12. Attack
Ikan hiu kelelep semen
Jangan lupa ya buat vomment❤️
"Oh, sial, anak buah si pengecut itu mengikuti saya," umpat Xenon, suaranya mencerminkan rasa frustrasinya.
Namun, belum sempat Xenon merespons situasi tersebut, sebuah benturan keras terdengar dari belakang mobil. Mobil Xenon seketika terguncang, dan pandangan mereka beralih ke belakang. Sebuah mobil lain telah menabrak bagian belakang mobil Xenon, dan dari mobil tersebut empat orang keluar dengan kasar, membuka pintunya dan langsung menghampiri mobil Xenon.
"Keluar kamu, Bajingan!" Suara keras yang berasal dari salah satu di antara mereka langsung membuat Adena merinding. Dia bisa merasakan ketegangan dan bahaya dalam suasana tersebut.
Xenon menghela napas dan menggeram, lalu melepas seat belt-nya dengan gerakan kasar. "Kurang ajar, berani-beraninya dia dengan saya."
Namun, Adena merasa panik dan cemas. Dia meraih pergelangan tangan Xenon dengan tegas, matanya memohon untuk tidak pergi ke luar. "Jangan ke luar, bahaya. Saya takut bakal terjadi sesuatu...."
Xenon menatap tajam wanita tersebut, dan dengan kasar ia mendorong tangan Adena dari tangannya. "Saya tidak takut mati."
Setelah itu, Xenon tanpa ragu keluar dari mobil. Ia tidak membawa pistolnya, yang biasa selalu ia bawa, karena sadar kalau di jalan raya ini ada banyak CCTV. Sebagai seorang influencer, Xenon harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam masalah hukum yang lebih besar.
Adena merasa cemas melihat Xenon bergerak ke luar mobil, terutama saat ia melihat salah satu anak buah Jeffrey yang sempat memandanginya. Adena merasa bahwa Xenon akan melindunginya, tapi takut sesuatu akan terjadi padanya.
"Jangan berani sentuh gadis saya. Urusan kalian sama saya, bukan sama dia," peringat Xenon dengan nada tegas.
"Ah, banyak bicara kamu!" teriak salah satu dari anak buah Jeffrey tersebut.
Begitu kata-kata terucap, terjadilah benturan fisik. Xenon memukul salah satu di antara mereka dengan cepat dan tiba-tiba, memicu reaksi dari yang lainnya. Pertarungan pun tak terelakkan, empat anak buah Jeffrey yang tadinya nampak yakin dan bersemangat sekarang terlibat dalam aksi saling serang.
Sementara itu, di sekitar mereka, lalu lintas menjadi kacau balau. Banyak pengguna jalan yang berusaha memutar balik kendaraannya, takut terkena dampak dari pertarungan yang terjadi. Namun, ada juga yang berani berhenti dan merekam adegan tersebut dengan ponsel mereka.
Pertarungan tersebut terus berlanjut. Xenon mampu menghindari serangan dan menyerang balik dengan mantap. Wajahnya yang sudah babak belur tidak menyurutkan semangatnya. Ketika salah satu dari anak buah Jeffrey mencoba melemparkan pisau ke arahnya, Xenon menghindar dengan gerakan lincah.
Xenon melihat peluang saat salah satu dari mereka hendak menembaknya. Ia dengan cepat menendang pistol yang digenggam oleh anak buah Jeffrey tersebut hingga terjatuh. Kemudian Xenon mengambil pistol tersebut dan melemparkannya ke sungai di pinggir jalan, menjauhkannya dari pertarungan.
Tidak hanya menggunakan fisiknya, Xenon juga menggunakan taktik. Ia mengeluarkan senyum sinis, menunjukkan bahwa ia masih bisa melawan meskipun hanya dengan tangan kosong. "Tangan kosong kalau berani!" tantangnya.
Tentu saja, serangan-serangan tersebut juga tak luput dari kesalahan dan kelengahan. Anak buah Jeffrey juga berusaha keras untuk melumpuhkan Xenon. Wajah Xenon yang babak belur dan luka-luka di tubuhnya sudah terlihat, tapi ia tetap berdiri kokoh.
Xenon melihat peluang saat salah satu dari mereka lengah. Ia menggunakan kelemahan itu untuk mematahkan tangan salah satu dari anak buah Jeffrey. Meskipun anak buah Jeffrey lainnya sempat menghentikan serangannya, ketakutan atas kebrutalan Xenon membuat mereka melarikan diri, meninggalkan rekan mereka yang terluka.
