10. Creepy Dinner
"Yang di rumah sudah bikin saya puas."
Terdengar suara tertawa dari Harris. "Kamu saja belum pernah bermain dengannya, puas dari mana?"
Xenon berdecak. "Setidaknya saya dapat mencicipi bibirnya."
"Tumben kamu tidak mengajak make out wanita? Biasanya pasti kamu mengajaknya make out." Harris bertanya menyelidik. Ia senang memancing Xenon mengaku tentang perasaannya kepada Adena. Harris yakin pasti Xenon mulai ada rasa dengan wanita itu.
"Sebejat-bejatnya saya, saya tak mau main dengan yang perawan, mainnya masih kaku."
"Banyak alasan. Bilang saja kamu mulai sayang dengan Adena."
Xenon capek mendengar Harris ngotot agar ia mengaku bahwa ia sayang dengan Adena. Padahal, ia hanya mempermainkan Adena, tak lebih dari itu. "Saya sekarang mulai bersikap baik pada Adena bukan karena saya sayang, tapi saya memang mau menghamcurkan dia pelan-pelan."
"Saya tak percaya."
"Emang ben—"
Bip!
Xenon menatap kesal layar ponselnya, ia berdecak malas. "Anjing kamu, Harris."
***
Adena merenung dalam keheningan kamarnya, pandangannya kosong saat menatap keluar jendela. Dalam hatinya, ada kegelisahan yang tak kunjung surut. Keinginannya untuk pergi, untuk meraih kembali kebebasannya, semakin membara. Tapi, dia sadar, dirinya terperangkap dalam perjanjian yang telah dijalin dengan Xenon. Hanya karena sebuah kontrak, dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak diinginkannya.
Dia menggigit bibirnya, menekan rasa frustrasi yang muncul. Adena memikirkan tentang masa depannya, tentang bagaimana ia ingin hidup tanpa tekanan, dan bebas memilih jalannya sendiri. Namun, Xenon hadir sebagai penghalang yang tak bisa dihindari. Dia telah menjadi bagian dari hidupnya, walaupun terasa seperti sebuah batu yang mencekiknya.
Adena berpikir keras, mencari jalan keluar dari keadaan ini. Pilihan cerai mungkin adalah solusi yang menggoda, tapi dia tahu itu tidak semudah itu. Terikat dalam perjanjian setahun membuatnya merasa seperti dalam penjara tanpa pagar. Dia menginginkan kebahagiaan dan kebebasan, tetapi kedua hal itu seolah-olah terjauh dari jangkauannya.
Tatapan Adena tiba-tiba terpaku pada cincin pernikahan di jarinya. Dia merasa kontradiksi antara cincin itu yang menghubungkan dirinya dengan Xenon, keinginannya yang begitu kuat untuk melarikan diri dari ikatan itu. Dia merasa terbelenggu, semakin hari semakin sulit baginya untuk mengatasi rasa cemas yang melilit.
Mungkin ada jalan lain, pikir Adena.
Mungkin ada cara untuk mengubah situasi ini. Meskipun kontrak telah diatur, hidupnya masih merupakan hasil dari pilihannya. Dalam hati, dia bersumpah untuk mencari jalan keluar untuk menemukan cara agar dia bisa hidup sesuai keinginannya, bahkan jika dia harus berhadapan dengan Xenon dan perjanjian itu sendiri.
Suara pintu tersebut membuat Adena mengalihkan atensinya. Dia menengok ke arah pintu, rupanya Xenon yang datang. Pria itu berjalan ke arahnya, senyuman miring terpatri di wajah tampannya.
Pria itu memegang bahu Adena, membuat jantung Adena berdegup kencang, takut Xenon berbuat sesuatu yang merugikannya. Kini wanita itu menunduk, tak berani menatap Xenon sedikit pun, perasaannya tak enak.
Xenon mengangkat dagu Adena agar menatapnya. "Kenapa menunduk?"
Adena hanya menggeleng.
"Apapun yang terjadi, jangan pernah pergi dari sini, di luar sana bahaya," peringat Xenon.
Adena mengangguk. "Iya, Xenon."
Adena sendiri tak yakin akan jawabannya, tapi dia iyakan saja karena tak ingin dimarahi oleh Xenon.
Xenon tersenyum senang karena Adena patuh akan perkataannya. Kemudian, pria itu menatap intens bibir cherry Adena, dielusnya bibir tersebut, membuat jantung wanita itu berdegup kencang. Perlahan, Xenon mendekatkan bibirnya ke bibir Adena, melumatnya penuh perasaan. Adena terbuai akan ciuman itu, ia mengalungkan tangannya di leher Xenon, sedangkan Xenon memeluk pinggang wanita itu.
