9. Enemy has been slain!
Terdengar suara tembakan tiba-tiba memecah keheningan ruang tengah, membuyarkan suasana damai dalam sekejap.
"Tolong, tolong!" Pekikan panik Bi Ijah menggetarkan semua orang di dalam ruangan, termasuk Adena yang merasakan tubuhnya gemetar sekaligus terpenuhi rasa cemas.
Jevian yang awalnya sedang menyaksikan Adena berlatih, sekarang tersentak dan panik. Ia melihat sekitar dengan mata berbinar, mencari tempat persembunyian atau jalan keluar yang aman di tengah situasi yang mendadak kacau. Ia merasa terkepung oleh kompleksitas dan ukuran istana yang tak dikuasainya.
Tatapan tajam Xenon membuat Jevian menegang. "Jevian, kamu jaga Adena. Jika sampai Adena terluka atau mati, kamu akan saya bunuh."
Belum sempat Jevian mengeluarkan suara untuk menyampaikan sesuatu, Xenon, Candra, dan Sonny sudah bergerak cepat menuju ruang tengah. Adena yang juga terbawa suasana, merasa khawatir dan bingung dengan apa yang terjadi.
"Jevian, gue takut...," bisik Adena, suaranya penuh dengan kepanikan.
Jevian dengan sigap mencoba menenangkan Adena. "Tenang, lo aman sama gue." Dengan sikapnya yang penuh keyakinan, ia mencoba memberikan rasa perlindungan kepada Adena di tengah kekacauan yang melanda.
***
Tak lama kemudian, atmosfer ruang tengah bergolak dengan datangnya Jeffrey dan Richard yang tiba-tiba membuat keributan di dalam rumah. Richard memegang sebilah pisau kecil dan menempelkannya di dekat leher Bi Ijah. Setiap gerakan gadis tua itu tampak terkekang oleh ancaman tersebut, tak berani bergerak lebih jauh agar pisau tidak menyentuh kulitnya.
"Tolong, tolongin Bibi, Nak!" Pekikan panik terlontar dari mulut Bi Ijah, matanya melotot ketakutan seiring pandangan tertuju pada pisau yang berjarak tak jauh dari lehernya.
Tanpa ampun, Richard mencekik leher Bi Ijah dari belakang, mengunci pernapasan wanita itu dengan kejam. Bi Ijah terlihat berjuang untuk tetap berdiri, wajahnya merah padam karena tekanan dan kekurangan oksigen.
"Diam!" Richard menyemburkan ancamannya dengan dingin.
Napas Bi Ijah semakin sulit dan tercekat, matanya melotot dalam ketakutan akibat cengkaman tangan Richard yang mematikan.
Xenon, Candra, dan Sonny tiba tepat pada saat keributan ini terjadi. Xenon melontarkan seruan keras kepada Richard, menginstruksinya untuk melepaskan Bi Ijah.
"Lepaskan Bi Ijah!" tegasnya, mata Xenon menatap tajam.
Namun, suasana menjadi semakin tegang saat Jeffrey mengeluarkan pertanyaan tajam kepada Xenon, mencari tahu keberadaan Yanuar. Xenon terkejut, keberadaan Yanuar memang tak terlintas dalam pikirannya.
"Saya tak tahu, cepat lepaskan Bi Ijah!" Xenon memohon, mencoba menarik perhatian dari situasi yang membahayakan.
Namun, dalam kebisingan adu mulut itu, Ijah menemukan celah. Ia tiba-tiba menggigit tangan Richard dengan sekuat tenaga dan tak ragu menendang bagian paling sensitif pada pria itu. Pisau pun terlepas dari tangannya. Dengan segenap tenaga yang ada, Ijah berlari menuju lapangan tembak, bahkan ketika lengannya tergores oleh pisau Richard.
Richard hendak mengambil kembali pisau tersebut, tapi tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di dagunya. Xenon yang datang lebih cepat memberikan pukulan upper cut yang cukup kuat kepada Richard, merebut pisau dari tangannya. Candra dan Sonny segera mengamankan Richard, memegangnya agar Xenon bisa bergerak leluasa.
Suara tajam terdengar saat pisau menusuk tubuh Richard. Ia mengerang kesakitan, matanya melebar seiring rasa sakit yang membuncah. Dalam sekejap, darah mulai berlumuran, menciptakan gambaran kegelapan di atas tubuhnya. Xenon terus menusukkan pisau itu ke tubuh Richard, dengan hati-hati mengatur gerakan agar tidak ada sidik jari yang tertinggal.
Di sisi lain, Jeffrey memilih kabur dari situasi ini, meninggalkan Richard untuk menanggung akibatnya sendiri.
"Sialan, Jeffrey kabur, Bos!" Sonny memberitahu Xenon tentang kepergian Jeffrey.