Dalam keadaan yang hancur dan terluka parah, anak buah Jeffrey tersebut tergeletak di tanah. Xenon menatapnya dengan dingin, meludahinya dengan perasaan kemenangan. Tepukan riuh terdengar dari para penonton yang terkejut dan terhibur oleh aksi tersebut.
Xenon dengan hati yang masih berdegup kencang, masuk kembali ke dalam mobil dengan perasaan lega. Adena tampak gemetar, air mata mengalir bebas di pipinya. Melihat Xenon kembali masuk ke dalam mobil membuatnya merasa lebih aman.
Ketika Adena menatap wajah Xenon yang lebam dan babak belur, ia tak bisa menahan diri untuk tidak mengucapkan, "Oh my god...."
Xenon menatap Adena tanpa sepatah kata pun. Dia meraih ponsel di saku pintu mobil dan segera menghubungi seseorang. Dia tahu dia harus mendapatkan bantuan.
"Cepat ke sini, saya diserang oleh anak buah Jeffrey," ucap Xenon dengan suara tenang namun penuh urgensi.
"Siap, Bos!" balas suara dari ponsel tersebut.
***
Sampai di rumah, suasana menjadi lebih tenang. Adena duduk di depan Xenon yang sekarang membiarkan wanita itu memperlakukan luka-lukanya. Dengan penuh konsentrasi, Adena membersihkan kulit lebam dan memulas betadine dengan lembut. Luka di wajah Xenon nampak memerah dan memar, membuat Adena merasa rada ngeri, meski rasa simpati tak terelakkan.
Saat Adena menekan kapas dengan lembut pada salah satu lebam di wajah Xenon, pria itu tidak bisa menahan ekspresi kesakitan yang lewat di wajahnya. Namun, Adena menambah tekanan sedikit lebih keras, seperti melampiaskan kekesalannya atas perbuatan buruk yang selama ini Xenon lakukan.
Xenon yang mencubit pinggang Adena membuatnya melonjak dan menoleh. "Sakit, bodoh!" gerutunya.
"Ini udah pelan, kok," sahut Adena dengan alasan seadanya.
Xenon menggeleng dan mendecak, menyadari bahwa Adena sengaja memberikan tekanan lebih. "Saya tahu kamu sengaja."
Adena menggeleng cepat, tampak memelas. "Enggak."
"Saya tidak akan marah, kemarin saya sudah janji dengan kamu kalau saya akan baik dengan kamu."
"Iya, maaf," ucap Adena dengan raut wajah penuh penyesalan.
"Percuma kamu minta maaf, pasti bakal diulangi lagi," Xenon menjawab dengan nada santai, seolah sudah terbiasa dengan perilaku Adena.
Dengan wajah kesal, Adena meraih kapas yang sedang ia gunakan dan melemparnya ke arah Xenon. "Kamu obati saja sendiri."
Namun, sebelum Adena benar-benar meninggalkan tempat itu, Xenon tiba-tiba meraih perutnya dan memeluknya erat. "Jangan pergi, ini perintah."
Sikap tegas Xenon membuat Adena terpaksa berhenti, meskipun hatinya membara ingin pergi. Dia tahu Xenon tidak ragu untuk melakukan apa pun demi memastikan dia tetap berada dalam kendali.
Kedua sudut bibir Xenon tertarik naik, melihat Adena patuh pada perintahnya. Entah mengapa, melihat wanita itu menurutinya membuat hati Xenon tak bisa menghindari senyum tipis. Mungkin, secara perlahan, ada perasaan lain yang mulai tumbuh di antara mereka.
***
Di media massa, pemberitaan Xenon diserang oleh banyak orang dan aksi heroiknya sudah tersebar luas ke seluruh negeri. Aksi tersebut menuai pujian dari netizen, setidaknya nama baik Xenon perlahan mulai pulih. Namun, ada netizen yang salah fokus dengan keberadaan perempuan di dalam mobil Xenon. Banyak yang berspekulasi kalau perempuan itu adalah pacar Xenon.
Polisi kini sedang mengusut tuntas siapa dalang di balik penyerangan Xenon dan apa motifnya. Namun, Agung sudah menyogok pihak kepolisian agar kasus ini tidak melebar ke mana-mana. Selain itu, reputasi Agung sebagai anggota DPR dipertaruhkan karena kecerobohan anaknya.
Jeffrey sedari tadi murka karena anak buahnya gagal untuk membunuh Xenon dan nama baiknya mulai pulih karena pemberitaan yang beredar luas. Mulai dari pukulan, tendangan dan tamparan pria itu berikan untuk anak buahnya. Anak buahnya tak berani sama sekali melawan pria itu karena mereka sadar mereka hanya bawahan Jeffrey.
