17. Gotcha!

Tw: 18+

Aroma bumbu mie instant menyeruak di ruang makan ini, membentuk lapisan udara yang menggugah selera. Dua buah mangkok berada di samping kompor, siap untuk diisi dengan mie yang sedang dimasak oleh Adena. Xenon duduk di depan meja makan, pandangan tercurah ke arah Adena yang sedang sibuk.

Tadi, pria itu mengeluh lapar, namun situasi tidak memungkinkannya untuk menyuruh Ijah memasakkan sesuatu. Sementara itu, Ijah sedang sakit, sehingga Xenon merasa ragu untuk mengganggu.

Sambil menunggu mie matang, Adena sesekali menoleh ke arah Xenon. Ia merasa pandangan pria itu tertuju padanya, namun tidak ada ekspresi yang bisa dibaca dari wajah Xenon. Perasaan aneh menyelinap di hati Adena, merasa seolah diawasi dalam setiap gerakannya. Namun, ia memutuskan untuk mengabaikan perasaan itu dan fokus pada masakannya.

Melihat Adena sibuk dengan mie, Xenon tanpa sadar teringat akan Mamanya semasa hidup. Dulu, ibu Xenon sangat menyayangi pria itu, dan selalu berusaha melakukan segalanya demi kebahagiaan Xenon. Namun, bahagia itu sirna begitu saja karena sebuah kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa Mamanya.

Xenon masih belum sepenuhnya bisa menerima fakta bahwa kecelakaan itu disebabkan oleh masalah teknis semata. Candra sempat menemukan kejanggalan dalam kecelakaan itu, membuat Xenon merasa yakin bahwa ada sabotase di baliknya. Ia mempertanyakan kebenaran di balik keterangan resmi bahwa kecelakaan itu murni kejadian tragis, tanpa ada niat jahat di dalamnya.

Dahulu, Ayah Xenon adalah seorang pengusaha sukses yang bahkan memiliki saham di klub sepakbola ternama dunia. Namun, tak sedikit orang yang tidak menyukai keluarga Mahatma, Xenon merasa bahwa mungkin saja kecelakaan pesawat itu merupakan akibat dari dendam yang lama terpendam.

Tiba-tiba, terdengar suara dari dapur yang membuyarkan lamunannya. "Aw!" pekik Adena tiba-tiba, dan Xenon langsung terkejut dan bangkit dari kursinya. Ia bergegas mendekati Adena yang tampaknya terkena goresan pisau saat memotong cabai.

"Lain kali biar saya saja yang memotong cabai, nanti tangan kamu tergores," ucap Xenon sambil berusaha meniup perlahan telunjuk Adena.

"Ini tidak seberapa sakit dibanding kamu dulu memaki saya," balas Adena dengan nada canda.

Xenon mendengus, merasa peristiwa itu masih sering diungkit oleh Adena. "Ungkit saja terus."

Tak mau kalah, Adena tetap melanjutkan. "Tentu saja saya akan mengungkit terus. Kamu mengerti tidak bagaimana takutnya saya waktu itu, sehingga saya harus mematuhi perintahmu terus?"

Xenon merenung sejenak, merasa kesal karena peristiwa masa lalu ini sering menjadi sumber pertengkaran mereka. "Sorry, saya waktu itu kesal karena kamu sudah bongkar privasi saya. Sebajingan apa pun saya, kamu tidak berhak mengumbar privasi saya. Lagipula, saya hanya menyewa wanita itu untuk make out, bukan untuk diperkosa."

Adena mendongak, matanya penuh penyesalan. "Iya, maaf. Saya memang salah waktu itu." Ia menatap Xenon dengan ekspresi penuh penyesalan. "Tapi ... memangnya kamu harus memaksa untuk mencium bibir saya?"

Xenon merasa sedikit kesulitan menjawab pertanyaan Adena. Ia menghela napas, mencoba tetap bersabar meskipun perbincangan ini terkadang membuatnya merasa gugup. "Mau sampai kapan kamu bahas itu terus, Adena? Saya janji saya mau berubah."

"Sampai kapan pun saya pasti ingat kejadian itu," balas Adena dengan keras kepala.

"Iya, saya yang salah," ucap Xenon sambil meraih tangan Adena lembut. Ia memandangi tangannya, tangan yang dulu ia paksa untuk melakukan hal yang tidak diinginkan oleh Adena. "Ayo ke wastafel dulu buat cuci luka ini dengan air sabun, biar tidak terjadi infeksi."

Adena mengangguk pelan, "Hm."

Xenon membimbing Adena menuju wastafel dan membantu membasuh goresan di jari tangan wanita itu dengan hati-hati. Adena meringis pelan, merasakan kesakitan akibat goresan tersebut.

