CHAPTER 15
Ini aku pantas, kan, marah sama Saki?
Sini aku ceritain agak detailnya—aku sambil dari tadi mondar-mandir di kamar bocil-bocil yang lagi pada tidur siang dan aku nggak bisa ikutan karena panik—tapi tolong dengarkan baik-baik. Aku nggak mau, ya, kamu yang budek dan salah paham, nanti aku yang salah. Waktu mau bantu Queen tidur ini tadi, aku dapat chat dari Ami yang bilang kalau Saki lagi sakit. Nah, panik nggak lo! Ya panik lah. Tapi, dibanding cuma panik, otak dramaku ini malah ke hal-hal lain yang menurutnya jauh lebih penting juga ketimbang nasib hidup-mati-nya Saki.
Kenapa Saki nggak ngabarin aku yang notabenenya adalah pacarnya. Kenapa yang ngabarin malah Ami. Kenapa Ami bisa tahu. Yang paling penting, tadi pagi aku dan Saki masih texting dan seolah nggak ada—iya sih, aku tahu, apa yang bisa dirasa dari kalimat di hape? Kecuali tadi kami telponan atau video call. Apa pun itu, ini tetap terasa aneh. Sakitnya Saki—kalau dia beneran sakit—melanggar rumus dalam dunia laki-laki. Hei, Papa tuh kalau sakit kayak yang paling bakalan meninggal lima menit lagi. Mantanku dulu juga gitu, kalau sakit, sudah sibuk pembahasan berapa jarak paling aman aku buat move on dan mencari cowok baru.
Intinya, cowok kalau sakit tuh lebay.
Saki ini ... kok enggak?
Tapi justru aneh bukan main, buatku.
Ini dari tadi aku pun masih memantau room chat aku dan Saki. Yang terakhir chat tentu dia, tadi kami membahas kira-kira nanti makanan apa lagi yang bisa kubikin—wait wait wait! Dia nggak sakit karena imbas dari makananku waktu itu, kan? Masa sih makannya kapan dan sakitnya kapan? Tapi gimana kalau ternyata dampaknya baru kerasa sekarang? Dia nggak mau ngabarin aku karena menjaga perasaanku?
Apa gitu?
Astaga!
Jantungku rasanya deg-degan banget waktu hape-ku bunyi dan nama Ami terpampang di sana. Baru sekarang nih aku merasa mendingan aku nggak usah kenal dan deket sama ipar iparan apalah apalah tuh nyebutnya. Ini kenapa aku berasa mau ditanya sama dosen pembimbing, ya? Aku gugup abis dan ... tidak ada cara lain selain mengangkat teleponnya. "Halo?"
"Assalamualaikum, Uthi, jadinya gimana?"
Aku meringis. "Waalaikumsalam. Ummmm, aku ... duh aku panik tapi aku nggak tahu harus gimana, aku—"
"Gimana kalau aku jemput kamu aja? Kita titipin adik-adik kamu ke daycare bentar selama kita jenguk Saki. Gimana, Thi?"
Ide bagus, sih.
Tapi ...
Ini bukan cuma soal adik-adikku, tapi tentang aku dan Saki yang masih belum terbuka di depan keluarganya! Mamanya, Papanya, aku, kan, belum kenalan dan gimana caranya tiba-tiba sekarang datang dan sok kenal? Kalau nanti—
"Thi?"
"Ami ... help me," cicitku pelan. Rasanya aku siap membenturkan kepala ke dinding.
"Iya, aku bantuin, aku jem—"
"Bukan," lirihku cepat-cepat. "Bukan soal adikku."
"Terus?"
"Hubunganku sama Saki."
"Astagfirullah, kalian putus?"
"Ih bukan!"
"Ih apaaaa?" Kenapa dia malah yang panik? Aku jadinya ketawa banget mendengarnya yang malah lebih panik dari aku. Kesalahpahaman kadang memang bikin tolol dan demi apa pun, Ami, kamu lucu banget. Nggak heran Al yang kelihatannya badboy gitu demen. Ah nih anak definisi surga dunia. "Uthi, jangan bikin panik dong!"
