CHAPTER 2
Berapa kali pengalamanmu cabut gigi hingga usiamu saat ini?
Aku memang nggak bisa menghitung pasti kalau dimulai sejak kecil, tetapi seingatku dewasa ini, yaaaa yang paling baru aja deh, 4 gigi untuk proses pemasangan braces—yang sampai sekarang belum sampai di titik final, alias tiap bulan aku masih harus melewati fase maut selama beberapa hari.
Kamu-kamu yang pakai braces, pasti langsung paham semua omonganku.
Tapi, bukan itu.
Yang mau kubahas buka perkara braces yang tidak semua orang paham rasanya, tetapi bagian cabut giginya. Kayaknya nggak ada manusia yang nggak pernah cabut gigi, kan, ya? Iya, kan? Pertanyaannya, dari milyaran manusia, aku penasaran ada berapa persen orang yang tidak takut saat harus cabut gigi?
Karena kalau aku ... jangan ditanya.
Bagiku, pencabutan gigi tuh punya tiga tahap. Tahap pertama ini suliiiiit banget karena di sinilah kita perang melawan musuh bebuyutan yang paling susah dikalahkan, yaitu diri sendiri. Segala asumsi dari A sampai Z rasanya sudah nggak mempan tuh dikasih pemahaman paling rasional pun. Rasa takut sakitnya, takut ke mana-mana, kena mata lah, jadi buta lah apalah, belum lagi bayangan dokter galak yang ketika proses cabut gigi grusak-grusuk yang bikin ngilu duluan.
Pokoknya, fase ini kita berusaha meyakinkan diri sendiri kalau kita bisa melewati itu. Meski usahanya setengah mati.
Tahap kedua, adalah tahap termudah dari semuanya, yaitu eksekusi. Aku nggak tahu gimana buatmu, tapi bagi aku sih, cabut gigi sama sekali nggak sakit. Bahkan ketika dokternya bilang proses yang agak terasa sakit adalah suntikan obat bius—ya amplop, bahasaku enggak banget, maksudku anestesi—di gusi, aku juga enggak merasa sakit tuh. Memang ada rasanya ketika jarum suntik menusuk dan ada bunyi renyah yang tipiiis gitu, buatku malah satisfying abis! Terus, proses oglek-oglek deh entah pakai alat apa aja, dan tiba-tiba dokter bilang: udah, sekarang kumur-kumur, yaaa!
Selesai.
Tahap ketiga, inilah yang paling mengerikan, karena bukan cuma gelut melawan asumsi dan pikiran sendiri, tapi rasa sakitnya nyata. Bisa kita rasakan pakai fisik dan intinya sakit banget! Ketika bibir yang tebal sudah kembali normal, obat bius sudah hilang kemampuannya, saat itulah rasanya benar-benar hidup dan mati. Nyut-nyutan, risih karena kasa yang selalu penuh darah, nggak boleh kumur-kumur meski rasanya seperti menelan darah, nggak boleh makan atau minum minuman panas, dan tet tot tet tot lainnya.
Memang kadang diresepin obat supaya meredakan nyeri, tapi aku tetap aja kesakitan beberapa hari.
Tahu apa persamaan proses cabut gigi yang panjang itu dengan kehidupan?
You right, sama-sama memiliki tiga tahap itu.
Kita seringkali membayangkan masalah akan datang kalau melakukan sesuatu, dibayangannya sih sangat mengerikan, kita pikir kita nggak mampu, tet tot tet tot banyak hal. Eh, ketika dijalani tuh masalah, ya ternyata yang terjadi maka terjadilah. Nah, tahap terakhir, ini seringkali juga mengerikan. Pasca kejadian itu biasanya yang paling sulit buatku.
Contoh gampangnya adalah setiap tragedi di rumah bersama King dan Queen, Queen sih gampang, ya masih bayi. Bayangin King, yang masih aktif-aktifnya, setiap pulang sekolah dia akan bereksperimen banyak hal di rumah. Ketika kejadian, tidak terasa apa-apa. Maksudku, yasudah, sudah kejadian ini. Tapi membayangkan apa yang harus kulakukan setelahnya ... rasaya mau pingsan atau minggat. Membereskan kekacauannya. Menerima omelan Papa atau Bunda dan mendengar segala kalimat motivasi atau materi rumahan versi mereka.
Banyak hal.
Contoh lain, kejadianku bareng geng pantura—ini aku ngasal banget karena aku memiliki beberapa grup, aku sudah bilang aku punya banyak teman meski aku tak punya teman, kan?—di kafe beberapa hari lalu. Ketika mendengar Sam memanggil waiter, jujur rasanya aku mau kabur, lho! Tapi pas udah kejadian, yaudah.