"Pelan-pelan, Xenon," desis Adena, berusaha menahan rasa sakit.

"Iya, ini sudah pelan, Adena," ucap Xenon dengan nada lembut, tangannya tetap bergerak lembut dalam membantu Adena.

Adena hanya mengangguk, pandangannya melintas di atas wastafel saat Xenon mencuci luka di tangannya dengan sabar.

Xenon merasa getaran perasaan Adena dan mengelus punggung tangan wanita itu dengan lembut, menyemangati. "Tahan perihnya, nanti juga hilang."

Adena hanya bisa mengangguk, merasakan kehangatan dalam sentuhan Xenon yang penuh perhatian.

Sementara itu, Xenon merasa canggung dalam situasi ini. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri karena pernah menyakiti Adena. Namun, ia juga merasa lega bahwa sekarang ia bisa berada di sini, mengurus Adena dan merawatnya.

Xenon mematikan kompor dan meniriskan mie, kemudian menuangkannya ke dalam dua mangkok. Terakhir, ia menaburkan cabai iris di atas mie dan membawanya ke meja makan. "Biar saya yang menyuapi kamu makan, nanti tanganmu makin perih."

"Iya," ucap Adena dengan senyum kecil. Ia merasa haru dengan perhatian yang Xenon berikan.

Xenon menjawab senyum Adena dengan penuh perasaan. Ia memegang garpu dan menyuapkan sejumput mie goreng ke mulut Adena dengan penuh kelembutan. Ia tidak lupa untuk meniup mie itu agar tidak terlalu panas saat masuk ke mulut Adena.

Adena merasa hangat di hati. "Jujur, saya merasa tidak terbiasa melihat kamu bersikap lembut seperti ini kepada saya."

"Tidak apa, Adena. Saya akan terus berusaha membuat kamu nyaman sehingga kamu jatuh cinta dengan saya." Xenon berkata dengan tulus, berharap satu hari nanti Adena akan benar-benar bisa merasakan perasaannya.

***

Suasana ruangan tersebut terasa kaku, terisi oleh kekhawatiran dan ketegangan yang menghampiri mereka. Xenon duduk di meja kerjanya, suasana tenangnya seperti terusik oleh berbagai hal yang belum terselesaikan. Di antara jari-jarinya, terjepit sebatang rokok yang terus menghiasi ruangan dengan asap yang berkelana.

"Bos, kami sudah menemukan lokasi di mana Harris dan Donna berada." Candra memberikan laporan dengan nada serius, menyerahkan berkas berisi bukti pencarian yang mereka lakukan.

Xenon meraih berkas tersebut dari tangan Candra. Matanya fokus pada isi berkas itu, memeriksa setiap informasi dengan cermat. Setelah membaca dengan saksama, alisnya mengerut. "Jadi, Harris hilang karena diculik?"

Candra mengangguk. "Kami mendapatkan titik lokasi di mana mereka berada."

Xenon mengangkat alisnya, mencoba untuk memproses informasi yang baru saja dia dengar. "Mereka berada di mana?"

"Di dekat pelabuhan ilegal yang berada di perbatasan negara." Sonny menjelaskan.

Pikiran Xenon mulai menerka-neka apa yang bisa menyebabkan Harris dan Donna berada di tempat tersebut. "Baik, besok kalian siapkan keberangkatan. Pastikan Adena tetap aman dan tak mendapatkan tahu terlalu banyak detail."

"Kami akan menjaganya, Bos," jawab Candra dan Sonny dengan penuh tekad.

"Kalian boleh pergi. Sementara itu, saya akan menghubungi Arjun untuk memberikan bantuan tambahan."

"Baik, Bos."

Setelah Candra dan Sonny keluar ruangan, Xenon terdiam sendirian. Matanya menyapu ruangan itu, merenung dalam sepi. Xenon meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, jari-jari tangannya bergerak dengan lincah mencari kontak Arjun dan menelponnya.

"Bagaimana kabar Adena?" Suara Arjun terdengar di seberang sambungan.

Xenon mendengus. "Tidak perlu bertanya tentang Adena."

Arjun tertawa. "Ternyata kamu sudah benar-benar jatuh cinta dengannya, ya?"

Xenon mengalihkan pembicaraan. "Apa penculikan ini ada kaitannya dengan Jeffrey?"

"Yanuar mengatakan bahwa Jeffrey tidak ada kaitannya dengan itu."

Xenon mengerutkan kening. "Lalu siapa yang mungkin melakukan ini?"

"Kemungkinan Harris."

Xenon tertawa kecil dengan nada sinis. "Sulit dipercaya."