"Biarkan dia pergi. Kita tak bisa membunuhnya sekarang. Kekuasaan Pak Agung di negeri ini sangat besar. Kecuali kalau skandal korupsinya terbongkar oleh KPK, mungkin kita punya kesempatan untuk menghancurkan keluarga Jeffrey," kata Xenon dengan nada tegas.
"Bos yakin ketua KPK akan menindak Pak Agung?"
Xenon mengangguk mantap. "Ketua KPK ini tegas dan berani, tidak akan gentar dihadapkan pada ancaman, bahkan dari polisi. Tetapi, jika hanya kasus korupsi biasa, kita tidak akan bisa merusak keluarga Pak Agung, kecuali jika ada skandal penyelewengan dana bantuan sosial, mungkin saja bisa dihukum mati."
"Pak Suparman memang luar biasa." Candra berkomentar kagum.
"Kalian tangani mayat Richard, baunya mulai tercium," perintah Xenon dengan tegas.
"Baik, Bos!" Sonny dan Candra menjawab serentak.
***
Dalam pelukan hangat Jevian, Adena merasa gemetar, sesenggukan pelan terlepas dari bibirnya. Kengerian terpatri di matanya yang sedikit bengkak akibat tangis. Jevian mengusap lembut surai rambutnya, mencoba meredakan keresahannya.
"Tenang, Na. Pasti Xenon bisa ngelawan penjahat itu," ujar Jevian dengan nada berusaha meyakinkan.
Namun, kekhawatiran Adena tetap membayangi. Dia tidak bisa memungkiri perasaan takutnya terhadap Jeffrey, terutama setelah apa yang terjadi tadi. Semua yang diucapkannya hanya berupa bisikan penuh ketakutan.
Tiba-tiba, Ijah muncul dengan napas tersengal-sengal, langkah tergesa-gesa seolah sesuatu yang genting terjadi. Dia segera duduk di samping Adena, napasnya masih terengah-engah. Adena memandang Ijah dengan kebingungan, tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
"Bibi gapapa?" Suara Adena penuh kekhawatiran, matanya mencari jawaban dalam ekspresi Ijah.
"Syukurnya gapapa, Na. Tapi, Bibi khawatir sama Xenon dan bodyguard-nya, takutnya kalah lawan Jeffrey," bisik Ijah dengan nada khawatir.
Namun, Jevian dengan bijaksana mencoba menenangkan situasi. "Tenang aja, Bi. Pasti Xenon bisa ngelawan mereka."
Ijah memberikan senyuman tipis sebagai tanggapan atas usaha Jevian memberikan harapan.
"Lengan bibi kenapa?" tanya Adena melihat lengan Ijah.
Tentu saja Ijah tidak bisa menyembunyikan goresan itu. "Tadi kena goresan pisau penjahat itu," jawabnya dengan suara pelan.
"Ayo aku obati," ujar Adena.
"Tidak usah, Nak. Lagipula, ini hanya luka kecil."
***
Diam-diam, Adena berada di dalam kamar. Kegelisahan masih merayapi setiap sudut pikirannya, trauma dari kejadian tadi masih membekas. Semenjak dia tiba di rumah Xenon, kedamaian tak pernah sepenuhnya menjadi teman setianya, terlebih lagi saat ia harus berada dalam dekat pria seperti Xenon. Dengan pandangan kosong, dia menatap keluar jendela seperti mencoba mencari ketenangan di balik jendela yang menatapinya.
Namun, suara dari pintu kamar membuat jantungnya berdegup kencang, dan pandangannya langsung tertuju pada Xenon yang memasuki kamar. Matanya terbuka lebar kaget saat melihat pria itu. Tubuh Xenon berlumuran darah, seperti seorang petarung yang baru saja keluar dari pertarungan sengit. Adena merasa seperti dalam film horor, hanya saja ini nyata dan jauh lebih menegangkan.
Xenon menatap gadis itu dengan ekspresi bingung. "Kenapa dia berlari seperti itu? Aneh."
Adena, masih penuh dengan kekagetan, merasa hampir tak bisa bernafas. Dia memutuskan untuk menyelamatkan diri dan berlari ke kamar mandi dengan cepat. Rasanya seperti melihat sosok zombie di tengah malam, bukanlah Xenon yang biasanya terlihat begitu rapi dan karismatik.
Di dalam kamar mandi, Adena menghela napas lega. "Untung gue langsung masuk kamar mandi," gumamnya dengan suara pelan. Dia merasa sangat beruntung karena telah menyelamatkan diri dari pemandangan yang cukup mengerikan. Dalam hati, ia berharap bahwa Xenon segera membersihkan diri dan berubah menjadi sosok yang lebih biasa lagi.