Tangan Xenon kini mulai menelusup ke dalam celana Adena guna meremas bokong wanita itu tanpa melepas ciuman mereka. Hal itu membuat Adena meremat bahu Xenon. Adena merasa ini sudah kelewat batas. Ia hendak melepas ciuman mereka, namun Xenon menahan tengkuk Adena dengan tangan kirinya.
Di detik terakhir, Xenon mengecup kilat bibir Adena, kemudian melepaskan ciumannya. Ia tertawa kecil saat Adena mengalihkan pandangannya. Ditangkupnya muka wanita itu agar menatap ke arahnya. "Look at me, Adena."
Adena mengangguk. "I-iya."
"Saya mau bicara penting sama kamu, ini tentang Donna," ucap Xenon.
"Berbicara perihal apa?"
Xenon menarik tangan Adena ke kasur, lalu duduk di sana. Adena menatap Xenon dengan seksama guna mendengarkan ucapannya.
"Donna kemarin sempat kerjasama dengan Jeffrey untuk menghancurkan saya, dia sampai terikat kontrak, mau tidak mau dia menerima kontrak itu. Donna disuruh ke club malam oleh Jeffrey untuk menggoda Harris, tapi Donna malah mabuk dan mohon-mohon biar main sama Harris."
"Hah?!" Adena terkejut.
Xenon mengangguk. "Kejadiannya memang begitu. Saya kenal betul dengan Harris, tidak mungkin dia mau menyentuh wanita secara intim tanpa ada consent."
Adena tak terima, ia bangkit dari tempat tidur. "Anjing."
Xenon terkejut mendengar penuturan Adena. Ia turut bangkit dari tempat tidur, lalu memeluknya dari belakang, menaruh dagunya di ceruk leher Adena. "Adena, siapa yang mengajarkan kamu untuk bicara kasar?" bisik Xenon dengan deep voice-nya.
Adena hendak melepas pelukan Xenon, namun pria itu malah semakin mengeratkan pelukannya. Kini Adena hanya pasrah, pria yang satu ini memang tidak bisa ditentang kemauannya. "Gimana saya gak ngomong kasar? Saya kaget Donna kayak gitu. Kamu mau bunuh saya juga gapapa."
"Untuk apa saya bunuh kamu, hm? Kamu adalah boneka kesayangan saya."
Mendengar ucapan Xenon, Adena semakin ingin kabur dari sini. Jujur, ia sudah tak kuat akan perlakuan Xenon yang selalu semena-mena kepadanya. Perlahan, air mata wanita itu mulai jatuh. "Iya, saya sadar kalau saya hanya budak pemuas kamu saja," lirihnya.
Xenon melepas pelukannya. Ia membalikan tubuh Adena, senyuman miring jelas terlihat di bibir tebalnya. "Bagus kalau kamu sadar diri."
"Terserah," jawabnya ketus.
"Besok saya ajak kamu ke rumah Harris untuk menemui Donna."
Mata Adena seketika berbinar. "Sungguh?"
Adena mengangguk.
Adena seketika menerjang Xenon dengan pelukan karena saking senangnya, seolah lupa tadi dia kecewa akan ucapan Xenon. Ia tersenyum tulus. "Terima kasih, Xenon."
Xenon membalas pelukan Adena. Ia mengelus lembut surai wanita itu. "Saya sedang berusaha baik dengan kamu selayaknya suami memperlakukan istrinya. Jangan pernah kabur dari sini."
"Iya, saya janji tidak akan kabur dari sini."
Di balik pelukan tersebut, Xenon tersenyum miring. Semoga saja Adena jatuh cinta padanya, sehingga nanti dengan gampangnya pria itu bisa menghancurkan perasaan Adena.
"Nanti malam kita makan bareng."
"Tumben banget?" tanya Adena.
"Saya tidak perlu mendengar pertanyaan kamu. Kamu pakai gaun hitam yang sudah ada di lemari kamu."
"Baik, Xenon."
***
Saat itu, pintu kamar perlahan terbuka, Xenon melangkah masuk dengan langkah tenang. Tatapannya terfokus pada Adena yang tersandar di jendela, tampak terpukau oleh pemandangan di luar. Dalam gaun hitam yang terpilih, Adena tampak memesona di mata Xenon.
"You look so beautiful with that gown," ucap Xenon dengan nada kagum, suaranya hangat meski kadang terdengar tegas.
Adena tersenyum tipis, merasakan pandangan Xenon padanya. "Thank you."