"Maksudku ... aku kan belum kenalan sama mamanya." Aku meringis, menunggu jawaban Ami yang malah gantian dia yang tertawa kencang. "Ami, serius. Aku nolak ajakan Saki ke rumahnya karena kayak ... lo pasti tau, kan, pertemuan aku dan Saki? Nah aku belum yakin kayak ... duh ini pasti nggak lama gitu. Jadi jangan libatin keluarga banget deh. Tapi—"
"Tapi ternyata serius," godanya sambil terkikik. Aku jadi ikutan salah tingkah. "Sampe masak-masakin bekal. Cieee menantu idaman Tante Moza."
"Maksudnya?"
"Uthi, please, kamu tuh mau SKSD atau apa pun itu kamu nyebutnya, kamu udah diterima sama Saki dan keluarganya. Mereka orang baik-baik kok. Coba deh menurutmu, ada jaminan nggak aku dan Al bakalan nikah beneran? Ih amit-amit aku mau banget, aamiin. Maksudku tuh, nggak ada yang bisa jamin, Uthi. Tapi, menurutku kenal sama keluarganya itu penting, kita ngerasa aman dan nyaman, nggak sembunyi-sembunyi. Urusan nanti gimana, yaudah, nantia aja nggak sih, Thi? Kan, belum kejadian."
"Iya sih. Tapi, kan, kamu sama Al—"
"Emang menurutmu aku sama Al ketemu di mana?"
"Mana?"
"Instagram!"
Kami sama- sama tertawa. "Masa sih?"
"Nggak penting lah ketemu di mana. Nih aku kasih bocoran supaya kamu semangat. Kamu sama mamanya Saki nggak pernah chatan, kan?"
"Enggak." Aku nyengir.
"Bekel Saki yang kamu bikinin itu, dibikin story sama mamanya."
"WHAT???"
Ami terbahak-bahak. "Terus caption-nya, anak baik dan cantik lagi belajar masak sama emot-emot banyak deh khas ibu-ibu."
"Demi apa gue malu banget woiiiii!"
"Kamu diterima, Thi. Al juga bilang dia seneng liat Saki sekarang keliatan happy, banyak terhibur sama kamu. Kamu tuh menyenangkan, percaya sama aku."
"Wanita hiburan kali ah."
Aku menatap kedua adikku yang sedang tertidur pulas. Seketika aku meringis, maafin Uthi ya, Bang, Dek, ini demi menyambut masa depan percintaan, Uthi harus nitipin kamu nih. Duh, apa begini rasanya Bunda setiap mau meninggalkan mereka, kok merasa bersalah, ya? Aku buru-buru menggelengkan kepala. Jangan merasa bersalah, mereka akan baik-baik aja. Kalau mereka bisa ngomong, mereka juga pasti pengen aku menjalani kehidupanku dengan baik dan adil. Bukan mengorbankan segalanya buat mereka.
Kayaknya.
Nanti kalau aku nikah sama Saki, aku mau bilang sama dia punya anak satu aja deh. Atau childfree aja, ya? Ah, nggak tahu, mau pipis dulu sebelum nanti Ami tiba-tiba sudah di sini!
***
"Tapi beneran aman, kan, Mi, dia? Sayang anak kecil, kan?"
"Please deh, Uthiiiiiiii. Dia kerjaannya emang momong anak keciiiil. Kamu udah tanya ratusan kali. Tenang! Tarik napas, embusin, tenaaang. Mereka baik-baik aja. Aku pastiin, aku nggak sembarangan. Dia juga sering jagain sepupuku kalau lagi itu kok. Sumpah."
"Okay! Ini mamanya di rumah, Mi?"
"Siapa?"
"Calon mertua kita."
Aku dan Ami terbahak-bahak.
Namanya juga setiap kalimat adalah doa. Jadi, aku harus memastikan apa pun yang keluar dari mulutku artinya baik. Jadi, kalau nanti dikabulkan sama Allah, bukan hal-hal random tapi sesuatu yang besar dan bermanfaat. Punya mertua yang sama dengan Ami dan baik, kan, rezeki yang besar juga. Ini si Ami bukannya bilang amin malah masih ketawa-ketiwi sambil sibuk milih lagu.
"Kamu nggak bisa, ya, Mi, biarin aja tugas lagu-lagu ini dipegang sama Daniel dan Martin?"
"Hah? Siapa itu?"
"Pendirinya Spotify kamu itu, kan."
