16. The Traitor
Kamarnya terasa hening, hanya diisi oleh gemericik pelan dari langkah Xenon yang mendekat. Adena duduk di pinggir kasur dengan pandangan tegar, menolak untuk bicara ataupun melirik ke arah Xenon. Bagi Adena, rambutnya adalah mahkota berharga, dan kehilangan rambut seolah berarti merobek harga dirinya sendiri, terlebih lagi dengan potongan rambut yang tak berbentuk seperti ini.
Xenon memilih untuk memberi Adena waktu dan ruang untuk marah. Dia tahu, menghadapi wanita dengan sabar tidak selalu menjadi pilihannya, tetapi kali ini, dia ingin melihat seberapa lama Adena dapat mempertahankan sikapnya. Meskipun masalah ini mungkin tampak sepele, Xenon memilih untuk merenung dan menunggu.
Dalam keheningan kamar, Xenon mulai mengamati postingan Instagram yang telah dia arsipkan. Rindu menjadi selebgram muncul dalam benaknya, mengingat ribetnya mengurus endorsement, membalas komentar, dan menjawab direct message yang terus berdatangan. Melihat kembali dunia yang telah ditinggalkannya membuatnya merasa seperti ada yang hilang dari hidupnya.
Setelah puas bermain ponsel, Xenon menyelipkan perangkatnya ke dalam saku celana. Kemudian, dia berjongkok di depan Adena, mencoba memperoleh perhatiannya. Adena sempat terkejut, tetapi dengan cepat dia berusaha untuk cuek dan mengalihkan pandangannya.
"Kamu masih marah pada saya?" tanya Xenon dengan suara lembut.
Adena masih enggan memberikan jawaban.
Xenon memegang tangan Adena dengan lembut, mengecup kedua tangan itu dengan lembut pula. "Mau sampai kapan kamu marah pada saya?"
Adena menengok ke arah Xenon, wajahnya tampak sinis. "Sampai kamu bisa mengembalikan rambut saya."
Xenon menghela nafas dalam. "Bagaimana caranya, ya?"
"Pikirkan sendiri."
"Baby...."
"I'm not your baby," sahut Adena dengan nada tajam.
Dengan lembut, Xenon menyisir rambut Adena menggunakan jari-jarinya, matanya penuh dengan kelembutan saat memandangi wajah wanita itu. "Kalau kamu sudah tidak marah lagi, cari saya di ruang kerja."
Adena tetap diam, tak ada reaksi apapun, tetap memendam rasa kesal dalam hatinya. Xenon mengerti bahwa Adena masih marah padanya.
Perlahan, Xenon berdiri, tangan terulur untuk mengelus lembut rambut Adena. "Satu hal yang perlu kamu tahu, I fall for you, Adena." Setelah mencium lembut kening Adena, Xenon berjalan menuju pintu dan meninggalkan kamar, meninggalkan Adena dengan keraguan dalam hatinya.
***
Xenon berdiri di ruangan kerjanya, menatap layar ponselnya dengan nada kecewa. "Arjun, apakah keberadaan Harris dan Donna sudah ditemukan?"
Di seberang sana, Arjun mendengus. "Belum, Dude. Kayaknya mereka disembunyikan di tempat terpencil, tidak mudah untuk mencari keberadaan mereka."
Meskipun terdengar informasi yang kurang menggembirakan, Xenon mencoba untuk memahami situasi yang sulit saat ini. "Baiklah, kasih tahu lagi kalau ada perkembangan. Adena terus nangis, dia bawaannya kepikiran sama Donna."
Arjun mendecak. "Sepertinya kamu udah kelewat gila dengan Adena."
"Memang."
"Apakah Adena merasakan yang seperti kamu rasakan?"
Xenon merasa tertohok, teringat kata-kata kasar yang pernah keluar dari mulutnya dan menyakiti Adena. Dia merenung sejenak, merenungi perubahan besar yang harus dia lakukan demi wanita yang dicintainya.
"Saya yang menganggap dia sebagai istri saya, tapi Adena tidak melihat saya sebagai suaminya."
"Kamu banyak berubah, Xenon. Saya tak menyangka kamu akan all out demi wanita itu. Kalau memang Adena tidak mau dengan kamu, lebih baik dia dengan saya saja."
Nada ancaman Xenon langsung mencuat. "Kalau kamu berani mencoba merebut Adena dari saya, akan saya cincang 'phyton'-mu. Saya tidak pernah main-main dengan perkataan saya, Arjun."
Namun, ancaman itu justru memicu tawa riang dari Arjun. "Tidak pernah main-main? Ingat, dulu kamu bilang tidak akan jatuh cinta dengan Adena, tapi sekarang kayaknya kamu cinta mati dengan dia."
"Jangan bicarakan Adena lagi," peringat Xenon dengan nada datar.
Namun, Arjun justru semakin semangat menggoda. "Adena, Adena, Adena!"
Kesabaran Xenon mulai habis, ia langsung memutuskan sambungan telepon tanpa kata perpisahan apa pun. Berbicara dengan Arjun memang seringkali hanya memicu kekesalan dan membuatnya semakin frustasi.
***
Adena duduk di pinggir kolam renang, membiarkan kedua kakinya terendam dalam air yang tenang. Ini adalah momen langka bagi Adena untuk merenung dan mencoba meredakan pikiran setelah berbagai kejadian yang baru-baru ini menghantamnya. Setelah berhadapan dengan Xenon, dia merasa semakin bingung. Meskipun Xenon mengaku jatuh cinta dengannya, tetapi Adena merasa sulit untuk mempercayainya. Dia tak ingin terjebak dalam permainan pria itu.