"Kamu perlu mempertimbangkan segala kemungkinan, Xenon. Jangan lupakan bahwa Harris yang hilang selama ini. Mungkin dia yang menculik Donna."

"Kenapa dia melakukan itu?"

"Kita tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Apakah kamu lupa bahwa dia tiba-tiba pergi ke kamar mandi, setelah itu ada penembakan di sana?"

Xenon menggeleng. "Jangan menciptakan banyak teori."

"Namun, ada kemungkinan bahwa dia adalah pengkhianat."

Xenon menghela napas, menangkis kecemasan yang mungkin muncul di dalam hatinya. "Tidak mungkin."

Arjun berbicara dengan tulus. "Mungkin kamu tidak peduli saat ini, tapi hati-hati saja. Siapa tahu dia adalah ancaman bagi kamu."

Xenon merasakan ketegangan di dalam dirinya. "Tidak berguna," ujarnya kesal, lalu memutuskan untuk mengakhiri panggilan telepon dengan Arjun.

***

Dalam suasana ruangan yang teduh, cahaya lembut dari lampu samping tempat tidur Adena memancar, menerangi sebagian kamar dengan sentuhan hangat. Aroma wangi kamar mandi dan sabun tubuh masih menyelimuti udara setelah Adena baru saja selesai mandi sebelum tidur. Di sisi lain kamar, cahaya redup dari sebatang rokok yang dinyalakan memancarkan kilauan kemerahan yang menambahkan nuansa misterius dalam ruangan.

Xenon memandang Adena yang sibuk mengatur selimut di tempat tidurnya. Dia mengenakan piyama longgar berwarna merah muda yang cocok dengan kulitnya yang lembut. Dengan lembut, Xenon berjalan mendekati tempat tidur tersebut, tetap mengawasi Adena yang tengah sibuk.

Saat Adena akhirnya mengepalkan tinjunya sebagai tanda puas dengan penataan selimutnya, Xenon sudah berdiri di ujung tempat tidur, berdiri tegak dengan pakaian kemeja putih yang khas dipakainya. Ekspresi seriusnya menyiratkan bahwa dia tengah merenungkan sesuatu. Matanya memancarkan intensitas yang sulit dijelaskan, seperti mencerminkan perasaan yang sedang berkecamuk di dalam dirinya.

Tanpa mengeluarkan suara apapun, Xenon menghampiri tempat tidur Adena, meletakkan tangan kirinya di pinggiran kasur untuk menopang tubuhnya. Dia mengamatinya dengan seksama, mengamati detil kecil dalam gerakan-gerakan Adena yang alami.

Terdengar napas Adena yang teratur dan pelan, menunjukkan bahwa dia sudah semakin tenggelam dalam tidurnya. Tiba-tiba, Adena terbangun seperti memiliki indra keenam bahwa seseorang sedang mengamati dirinya. Matanya yang lelah terbuka perlahan, memperlihatkan pandangan samar terhadap Xenon yang berdiri di samping tempat tidurnya.

Kedua matanya terbuka sepenuhnya ketika suara suara langkah pelan Xenon memecah keheningan di kamar. "Have a nice dream, Honey," ucap Xenon dengan nada penuh cinta dan kelembutan.

Adena mengerutkan kening, seolah tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Namun, nyata adanya, suara itu membuatnya terjaga sepenuhnya. Xenon telah membuka selimut perlahan, seperti menerawang ke dalam tidur Adena dengan perlahan tanpa ingin mengganggu kenyamanannya.

Ucapan Xenon membuat Adena tersadar sepenuhnya. Dia segera membuka mata, memandang Xenon dengan pandangan bingung yang masih terasa berat karena baru saja bangun tidur.

"Kamu tadi pergi ke mana?" tanyanya dengan suara parau yang tak hilang setelah tidur.

"Tadi ada urusan sebentar," jawab Xenon dengan senyum lembutnya. "Kenapa? Rindu dengan saya?"

Adena menggelengkan kepala dengan cepat, pipinya yang merah muda menambah sentuhan kepolosan pada wajahnya. "Tidak begitu, Xenon! Saya hanya bertanya."

Xenon tertawa lembut, ekspresinya penuh dengan candaan. "Tapi kamu bertanya, itu berarti kamu peduli."

Adena mendengus pelan, dengan mata membelalak dalam sindiran Xenon. "Jangan terlalu membanggakan dirimu, Tuan Xenon!"

Xenon tertawa lebih keras kali ini, suaranya mengisi ruangan dengan semburat kebahagiaan. "Tapi yang jelas memang begitu, Honey."

Adena menyipitkan matanya, terlihat antara kesal dan malu. "Tidak!"