"Ayo," ajak Xenon dengan suara lembut, mengulurkan tangannya dengan penuh kehangatan.
Adena menerima tangan itu dengan penuh pertimbangan, menyadari betapa perubahan dalam dirinya sejak pernikahan mereka. "Kita mau dinner di mana?"
"Nanti juga kamu akan tahu. Kamu akan mengetahui betapa spesialnya tempat makan kita," janji Xenon sambil tetap memegang tangan Adena.
Mereka berjalan bersama, Xenon tetap memimpin langkah mereka. Mereka melewati lorong-lorong istana yang perlahan mulai terang. Saat mereka berpapasan dengan ruang bawah tanah yang penuh misteri, Adena merasa ada yang aneh. Pandangannya tertuju pada jasad yang tergeletak, sebuah penampilan mengerikan yang membuatnya spontan teriak.
"What the fuck!" umpatnya tanpa sadar, ketakutan dan ketidaktahuannya tercampur aduk.
"Jangan berkata kasar!" tegur Xenon dengan suara yang tajam, meluruskannya sekaligus menunjukkan kekuasaannya.
Kecemasan muncul di wajah Adena. "M-maaf."
Xenon menatapnya dengan tajam. "Kamu tahu apa akibatnya jika kamu melanggar peraturan yang saya buat?"
"Tahu, Xenon."
"Kalau kamu ingin saya tidak membocorkan profesi menjijikkan itu, patuhilah perintah saya tanpa perlawanan."
"Saya pasti akan mematuhinya."
"Bagus." Senyuman penuh puas merekah di wajah Xenon. "Mari kita ke ruangan spesial, yang kali ini benar-benar istimewa."
"Iya."
Dengan langit yang semakin tenggelam dalam warna senja, Xenon tanpa terduga meraih tangan Adena dengan lembut dan mengajaknya keluar menuju halaman belakang istana. Di tengah keheningan malam, cahaya gemerlap dari ratusan lilin menciptakan suasana romantis yang tak terlupakan.
Adena merasa hatinya berdesir ketika Xenon, dengan gesit, menggeser kursi untuknya. "Silakan duduk, Honey," kata Xenon dengan senyuman penuh pesona.
Adena membalas senyuman, mengucapkan terima kasih dengan lembut sebelum merapat ke kursi yang ditunjuk oleh Xenon.
Xenon mengangguk, dengan sopan menempati kursinya.
Sekilas, Xenon menatap Adena, yang sepertinya masih terbawa suasana dari pengalaman mengerikan di ruangan bawah tanah. Dengan penuh kelembutan, pria itu berkata, "Jangan khawatir, di sini tidak ada apa-apa seperti yang kamu lihat tadi."
Adena menghela napas lega. "Syukurlah."
Ijah muncul membawa hidangan yang sudah dipesan, dan menempatkannya di hadapan Xenon dan Adena. "Ini steak yang sudah Tuan pesan."
Xenon memberikan senyuman lembut pada Ijah, berterima kasih dengan sopan sebelum Ijah menghilang kembali.
Xenon melirik Adena dengan penuh harap. "Cobalah, Adena. Saya yakin kamu akan sangat menyukainya."
Adena mengambil potongan steak dengan hati-hati dan membawanya ke mulutnya.
"Bagaimana rasanya?" tanya Xenon.
Adena menggeleng dengan senyuman setengah terkikis, sibuk menikmati setiap gigitan yang lezat.
Tiba-tiba, Xenon menggoda, "Ternyata kamu menikmati makanan dari daging bokong manusia, huh?"
"Uhuk!" Adena tersedak, mengalami reaksi yang tak terduga.
Dengan tangkas, Xenon memberikan segelas air kepada Adena untuk membantu melawan tersedaknya.
Setelah Adena merasa lebih baik, Xenon tersenyum miring. "Apakah kamu sudah merasa lebih baik?"
"Sudah."
Xenon tersenyum lebih lebar. "Tahukah kamu bahwa air yang baru saja kamu minum adalah air seni yang telah disaring?" bisik Xenon dengan mata yang penuh dengan tantangan.
Rona merah memuncak di wajah Adena, dan dengan canggung dia meletakkan gelas itu di atas meja. "Apa?! Apa tidak ada makanan dan minuman yang biasa di sini?"
Xenon tertawa pelan, suaranya lembut. "Kamu punya harapan yang terlalu tinggi kepada orang yang tidak normal, terutama dari orang seperti saya, Adena."
"Ya Tuhan, baru sebulan menikah sudah ini yang harus saya alami."
