Chapter 14
Mengerjakan sesuatu tuh seru abis dengan catatan nggak disuruh apalagi dipaksa.
Ngerjainnya bisa sambil senyam-senyum, kujamin deh. Perasaan suka-cita langsung setinggi langit ketujuh, pokoknya hidup berasa seketika jadi kayak pengemban mindfulness itu lho! Cuma ya itu, kalau konsep ini beneran jadikan prinsip hidup, kayaknya dunia bakalan rusak. Soalnya, keinginan buat mengerjakan sesuatu tanpa disuruh atau dipaksa tuh cuma sedikit, sementara seumur hidup, kan, panjang. Bayangin kalau hidup ngikutin cuma saat kita mood, rusak nggak sih?
Oh anyway, ini aku bukan ngomongin skripsi aja, ya—udahlah, kalau aku nggak memulai obrolan tentang skripsi, kita jangan ke arah sana, males—tapi lagi ngomongin pekerjaan rumah. Rumah tangga I guess? Entahlah, intinya, aku bangun pagi-pagi buta. Kali ini sama sekali nggak hiperbola, bahkan setelah sholat subuh aku nggak balik tidur.
Aku ke dapur dan ... yep, sampai sekarang yang ... seharusnya sudah nyaris beres nih. Aku cuma perlu cetak nasinya pakai alat bentuk love-love itu. Aku kasih campuran remukan seaweed biar ala-ala. Aku bikin 6 nasih love—karena kayaknya Saki makannya lumayan banyak. Kumasukkan ke dalam launch box, terus bagian sebelahnya kuisi dengan buah yang kutusuk pakai pin bentuk sapi, kuisi sayur-sayuran rebus. Box satunya untuk protein; tadi kubuat asal dan simpel daging lada hitam, pakainya slice beef, kutambahin sosis goreng.
Sekarang, aku menatap box-ku dengan senyuman—
"Uthi, kamu ngapain?"
Aduh, ternyata aku kelamaan di dapurnya, tidak sesuai dengan perkiraan sebelum Bunda ke dapur. Dia sudah dandan cantik, pasti siap membuat sarapan untuk kami semua. Akhirnya aku nyengir sambil menatap hasil kreasiku. Kedua alias Bunda menyatu, selanjutnya dia kelihatan paham dan senyum geli.
Malu banget euy!
Masakin orang rumah aja nggak pernah, ini malah masakin cowok yang belum tentu jadi bagian keluarga ini.
"Saki minta dimasakin?" tanyanya dengan senyuman masih di wajah.
"Ummmmm, nope. Ngide sendiri."
"Serius nih kayaknya."
"Bunda, please .... Cuma masakin iseng, lho."
"Masak itu nggak iseng, apalagi buat orang yang jarang masak. Kalau dia nggak sespesial itu, ngapain?"
Iya kah?
Tapi ini tadi aku iseng beneran sih, cuma ... kalau Saki disebut hasil iseng, ya memang iya. Masalahnya, aku dan Saki ini sudah bukan di tahap iseng, I know that. Aku juga makin kerasa kok mau dia, mau tahu kabarnya, dia lagi ngapain, tadi ngapain aja, apa yang dia pikirkan, kok dia nggak chat, tet tot tet tot lainnya.
Aneh deh.
Pembicaraanku dan Bunda selesai, aku juga sudah mengabari Saki untuk ke rumahku sebelum dia berangkat kerja. Aku tahu beda arah dan mungkin dia akan kesal nantinya, tapi aku nggak mau kirim pakai ojek. Aku mau lihat ekspresi dia langsung dan effort-nya kelihatan banget saat dia datang pagi-pagi bahkan sebelum Papa-Bunda berangkat. Kami masih sarapan, dan akhirnya Saki ikut sarapan juga. Pacar polo shirt-ku ini kelihatannya menjalani pekerjaannya dengan damai karena tak terlihat sibuk memakai kemeja atau pakaian formal lain.
"Papa sama Bunda berangkat duluan, ya," kata Papa setelah membenahi bekas makannya. "Kamu beruntung dan bikin iri sedikit, lho, Saki," katanya sambil tertawa. "Nih Papanya belum pernah nih dimasakin sama Uthi."
Aku tertawa, siap membela diri. "Papa soalnya susaaaah. Cuma Bunda yang bisa mengerti selera Papa."
"Emang kamu yakin Saki nggak susah?"
Aku meringis, sementara Saki tertawa pelan di kursinya.
Lalu, Bunda ikutan nimbrung setelah beres dengan cuci piring di wastafel. Kami mencuci piring bekas makan masing-masing. "Saki pasti akan jawab suka makanan Uthi dong, kalau mau nasibnya berlangsung baik. Kamu kayak nggak tahu alurnya aja, sih, Mas."
Aku memberi kecupan jauh untuk Bunda.
