21. Pengkhianat
"Jevian, kamu sedang apa di kamar Bi Ijah?" tanya Sonny dengan tatapan tajam.
Sonny semula hendak menuju kamarnya, namun melihat Jevian masuk ke kamar Ijah, rasa curiga tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Berbagai spekulasi mencuat. Apakah Jevian memiliki hubungan khusus dengan Ijah? Atau mungkin dia sedang mengawasi Xenon melalui Ijah?
Jevian terlihat panik dan canggung, reaksinya semakin memicu kecurigaan Sonny. "Tadi saya mau bertanya soal letak pengepelan, karena tadi saya tumpahkan air di dekat dispenser."
Wajah Jevian yang panik hanya semakin meningkatkan keraguan Sonny. "Tadi waktu saya lewat situ, saya tidak melihat air yang tumpah. Kamu sedang berbohong pada saya, ya?"
Jevian masih berusaha membela diri dengan wajah pucat. "Tidak, saya jujur."
Sonny tak bergeming. Tatapannya semakin tajam. "Kamu berusaha mencari informasi penting tentang Xenon, bukan?"
Jevian terdiam, tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan tajam Sonny. "Tidak," jawab Jevian pada akhirnya.
"Jika kamu jujur, mengapa kamu terlihat begitu gugup? Jangan khawatir, saya tidak akan memberitahukannya pada dia."
"Kenapa kamu tidak mempercayai saya?"
"Saya akan tetap mengawasi setiap langkahmu di sini, Jevian."
Jevian merasa tertekan dengan pernyataan Sonny. "Silakan saja."
Sonny mengernyit, masih tetap tidak yakin. "Saya akan terus memperhatikanmu."
***
Suara musik menggelegar di dalam ruangan, diiringi oleh gerakan tarian erotis yang menghipnotis mayoritas orang di sana. Kegiatan mesra di depan mata umum bukanlah sesuatu yang langka di tempat ini. Bau asap rokok dan aroma minuman keras mengisi udara, menciptakan atmosfer yang begitu khas di malam itu. Xenon ditemani Arjun dan Harris menikmati suasana ini setelah sekian lama absen dari tempat serupa. Sebelumnya, Xenon sudah meminta izin dari Adena untuk pergi ke sana. Meski awalnya ragu, Adena akhirnya mengalah atas bujukan Xenon.
"Akhirnya kamu datang juga ke sini, Xenon," ucap Arjun sambil meniup asap rokoknya.
Xenon memandang Arjun. "Saya bingung."
Harris meletakkan segelas anggur di atas meja. "Kenapa kamu bingung? Seharusnya semua masalahmu sudah mulai reda sekarang."
"Saya bingung. Setiap kali saya bersama Adena, hormon saya jadi naik. Tapi, saya tak ingin merusaknya, saya juga merasa dia tak mau melibatkan diri dalam hubungan lebih intim dengan saya."
"Sekarang saya bertanya, apakah kamu lebih mencintai tubuhnya atau semua yang ada di dalam dirinya?" tanya Harris.
"Keduanya," jawab Xenon lugas.
Arjun mengangguk tahu. "Saya paham, kamu memang mencintai Adena secara keseluruhan, tapi kamu juga ingin menjalin hubungan fisik dengan dia. Kamu ingin lebih dari sekadar make out."
Xenon hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Kalau memang kamu mencintai Adena, cobalah mengajaknya ke tempat yang lebih romantis. Kamu tak perlu pergi jauh, cukup di dekat kolam renang misalnya. Atur makan malam yang romantis untuknya," saran Arjun.
"Saya sudah pernah melakukan itu, tapi pada saat itu saya menunjukkan mayat palsu dan mengancamnya. Jadi, dia mungkin takkan merasa romantis lagi jika saya mengajaknya ke sana," keluh Xenon.
Harris mengernyit heran. "Tunggu dulu, apa maksudmu dengan menunjukkan mayat palsu dan mengancamnya?"
Xenon menggeleng frustasi. "Cerita lama. Intinya, dia mungkin tak percaya lagi pada setiap tindakan romantis yang saya lakukan."
Harris mengangguk tegas. "Saya sudah tak habis pikir dengan kamu. Kamu yang biasanya cerdas, kenapa sekarang malah terjebak dalam situasi seperti ini? Cinta memang bisa membuat orang bertindak bodoh."
Xenon merasa lelah dan bingung. "Ah, saya benar-benar bingung!"
Arjun tertawa. "Sudahlah, kamu ikuti saja saran kami. Besok, coba lakukan yang kami katakan. Percayalah, ini akan berhasil seperti sperma yang tokcer."
"Iya, besok saya coba," sahut Xenon. Dia melirik Arjun dengan tajam. "Ngomong-ngomong, apakah ada update terbaru mengenai keluarga Mahatma?"
Arjun mengangguk serius. "Ada. Nanti akan saya semua informasinya padamu. Tapi sekarang, kamu fokus saja pada masalahmu dengan Adena. Urusan keluarga Mahatma akan saya urus sendiri."
"Saya yang terlibat, jadi saya yang harus menangani," tegas Xenon.
Harris memperhatikan Arjun dengan pandangan curiga. Ada sesuatu yang tidak beres, mengapa Arjun begitu keras kepala untuk menangani masalah Xenon? Tapi Harris memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Rasa overthinking hanya akan membuat segalanya semakin rumit. Ia merasa bersalah karena sempat mencurigai Arjun.
***
Waktu telah menunjukkan pukul satu pagi, namun Adena masih terjaga, khawatir dengan keberadaan Xenon di luar. Adena takut banyak musuh yang selalu mengintai pria itu di setiap kesempatan.