Jeffrey mengacak rambut frustasi. "Richard sudah terbunuh, Yanuar hilang entah ke mana dan sekarang kalian malah kalah melawan Xenon. Apa setelah ini kalian ingin bernasib sama seperti mereka?"
Mereka menggeleng. "Tidak, Bos."
"Maka dari itu, kerja yang benar. Mau gaji kalian saya potong?"
"Tidak," sahut mereka serempak.
Jeffrey menghela napas sejenak. "Saya pokoknya tidak mau tahu. Bagaimana pun caranya, kalian harus bunuh Xenon. Mengerti?!"
"Mengerti, Bos."
***
Dalam keheningan yang tegang, Arjun menghubungi Steven melalui sambungan telepon. Suaranya terdengar tenang, tetapi tersirat kekhawatiran di baliknya. "Bagaimana situasi Yanuar sekarang?"
Steven melapor dengan suara berhati-hati, mencerminkan fokus dan kehati-hatiannya dalam menjalankan tugas. "Kami sudah memberikan bius pada Yanuar untuk meredam reaksinya, Bos."
Arjun merespons dengan singkat, menunjukkan pemahamannya. "Bagus. Yang penting kita harus menghindari aksi berisiko yang bisa menyebabkan masalah lebih besar."
Steven mengangguk, mengartikan pernyataan Arjun. "Saya akan memastikan kami berhati-hati dalam tindakan kami, Bos."
Arjun memberikan arahan lebih lanjut, sambil tetap memegang kendali situasi. "Ingat, jangan segera ambil tindakan ekstrem terhadap Yanuar. Kita tidak boleh memberi mereka kesempatan untuk melaporkan kita. Lebih baik kita hancurkan mereka secara perlahan dengan memanfaatkan kelemahan keluarga Mahatma."
"Baik, Bos. Kami akan melaksanakan rencana dengan hati-hati dan tidak terburu-buru."
Arjun menegaskan pentingnya rahasia dan perlindungan. "Pastikan keamanan di tempat yang kalian gunakan ketat. Jangan sampai ada yang mengetahui keberadaan Yanuar di sana."
"Kami akan memastikan semuanya tetap rahasia," ucap Steven penuh keyakinan.
Dengan pertukaran kata-kata ini, mereka berdua mengakhiri percakapan. Meskipun Arjun berbicara dengan santai, namun di baliknya, dia benar-benar paham betapa pentingnya menjalankan setiap langkah dengan hati-hati dan menjaga keamanan dalam misi mereka.
***
Di ruang tengah, suasana begitu tegang. Jevian, dengan raut wajah murung, duduk di satu sudut ruangan, menatap Adena yang sedang tiduran di paha Xenon. Ia merasa geram melihat bagaimana Adena diperlakukan semena-mena oleh pria itu. Jevian sudah berusaha berbagai cara untuk membebaskan Adena, tetapi segalanya selalu berakhir dengan kegagalan yang membuatnya semakin putus asa.
Tiap hari di sini, Jevian semakin terpuruk dalam kerinduannya akan kebebasan dan kasih sayang Akira. Pikirannya sering melayang pada wajah manis kekasihnya itu, sementara situasi yang tidak menyenangkan ini terus berlangsung.
Sementara itu, Xenon bangkit dari paha Adena dan dengan sadar merasa sorotan Jevian tertuju padanya. "Siapa yang menyuruhmu diam di sini?" tanyanya dengan nada acuh.
"Tidak ada yang menyuruh," sahut Jevian, berusaha menjaga ketenangan walaupun keberadaannya telah tercium oleh Xenon.
"Sana pergi, bantu Bi Ijah membersihkan kebun," perintah Xenon dengan nada dingin.
Jevian mendengus, kesal, namun memilih untuk pergi ke kebun tanpa protes lebih lanjut. Dalam hati, ia bersumpah suatu saat akan membalas perbuatan Xenon.
Xenon hanya mengedikkan bahu, tampak tidak terlalu memedulikan Jevian.
"Xenon, jangan terlalu keras pada Jevian, dia juga manusia," ujar Adena dengan suara lembut, mencoba membela sepupunya.
Xenon menatap Adena, ekspresinya dingin. "Jangan terlalu memikirkan Jevian, dia tidak sebaik yang kamu kira."
Adena menggelengkan kepalanya dengan ketidakpercayaan. "Tidak mungkin, dia pasti baik. Saya kenal dia sejak kecil."