"Uthiiiiiiii!" Ami ngakak sambil sibuk mukulin apa aja yang bisa dia jangkau, termasuk lenganku tadi. "Kamu nih lucu banget, aneh tapi lucu banget. Aku emang rese soal lagu kata Al juga. Ya gimana, kamu bayangin, perjalanan bentar gini aja ya, Thi, kalau lagunya nggak OKE atau selera musik beda rasanya udah stres berat aku. Gimana pacaran sama orang yang salah?"
"Yaelah," lirihku, bahuku merosot dan aku langsung duduk lemas, menyandarkan punggung. "Nggak ikutan deh. Eh tapi, Mi, gimana kalau selera musik beda, tapi dia justru mau selalu ngalah dan berusaha nikmatin lagu pilihan kita?"
"Lah menurutmu yang aku lakuin sama Al apa?"
"Oh."
Ami tergelak. "Ini makanya kebiasaanku, tanganku sibuk milih lagu karena dia ngalah."
"Kamu nggak mau minta bantuanku aja, Mi?"
"Enggak, makasiiiii. Soal musik, maaf, aku nggak bisa sembarangan."
Aku mengangguk-anggukkan kepala.
Atur aja deh, Mi. Dari tadi juga aku nggak ngerti lagu-lagu yang kamu putar tuh lagu apa. Saking bagusnya seleramu, aku yang cuma tahu lagu-lagu terkenal cuma mau ikutan diam, berusaha menikmati. Laguku mah lagu sejuta manusia, yang kuplay, orang pasti tahu. Lagu-lagunya The Script, The Weekend, Ali Gatie, Justin Bieber, Rihanna, Kehlani, ya orang-orang terkenal dan kece itu.
Kalau Ami ... emang ini anak hidden gem keseluruhan hidupnya.
Kami belok dulu beli buah tangan.
Ami bawa makanan yang menurutnya bisa dimakan semua keluarganya, bukan cuma Saki aja. Sementara aku, karena yang sakit adalah pacarku, aku nggak meminta pendapat Ami, tetapi aku memintanya untuk berhenti di beberapa tempat—oh hai, tadi aku sudah bilang belum kalau ini aku sudah izin Papa dan Bunda? Oh sudah, okay hihi—demi kepentinganku pribadi. Ada kue, snack Chiki Ball, bunga untuk pacar polo shirt-ku, ada minuman, vitamin, dan ... cukup sih. Ditambah diriku sendiri, hehe.
Sekarang, napasku sudah nggak keruan waktu Ami bilang 'nah, ini kita udah masuk kompleknya' dan menyapa satpam demi gate bisa terbuka lebar. Tak lupa pertanyaan kepentingannya apa, mau ke mana, dan ... bisa nggak sih dijawab; jangan kepo deh, Pak! Iya aku tahu nggak bisa.
Mobil Ami berhenti di pinggir jalan, sebuah rumah bernuansa putih abu. Ini konsep rumahnya kayaknya rumah kaca. Jadi kelihatan rapih, bersih, dan nyaman. Belum lagi pohon-pohon dan tanaman ... oh garasinya ada mobil Saki! Dia beneran di rumah—eh tapi kan, mobil dia dan Al barengan, kayaknya. Tapi tadi Ami bilang Al lagi terbang ke Pekan Baru, bapaknya kerja. Berarti, yang di rumah tersisa Saki dan—ummm, udah dulu, okay? You're right, kami turun dari mobil, berjalan memasuki halaman rumah, memencet bel, dan disambut dengan ART yang masih muda dan sangat ramah. Selain itu, dia juga cekatan banget menerima hasil bawaaan—
"Hai!"
"Assalamualaikum, Tante."
"Waalaikumsalam. Ya ampun, ini repot-repot banget bawaannya kok banyak banget, Sayang?" Dia tersenyum pada ART. "Taro sini dulu nggak pa-pa, Mbak. Pelan-pelan dibawa ke belakang, tolong nanti bikinin minimum, ya?"
Aku masih berdiri kaku dengan bunga di tanganku.
Ini nggak boleh diambil ART, harus aku yang memberikannya pada Saki nanti.
"Ini Uthi, ya? Cantik banget aslinya." Oh, napasku lolos lega. Kami berpelukan singkat. Dia memegang pundakku, menatapku dengan senyuman lebar. "Saki nggak tau, lho, kalian ke sini. Kata Ami surprise. Tapi, maafin kalau nanti Saki keliatan kayak nggak mandi dan bau. Dia memang nggak mandi."
Aku tertawa pelan.
