CHAPTER 10

ekspresiku baca Saki-Uthi:
🦋🤝☺️🗿🥵😈



"Good night, Bud!" Aku melambaikan tangan pada King yang sudah siap untuk ke kamarnya bersama Papa. Gosok gigi, baca buku, dan rutinitas kecil-kecilan sebelum tidur. Sementara Bunda sedang di kamar bersama Queen.

Me????

Mau keluar untuk menyiksa di—ummm, wait, Papa memanggilku. Aku yang sedang mau main handphone langsung noleh, memintanya menjelaskan apa yang dia maksud. Dia cuma bilang, "Take care of yourself, jangan malem-malem banget." Yang langsung kurespons dengan memberinya gestur hormat. Aku mau melanjutkan ceritaku tadi soal menyiksa diri. Yang kumaksud adalah aku mau kontrol my braces nih! Setiap habis kontrol, biasanya akan sakit paling lama seminggu deh, gigi rasanya ketarik-tarik dan mau mangap aja bencana. Hmmmm, bayangin, itu tiap bulan. Belum lagi PMS yang dirasakan tiap bulan juga. Mati-mati jadi cewek, kayak gini masih banyak yang bilang cewek itu lemah, hih, pengen aku setrum mulut atau kelaminnya.

Mungkin kamu penasaran kenapa aku belum jalan juga sekarang? Dan kenapa ke dokternya malam-malam? Harusnya kamu sudah tahulah jawabannya. Pertama, jam malam dipilih karena aku menunggu Papa-Bunda di rumah. Kedua, kenapa belum jalan, ya aku nunggu pacarku yang kayaknya semua love language dia embat.

Nah! Ini orangnya telepon.

"Halo, Ki?"

"Hai. Uthi, aku lupa ngabarin ... ummm, maksudku nanya, aku bawa motor, is it okay? Jadwalku bentrok sama Al, aku yang salah, harusnya dia yang memang bawa mobil."

Aku menutup mulut untuk menahan tawa. "Sori, Ki, gue nggak level naik motor." Tiba-tiba aku mendengar suara kendaraan lain. Ini dia sudah jalan apa gimana? Dia nggak telepon sambil mengendarai, kan? Tapi aku masih mau ngerjain dia dulu.

"Sori?" tanyanya, kedengaran bingung dan ragu.

"Iya, kalau nggak mobil, minimal buraq lah."

Dia tertawa pelan, canggung, dan mungkin merasa aneh dengan jokes-ku.

"Jangan bilang ini lo telepon sambil jalan?"

"Enggak kok, aku berhenti dulu. Ini beneran nggak pa-pa naik motor?"

"Nggak pa-paaaaaaa. Seru kali, date naik motor."

"Sip. Thank you. Aku udah mau sampe nih."

Mataku seketika melotot. Terus maksudnya tadi kalau aku beneran nggak mau naik motor, dia balik lagi gitu? Padahal sudah mau sampai rumahku. Nih orang selain unik dan aneh, emang kayaknya seneng capek dan pusing anaknya, ya. Kalau aku sih tadi jemput aja, sudah terlanjur, kan. Urusan yang dijemput nggak mau bisa dibicara—ya kalau perkara motor aja nggak mau, sentil aja nggak sih ginjalnya? Heran, yaa kecuali memang ada keadaan medis yang mengharus—eh tapi mungkin ada, lho, di dunia ini yang memang nggak pernah-mau naik motor?

Ya, kan?

Bel rumahku berdering, aku langsung cengar-cengir sambil jalan buat membukanya. There he is! Standing right in front of me. Senyum tipisnya muncul, yang aku sudah terbiasa melihat itu jadi tidak berani komen kalau senyumnya kurang lebar. Karena, lama-lama, dan dipikir-pikir, setelah dirasa-rasa, manis banget kok.

"Aku pamit sama Papamu dulu, boleh?"

"Oh dia lagi nidurin—"

"Hai, Saki!"

Mendengar suara Papa, aku refleks menoleh ke belakang, dan memberi celah untuk Saki memasuki rumah. Dia bersalaman dengan Papa dan ngobrol sebentar. Kemudian pamit setelah mendengar permintaan yang sama; hati-hati. Yang aku tahu maknanya banyak banget. Hati-hati berkendara. Hati-hati dalam bertindak, apalah-apalah, banyak deh.