Xenon mendelik, agak kesal dengan kepolosan Adena. "Setiap orang bisa berubah, Adena. Contohnya saya, saya bisa berusaha baik sama kamu seperti sekarang, tidak seperti saat pertama kali kita bertemu."
Adena mengernyitkan keningnya. "Maksudmu?"
Xenon meraih remote TV dan menekan tombol untuk mencari berita. "Daripada saya mendengar omelan kamu, lebih baik saya menonton berita hari ini. Banyak berita mengenai aksi heroik saya."
Sambil menyaksikan Xenon menatap layar TV, Adena melipat tangan di depan dada dengan sikap kesal. "Pencitraan saja."
"Di media sosial, banyak orang mengira kamu adalah kekasih saya. Saat di pernikahan Dokter Johnny, saya berpura-pura sebaik mungkin agar orang percaya bahwa kamu adalah istri saya."
"Terserah, saya tidak mungkin bisa menolak permintaan kamu."
Xenon menghela napas kasar, mencoba menahan rasa kesal. "Adena, tolong hargai usaha saya untuk berbuat baik dengan kamu. Saya capek marah-marah terus pada kamu. Saya ingin kamu menganggap saya sebagai suami yang sungguhan, bukan suami palsu. Kamu harus tahu bahwa takdir kamu adalah hidup bersama saya. Kamu tidak akan bisa lepas dari saya, berapapun waktu yang berlalu."
Adena mendengus, merasa frustasi. "Kamu sudah gila, ya? Bagaimana saya bisa menganggap kamu sebagai suami sungguhan, sedangkan kamu terus memaksa saya untuk memenuhi keinginanmu."
"Adena, bukan itu maksud saya."
Dengan wajahnya yang memerah karena kesal, Adena memandang Xenon dengan tajam. "Diam."
Xenon mengangkat bahu, merasa sedikit lelah menghadapi Adena. "Baiklah, saya mengerti. Tapi tolong beri saya kesempatan untuk bicara."
Seketika, Adena merasa semakin kesal oleh tingkah Xenon. Dengan sikap emosional, ia bangkit dari sofa, kakinya menapak dengan keras saat ia berjalan menuju ke kamar. Setibanya di depan pintu kamar, dengan segenap kekuatannya, ia membanting pintu itu dengan keras.
Tersandar di dinding, Xenon merenung sejenak. "Astaga, bahkan saat saya mencoba bicara dengan baik, dia tetap ngambek. Wanita itu sama seperti ajal, tak bisa ditebak," gumamnya, ekspresi bingung muncul di wajahnya.
***
"Steven, bagaimana perkembangan situasinya?" Suara Arjun terdengar serius melalui sambungan telepon.
"Kami sudah berhasil mengamankan Yanuar, Bos," jawab Steven dengan nada bersemangat.
"Bagus. Pastikan dia tetap dalam pengawasan yang ketat. Jangan sampai dia memiliki kesempatan untuk kabur atau berbuat curang."
"Kami akan menjaga pengawasan dengan ketat, Bos."
"Juga, pastikan rencana pengiriman dia ke rumah Jeffrey sudah terorganisir dengan baik. Ingat, kita tidak boleh lengah sedikit pun dalam situasi ini."
"Kami sudah menyiapkan semuanya. Semua anggota sudah tahu apa yang harus dilakukan."
Arjun mengeluarkan napas panjang. "Baiklah, saya berharap semuanya berjalan lancar. Kita perlu mengambil peluang ini dengan bijak."
"Kami memahami, Bos. Kami siap melaksanakan rencana ini."
Arjun memberikan penekanan penting. "Pastikan tidak ada yang tahu tentang rencana ini, terutama pihak kepolisian atau siapapun yang bisa membocorkannya."
"Kami sudah berkoordinasi untuk menjaga kerahasiaan, Bos."
"Baik. Jika ada perkembangan apa pun, segera laporkan ke saya."
"Siap, Bos. Kami akan tetap menjaga komunikasi."
Arjun mengakhiri panggilan dengan harapan yang hati-hati. "Jaga situasinya dengan baik, Steven. Ini adalah peluang penting untuk kita."
"Kami akan melakukannya, Bos. Anda tidak perlu khawatir."
Dengan demikian, percakapan mereka pun berakhir. Arjun menyandarkan ponselnya dengan rasa perhatian yang serius. Keputusan dan tindakan yang mereka ambil sangatlah penting, dan setiap langkah harus dijalankan dengan hati-hati dan kebijakan yang tepat.
———————————————————————-
Angan-anganku adalah disayang kamu
Maaf kalo kepanjangan sayangku🥰
Tbc❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top