Bagian tersulitnya?
Ya pasca kejadian, sekarang ini.
Sam si paling merasa dia bisa handle segala hal termasuk soal percintaan orang lain, memaksa aku dan Goga-Goga itu saling follow Instagram. Sekarang, aku jadi kebingungan dengan akunku sendiri. Oh easy, jangan ceramahi aku tentang menjadi diri sendiri, karena prinsip hidup itu sudah kutinggalkan sejak orang tuaku memutuskan bercerai. Oh anyway, aku enggak sedang meminta belas kasihan.
Please, enggak sama sekali.
Yang kumaksud bingung dengan akunku adalah ... aku bawaannya jadi pengen caper gitu, lho! Biasanya, aku mau posting story ya posting aja. Isinya juga sudah mirip sama akun ibu-ibu muda, kalau nggak kegiatan Kind dan kelucuan Queen, isi story-ku ya random tentang makanan, lagu, kafe baru. Semenjak follow-follow-an dengan Goga-Goga itu, sudah terhitung 3 hari—ofkors aku menghitungnya, menurutmu????—aku belum posting apa pun. Entahlah, aku merasa aku takut dia mengira aku ibu muda dengan anak dua. Mau tambahin hashtag ponakan rasanya maksa banget. Belum lagi, malam setelah saling follow, aku langsung bersih-bersih highlight!
Ishlah, menjijikkan tingkahku kalau di-follow cowok kece.
Tahu kegiatan menjijikanku lainnya?
Ya mantengin Instagram dia lah!
Aku penasaran dia posting apa, sama siapa, kegiatannya apa. Padahal, kami satu kompleks, tapi belum ketemu lagi. Aku juga pagi-pagi sudah di taman komplek, dia enggak ada. Melamun malam hari di sana, dia juga enggak ada. Kayaknya ... selain mengerjakan skripsi, dia juga beneran nyambi bekerja. Dugaanku sih dia bekerjanya di malam hari.
Oiya lupa, aku belum bilang, kalau kami satu kampus, ya?
Dia temannya Sam, aku tidak tahu pertemanan yang seperti apa mengingat aku dan Sam pun berteman untuk haha-hihi. Kami beda jurusan dan memang aku merasa belum pernah melihatnya. Mungkin kami pernah berpapasan, harusnya aku sadar, ya, jadi biar bisa bikin from this to this.
Itu pun kalau perjodohan Sam ini berhasil.
Dia ngebet banget dapat pahala banyak kalau aku dna Goga-Goga itu beneran jadian.
Aku memang pernah nembak cowok sekali dan diterima, tapi itu nggak menjadikanku ratu di bumi ini terus semua hal yang kumau pasti terwujud, kan? Nah kan, padahal baru follow-follow-an, tingkahku kayak yang bakalan jadi bininya nanti. Orang yang hatinya gersang dan sebenarnya kesepian memang mengerikan. Kenalan sama satu cowok, maunya langsung jadian dan dia satu-satunya.
Aku takut clingy nih kalau nanti punya pacar.
HEY!
Lihat ini!
Notifikasi dari Instagram dan akunnya mengirimiku pesan. Foto dari minuman dan dia nambahin tulisan; menu baru nih, Thi. Mau cobaiin?
Gerak cepat lah aku langsung balas: wiiiii, itu matcha, Om?
Dia: betuuul. Cewek-cewek kue kayak lo kan demenannya minuman estetik gini. Ke sini aja, Thi, gue traktir.
Senyumku langung lebar. Kata traktir nggak pernah bikin aku sebahagia ini. Mungkin ini bukan soal traktir, tapi soal kesempatan aku ketemu dia lagi. Soalnya aku gemes dan penasaran. Kami cuma sempat ngobrol sebentar, pas di taman komplek dan di kafenya yang serba buru-buru karena dia sedang kerja itu.
Aku: otw!!!
Dia: jangan sekarang juga dong Sister, gua lagi kerja.
Aku: terus lo ga kerjanya kapan?
Dia: besok haha. Besok aja kita ke sini. Lo free ga?
Aku: jam???
Dia: lo bisanya jam berapa? Gue bisa jam apa pun.
Dia: jam berapa pun maksudnya 🙂
Aku: aku momong krucil, Om huhu
Dia: ponakan?
Aku: adikkk
Dia: bawa aja.
Aku: ada 2😭😭😭😭
Dia: gasss, gue jago momong bocah tau.
Sam, ini gimana sih temen lo? Kok ... gue kayaknya mencium aroma-aroma pacar idaman di dia, ya? Tanggung jawab lo, Sam.
Hatiku yang gersang, huhu.
---
yg hatinya gersang kek Uthi, ngacuuuung
☺️🥵👙💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top