28. Trampoline

Breaking News

"Anggota DPR RI, Levi Pradinata Ditembak Oleh Orang Tak Dikenal."

"Anggota DPR RI, Levi Pradinata ditembak oleh orang tak dikenal. Keadaannya saat ini tengah kritis. Banyak masyarakat menduga ia ditembak karena memberitahu informasi mengenai keberadaan Agung Mahatma," ucap sang reporter.

Berita di televisi membuat Xenon, Harris, dan Arjun menghela napas kesal. Mereka sudah mengira bahwa Kepala Kepolisian Solihun memiliki peran dalam penembakan tersebut. Mereka merasa ingin menghilangkan Solihun, karena dia menjadi penghalang kuat dalam upaya menangkap Agung Mahatma.

"Sialan, mereka memang jahat," ujar Xenon dengan rasa frustrasi, tak bisa menerima bahwa orang-orang itu berusaha menutupi bukti atau bahkan menembak seseorang.

Arjun mengangguk setuju, wajahnya terlihat bingung. "Saya tak mengerti apa yang ada dalam pikiran mereka. Mereka benar-benar bodoh. Semakin mereka melakukan tindakan teror dan membuat kehebohan, semakin rusak juga reputasi mereka."

"Kalau orang sudah terdesak, biasanya pikiran mereka menjadi kacau," sahut Xenon.

Arjun mengangguk, setuju dengan pendapat Xenon.

"Arjun, bagaimana dengan Pak Suparman? Dia baik-baik saja, kan?" tanya Harris kepada Arjun.

"Beruntungnya dia baik-baik saja. Mereka mengatakan sudah berada di Singapura sekarang. Polisi Singapura juga telah memberlakukan pengawasan ketat terhadap mereka agar tidak bisa keluar dari negara itu," jawab Arjun.

"Semoga kasus ini segera terpecahkan. Saya tak sabar ingin membahagiakan Adena sampai akhir hayatku," ujar Xenon.

Xenon tersenyum saat mengenang momen kemarin. Akhirnya, Adena mau menerima hubungan mereka tanpa paksaan. Dia tahu perasaannya tidak hanya nafsu belaka, melainkan cinta tulus kepada Adena. Dia bersedia melakukan apa saja demi kebahagiaan Adena.

Harris menggelengkan kepala. "Bukankah kemarin Adena sudah kamu buat bahagia sampai menjerit kenikmatan?"

Ekspresi kaget muncul di wajah Xenon. "Kamu melihat kami tengah bermain?"

Melihat reaksi Xenon, Harris tertawa halus. "Tidak, hanya mendengar suara ada yang melompat-lompat di atas tempat tidur seperti bermain trampoline."

"Ah, dibilang bermain trampoline." Arjun ikut tertawa.

***

Suasana dalam ruangan begitu tegang ketika Jeffrey dengan keheranan bertanya kepada ayahnya, Agung, mengapa mereka tidak melarikan diri sekarang setelah mengetahui bahwa Pak Suparman sudah tahu keberadaan mereka di Singapura.

Pertanyaannya mencerminkan kebingungannya mengapa Agung tiba-tiba pasrah untuk menyerah pada situasi, padahal sebelumnya ayahnya begitu tegas ingin kabur dan menghindari penangkapan.

Agung dengan tenang mencoba menjelaskan alasan di balik keputusannya yang terlihat begitu mengejutkan itu. "Jangan khawatir, Pak Solihun akan membantu kita. Dia akan melakukan segala yang diperlukan untuk membuat situasi semakin rumit dan mempersulit kasus ini. Itulah sebabnya saya memilih untuk menyerahkan diri."

Jeffrey menahan rasa sinisnya. Agung selalu punya cara untuk mendapatkan kebebasan dari semua kejahatannya. "Oh, so this is another plan, right?"

Agung mengangguk mantap, mengambil rokok dan mengeluarkan sejumput asap melalui gumpalan tembakau itu. Ia menyeruput nikotin dengan tenang sambil menjawab, "Indeed, this way I can still retain my wealth and power."

Jeffrey merasa heran bagaimana Agung masih bisa memikirkan hal-hal seperti kekayaan dan kekuasaan di tengah situasi genting seperti ini. Namun, ia tahu juga bahwa tanpa dukungan finansial dari sang ayah, ia tak akan mampu melumpuhkan Xenon.

Sebetulnya, pendapatan Jeffrey sebagai selebgram sudah jauh melampaui kebutuhannya. Namun, dia memiliki kebiasaan boros, sering membeli barang-barang branded hanya untuk memamerkannya di postingan Instagram.

"Apakah Papa tidak merasa takut dalam situasi seperti ini dan yakin bahwa Pak Solihun benar-benar akan membantu Papa?" tanya Jeffrey dengan rasa ingin tahu yang begitu besar.

Agung menatap tajam pada anak satu-satunya. "Kamu meragukan kemampuan Papa?" Langkah kaki Agung mendekati Jeffrey, tangan kasarnya meraih kerah baju anaknya, memaksanya untuk menunduk pasrah. "Dasar anak durhaka yang tak mengenal hormat!" teriaknya dengan nada marah.