"Yuk, Tante anter ke kamarnya." Tante Moza menatap Ami. "Ami mau ikut atau nunggu di sini dulu?"
"Aku bantuin Mbak dulu aja, Tante."
"Oh yasudah."
"Ummm," gumamku bingung maksimal karena ... ini harus gimana? Kenapa Ami malah mau bantuin Mbak, terus aku?" Umm, Tante, aku bantuin Mbak juga aja." Aku meringis. Melihat mamanya Saki ngikik, aku jadi ikutan ngikik padahal kaku banget aku tahu.
"Kan, kamu ke sini mau jenguk Saki. Nggak apa-apa, kalau Ami, kan, ke sini nemenin kamu. Nanti boleh bantuin Mbak."
Aku mengangguk, pada akhirnya.
By the way, Mamanya Saki pakai parfum apa, ya? Dipeluk dari tadi perasaan wanginya nggak ilang-ilang. Kami jalan berdua nih aja berasa disiram parfum sambil jalan. Oh nooooooo! Kami sudah sampai di depan pintu kamar. Ini kenapa kesannya aku kayak mau dijodohkan sama bule antah berantah, ya? Seolah kami baru bertemu hari ini dan aku dipaksa langsung harus malam pertama.
Mataku seketika melotot saat mamanya Saki super dadakan berbisik, "Silakan, masuk. Dia pasti happy banget. Sekalian nanti rayu buat makan dan minum obat, ya, Sayang, ya? Dari tadi bilangnya nggak mau makan, mulutnya pahit."
Aku hanya mampu mengangguk.
Menatap nanar mamanya Saki yang meninggalkanku sendirian.
Dia nggak takut aku apa-apain anaknya apa, ya?
Mulutnya Saki pahit, terus nanti kalau aku cium gimana?
Aman dari CCTV nggak, ya, kamarnya si Saki ini?
Aku mengetuk pintu, cuma mendengar gumaman pelan. Oh dia masih sadar nggak pingsan atau tidur. Kubuka handle pintu, mengintip kecil jaga-jaga kalau dia lagi dalam keadaan tidak senonoh. Ternyata masih aman, karena aku melihat Saki duduk tak berdaya di sofa, selimutan, dan nonton TV—nggak tahu channel apa, oh dia nonton film.
"Hai!"
Tubuhnya bergerak, kepalanya menoleh, matanya sempat memicing sebentar, sebelum dia melempar selimutnya dan berdiri tegak. "Hai, Uthi. Kamu ngapain?" Saki meringis, memegang kepalanya. Aku juga ikutan meringis, pasti pening banget karena dia bangun dengan dadakan. Dia mencari-cari kaca matanya, dan sekarang berjalan mendekat. Aku baru nih anak minus. Pakai baju rumahan, rambut kayak orang nggak mandi, muka pucet. Tapi ke mana tuh bau badannya? Aku tetap bisa mencium wangi Saki kok.
"Kamu sakit, ya?" tanyaku, tolol. Kan emang sakit, bego!
Saki berdeham. "Cuma nggak enak badan aja sih. Kamu ... sama siapa?"
"Ami." Aku nyengir. "Kok kamu nggak bilang kalau sakit, Ki?"
"Takut bikin kamu bingung, aku pikir kamu belum siap buat ke rumahku."
"Ihhhh." Aku merengut, menatapnya sedih. Kemudian berjinjit untuk menyentuh keningnya. "Buset, panas tau."
"Ini udah mendingan kok. Itu bunga buat aku kah?"
Aku tertawa, menyodorkan bunga untuknya. "Yep, bunga buat kamu. Ada makanan dan minuman di bawah."
"Kamu masak lagi?"
Aku meringis. "Enggak sih. Eh tapi kamu sakit bukan karena—"
"Bukan." Dia mencium bunga pemberianku. "Thank you so much. Buat bunga ini, buat makanan di bawah, dan buat kehadiranmu di sini. I'm so touched."
Kenapa ... aku deg-degan dan malu, ya?
EW, Uthiiiiiiiii!
Please, jangan gilak!
"Ada Chiki Ball juga," ucapku, random abis.
Dia tersenyum. "Thank you. Mamaku gimana?"
"Ih cantikk," jawabku sambil tertawa pelan. "Cantik banget, wangi. Dan baikkkk. Dia kayaknya akrab sama Ami deh, Ki." Aku ngintilin Saki yang memintaku untuk ikut duduk di sofanya.