"Okaydeh," jawab Papa menyerah. Kemudian tatapannya berubah serius, menunjuk aku dan Saki bergantian. "Kalian tau kan, artinya dikasih izin dan dibebasin hubungannya apa? Boleh tapi nggak boleh bablas."
Mak ... sudnya?
"Kecup kening dan salaman tangan masih oke."
Mati aku, mati kau, mati kita semua!
CCTV!!!!
Bisa-bisanya aku—kami melupakan bahwa ada benda keramat itu di rumah dan aku harusnya tahu Papa-Bunda memantau rumah ini untuk memastikan semua anak-anaknya aman. Dan bisa-bisanya aku sama Saki malah cosplay jadi suami-istri yang mau perpisahan kerja.
Aku melirik Saki yang menekan hidungnya entah untuk apa. Kulit wajahnya sudah merah tuh, dia berdeham dan membungkukkan kepalanya sedikit. "Maaf, Om, nggak—"
"Nggak pa-pa," potong Papa cepat-cepat, sementara Bunda kulihat malah senyam-senyum, dan aku jadi makin ikutan salah tingkah. "Tahu batesan, ya, Ki? Kalau Uthi-nya yang mulai gila, kamu usaha tetep waras."
Aku melongo.
"Dah, Om tinggal dulu. Nanti minta review makanannya Uthi, ya. Kalau okay, Om mau fasilitasin dia biar open PO launch box tuh, siapa tau banyak pasangan-pasangan muda yang kayak kalian."
"Siap, Om."
"Pa ..." lirihku. "Nggak berlebihan tuh?"
"Apanya? Kamu masakin Saki? Agak sih, tapi nggak pa-pa."
"Bu—"
"Inget screening time Abang, Thi. Jangan cheating."
"Iyaaaaaa," geramku tertahan.
Kulihat dia ke atas, pasti membantu Bunda untuk membantu Abang bangun sampai siap, bagian Abang sarapan adalah tugasku. Sekarang, aku menyodorkan launch box tingkat dua ke hadapan Saki sambil ketawa geli sendiri.
"Ini masih mainan manifestasi?" tanyanya polos.
Aku menggeleng lah! "Enggak, ini bukan manifestasi lagi, tapi udah kejadian. Lo tau, belum ada cowok yang gue masakin seumur hidup. Kita kenalan itu kan random, jadi gue rasa ngaruh juga, gue abis liat video orang siapin bekel pacarnya, terus gue bikin." Aku melihat sudut bibirnya terangkat. "Lo mau lihat isinya nggak?"
"Sekarang boleh?"
"Boleh dong!"
Tangannya bergerak cepat membuka tutup, terus aku lihat dia refleks menutup wajahnya pakai tangan sambil ketawa pelan. Aku sibuk tanya kenapa, dia masih sibuk dengan tawa dan segala kesalah-tingkahannya itu. Mukanya merah, dia menatapku dengan ekspresi yang lucu abis. "Aku kayak seusia Abang, lho," lirihnya.
"Mirip sih," jawabku sengaja menggoda.
"Thank you, Dyuthi." Huuuu, that 'Dyuthi' yang keluar dari mulutnya kedengarannya smooth dan seksi at the same time. "Aku juga belum pernah dibawain bekel gini sama cewek."
"Spesial dong gue karena yang pertama?"
Kepalanya mengangguk. "Kamu mau apa?"
"Hah?" Oh, aku baru paham! Kutoyor lengannya semampu jangkauanku. "Nggak semuanya dalam hubungan itu harus transaksi pasti, kali, Kiii! Iya sih, take and give, tapi nggak yaaa yang literally terjadi dalam satu waktu." Aku tertawa lihat dia bingung. "Gue kasih lo sesuatu, nggak harus lo bales langsung detik itu juga buat ngasih sesuatu. Gue beneran pengen masakin, dan balesannya liat muka happy lo tadi. Udah cukup. Lo lucu, ganteng, baik, banyak bisanya, apalah-apalah udah aman."
Dia menggaruk kepalanya.
Cara matiin CCTV tanpa nyentuh gimana ya ini?
"Thank you," bisiknya. "Kalau kamu nanti jadi suka masak dan butuh sesuatu, alat atau apalah-apalah—" Dia tertawa pelan saat aku memicingkan mata.
"Kok jadi nyaman ya pakai kosa kata itu?"
Kami sama-sama tertawa. "Iya, ya. Nggak sadar," katanya. "Anyway, kamu kabari aku, nanti kita beli alatnya supaya kamu masaknya makin happy."
"Ketagihan nih dimasakin gue?"
"Bukan ..." Dia menggaruk hidungnya, aku melihatnya kelihatan banget menahan tawa. "Iya sih, sedikit. Aku nggak expect diminta ke sini buat dikasih bekel, I'm so touched. That means so much to me. Udah boleh bilang 'i love you' belum sih, Thi?"
HEIIIIII!
Ini cuma bekal ala-ala bento, lho!
Atau ... ini emang bukan 'cuma'?????
---
gimana tuh, Thi???
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top