Jeffrey mengepalkan tangannya, merasa menyesal karena telah mengutarakan keraguan pada ayahnya. "Maaf, Papa, saya tidak bermaksud meremehkan Papa."

Agung melepaskan cengkramannya dengan kasar, melepaskan kerah baju Jeffrey. "Kamu masih beruntung karena masih mendapatkan pasokan dana dari saya."

Pria berbadan kuat itu kemudian meninggalkan ruangan menuju kamarnya, sementara Jeffrey masih memandanginya dengan tatapan penuh amarah. Lama-kelamaan, perasaan tak terima karena terus dianggap remeh oleh ayahnya semakin membuncah. "Andai saja kamu bukan Papa saya, sudah kumusnahkan dirimu dari dulu."

***

Nina dan Yanuar kimi duduk di ruang makan, mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Nina sibuk menggigit roti tawar berlapis selai kacang sembari mengetik di depan layar laptop, sementara Yanuar tampak terfokus pada layar ponsel di hadapannya.

"Yanuar, kenapa akhir-akhir ini kamu selalu bermain ponsel?" tanya Nina yang juga merupakan sepupu Jeffrey. Wajahnya mencerminkan rasa penasaran, mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang mencurigakan.

Yanuar terkejut oleh pertanyaan tiba-tiba itu, berusaha menampilkan senyuman yang seolah tidak bersalah. Ia sebenarnya bekerja untuk pihak Xenon, membantu dalam mengumpulkan informasi tentang keluarga Mahatma tanpa diketahui oleh siapapun, termasuk Nina. "Ah, tidak apa-apa. Hanya sedang mengecek beberapa berita terbaru perihal kasus Pak Agung."

Nina mengangguk sambil mengunyah rotinya. Wajahnya berubah menjadi serius. "Asal kamu tahu, saya benci dengan orang-orang yang berkhianat, jahat, dan serakah."

Nada bicaranya mungkin terdengar santai, tetapi ada sesuatu dalam matanya yang mengindikasikan bahwa dia benar-benar serius. Pandangan tajam Nina membuat Yanuar merasa seperti dalam sorotan lampu terang, merasa bahwa rahasianya hampir terbongkar.

"Iya, Nina, saya mengerti." Yanuar berusaha menjaga ketenangan meski perasaannya bercampur aduk.

Nina tersenyum dengan senyuman setengah sinis. "Kalau kamu memang memegang prinsip itu, pasti kamu akan baik-baik saja. Saya dukung kamu kalau kamu berusaha berada di jalur yang benar." Dengan kata-kata itu, dia menepuk-nepuk pelan kepala Yanuar, seolah memberikan semacam dukungan.

Yanuar merasakan desiran angin di belakang telinganya dan berusaha tersenyum dengan cukup percaya diri. Tetapi, hatinya masih berdegup kencang karena merasa sedikit terancam. Dia tahu bahwa saat ini dia sedang bermain di antara dua kubu yang sangat berlawanan.

Nina beranjak dari kursinya dengan santai dan menarik kursi yang sebelumnya diletakkan di dekat dinding, seolah memberikan ruang di antara mereka. Sambil menyandarkan punggungnya pada kursi, dia memandangi Yanuar dengan tajam. "Ingat ucapan saya tadi, Yanuar."

***

Sang Kepala Kepolisian—Solihun berdiri di samping tempat tidur di rumah sakit yang di mana Levi Pradinata—anggota DPR RI yang baru saja tertembak keadaannya berangsur pulih. Matanya masih terpejam akibat luka tembak yang dialaminya. Solihun yakin bahwa Agung adalah otak di balik upaya pembunuhan ini. Namun, dia sama sekali tidak tahu tentang rencana tersebut. Sejujurnya, dia bahkan tak pernah memikirkan untuk menembak Levi Pradinata.

Dalam kamar rawat inap, Solihun hanya bisa memandangi situasi dari balik jendela. Di dalam kamar hanya keluarga Levi Pradinata yang boleh berada di sana. Solihun sendiri hanya datang untuk menjenguk sebagai bentuk formalitas agar citra dirinya sebagai pejabat negara tetap terjaga dengan baik.

Saat ponsel di sakunya bergetar, Solihun segera mengambilnya. Nomor yang tak dikenal tertera di layar. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan tersebut. Mungkin saja itu adalah rekan lamanya yang baru saja mengganti nomor telepon.

"Marilah kita tidak perlu basa-basi. Saya tahu bahwa Anda saat ini bersekutu dengan keluarga Mahatma. Jika Anda tidak ingin saya membocorkan rahasia ini, maka Anda harus berpihak pada saya." Suara di ujung telepon berbicara tegas.

Solihun menahan tawa sinis. "Berapa miliar yang Anda tawarkan agar saya berpihak pada Anda?"

"Saya siap membayar dua kali lipat dari yang ditawarkan oleh Pak Agung kepada Anda."

Solihun terkejut oleh nominal yang dia dengar. "Anda serius?"

"Betul sekali. Saya bahkan memiliki informasi tentang semua praktik pungutan liar Anda terkait SIM dan sejumlah skandal lainnya. Saya tahu segalanya."

