nggak bisa-bisa masukin kunci ke kantung celana. Orang kalau panik apa memang begitu, ya? Semuanya rasanya kacau balau. Tapi bentar deh, apa aura orang-orang yang sudah selesai skripsi tuh begini, yaaa? Kayak yang bersinar gitu? Mungkin kerja memang bikin stres kadang, tapi, kan tahu endingnya dapat duit dan ... yaudahlah.
Kalau skripsi?
Hih, beneran amit-amit di dunia ini ada yang namanya skripsi dan ada adegan ganti judul, kayak yang ... ngapaiiiiinnnn?
"Itu cup yang ke berapa?"
"Awwww, diperhatiin," jawabku ngasal, tanpa ekspresi. "Kamu mau pesen, kan? Aku nitip dong, Byyyyy." Ya amplooop, seenggaknya aku harus bersyukur untuk satu hal ini; godain Saki sampai dia salah tingkah brutal. Entah sampai kapan nih cowok ganteng tetap malu-malu-kucing-garong kalau dipanggil 'By' yang padahal maknya aja belum aku bikin. "Asian Dol—
"Nggak boleh."
"Biasanya jawabannya selalu boleh?"
"Kali ini enggak."
"Biasanya jawabannya nggak apa-apa?"
"Kali ini apa-apa."
Aku ngikik bentar, terus merasa bersalah kenapa bisa-bisanya aku ketawa di saat aku sedang kesal karena nasib skripsiku. "Ini kamu udah pulang kerja?"
Kepalanya mengangguk. "Tadi gimana? Kenapa dosennya bisa—"
"A a a a." Aku mengangkat telunjuk ke arahnya, sambil gelengin kepala. "Nggak mau bahas itu. Nggak mau, at least, jangan sekarang."
"Tapi, kan, harus dibahas, biar ketemu jalan keluar. Biar bisa—"
"Tapi nggak sekarang, Ki."
"Okay." Kedua tangannya diangkat ke udara. Dia menatapku lekat-lekat, dalam diam. Aku jadi bingung, merasa ada yang salah. Tapi nggak sempat tanya, karena dia sudah buka mulut duluan. "Asian dolce sama apa? Mau cake-nya juga?"
Senyumku melebar.
Aku tahu, dia selalu terbaik dalam segala hal.
"Yes yes yes, please!" Aku mengangguk-angguk kayak orang yang belum minum lima hari kemudian dikasih minum. "Tapi nggak usah cake-nya."
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa."
"Okay. Tapi nanti pas sampe rumah, makan dan minum yang bener, ya? Ini hari pertama kamu dapet, kan?"
"Sip."
Matanya memicing, tapi aku tahu sudut bibirnya menahan senyum.
Kami jadi sering tukar kebiasan nih. Kata-kata atau gesture atau apalah.
Aku bengong, memangku dagu sambil memperhatikan punggung Saki yang sekarang sudah berdiri di depan kasir, menunjuk layar sambil ngobrol dengan kakaknya. Tuh orang ya, saking cintanya sama polo shirt, kerja aja masih pakai itu, lho. Bedanya, dia tadi nenteng blazer yang sekarang dia sampirin ke kursi. Ternyata pacarku beneran sudah jadi laki-laki dewasa, ya, bukan remaja. Tapi emang mahasiswa tuh disebut remaja? Emang aku remaja? Enggak, kan?
Saki balik ke kursi kami, terus diam aja natap aku.
Nih orang beneran nggak mau ngomong? Karena tadi aku bilang nggak usah bahas soal skripsi? Kan bisa bahas hal lain? Drama kek, kejadian di kerjaan dia hari ini kek, random kita review orang di sini kek, apalah. Masa diam a—ummmm, iya deh, dia dulu bilang bahkan diam aja sama aku dia betah. Aku yang nggak betah alias mulutku gatal maksimal.
"Ki."
Yang gerak cuma matanya seolah bilang dia dengar aku panggil.
Benar-benar cowok satu ini.
"Kalau misalnya nih, skripsiku kayak badut nih, terus aku lulusnya lamaaaaaa, sampe udah pemu—"
Kepalanya menggeleng. "Nggak baik kasih afirmasi negatif gitu buat diri sendiri, Dyuthi. Kamu harus percaya sama diri kamu, aku aja percaya sama kamu kok."
"Berarti kamu kemarin-kemarin percaya kalau aku bakalan ganti judul?"
Dia berdehem berkali-kali, menoleh kiri dan kanan, kemudian balik natap aku. Panik, ya, Om sama pertanyaan nggak mutu dan jebakanku itu? Ya lagian, kamu sih ah. "Kalau ganti judul, kan, di luar kuasamu. Itu faktor eksternal, kadang kita nggak bisa kontrol. Tapi kamu harus percaya kamu bisa. Aku bantuin."