Suara pintu yang terbuka memecah keheningan ruangan, dan langkah kaki Xenon terdengar di atas lantai. Adena langsung menoleh ke arahnya, tumpahan perasaan khawatir memancar dari matanya.
Ia dengan cepat mendekati Xenon. "Apakah kamu baik-baik saja?"
Xenon menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa. Kamu khawatir?"
Adena memalingkan wajahnya, pipinya merona. "Sedikit."
Xenon tersenyum penuh arti. "Tidak perlu malu untuk mengakuinya. Saya senang melihatmu berani bercanda seperti ini dengan saya. Jangan ragu untuk mengungkapkan perasaanmu."
Adena menundukkan kepala dengan senyuman malu-malu. "Iya, maaf...."
Xenon mengangkat dagu Adena dengan lembut agar matanya bertemu dengannya. "Tidak perlu minta maaf terus. Aku suka melihatmu seperti ini. Tapi ingat, lain kali jangan begitu lagi. Setuju?"
Adena mengangguk perlahan. "Baik."
Xenon tersenyum tipis. Tangannya perlahan meraih pipi Adena, membuat wanita itu memejamkan mata. Dengan lembut, Xenon mendekatkan bibirnya ke bibir Adena, memberikan ciuman yang lembut dan hangat. Namun, di saat yang tepat, Xenon mengecup bibir Adena dengan cepat dan ringan.
"Ayo, kita tidur sekarang, Honey."
"Apakah kamu tidak ingin menyikat gigi terlebih dahulu? Bibirmu tercium bau rokok dan alkohol, tadi rasanya seperti berciuman dengan aroma itu."
"Kamu temani saya saja."
Adena mengangguk. "Tentu."
"Kamu berjalan dulu, nanti saya akan mendekapmu dari belakang."
"Seperti monyet yang lagi berpegangan pada pemiliknya."
Xenon mengerutkan keningnya. "Apa kamu menyamakan saya dengan monyet?"
Adena berusaha menghindari perhatian Xenon. "Maksud saya, tingkah lakumu terlihat seperti monyet yang berpegangan. Tapi jangan salah, secara fisik kamu jauh dari monyet, wajahmu tampan dan postur tubuhmu sempurna, layak menjadi model."
Xenon tersenyum mendengar pujian Adena. "Kamu juga sangat cantik. Pastinya suamimu juga harus tampan."
Adena sedikit tersipu. "Mungkin iya."
Dengan rayuan manis yang terlontar dari Xenon, Adena merasa semakin ragu tentang citranya sebagai seorang mafia yang kejam. Namun, di balik semua itu, dia merasa bersyukur melihat perubahan positif yang terjadi pada Xenon. Sesuatu yang dia dambakan sejak lama.
***
"Fuck! Yanuar bodoh!" umpat Arjun sambil mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Ia menatap foto Yanuar yang penuh dengan luka memar dengan ekspresi bingung.
Sebelum menuju ke klub, Arjun menemukan amplop cokelat di depan pintu rumahnya. Setelah dibuka, isinya adalah foto Yanuar yang penuh luka memar.
Di balik foto itu, terdapat tulisan yang menyatakan bahwa jika ia ingin membebaskan Yanuar, ia harus memberikan semua data internal mengenai Xenon. Ia benar-benar tidak mengerti akan kecerdikan keluarga Mahatma. Namun, ia tidak ingin memberatkan Xenon mengingat pria itu sedang bahagia.
Ia memutuskan mengambil telepon genggamnya dari sakunya, jari-jarinya dengan cepat mencari kontak Steven, lalu meneleponnya. Akhirnya, panggilan tersebut terhubung.
"Apa yang terjadi, Bos?"
"Steven, retas semua data kepolisian yang terkait dengan kasus penggelapan dana yang dilakukan Agung, lalu ungkapkan semuanya ke publik. Ini satu-satunya cara agar Yanuar bisa dibebaskan."
"Tapi, Bos. Kita akan berurusan dengan polisi, dan itu mungkin akan mengungkap semua skandal Xenon dan mengancam keamanan Bos. Mari kita pikirkan dengan baik, jangan terburu-buru, Bos."
"Kalau kamu tidak mau, saya yang akan meretas data mereka sendiri."
"Bukan begitu mak—"
Arjun memutuskan panggilan teleponnya.
"Anak buah yang tidak berguna," gumam Arjun.
***
"Make up luka lebam di wajahmu terlihat sangat realistis, Yanuar," komentar Jeffrey sambil tertawa sinis.
Yanuar menggeleng dan menjawab, "Tadi, Nina yang melakukannya," seraya menatap cermin. Sekarang, Nina, sang sepupu Jeffrey sedang membersihkan lapisan make up dari wajahnya.
Jeffrey tersenyum. "Selain jadi pembunuh bayaran, kamu juga cocok menjadi make up artist."
Nina tertawa bangga. "Pastinya! Bakat-bakat saya memang beragam." Ia membersihkan luka palsu di wajah Yanuar, memastikan semuanya bersih. "Baiklah, sudah selesai. Sekarang saya harus menyelesaikan naskah saya, masih banyak tenggat waktu yang harus saya kejar sebelum saya menyetorkannya ke penerbit," ucap Nina sembari beranjak.
"Kamu ini sungguh seorang manusia yang kreatif dan penuh halusinasi," ejek Jeffrey pada Nina sambil tersenyum.
————————————————
Ceritanya makin rumit anjir ASDFGGS. Semoga bisa cepet aku tamatin hhhh
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top