Xenon menatap Adena tanpa menunjukkan ekspresi apapun. "Kita lihat saja bagaimana masa depan hari-harimu. Jika kamu menyerah dan melanggar peraturan, saya akan membongkar rahasia pekerjaanmu yang menjijikkan."
"Saya tahu saya memang salah, tapi apakah saya pantas diperlakukan seperti ini?"
Menatap Adena dengan serius, Xenon menjawab, "Tentu saja."
"Saya menyesal telah berurusan dengan pria seperti kamu. Sepertinya orang sepertimu tidak akan pernah mendapatkan wanita baik dan tulus jika perilakumu tetap begini."
Xenon tersenyum singkat. "Jadi, menurutmu, saya seperti apa sebenarnya?"
"Kejam dan tidak memiliki perasaan."
Xenon tersenyum dengan nada yang hampir puitis. "Tampaknya kamu sudah menggambarkan sisi gelap saya dengan sangat baik. Bagus."
Sambil mengatur rambutnya, Adena mempersiapkan diri untuk pergi. "Maaf, saya ingin pergi."
Xenon memperingatkan dengan serius, "Jangan pergi tanpa ijin dari saya."
Adena terus melangkah, tetapi kata-kata Xenon menghentikannya.
"Jika kamu berani melangkah lebih jauh, kamu akan menderita seperti orang yang ada di ruangan bawah tanah."
Kaki Adena seolah-olah tertahan di udara, dan akhirnya dia berhenti di tempat.
Tersenyum puas, Xenon berkata dengan nada yang lebih ringan, "Cepat duduk kembali."
Adena duduk dengan ragu-ragu, merasa tertekan oleh kehadiran Xenon.
"Saya tadi sedang berbohong, daging tadi adalah daging wagyu A5 dan air tadi adalah air mineral," kata Xenon dengan nada yang lebih santai.
Adena menghela napas lega, merasa dirinya lebih tenang. "Baiklah, saya sudah tak nafsu makan."
Xenon mengambil sebatang rokok dari dalam sakunya, menatap tajam gadis di hadapannya. Dalam sekali gerakan, api kecil sudah menyala di ujung rokoknya, menyebarkan aroma tembakau yang khas di sekitar mereka. Adena merasa tatapan intens Xenon menerobos ke dalam dirinya, membuatnya sedikit merasa tidak nyaman namun juga merasa penasaran.
Asap rokok berkelebat di udara saat Xenon mengambil nafas dalam dan mendalam, seolah mencoba merasakan setiap sentuhan tembakau yang terbakar. Matanya tidak meninggalkan pandangan pada Adena, seakan ingin mengukur reaksinya terhadap tindakan ini. Dengan berbagai misteri yang melingkupi pria ini, Adena merasa dirinya seperti terjebak dalam situasi yang penuh teka-teki.
Adena merasa napasnya terhenti sejenak ketika tatapan tajam Xenon menyentuhnya. Dia merasakan kehadiran pria itu seakan menembus kulitnya, menghantarkan sensasi yang campur aduk di dalam dirinya. Dengan hati yang berdegup kencang, Adena memutuskan untuk mengalihkan wajahnya dari tatapan Xenon.
"Kenapa memalingkan wajah, Adena?" tanya Xenon.
Adena seketika menengok pada Xenon, ia menunduk. "Tidak apa-apa."
"Kamu tidak terbiasa ditatap intens oleh seorang pria, right?"
Adena terkejut, tampaknya Xenon bisa membaca pikirannya. "Tidak, saya tidak mengalihkan pandangan saya karena itu. Saya memang tidak bisa ditatap intens oleh siapapun, baik pria ataupun wanita."
"Baiklah, jika kamu tidak mau mengakui."
Adena berdeham. "Apakah boleh jika kita kembali ke kamar sekarang?"
"Kenapa terburu-buru ingin kembali ke kamar? Ingin membuat anak dengan saya, huh?"
Adena mendelik. "Tidak!"
Xenon hanya tertawa melihat ekspresi Adena.
Setelah menyantap makanan, mereka berdua terdiam sejenak, melihat cahaya lilin yang berdansa di tengah malam. Hingga akhirnya, Xenon menyela hening dengan pertanyaan baru.
"Mau kembali ke kamar sekarang? Atau mungkin kamu tertarik untuk mencoba sesuatu yang baru?" tanya Xenon dengan nada misterius.
Adena menatap Xenon dengan rasa ingin tahu yang tumbuh di dalam dirinya. "Sesuatu yang baru?"