Kami langsung berangkat setelah tadi aku izin ganti baju dulu. Oh easy, ini bukan gimana-gimana, ya, tapi angin malam tuh entah gimana kadang bisa sangat jahat. Enak sih adem di badan dan wajah, anginnya mantap. Tapi, seringnya bikin masuk angin. Aku nggak mau menikmati sakit gigi abis kontrol ditambah masuk angin pula. Makanya, aku memilih pakai set hoodie yang jadinya matching deh sama Saki.

Bedanya di celana, dia pakai celana selutut.

Hoodie kami sama-sama warna cream.

"Wait, waiiitttt!" Sebelum menutup kaca helm, aku menginterupsinya sebentar. Ini penting dan aku tidak mau ada kesalahpahaman. "Gue mau disclaimer, naik motor itu bikin kuping banyak orang bolot, okay? Ini bukan kode gue buat minta naik buraq beneran—" Aku tertawa, dia juga tertawa pelan dan menundukkan kepalanya sambil memegang hidung. Dia kalau ketawa atau malu-malu mukanya merah. I'm so grateful Tuhan ciptain dia dengan kulit sebersih itu. Bukan karena aku diskriminasi kulit atau apa, tapi fase malunya Saki ini sempurna. Udahlah, jangan salah paham mulu sama omonganku, aku mau lanjutin brief-ku buat  Saki. "—tapi gue nggak mau nanti kita salah paham karena gue budeg pas lo tanya atau apa gitu. Clear?"

Dia mengangguk. "Aku juga kalau di motor nggak pernah ngobrol."

"What??? NOOOO!" Aku yang panik sendiri, ekspresinya ikutan bingung. "Bukan gituuuuu!" rengekku—OMG! Mati aku, kamu belum mati, ini level bomnya masih kecil, cuma cukup bunuh aku aja. Aku ngerengek terus-terusan di dekat orang ini? EW! Super Ew! "Kita harus ngobrol, Ki. Gue bakalan tidur di motor kalau nggak ngobrol."

"Tapi nggak aman dan kamu juga nggak akan denger?"

Aku kicep.

He's right.

Tapi aku nggak mau begitu.

Jadi, aku menaik-turunkan kaca helm. "See? Ini tuh ngebantu banget. Gue bilang mostly budeg, bukan yang totally tuli, sori, tapi maksud gue—lo paham, kan, Ki?"

"Okay, paham."

"Good! Are we clear?"

Dia tersenyum, mengangguk.

"Kalau gitu, lesgoooooo!"

"Kamu bisa naik motor tapi?" tanyanya, sambil menurunkan step motor untuk kakiku. Dia mendongak, seolah menunggu jawabanku. Kemudian meraih yang satunya.

Sementara aku tertawa mencemooh. "BI.SA!"

"Mobil?"

"Heh! Gue bisa semua, ya! Lolos bikin SIM, tanpa nembak."

"Keren banget pacarku."

"Sakiiiiiiiiiii!" Aku melotot, menoyor lengannya sambil lihat kiri kanan, dan mendengar suara gemuruh. Apa tuh? Oh isi hati dan kepala aku yang yang lagi kelabala ke sana-sini karena salah tingkah, brutally. "Jangan godain kayak gitu."

Ekspresinya serius, "Nggak godain kok."

Oh ini anak ngomong kayak gitu tadi serius? Bikin makin salah tingkah aja, ya amploooppp gini amat pacaran di usia remaja enggak, dewasa belum layak. Bingung mau berekspresi gimana, hadeh! Saking berusaha menutup gerogi, aku buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Gue tuh bisa apa-apa sendiri tau, Ki!" Dia menoleh, selesai memasang helm-nya. "Gue sebenernya cocok kali, ya, gabung sama SJW di Twitter yang suka kesel sama cowok ituuuu, yang bahkan 'We need no man' itu. Yang katanya cowok cuma bikin produksi air mata, ganggu karir, apalah-apalah ituu."

"Terus kenapa pacaran?"