***
"Adena, mau sampai kapan kamu diam di kamar mandi? Saya sudah selesai mandi di kamar sebelah, kamu tidak keluar," desak Xenon, suara penuh kegelisahan terdengar dalam suaranya.
"Saya takut lihat badan kamu isi banyak darah!" jawab Adena dengan suara cemas, seolah tak ingin menghadapi kenyataan di luar pintu.
"Wah, sudah mulai berbicara dengan saya-kamu, huh?" Xenon menjawab dengan nada suara yang agak mengejek.
"Saya serius, Xenon."
"Saya juga serius, Adena. Badan saya sudah bersih, kamu tenang saja," ujar Xenon dengan sabar, mencoba meyakinkannya.
"Sungguhan?" Adena bertanya ragu, kecemasan masih menyelimutinya.
Xenon menghela napas. "Iya."
Dengan hati-hati, Adena membuka pintu kamar mandi, namun matanya tetap terpejam, ketakutan dan kecemasan masih terasa. Ia belum siap untuk menghadapi pemandangan mengerikan yang mungkin ada di luar.
"Buka mata kamu, Adena," pinta Xenon dengan nada lembut.
"Tidak mau!" tolak Adena keras kepala, enggan membuka mata.
"Cepat buka mata atau tidak saya bisa macam-macam sama kamu."
Ancaman itu membuat Adena akhirnya menuruti. Dengan perlahan, ia membuka matanya, tetapi wajahnya masih menahan ekspresi takut dan khawatir. Xenon tampak seperti biasa, namun Adena merasa ada yang aneh. Dia mengernyit bingung.
"Sudah berani sama saya, Honey?" goda Xenon sambil tersenyum.
"Sudah terbiasa dengan sifat kamu yang suka mengancam." Adena mencebik kesal, merasa cukup tegar untuk memberikan balasan.
Xenon tertawa mendengarnya. "Kamu mandi dulu. Setelah urusan saya selesai, saya mau bicara dengan kamu."
"Kamu mau ke mana lagi?" tanya Adena penasaran.
"Nanti saya kasih tau, jangan banyak tanya," jawab Xenon sembari berlalu pergi.
Adena mendengus frustasi. "Iya, ya, yang penting kamu pergi."
Pertukaran dialog itu berakhir dengan suasana yang berbeda dari sebelumnya. Meskipun masih ada ketidaknyamanan dan rasa takut, setidaknya Adena mulai menunjukkan bahwa dia tak begitu saja bisa diatur oleh Xenon.
***
"Kamu taruh di mana si Yanuar?" tanya Xenon pada Harris melalui sambungan telepon, suaranya terdengar tajam dan penuh tekanan. Di seberang sana, Harris terdengar tenang, seolah tak terpengaruh dengan nada Xenon.
"Saya asingkan ke pulau pribadi kamu, dia tak mungkin tahu jalan ke luar dari sana," jawab Harris dengan nada santai, seakan merasa yakin dengan tindakannya.
Xenon menggertakkan giginya. "Kenapa bisa? Jarak ke sana jauh, tak mungkin kamu bisa secepat itu mengasingkan dia."
Harris tersenyum meremehkan, meskipun Xenon tak bisa melihatnya. "Arjun yang membantu saya. Kami tahu lah jaringannya luas, apalagi dia ketua Poseidon, kelompok pembunuh bayaran, urusan seperti itu pasti gampang dia selesaikan."
"Bisa-bisanya kamu tak koordinasi dengan saya tentang ini."
Harris tertawa kecil, nyaris mengabaikan marahnya Xenon. "Santai, nanti kamu tinggal ganti saja duitnya setengah."
"Anjing kamu!" serunya. "Iya, nanti saya ganti. Ngomong-ngomong, bagaimana kamu kemarin dengan Donna?"
Harris menghela napas, seakan tengah mengenang momen itu. "Jujur, awalnya saya tak mau, tapi saat dia tipsy, dia sangat menginginkan saya."
Xenon mengernyitkan dahi. "Terus, Donna sekarang di rumah kamu?"
"Iya. Kamu main ke sini, sekalian ambil topeng sintetis yang kamu pinjamkan ke saya guna menyerang rumah Jeffrey kemarin."
Xenon mengangguk meskipun Harris tak bisa melihatnya. "Besok kamu harus ceritakan kronologi lengkapnya, saya masih tak percaya kamu bisa menyelesaikan misi ini secepat itu."
Harris menggaruk kepalanya, mencoba merasa cuek. "Baiklah," ujarnya. "Saya hari ini mau ke club dulu dengan Arjun, saya malas mengajak kamu soalnya tidak pernah mau tiap saya ajak ke sana."
"Yang di rumah sudah bikin saya puas."
———————————————————————
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top