CHAPTER 11

Kegiatan apa yang paling bikin kamu bahagia dan ... bikin kamu ngerasa fully charged?

Kalau aku sebenarnya jawabannya tergantung; aku happy banget kumpul sama teman-temanku, keluar, nonton bioskop, makan, main wahan, apala-apalah lainnya. Yang penting jangan sendirian? I'm not sure, karena aku kayaknya belum beneran coba menikmati waktu sendirian, di luar. Nah, kalau sendirian di dalam kamar? Ohhhhh jangan coba-coba mau adu deh, aku bisa betah lama-lamaan di kamar, sendirian.

Tapi, sejak awal aku bilang hidup agak sedikit berbeda, kan?

Ada dua manusia kecil yang bikin rumahku nggak bisa disebut sepi. Itu juga bikin aku nggak bisa kalau seenak jidat di dalam kamar lama-lama. Aku harus keluar kamar buat momong dau adik, buat menemani mereka selagi Papa-Bunda sedang melakukan ... apa pun deh. Makanya, hiburanku kadang cuma keluar rumah.

Nah, ini menarik nih.

Saki ini, hidupnya ofkors agak berbeda denganku. Dia lebih senang menghabiskan waktu di area 'amannya' yaitu rumah atau kamarnya—tapi hebatnya, nggak pernah keberatan tiap menemaniku keluar. Main game di depan komputer, makan, bantuin Mamanya bikin kue, antar kue ke pelanggan yang bisa dijangkau, nonton di platform online, kerja ... kalau bisa dari rumah. Tapi nggak mungkin, dia membantu usaha papanya yang jelas nggak akan beres kalau dikerjakan depan laptop.

Aku jadi ingat dia bilang syarat importir daging sapi yang seabrek-abrek. Mulai dari kapasitas gudang dan instalasi karantina sementara, gimana kinerja realisasi impor tahun sebelumnya, pengalaman importasi daging, kepemilikan alat, dan apalah apalah.

Oh anyway!

Omonganku sudah ke mana-mana, intinya aku mau bilang, kalau kadang ... it's not always about you, but people who you love. Ummm, aku memang nggak tahu ya soal cinta-cintaan antara aku dan Saki, karena kami menjalani agak beda dari hubungan normal biasanya yang ketemu, tertarik, PDKT, ditembak jadian. Jelas ada cinta di sana. Aku dan Saki? Perasaan di tiap fase pendekatan itu nggak ada, akibatnya, nih setiap mau ketemu dia aku senyam-senyum melulu.

Contohnya hari ini, kami mau double date!

Tebak sama siapa?

Temannya Saki?

Bukan dong.

Sama kembarannya. Alfauzan itu, lho! Yang Saki bilang panggilannya Al itu kenapa dia nggak dipanggil Al juga, biar meski kembar, nama beda kali.

Ummm, fine, biar aku jelasin sebelum pikiranmu ke mana-mana dan bilang aku jilat ludah sendiri lah, apalah-apalah. Aku udah memikirkan ini lumayan mantep. Setiap malam, aku menatap langit-langit kamar dan berpikir sangat keras, bahkan skripsiku kalah jauh, huhu. Bagian paling meyakinkan, aku akhirnya diskusi sama Bunda dan Papa, meminta pendapat mereka. Aku jelaskan semua keresahan dan pertimbanganku.

Here we are! Ide untuk dimulai dengan kenalan sama kembarannya Saki dulu. Yaaa karena kan, biasanya, kalau anak muda lebih bisa nyambung dan paham maksudku, jadi nggak terlalu kasih pressure aku harus gimana-gimana. Jadi, nanti dipikir kelanjutannya setelah sama Al aman.

Rutinitas seperti biasa; Saki datang ke rumah, ngobrol sebentar dengan Papa-Bunda—kalau mereka ada, kemudian kami akan ... wait, dia ganti mobil? Aku menoleh, menatapnya bingung. Dia sepertinya memang great learner, ya, langsung tahu makna dari bahasa tubuh dan bahkan ekspresiku.

Saki senyum, "Mobil Papa."

"What?" Kamu tahu, kan, ini pemikiranku ke mana?

"Mobilnya dipake Al—"

"Kita bisa naik motor, atau janjian ojek online dan bisa ketemuan di sana. Saki, terus Papa lo gimana? Mobilnya lo bawa jemput cewek yang bahkan nggak siap-siap ketemu dia, hm? Nanti kalau dia—"

"Uthi, take a breath."

Aku nurut lagi! Menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya bahkan sebelum dia memberi instruksi.

"Aku udah lakuin itu, karena aku udah tau kamu bakalan kaget kayak gini." Dia tersenyum geli, aku jadi ikutan deh. "Mama kekeh, katanya biar kamu aman dan nyaman, toh mereka hari ini nggak ke mana-mana."