"Karena mau," jawabku sambil tertawa pelan. "Mungkin gue bisa ngelakuin semua sendiri, mungkin gue nggak butuh-butuh banget cowok karena ada banyak bantuan selagi gue kenal manusia lain. Tapi gue mau cinta-cintaan, sayang-sayangan, diboncengin pake hoodie couple yang nggak couple gini, dianterin kontrol. Pokoknya, butuh atau enggak, gue mau ada laki-laki dalam hidup gue. Oleh karena ituuuuuuu, gue cari yang konsekuensinya paling bisa gue terima, gue cari yang terbaiikkk sambil coba jadi yang ter—ummm, kayaknya kita udahin obrolan ini, gue skripsi aja belum kelar sok-sokan ngomongin siapin diri jadi lebih baik."

Saki tersenyum, lumayan lebar. "Kamu memang kelihatan berusaha jadi lebih baik kok, Thi. Ngelawan rasa males ngerjain skripsi pelan-pelan, momong dua adik yang aku tau nggak mudah. Berusaha manage kehidupanmu; sama temen, di rumah, dan sekarang berusaha sama aku. Kamu bilang kamu kadang ngerasa nggak punya temen deket, tapi kamu hebat karena nggak bikin mereka kerasa ada jarak itu. Kamu bangun relasi yang bagus. Kamu hebat."

"Demiiiii," lirihku, tia-tiba mau nangis. "Oh lo nggak akan tau sebesar apa artinya semua ucapan lo itu buat gue. Ah sial, gue mau nangis."

"Nggak pa-pa. Mau nangis dulu, aku tungguin?"

Aku tertawa, menepuk lengannya, kemudian mengajaknya untuk segera jal—"KIIIIII, kita harus ngebut kalau enggak gue telaaaaattt!"





***


"Sakit?"

Aku tertawa pelan, berjalan menghampirinya yang duduk di sofa tunggu, dia buru-buru berdiri, menyeimbangiku. Handphone-nya langsung dimasukkan ke kantung celana. "Sekarang mah belum kerasa tau, nanti baru."

"Tadi kontrolnya berjalan lancar?"

Aku mengangguk, kami menuruni tangga untuk berjalan ke pembayar. "Yang bawah dipasang karet tarik apalah tadi dokter bilangnya, soalnya kan, kemarin ada yang renggang. Nah, tadi tarikannya keras kuat, aku yakin nanti rasanya bakalan mantap." Aku ketawa lihat dia meringis. Kan, yang sakit aku. "Beauty is pain, you know."

Dia mengangguk. "Masih ragu kalau hebat dan berani?"

"Jangan mulai."

Dia tertawa pelan. Tiba-tiba main nyelonong aja.

"Eh, Ki!" Aku tahu ini niatnya mau ngapain. Badannya mundur setelah kutarik agak kencang, kemudian aku berbisik pelan, berharap tidak ada yang mendengar. "Gue minta anterin tuh bukan minta bayariiiiiiin. Ih, makasih banyak niat baiknya, tapi lo harus paham kadang nggak semua niat baik dampaknya baik."

"Dampaknya apa?"

"Lo kalau bayarin gue sekarang, besok gue minta langsung resepsi, lo mau?" Saat dia melongo bingung, aku tertawa dan memintanya untuk duduk di sofa, sementara aku menyelesaikan pembayaran.

Aku nggak mau dia bayarin bukan karena apa-apa, tapi aku merasa kami belum sejauh itu, dan dia tidak ada kewajiban untuk membiayaiku. Mana pula kami kayaknya sama-sama minta uang dari orangtua pulak! Dia sudah berkorban waktu, tenaga, motor, bensin, dan masih harus bayarin aku?

No.

"Aku tau cara buat redain rasa nggak nyamannya," katanya saat kami berjalan ke parkiran motor.

"Apa tuh?"

"Makan es krim, gelato, apalah-apalah," ucapnya sambil tertawa pelan.

"Heh, ngikut-ngikut!" Aku ikutan tertawa.

"Kamu lucu tau, Thi, kalau ngomong apalah-apalah. Kosa kata kamu tuh ada aja, lucu semua."

Aku membungkukkan badan. "Thank you, Sir. Tolong pelihara saya dengan baik." Aku terbahak sendiri. "Mana ada yaaa SJW pake kosa kata pelihara. Betewe, makan gelatonya di mana?"

"Ayo."

