CHAPTER 12.1

Aku tahu aku sudah bertindak gegabah dan aku akan minta maaf untuk hal itu.

Sekarang kami sudah di mobil, Al dan Ami juga udah balik dengan pesan bahwa kami harus sering keluar bersama. Oh, kata Ami, meski nggak bareng dua kembaran ini, aku dan dia juga tetap harus sering main keluar. Aku sih nggak masalah, toh aku sudah terbiasa punya banyak teman, terbiasa untuk ngobrol ngalor-ngidul, so I said 'ofkors!'.

Nah, sekarang tinggal ngurus Saki nih.

Tadi kasihan banget lihat muka doi pias dan mematung, untung cepat-cepat sadar. Salahku karena nggak kasih briefing atau minimal aba-aba singkat dan wordless laah. Jadi, sekarang aku noleh, menatap Saki yang fokus banget menghadap jalanan. "Ki."

Kepalanya menoleh.

"Sori, ya, tadi nggak kasih aba-aba apa-apa tapi langsung ngomong kayak gitu. Gue pikir tadi Ami dan Al nggak tau kita berdua, kan? Maksudnya dalemnya kita ini? Gue nggak mau nanti lo dihajar pertanyaan Al."

Dia senyum simpul. "Nggak pa-pa. Tadi aku kaget banget." Dia tertawa pelan.

Aku ikutan ketawa.

"Kirain berubah beneran panggilannya, ternyata improvisasi dadakan."

Aku makin tergelak. "Asliiiiik, tadi gue geli bangeeet, manggil 'By'. Lo tahu nggak yang gue maksud 'By' tadi apa?"

"Apa?"

"Nggak tau." Aku makin ngakak. "Beneran kayak langsung aja gitu."

Saki juga ikutan ketawa sambil menggelengkan kepalanya.

"Lo nggak marah, Ki?"

"Sama kamu?"

Aku mengangguk. "Gue main seenaknya panggil lo gitu, sekarang gue pake gue-elo lagi. Lo nggak ngerasa kalau gue nggak ngehargai lo?"

Kepalanya menggeleng. "Yang ajak hubungan ini, kan, aku. Jadi nggak pa-pa. Tadi kamu berusaha nyelamatin kita, makasih ya inisiatifnya. Kamu nggak perlu buru-buru buat ubah panggilan atau apa pun itu yang dilakuin orang pacaran, take—"

"Emang apa sih yang dilakuin orang pacaran, Ki?"

Ini kenapa aku jadi senang banget godain dia, ya? Aku paham banget apa maksudnya. Aku kayaknya memang nggak bodoh dan aku nggak berniat pura-pura bodoh atau apalah. Aku cuma pure pengen tahu reaksi dia. Apalagi, salah tingkahnya itu yang bikin dia kelihatan lucu banget. Lihat deh lihat tuh, dia ketawa pelan, menggosok-gosok wajahnya dengan sebelah tangan kiri, terus membuang wajah ke kanan, baru noleh ke aku.

Aku?

Masih berusaha masang wajah innocent dan seolah menunggu jawabannya.

"Kamu beneran?" tanyanya.

"Apa?"

"Uthi."

"Ya?"

Wajahnya memerah sampai ke daun telinga. "Aku bukan pacar pertama kamu, kan?"

Aku mengerutkan kening. "Justru gue yang mau tanya, ini gue pacar pertama lo, ya?" Aku akhirnya tidak bisa menahan tawa saat melihat bibirnya berkedut, dan dia menggeleng pelan. "Terus? Jangan bilang lo pacaran pas SD, jadi isinya ya cuma nyemangatin buat upacara hari Senin."

"Kamu gitu dulu?"

"Iya." Aku terbahak-bahak. "Seru banget aslik! Kenapa, ya, kita harus dewasa, Ki? Dan kenapa dewasa ternyata nggak menyenangkan?"

"Mungkin karena masih ada beberapa hal yang belum bisa kamu terima?"

"Maksudnya?"

Ia menoleh, menatapku serius, lali kembali fokus pada jalanan. "Kadang kita sadar kalau jadi dewasa itu nggak enak, karena udah jalanin kecil dan dewasa. Kita jadi punya perbandingan. Dulu waktu kecil, mikirnya jadi dewasa asyik, kan?"

Aku mengangguk.

"Jadi dewasa emang bisa seru kok, kalau ... kita berusaha nerima hal-hal yang memang harus terjadi. Aku tahu itu nggak gampang, hati kita sebagai manusia biasa memang dibikin buat ngerasa sakit, kecewa, and so on. Tapi, kalau sadarnya kita lebih banyak, bahwa nggak semua hal bisa terjadi sesuai yang kita mau ... kita jalani yang memang ada di depan mata, jadi dewasa juga bisa seru, Thi."

Please, dia jarang ngomong banyak dan aku nggak pernah bilang kalau dia nggak ngomong karena nggak bisa atau apa. Dia ... tahu kapan harus ngomong dan dia paham betul apa yang diomongin. Jadi dewasa nggak seru buatku, mungkin karena memang aku belum bisa nerima beberapa hal. Perpisahan Papa-Mama yang kadang masih ... kenapa ya harus pisah? Oh easy, ini bukan berarti aku nggak sayang Bunda, King, dan Queen, ya! Aku juga masih belum bisa nerima seratus persen kalau jadi dewasa artinya aku harus membagi-bagi kehidupan. Kalau kadang aku kesepian. Dan ... ada ketakutan sedikit tentang skripsi. Kadang aku mikir, kalau skripsiku beres, aku lulus, terus aku gimana? Kerja dan hidup sendiri? Aku suka ide itu, tapi aku juga takut sama fakta bahwa nanti aku nggak 'bergantung' sama orang tua lagi.

Aku menoleh, memandangi Saki dengan perasaan bingung.

Saki, lo harus tahu, setiap hari, lo kasih sesuatu buat gue.

Dan gue nggak menyesal sama sekali Bunda ngenalin kita.

"Ki."

Kepalanya menoleh.

Aku mencondongkan tubuh dan mengecup pipinya cepat. "Menurut gue, orang pacaran boleh kecup pipi." Aku tersenyum. "Thank you."

Dia ... bergeming cukup lama, sebelum akhirnya balas tersenyum dan bilang, "Aku suka kamu aktif gini."

What?

Sebelumnya aku off kah?




---

apakah Saki juga udah terjebak sama Uthi kayak yang dia bilang soal temen-temennya uthi? saatnya ketawa lucu; awokwokwok

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top