Xenon menghentikan tawanya, lalu mengangguk dengan penuh keyakinan. "Adena."

"Iya?"

"Boleh saya minta sesuatu lebih dari kamu?"

Adena mengernyitkan keningnya, dengan penasaran ia bertanya, "Apa maksudnya?"

Xenon mendekati Adena, langkahnya yang pelan menciptakan jarak yang lebih dekat di antara mereka. "Saya ingin menciummu."

Matanya yang dalam dan gelap bersinar dengan hasrat saat dia memandangi Adena, mengungkapkan ketertarikan yang jujur. Pernyataannya membuat hati Adena berdebar lebih cepat, dan wajahnya menjadi merona karena campuran malu dan kegugupan. "Tapi kita sudah pernah melakukannya, kan?" tanyanya dengan wajah yang merah padam.

Xenon tersenyum. "Saya ingin melakukan hal yang lebih dalam lagi."

Adena menelan ludah, merasa jantungnya berdegup lebih cepat. "Baiklah, tapi jangan sampai berhubungan intim. Saya belum siap."

"Tentu, Adena."

Xenon membungkuk perlahan, mengusap lembut pada bibir Adena seolah meminta izin sebelum akhirnya menyatukan bibir mereka dalam sebuah ciuman lembut. Xenon merasakan kelembutan bibir Adena, seolah menggenggam hatinya dengan lembut. Namun, ciuman tersebut tak lama berlangsung karena Xenon mulai meningkatkan intensitasnya, memberikan kecupan yang lebih dalam dan penuh nafsu.

Tangan Xenon meraih lembut pipi Adena, menuntun gerakan bibir mereka yang semakin intens. Rasa getar dan ketegangan menyatu dalam ciuman mereka, menciptakan ikatan yang lebih dalam di antara mereka. Tak ada kata-kata yang diucapkan, hanya desahan kecil yang muncul di antara bibir mereka yang terjalin dalam kehangatan.

Xenon tak ingin terlalu cepat memanjakan diri dengan keintiman yang lebih jauh. Dia melepaskan bibirnya dari Adena, tetapi pandangannya tetap dalam dan penuh dengan hasrat. Dia membiarkan tangannya bergerak lebih rendah, memeluk pinggang Adena dengan lembut, tetapi penuh dengan kepastian.

Adena menatap Xenon dengan napas yang terengah-engah, masih terhanyut dalam suasana yang dipenuhi oleh sentuhan dan rasa ciuman mereka. Matanya yang lelah dari tidur tampak berbinar-binar, mencerminkan kegugupan dan ketertarikannya pada saat yang sama.

Xenon menuntun Adena untuk duduk di tempat tidur, memeluknya dengan lembut. Dia merasakan getaran dalam dirinya, rasa bersemangat yang begitu besar untuk merasakan kehadiran Adena lebih dekat lagi. Namun, dia tahu harus mengendalikan diri dan memberikan Adena waktu untuk merasakan kenyamanan dalam hubungan mereka.

"Look at me, Adena," bisik Xenon, suaranya lembut dan mengandung sentuhan penuh cinta.

Adena mematuhi permintaan Xenon, menatap matanya yang penuh dengan rasa cinta dan hasrat. Dia merasakan jantungnya berdegup semakin cepat, seolah melompat riang di dalam dadanya.

"Suck it," pinta Xenon, menawarkan jarinya yang terulur dengan lembut kepada Adena.

Adena merasa perutnya berdesir, cemas tapi juga merasa penasaran. Dengan kelembutan, dia menjulurkan lidahnya untuk memainkan jarinya, merasakan rasa getar yang mengalir dalam tubuh Xenon melalui sentuhan lembut itu. Tangan Xenon yang bebas merasakan denyutan nadi Adena yang cepat, memberinya petunjuk betapa berpengaruhnya tindakan Adena padanya.

Setelah permainan yang penuh hasrat dan kelembutan, mereka berdua akhirnya merasa puas dengan momen intim mereka. Xenon berbaring di samping Adena, dengan napas yang sedikit terengah-engah. Dia tersenyum tulus, melihat ke arah Adena yang juga merasa bahagia.

"Thanks, Adena," ucap Xenon dengan suara yang lembut dan penuh rasa syukur.

Adena hanya tersenyum, merasa lega dan damai di pelukan Xenon. Dalam momen itu, mereka merasa bahwa perjalanan hubungan mereka telah mengambil langkah yang lebih dalam, penuh dengan keakraban dan rasa saling percaya. Di dalam kebersamaan itu, mereka menemukan kenangan yang begitu berharga, sebuah titik awal dari perasaan mereka yang sesungguhnya.

—————————————————————-

Jgn lupa vomment ya syg

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top