"Karena, kan, Ami duluan. Dia juga nerima kamu dan mau akrab sama kamu."
"Masa sih?"
Kepalanya mengangguk.
"Entahlah! Kamu nonton apa, Ki?" tanyaku, ngasal alias aku tanya apa aja deh yang penting ini harus ada obrolan. Mati deh aku, karena entah gimana sejak masuk kamar ini, rasanya kok deg-degan! Asli, kayaknya di dalam kamar memang banyak setan deh! Papaaaaa, Bundaaaa, kalau ternyata yang gila memang aku dan detik ini tiba-tiba aku terkam Saki, aku beneran mint—ini perasaanku aja atau anak ini dari tadi lihatin aku, ya? KAN! "Saki jangan liatin kayak gitu."
Dia sampai memangku kepalanya dengan tangan. "Apa?" tanyanya, agak linglung.
"Apanya?"
"Kamu tadi ngomong apa?"
"Nggak ngomong apa-apa."
Bibirnya tersenyum. "Kamu tadi kok berani dateng ke sini?" tanyanya aneh.
"Emang nggak boleh?" Sementara aku masih jawab sambil sibuk lihatin sana-sini, yang penting nggak menatap dia deh. Tahu gini, tadi aku minta temenin Ami atau mamanya Saki ini mah. Demi apa pun aku mau pingsan sekarang!
"Boleh. Tapi tau konsekuensinya nggak?" DEMI APA? INI SAKI? Mau main mesum-mesuman sekarang? Dia yang pendiam ternyata malah— "Kalau udah ke sini, ketemu sama mamaku, kita nggak boleh putus. Masa percobaannya langsung nggak berlaku dan berubah jadi seumur hidup."
Aku refleks menoleh, menatapnya kewalahan. Kemudian aku tertawa. "Ki ..."
"Waktu itu kamu bilang aku udah boleh bilang 'I love you' dan sekarang kamu pake 'aku-kamu'. Nggak tiba-tiba mau pamit dan mutusin aku di saat aku lagi sakit gini, kan?" APA KUBILANG! Semua cowok kalau sakit tuh lebay! "Uthi."
Aku tak bisa menahan senyuman geli. "Emang dari tadi, gue pake ... aku-kamu, ya? Masa sih? Nggak kerasa tuh." Kulihat dia tersenyum tipis, masih terus menatapku. Dia tahu nggak sih kalau ini bukan kandangku dan sekarang aku yang salah tingkah, biasanya dia. "Kayaknya sih bukan cuma aku-kamu permasalahan kita di sini, Ki," ucapku sok serius. Aku mendekatinya, bersedekap biar tambah kesan seriusnya. Lihat alisnya mengerut bikin aku makin berbunga-bunga. Demen banget gangguin anak remaja satu ini. "Tapi ...," jedaku sebentar. "Aku bawa vitamin tau."
Dia tertawa pelan.
"Tapi di bawah."
"Nggak pa-pa. Makasih, ya."
"Tapi aku mau ngasih kamu vitamin. Seadanya aja nggak pa-pa?" Keningnya berkerut, dan aku tak memberinya kesempatan buat berpikir banyak lagi, aku mencondongkan tubuh dan mengecup bibirnya cepat. Sekarang dia mematung, giliranku yang tersenyum lebar di depan wajahnya. "Cepat sembuh, Sayang." Aku ngikik karena berhasil mengerjainya. Siap berbalik buat—tapi Saki keburu menarik lenganku dan membuatku kembali menatapnya. "Ki, aku ba—"
Aku sudah yakin dari awal, kamar Saki banyak setannya dan mungkin baru aktif saat melihat kehadiranku. Mereka melihat temannya datang, makanya langsung on semua dan sekarang lihatlah hasil ulah setan di kamar Saki. Anak remaja masjid—seenggaknya sebutanku tadinya saking pendiem dan terlihat alimnya Saki—ini tiba-tiba kedua tangannya sudah ada di kedua sisi wajahku, dia gantian mengecup bibirku dua kali! Aku nggak tahu kenapa aku masih sadar sampai sekarang dan merasakan dia mengecup hidungku dan bilang, "Kamarku nggak ada CCTV-nya, Dyuthi."
YA TERUS?????
Emang cowok selain lebay, kalau sakit tuh jadi mesum, ya?
Bukannya lemas dan tak berdaya harusnya?
---
help them
😩😩😩
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top