Solihun berpikir sejenak. Transfer dana besar seperti itu bukanlah hal yang sepele. "Transfer dana tersebut terlebih dahulu, lalu saya akan mempertimbangkan untuk berpihak pada Anda."

"Tidak. Saya ingin melihat bukti bahwa Anda benar-benar akan bekerja sama, baru setelah itu saya akan men-transfer dana. Saya memiliki pengaruh besar di negara ini. Jika Anda bekerja sama dengan saya, saya bisa membantu Anda menutupi semua skandal yang melibatkan Anda."

Solihun merenung beberapa saat, ragu apakah orang di seberang telepon ini dapat dipercaya atau tidak. "Baiklah. Saya bersedia berpihak pada Anda. Beri tahu saya apa yang Anda inginkan."

Suara di ujung telepon tertawa. "Ternyata Anda begitu bersemangat. Tenang saja, saya akan memberi tahu Anda misi yang harus Anda lakukan. Agung Mahatma harus dihukum mati, terutama setelah ada bukti bahwa dia telah melakukan korupsi dalam skala besar."

Solihun tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. "Apakah Anda seorang ahli hukum yang mengetahui Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?"

Fyi, pasal itu berbunyi: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

"Jangan berpura-pura bodoh. Di era digital seperti sekarang, semua orang bisa mencari informasi hanya melalui internet. Pertanyaannya adalah apakah Anda sanggup melakukannya?"

Solihun menghela nafas dalam-dalam. "Baiklah, saya terima misi ini. Tapi ingat, transfer dana tersebut."

***

Adena merasa tubuhnya masih terasa pegal ketika Xenon duduk di sisinya. Ia mengamati ketika Xenon meletakkan sepiring nasi goreng dan segelas air mineral di atas nakas.

Xenon tadi telah memberitahu Donna bahwa Adena tidak merasa enak badan, sehingga wanita itu memilih untuk tetap berada di dalam kamar. Meskipun Donna hanya mengangguk, ia tahu sebenarnya alasan itu bukanlah penyebab Adena sakit. Suara gesekan dan pergerakan di kasur telah memberi petunjuk bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar sakit. Pasti ada pertempuran di dalam kamar kemarin malam.

"Masih pegal?" tanya Xenon dengan penuh perhatian saat dia duduk di samping Adena yang tengah rebahan. Di atas nakas, ia meletakkan sepiring nasi goreng yang dibawakan oleh Donna, lengkap dengan segelas air mineral.

Adena mengangguk lemah. Dalam usahanya untuk mendapatkan posisi yang lebih nyaman, dia memindahkan tubuhnya agar bersandar pada headboard tempat tidur. "Iya, masih pegal. Bahkan terasa agak sakit ketika dipakai berjalan."

Xenon meraih kedua tangan Adena dengan lembut. "Maafkan saya, Adena. Ini semua karena saya bermain terlalu ganas kemarin, alhasil kamu jadi sakit."

Adena tersenyum lembut sambil mengusap pipi Xenon. "Tidak apa-apa, Xenon. Kamu kan sudah bilang sebelumnya. Lagipula, kemarin kita bermain ada consent. So, don't feel guilty."

Senyum lega muncul di wajah Xenon. Adena selalu bisa membuatnya merasa lega. Dia meraih piring nasi goreng dari nakas. "Yuk, makan dulu."

Adena melirik piring tersebut. "Satu piring berdua?"

Xenon menggelengkan kepala. "Saya sudah makan tadi saat kamu masih tidur. Porsinya juga cukup hanya untukmu."

Adena mengangguk mengerti. "Oh, begitu. Saya bisa makan sendiri."

Namun, Xenon tampak kesal mendengarnya. "Tidak boleh, Adena. Ingat, saya paling tidak suka dibantah atau ditolak."

Adena mendengus pelan. "Iya, iya!" serunya. "Lagipula, saya hanya kelelahan, bukan lumpuh sampai harus disuapi."

"Sekali lagi, saya tidak terima penolakan," peringat Xenon tegas. "Dan ingat, saya bertanggung jawab di sini karena aktivitas kemarin kamu jadi sakit."

Adena mendengus kesal. "Iya, saya mengerti! Kamu tidak usah terlalu memanjakan saya, saya bukan anak kecil lagi!"

Xenon tertawa, melihat Adena agak kesal. "Saya tahu. Tapi ingat, saya punya hak untuk memanjakanmu."

Adena menggelengkan kepala dengan ekspresi lucu. "Kamu adalah pria paling pintar dalam memperlakukan wanita yang pernah kutemui."

Xenon tertawa riang. "Tentu saja, Adena. Ayo makan dulu."

Adena mengangguk, tersenyum lembut. Mereka berdua mungkin hanya berbicara sebentar, namun sudah cukup untuk membuat suasana hati mereka lebih baik.

🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥

Aduhh ga sabar pengen beresin cerita ini biar lega😭

Kemungkinan nanti plot holenya aku revisi besar2an, tp ga tau kapan. Semoga kalian suka cerita ini ya

Tbc❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top