Adena merasa frustasi, mempertanyakan mengapa dia harus terlibat dengan Xenon dalam segala urusan yang rumit ini. Dia melihat ke dalam air kolam, merenungkan pilihan-pilihan yang tersedia. Walaupun Xenon telah berubah, Adena tak bisa membuka hatinya begitu saja. Bagaimana bisa dia mencintai pria yang sudah menghancurkan kebebasan hidupnya? Tetapi, di sisi lain, dia juga tak punya banyak opsi.
Terbayang dalam pikiran Adena, sebuah strategi untuk menggoda Candra dan Sonny dengan daya tarik sensualnya agar mereka bisa membantu Adena keluar dari situasi ini. Meskipun pikiran itu hanya sekejap dan tanpa niat untuk dilakukan, Adena merasa tertawa kecil atas pemikiran itu.
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat menghentikan lamunannya. Adena mengangkat kepalanya dan melihat Jevian yang sudah duduk di sebelahnya.
"Adena, kenapa lo melamun? Biasanya ngebucin sama Xenon," ucapnya dengan senyum lebar.
Adena mengernyit, menyesuaikan diri dengan kehadiran Jevian. "Gue lagi berantem sama Xenon."
Jevian mengangkat alisnya. Ia mengayunkan kakinya ke dalam air, menemani Adena. "Rambut lo kok aneh gitu?"
Adena menyentuh rambutnya yang baru saja diubah bentuknya oleh Xenon. "Dia hair dryer-in rambut gue terlalu deket, jadinya rambut gue nyangkut di hair dryer."
Jevian mengangguk paham. "Mafia ternyata bisa nyambi jadi tukang salon."
"Ngawur banget lo, nanti dibawain pistol baru tau rasanya."
Tanpa membuang waktu, Xenon melempar gelas plastik ke arah Jevian yang membuatnya mengusap kepala dengan sakit. Adena segera mengusap kepala Jevian dengan lembut, mengalihkan pandangan dari Xenon.
Xenon menyentuh pundak Adena dengan lembut, mencoba mendekat. "Ayo masuk kamar, Adena."
Adena menatap tajam ke arah Xenon. "Tidak mau."
Jevian tertawa mendengar dialog mereka. "Kalo Adena gak mau, jangan dipaksa."
Xenon tidak bisa menahan ekspresi kesalnya. "Ini masalah rumah tangga, jangan ikut campur."
Jevian hanya mengangkat bahu dengan santai. "Rumah tangga palsu, huh?"
"Pergi sana!"
Ketika Jevian pergi, Xenon duduk di samping Adena. Ia merangkulnya lembut, mencoba memahami perasaan Adena.
"Kamu benar-benar marah, ya? Saya minta maaf, Adena. Saya tidak menyangka masalah hair dryer akan membuatmu marah seperti ini."
Adena melepaskan diri dari rangkulan Xenon dengan ekspresi cemberut. "Ini bukan hanya masalah hair dryer. Saya ingin bebas dan tak mau terikat. Apalagi saya harus berhati-hati dengan seorang pria seperti kamu. Saya takut."
Xenon mengangguk paham, berusaha menenangkan hati Adena. "Saya mengerti perasaanmu, Adena. Bagaimana kalau kamu membantu saya menjadi lebih baik? Setidaknya, saya ingin menjadi lebih baik hanya untukmu."
Adena mengangkat alis, merasa skeptis. "Berbuat baik harusnya kepada semua orang, bukan hanya kepada saya."
Xenon menghela napas. "Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Ayo, ajarkan saya pelan-pelan."
Adena mengangguk lembut. "Baiklah, Xenon."
***
Candra berdiri di balik tembok, mata terfokus pada seseorang yang sedang duduk di ruangan sebelah, tengah berbicara melalui telepon. Ia merasa tak enak, seperti seorang pengintai yang menyelidiki sesuatu yang bukan urusannya.
"Bos, tenang saja, Xenon tak akan tahu kalau saya memata-matainya." Suara yang keluar dari telepon terdengar samar namun cukup jelas untuk didengar oleh Candra.
Candra mengerutkan kening, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. Siapa yang sedang berbicara dengan orang itu? Apa yang mereka bicarakan? Rasa penasaran memenuhi pikirannya, membuatnya semakin tertarik untuk mendengarkan lebih lanjut.
Tak ingin melewatkan kata-kata berikutnya, Candra menempelkan telinganya lebih dekat ke tembok, berusaha menangkap setiap kata yang keluar dari mulut lawan bicara seseorang itu.
"Sejauh ini, Xenon sedang sayang-sayangnya dengan Adena. Bagaimana jika Bos culik Adena? Pasti Xenon akan lebih mementingkan Adena ketimbang usut tuntas semua rahasia keluarga Mahatma."
Candra merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Percakapan ini mengungkapkan rencana yang cukup berani, tampaknya ia sedang mendengar potongan dari suatu rencana besar yang melibatkan Xenon, Adena, dan keluarga Mahatma.
"Baiklah, Tuan," ujar seseorang itu.
Candra merasa geram, ingin tahu lebih banyak lagi tentang rencana ini. Ia merenung sejenak, mencoba menyusun puzzle informasi yang baru saja ia dapatkan.
"Sialan, dia penghianat," gumam Candra dengan perasaan campur aduk. Ia merasa seperti mengetahui rahasia besar, namun juga terjebak dalam sesuatu yang lebih besar daripada yang bisa ia tangani.
Candra terus mengintip dari balik tembok, berharap bisa mendapatkan lebih banyak informasi yang akan membantunya mengungkap kebenaran di balik rencana misterius ini.
——————————————————————
Tbc❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top