"Ngoheeey!" lirihku, pada akhirnya pasrah. "Look at me, how do I look?" Aku meringis melihatnya kebingungan dengan pertanyaanku. "Sekarang lo tau, kan, kenapa gue udah takut duluan main ke rumah lo? Karena baru ketemu kembaran lo yang bahkan di luar aja, gue segini rempongnya?"

Dia tertawa pelan. "You look perfect."

"Karena gue pacar lo."

"Ya justru karena itu makanya jadi pacar."

Aku meninju lengannya. "Bisa banget nih pangeran kodok!" Mukanya memerah, bikin aku ngakak sampai masuk ke mobil. Baru berhenti setelah dia menyalakan mesin dan musik ke-play. Tebak lagu siapa? It's Versace on The Floor by Bruno Mars!

Saki menoleh, kemudian sebelah tangannya dengan cepat dan cekatan mengganti lagu sambil bergumam, "Liriknya nggak bagus."

Aku tertawa. Bahkan Bruno Mars belum sampai di lirik anu-nya, lho, Saki keburu sensi. "Ki, tell me about your twin, dong. Biar gue ada gambaran dan nggak gugup-gugup amat."

"Namanya Al—"

"Ki?" Aku menatapnya lelah. "Jangan nama, kan, gue udah tau. Lebih personal, spesifik gitu."

"Sori," katanya sambil tersenyum. "Ummm, apa yang pengen kamu tahu? Aku bingung jelasin dia yang gimana."

"Dia suka Chiki Ball juga?" tanyaku sambil menunjuk snack di dashboard. Padahal ini mobil papanya, tetapi dia tetap aja bawa tuh snack gonjreng. Aku tahu alasannya tetap sama; buat jaga-jaga kalau macet, dia suka sambil ngunyah itu.

Kepalanya menggeleng.

"Oh jadi kalian nggak kembar-kembar amat, ya." Kami sama-sama tertawa. "Gimana sama pakaiannya? Favoritnya sama kayak lo?" Dia refleks melihat pakaiannya sendiri dan aku buru-buru meralat. "Eh jangan salah, I loooooove your outfit. Lo aneh tapi gue suka banget."

"Beda. Dia lebih suka kaos oblong ketimbang polo shirt."

Aku menganggukkan kepala. "His comfort food?"

"Yang itu sama, sup ayam."

"Gemes sih kalian." Saat dia melirikku terlihat tidak suka, aku langsung mengangkat tangan ke udara. "Itu tadi pujian secara general, nggak ada maksud apa-apa. I swear to God. Betewe, kalian ambil jurusan yang sama?"

"Aku belum cerita, ya, kalau dia nggak lanjut kuliah?"

"Oh!" Aku menggeleng. "Tapi dia bantuin papa lo juga kah?"

"Kalau dia bisa ya dibantu, jadwalnya dia kan beda dan kayaknya dia lebih sibuk dari aku."

"Apa sih dia?"

"Pilot." Dia menoleh, kemudian tersenyum. "Tapi belum captain, masih apalah-apalah."

"Sakiiiiiii!"

Dia tertawa pelan. Obrolan kami berhenti sampai pada pemaklumanku akan kalimat Saki tadi tentang karir kembarannya—ya karena masih muda lho! Jalannya masih panjang. Kami sampai di basement mall, dan Saki bilang ternyata Al sudah sampai di restonya lebih dulu. Aku dan Saki membiarkan Al dan pacarnya yang memilih restoran ini dan pilihan mereka adalah restoran Jepang.

Paling aman, I know.

"Itu mereka," kata Saki entah padaku atau waiter yang membantu kami menemukan meja atas nama Alfauzan.

Senyumku yang tadinya lebar seketika hilang menyadari siapa gadis yang sekarang berdiri di sebelah Al, terlihat menyambut kami. Aku refleks melihat diriku sendiri dan mendesah dalam hati. Aku seperti melihat contoh surga dan neraka. Dia gadis cantik dengan pakaian soleha, maksudku, dia mengenakan hijab pashmina warna hitam, mengenakan kaca mata yang cocok dengan hidung mancungnya. Mukanya adem sesuai dengan pakaiannya. Lihatlah aku, malah mengenakan blazer casual dan wrap skirt, sepaha. Meski warna pakaianku cream-adem, tap ... kamu jelas tahu maksudku. Si Al sih malah kebalikanya, saat dia menghampiriku, aku menyadari celana jeans robek-robeknya itu, dia juga pakai kaos. Pakaian bad boy, ya. Ini kenapa kami jadi kelihatan pasangan yang tertukar sih?

Aku melirik Saki, menatapnya memelas dan teriak dalam hati untuk membawaku minggat dari sini sebelum aku pingsan dengan tidak menawan karena menahan rasa malu.


---

aduh gusti. gimana gaesss, mau lanjut kaaah?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top