Aku mendengus. "Pak Budi juga bilangnya gitu. Mau bantuin. Orang-orang sibuk mau bantuin, tapi aku yang stres dan masih tetep stres meski dibantuin. Kenapa, ya, Ki?"
Saki tersenyum.
"Jangan senyum."
Bibirnya langsung terkatup rapat lagi.
Lucu banget nih cowok, ampun-ampunan.
"Kalau nggak mau cium," tambahku super pelan.
Saki sempat melongo, dan aku jadi penasaran dia mau jawab apa, tapi pesanannya sudah jadi. Akhirnya dia berdiri, ambil minuman kami deh. Sudah pasti setelahnya nggak akan ada lanjutan. Karena dia malah mengajakku keluar dari sini dengan alasan mau membuatku lebih happy. Ummmm okay, cowok unik kayak Saki menjanjikan happiness ke pacarnya yang lagi hancur nih. Seperti apa yaaaa kira-kira usahanya Saki? We'll see, permisaaaaa. Kami sedang jalan mendekati eskalator di ujung sana, terus tiba-tiba dia mengulurkan tangan. Buat apa? Aku memberinya minumanku karena mikirnya dia penasaran rasanya, tapi ternyata kepalanya menggeleng. "Aku bawain tas kamu, biar nggak susah."
"Aku nggak susah kok."
"Tapi kamu dikit-dikit gini." Dia menggerak-gerakan bahunya, seolah memperagakan aku yang sejak tadi membenarkan tote bag-ku. Memangnya iya yaaaa? "Sini aku bantu bawain."
Aku menatapnya ngeri. "Yakin? Tas cewek?"
"Nggak apa-apa."
"Okaaaay." Akhirnya aku menyodorkan tasku yang langsung dia kalungkan di bahunya. Iya sih, dia memang nggak bawa apa-apa dan blazernya tadi dia pakai lagi. Ternyata lega juga jalan nggak bawa tas, tanganku cuma pegang cup. "Sekalian aku digendong dong, Om?"
"Boleh," jawabnya tanpa mikir panjang. "Hati-hati." Dia sibuk memegangi pinggangku waktu mau naik eskalator.
"Ini bukan pengalaman pertamaku lho, Ki, ke mall," sindirku sebal. "Aku udah pernah naik eskalator sebelumnya dan alhamdulillah selamat. Yeayy!"
Saki tertawa pelan. "Tahu, kok."
Aku memutar bola mata.
"Belok sini, Sayang." Dia beneran belok ke ... iBox? Aku cuma ngintil aja deh, pasrah sama tour leader hari ini. Mungkin dia mau belanja buat menghilangkan stres— "Kamu mau warna apa? Samain kayak hape lama atau mau coba warna baru?"
"What?" Aku natap dia kayak orang pelongo, terus natap mbak-mbak yang gercep banget sudah berdiri bersama aku dan Saki, ofkors dengan senyuman ramahnya. "Aku nggak ada niat beli hape, Ki," ucapku pelan, walaupun yakin mbaknya tetap dengar sih. Bodo amat, mau gimana lagi.
Aku tahu Papa dan Bunda kasih aku uang, tapi nggak semudah ini juga buat beli baru euy! Aku bukan Cipung atau Rafathar, keluargaku levelnya di tengah-tengah nggak siihhhhh.
"Hapemu retaknya udah kayak gitu. Nanti kamu buka hape, niatnya mau cari hiburan Cipung dan Nicholas, malah bete liat layarnya."
"Kan, bisa, ganti LCD. iya, kan, Mbak?" tembakku langsung ke si Mbak. bingung-bingung deh kamu, Mbak. Ya maaf. Ini aku panik banget nih. Handphone baru, kan, belasan juta! Bukan belasan ribu! Bukan setara harga kopi yang tadi kami beli!
Saki mencondongkan tubuhnya, berbisik lirih. "Aku yang beliin, Dyuthi. Please, jangan kesinggung, aku mau hibur kamu." Hibur tuh dengan kasih barang belasan juta? Dia, kan, bisa cukup jogat-joget atau senyam-senyum di depan aku? "Nanti aku juga bantuin skripsinya, repotin aku aja yang banyak, aku mau. Lagian hidupku juga lagi nggak repot."
Sinting nih anak.
Yang lebih sinting aku, karena nggak nemu kata-kata buat menolak dia, merasa tidak tega melihat Mbak-Mbak di samping kami yang sekarang semangat banget memberikan deskripsi produk antara tipe satu dan yang lain. Nggak tega juga melihat Saki kecewa atau mungkin malu nantinya di depan Mbak iBox ini.
Tapi kalau dipikir-pikir, nanti aku balas Saki pakai apa bossss???????
Apa aku cicil 500.000 ribu per bulan?
WAIT A MINUTE!
Dia nggak minta balasan seks kayak di konten-konten Tik Tok itu, kaaaan?
Oh ini mah aku yang beneran sinting.
---
jeng jeng jeng
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top