22. Breakfast
Pagi yang cerah dengan sinar matahari menyapu masuk melalui celah-celah jendela. Sinar pagi itu menyinari kamar, membuatnya tampak hangat dan nyaman. Di dalam kamar yang terang, Xenon sudah terbangun dari tidurnya. Namun, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, sebuah firasat buruk yang mendera pikirannya mengenai orang-orang di sekitarnya.
Jari-jari pria itu mengelus perlahan pahatan wajah Adena, sementara matanya terpaku pada keindahan wanita yang sedang terlelap tidur. Dia melihat wajah Adena dengan penuh kagum, menghayati setiap detail yang membuatnya terpesona. Akhirnya, Xenon tidak tahan untuk tidak menyentuhnya, jemarinya mengelus lembut bibir ranum Adena, membuat gadis itu terbangun dari tidurnya.
Adena perlahan membuka mata, membiarkan pandangannya fokus pada Xenon yang ada di depannya. Ia mengernyitkan dahi heran. "Xenon, what are you doing?"
Xenon tersenyum, tangannya menggenggam lembut kepala Adena dan menariknya agar bisa bersandar di dadanya. Ia menunduk dan mendekap lembut Adena dengan ciuman lembut di keningnya. "I couldn't sleep. Saya belum dapat tidur sama sekali."
Adena mengerjapkan mata, kemudian mengarahkan pandangannya ke wajah Xenon dengan ekspresi bingung. "Apa jangan-jangan manusia yang selama ini kamu bunuh gentayangan?"
Xenon dengan lembut menyentil kening Adena, mengundang tatapan heran dari gadis itu. "Tidak, Adena. Hanya saja, saya punya firasat buruk."
"Firasat buruk tentang apa?" Adena bertanya, wajahnya penuh dengan rasa ingin tahu.
"Entahlah," jawab Xenon. "Tapi janji pada saya kalau kamu akan selalu ada di samping saya."
Adena mengerutkan keningnya. "Xenon, kamu tiba-tiba berkata begitu, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Janji saja, Adena. Berjanjilah pada saya." Xenon masih enggan mengungkapkan alasan sebenarnya.
Meski merasa ada sesuatu yang tersembunyi, Adena akhirnya mengangguk setuju. "Baiklah, saya janji, Xenon."
"Bagus." Xenon tersenyum puas. "Adena, bisakah kamu membuatkan makanan apa saja untuk saya? Asalkan itu masakanmu sendiri."
Adena terkejut. "Kamu ini tiba-tiba saja ingin saya masak?"
"Iya, saya ingin mencicipi masakanmu selain mie instan."
Adena tersenyum sambil menggoda, "Tidak usah memaksa."
Xenon menempelkan perutnya ke belakang Adena dan memeluknya. "Saya hanya ingin kamu yang memasak."
Adena dengan lembut mendorong Xenon. "Baiklah, saya akan ke dapur sebentar."
Xenon ikut berdiri dari tempat tidur, memeluk pinggang Adena dari belakang. "Saya akan menemanimu."
Adena memalingkan wajahnya dan tersenyum. "Terserah padamu."
Xenon tersenyum manis. "Kamu tahu, Adena, saya sangat menyukaimu."
Adena mengangguk, senyumnya semakin melebar. "Saya tahu."
Dengan ucapan yang penuh kasih sayang itu, Adena semakin meyakini bahwa Xenon bukan lagi sosok yang kejam dan bengis seperti dulu.
***
"Xenon, mohon jangan terus memeluk saya, saya merasa kesulitan saat hendak memotong cabai."
Selama beberapa saat, Xenon terus memeluk perut Adena dari belakang, meletakkan kepalanya di sekitar leher gadis itu. Sesekali, bibir Xenon menyinggung leher Adena, memunculkan sensasi geli yang membuatnya tersenyum.
Pagi ini, Adena berniat membuat nasi goreng dengan omelette.
"Saya merasa nyaman, Adena. Saya ingin tetap dekat denganmu," ujar Xenon dengan nada lembut, sambil tetap memeluk.
Adena menghentikan aktivitasnya sesaat dan memutar badannya agar menghadap Xenon. "Namun saya kesulitan berkonsentrasi, Xenon."
Xenon mengusap rambut Adena dengan lembut. "Baiklah, saya yang akan memotong cabainya."