Dia mengajakku ke sebuah cafe gelato, yang tempatnya kelihatan OKE. Maksudku, ini OKE banget! Ini sih seni banget, saking seninya kok aku merasa salah kostum. Kulirik Saki, dia kelihatan nggak masalah, dan aku pun jadi ikutan berusaha santai. Kami jalan ke kasir, memesan dua cups gelato, Saki rasa mangga dicampur tiramisu—ada orang nyampur dua rasa itu selain Saki? Sementara aku memesan cookies n cream.

Setelah membayar—kali ini aku mengiyakan dia yang membayar—kami duduk di kursi outdoor. Jadi, pemandangannya double, dinding cafe yang dibikin keren dengan beberapa tempelan lukisan, juga lalu-lintas jalanan—agak jauh kok jaraknya.

"Enak nggak menurutmu?"

Aku mengangguk. "Thank you. Oh, udah aman belum, sih, kalau gue nanya-nanya tentang keluarga lo?"

Suapannya terhenti, ia tersenyum. "Aman dan boleh banget."

"Ck, sa ae." Aku tertawa pelan. "Lo, kan, udah sidang nih, tinggal nunggu wisuda, rencana lo soal karir lo gimana?"

"Ummm, aku mau bantuin Papa sih, emang dari awal aku sama Al mau coba kembangin usaha kami."

"Usaha apa?"

"Importir daging sapi."

"Oh blantik sapi?" Kami sama-sama tertawa. "Kidding, ngomongin importir daging sapi, gue jadi inget saudaranya temen gue sama tuh. Eh disebut sama sepupunya blantik dong."

"Mungkin emang di daerahnya taunya namanya itu. Nggak pa-pa sebenernya."

Aku mengangguk-angguk. "Ini udah mulai terjun?"

"Sebenernya kalau mulai sih udah dari kuliah ... semester berapa, ya, aku lupa. Papa suka libatin aku sama Al juga."

"Unik, ya," lirihku. "Usahanya impor daging sapi, nyokap lo demennya masak-masak yang PO sesuka hati. Keluarga lo emang BEST."

"Keluarga kamu juga best."

Aku tergelak.

"Kamu sendiri gima—" senyumnya hilang, dia langsung mingkem, kemudian berdeham beberapa kali. "Kamu mau nambah lagi?"

Aku menyisihkan rambutku, kemudian tertawa lepas. "Lo mau tanya rencana karir gue? Kenapa nggak jadiiii? Takut gue kesinggung, ya? Biasa aja kok, yaaa ... gue sih rencananya nggak seekstra sikap gue, ya. Gue cuma mau nanti kerja, dapet duit, dah."

"Nggak pengen kejar passion kamu?"

"Duit. Jadi gue akan kejar dia ke manapun."

Dia tertawa, menundukkan kepalanya.

Sementara aku lagi sibuk menyingkirkan rambutku ke belakang sekali lagi. Ya amplop, kuubek-ubek tas guedeee ini dan ternyata nggak menemukan apa yang kucari. Biasanya aku selalu siapin benda-benda yang kubutuhkan, itu kenapa tasku ukurannya harus besar. Apa aku ambil dan berniat ganti stok tapi lupa, ya? Susah cepol rambut tanpa ikat rambut tuh, lepas melulu.

Yaudahlah.

Waktu aku lihat Saki angkat pandangannya lagi, dia menyodorkan sesuatu; ikat rambut kecil, warna pink. "Kamu kelihatan suka keganggu kalau lagi makan, mungkin karena rambutmu panjang. Jadi, aku selalu jaga-jaga bawa ini. Dan hari ini kayaknya kamu butuh?"

Aku terdiam, lebih tepatnya terkesima.

Gimana bisa ini anak bisa sepeka dan sesopan itu? Dia selama ini bawa dan nggak berusaha menunjukkan kepeduliannya, tapi dia kasih di saat aku beneran butuh. Kayaknya, keputusan random-ku buat mengiyakan ajakan coba-cobanya adalah salah satu keputusan random terbaik.

Saki, kamu nggak susah buat disukai kok.

Aku tersenyum manis. "Thank you." Kemudian mencepol rambutku cepat supaya bisa menikmati gelato lagi.

Kepalanya mengangguk, kemudian pujian lain keluar dari mulutnya yang entah gimana terasa sangat tulus dan ... kupu-kupu di dalam perut itu menjadi nyata lagi. Katanya, "Sekarang jadi cantik banget dan nggak akan keganggu lagi nikmatin gelatonya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top