"Apakah kamu yakin bisa melakukannya?" tanya Adena.
Xenon menunjukkan keterampilannya dengan menganggukkan kepala. "Tentu, memotong cabai seperti ini sebenarnya mudah."
Adena menghela nafas. "Baiklah, saya akan duduk."
"Berikan saya ciuman sebelum saya memasak." Xenon tersenyum dan menunjuk bibirnya.
Adena meraih bahu Xenon dan berjinjit. Dengan perlahan, ia mendekatkan bibirnya ke bibir Xenon, menghasilkan senyuman di wajah keduanya.
"Terima kasih, Adena."
Adena hanya mengangguk sambil tersenyum. Kemudian ia duduk di samping meja makan, menyaksikan dengan penuh perhatian bagaimana Xenon dengan cekatan memotong bahan-bahan seperti bawang putih, bawang bombai, dan cabai.
"Ternyata kamu memiliki kemampuan memasak yang baik, Xenon."
"Tentu saja. Dulu saya pernah tinggal seorang diri di apartemen dan terpaksa belajar memasak."
"Ternyata kamu multi talenan."
"Multi talenta, Honey," koreksi Xenon.
"Sama saja!" seru Adena.
Adena duduk di sebelah meja, mengamati dengan antusias saat Xenon berusaha dengan cekatan memotong bahan-bahan yang ada.
Xenon terkekeh kecil, menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari bahan yang dihadapinya. "Baiklah, kalau begitu saya lanjut masak dulu."
"Tunjukkan bakatmu, Chef Xenon!"
Xenom tidak bisa menahan senyumnya. "Jangan banting masakan saya seperti chef terkenal di televisi itu."
"Ah, nanti saya banting saja masakan kamu."
Dia memandanginya dengan tatapan lembut sejenak sebelum kembali fokus pada memasak. "Tidak boleh, nanti saya marah sama kamu," balas Xenon.
Dalam sekejap, aroma makanan mulai menyebar, mengisi ruangan dengan keharuman yang menggugah selera. Xenon mengambil wajan besar, menumis bahan-bahan dengan sempurna. Dia begitu terampil, gerakannya halus dan percaya diri. Setiap irisan sayuran dan bumbu yang dijatuhkannya ke dalam wajan tampak begitu terkoordinasi.
Adena merasa perutnya semakin lapar, dia tak sabar untuk segera menikmati hidangan yang sedang disiapkan Xenon. Setelah beberapa lama, akhirnya Xenon menutup wajan dan tersenyum puas. "Nasi goreng dengan topping omelette, siap disajikan."
Xenon meletakkan dua porsi hidangan tersebut di atas meja makan, Adena tidak bisa menyembunyikan ekspresi senangnya. "Wow, terlihat lezat!"
Xenon tersenyum lembut, merasa bahagia melihat reaksi Adena. "Saya harap kamu akan menyukainya."
"Terima kasih, Xenon," ucap Adena dengan penuh rasa terima kasih. "Tapi, sebenarnya mengapa kamu yang memasak untuk saya? Saya pikir kamu ingin saya yang memasak untukmu."
Xenon menatap Adena dengan tulus, matanya berbinar penuh kehangatan. "Tidak masalah, Adena. Saya senang melakukannya. Saya ingin membuatmu merasa diistimewakan."
Adena tersenyum lembut, merasa tersentuh oleh perhatian Xenon. "Terima kasih, Xenon. Saya sangat menghargainya."
***
Steven dan Surya memandang layar laptop dengan wajah khawatir. Mereka tak bisa menyembunyikan kecemasan mereka atas tindakan yang akan diambil Arjun. Entah berapa kali kalimat itu dilontarkan oleh keduanya secara bergantian, mencoba meyakinkan Arjun untuk berpikir dua kali. Mereka tahu betapa berbahayanya melangkah tanpa mempertimbangkan akibatnya, terutama saat Yanuar telah menjadi target ancaman.
"Bos, yakin mau retas data kepolisian?" tanya Steven dengan nada khawatir.
Surya mengangguk setuju, menambahkan, "Kami khawatir, Bos. Ini bukan hal yang bisa kita lakukan sembarangan."
Arjun tetap fokus menatap layar laptopnya, mengabaikan ketidakpastian yang diungkapkan oleh kedua anak buahnya. "Iya. Kenapa? Kalian takut?" jawabnya tegas.
"Bukan takut, Bos. Kita harus bertindak hati-hati karena kedudukan keluarga Mahatma di negara ini sangat kuat," jelas Steven dengan nada mendalam.
Arjun memijat pangkal hidungnya, merasa lelah dengan perdebatan ini. Dia menghela napas, lalu menengok ke arah mereka dengan pandangan yang penuh tekad. "Oleh karena itu, kita bongkar skandalnya ke masyarakat supaya reputasi mereka hancur."
Steven mencoba mengajukan pertanyaan kritis, "Kalau keluarga Mahatma punya skandal tentang kita dan mereka membongkarnya ke masyarakat, bagaimana?"
"Mental tempe," umpat Arjun dalam keputusasaan. "Saya tak mau tahu, kalau kalian tidak mau membantu saya, setidaknya jangan menghambat saya."
Steven dan Surya saling pandang, merasa tertunduk dalam keputusan Arjun. Mereka tahu bahwa Arjun memiliki alasan kuat untuk bertindak, meski mereka merasa khawatir. "Baik, Bos ...," jawab Steven dengan suara rendah.
Surya mengangguk setuju, lalu menambahkan, "Kami akan mendukung keputusan Anda, Bos."
Setelah itu, Arjun mengambil ponselnya untuk mengirim pesan kepada Harris. Dia merasa perlu mendapatkan dukungan dari orang lain dalam situasi ini.
Arjun:
Harris, apakah kamu sedang sibuk? Kemarin, saya mendapat ancaman dari keluarga Mahatma.
Harris:
Diancam bagaimana?
Arjun:
Sebelum saya pergi ke kelab malam kemarin, mereka meninggalkan amplop berisi foto Yanuar yang terluka.
Harris:
Jadi begitu sebabnya kamu tak memberikan kesempatan kepada Xenon untuk bertindak. Maaf, saya merasa curiga pada kamu.
Arjun:
Itu bodoh! Kamu benar-benar berpikir buruk tentang saya.
Nanti apakah kamu berada di rumah? Saya ingin mampir sebentar.
Harris:
Bisa.
Arjun:
Saya akan datang sekarang.
Harris:
Tapi tadi kamu bilang nanti?
Arjun:
Saya merasa terlalu bersemangat untuk menemui Donna.
Harris:
Jangan pernah berpikir kamu bisa merebut Donna dari saya! Saya akan membunuhmu!
Arjun hanya terkekeh melihat pesan Harris, merasa senang bisa menggoda Harris bahkan dalam situasi serius seperti ini.
***
Di tengah suasana yang mencekam, Jeffrey berbicara dengan penuh keyakinan. "Mereka pasti sedang mengupayakan berbagai cara untuk menyelamatkan Yanuar mengingat Steven dan Surya adalah teman Yanuar," ucapnya, ekspresinya penuh fokus pada situasi yang berkembang.
Jeffrey memiliki informasi tentang hubungan Yanuar dengan Steven dan Surya melalui cerita Yanuar sendiri. Oleh karena itu, dia telah mengambil langkah untuk mengirim foto Yanuar kepada Arjun, tindakan yang diyakini akan membuat Arjun mulai bergerak. Tapi, Jeffrey tak menyadari bahwa Arjun sebenarnya telah membebaskan Yanuar dengan syarat bahwa pria itu harus bekerja sebagai mata-mata.
Agung yang hadir di dekatnya hanya bisa tersenyum bangga mendengar perkataan Jeffrey. "Yanuar memang bisa diandalkan, pintar juga kamu mencari anak buah, Jeffrey," katanya dengan nada pengakuan.
Jeffrey tidak bisa menahan senyum kecil. "Akhirnya, Papa bisa bangga pada saya," gumamnya pelan, merasakan kepuasan mendengar pengakuan dari Agung.
🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥
Tenang aja, bentar lagi ceritanya selesai wkwkk. Jujur ya, aku pengen bgt cepet2 selesaiin cerita ini biar lega. Cerita ini berat banget buat aku tulis sama udah keburu alurnya kecepetan, jadinya aku buat partnya dikit aja xixixi
Tbc❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top