Xenon tersenyum dengan wajah yang penuh arti. Dia meraih kotak kecil dari dalam saku jasnya dan menggesernya ke arah Adena. "Coba buka dan lihat apa yang ada di dalamnya."
Adena meraih kotak tersebut dan dengan hati-hati membukanya. Dia terkejut melihat sejenis alat elektronik berbentuk pipa kecil di dalamnya.
"Ini adalah pod vaporizer, Adena," Xenon menjelaskan dengan suara lembut. "Di usia seperti kamu, banyak wanita yang menggunakannya. Namun, kamu mungkin tidak memiliki kesempatan karena lingkunganmu yang tidak mendukung."
Adena merasa bingung, namun dia tertarik untuk mencoba memahami apa yang Xenon katakan. "Apa ini?"
"Pelajari dengan perlahan. Tarik nafas perlahan, rasakan nikotinnya masuk ke dalam paru-parumu, dan nikmati sensasinya."
Adena merasa ragu, tetapi kemudian dengan perlahan dia mengambil perangkat itu dan menempatkannya di bibirnya. Dia menarik napas perlahan, merasakan rasa hangat yang menyelinap ke dalam paru-parunya. Pada saat yang sama, ekspresi wajahnya berubah menjadi kagum.
"Nikmat sekali, bukan?" tanya Xenon dengan senyuman puas.
"Sangat," jawab Adena dengan penuh kekaguman.
Xenon mengangguk. "Kalau liquid-nya habis, beri tahu saya, saya akan membelikannya untukmu."
"Terima kasih, Xenon," kata Adena dengan rasa terima kasih yang tulus.
Xenon menyeringai. "Rupanya kamu tahu bagaimana cara mengucapkan terima kasih."
"Ya, tentu saja, itu adalah etika dasar."
Xenon hanya mengangguk, sepertinya merenungkan sesuatu. "Tidak perlu membahasnya lagi. Aku saya yakin kamu akan menemukan cara untuk membuat saya memuji kamu."
Adena tertawa kecil. "Terserah."
***
Dalam kegelapan malam, mimpi buruk Adena membawanya ke alam bawah sadar yang penuh teror. Suara desiran angin seakan berubah menjadi raungan kegelapan, dan cahaya bulan yang pucat hanya menambah nuansa menyeramkan pada suasana. Bayangan jenazah di ruangan bawah tanah muncul di hadapannya, merambat seperti hantu yang tak berujung.
Suara desiran angin yang nyata di dunia nyata menggantikan raungan kegelapan dalam mimpi Adena. Tubuhnya terguncang, peluh dingin mengalir di dahi. Dalam keadaan separuh sadar, dia merasa terjebak di antara realitas dan alam bawah sadar. Tapi kemudian suara itu bergema lebih nyata lagi, kali ini bukan hanya di dalam pikirannya.
"Jangan bunuh saya...," bisiknya dalam keadaan penuh ketakutan.
"Saya masih ingin hidup...," desisnya dengan suara gemetar.
Adena merasa kehadiran seseorang di sampingnya, merasakan hangatnya napas yang mendekap kulitnya. Dia merasa seolah dalam genggaman seseorang yang tak terlihat, membuatnya merinding.
"Lepaskan saya...," rintihnya, berusaha melepaskan diri dari genggaman tak kasat mata.
"Aaaaa!" Jeritannya memecah hening malam.
Adena tiba-tiba terbangun, tubuhnya terasa berkeringat. Dia merasa napasnya tersengal, jantungnya berdetak kencang. Matanya membulat, mencoba mencari fokus dalam kegelapan. Lalu dia melihatnya, Xenon, yang juga terbangun di sampingnya.
"Kamu kenapa, Adena?" Suara Xenon terdengar datar, tapi ada rona khawatir di dalamnya.
"Jangan bunuh saya, Xenon," pinta Adena dengan suara lirih, masih terhantui oleh bayangan mimpi buruknya.
"Sudah saya bilang, kalau kamu tidak macam-macam, pasti kamu aman."
Adena merasa sedikit lega mendengar kata-kata Xenon, meskipun dia juga merasa canggung untuk mengungkapkan kelemahannya.
"Saya tidak mau mati muda...," gumamnya, suaranya pecah seperti anak kecil yang takut.
"Sttt, saya tidak tertarik untuk membunuh kamu, soalnya daging kamu pahit, kamu tenang saja," jawab Xenon dengan nada yang mencoba membuat suasana menjadi lebih ringan.
"Saya takut setelah melihat penjara bawah tanah tadi...." Adena menggigit bibirnya, merasa canggung untuk berbicara tentang rasa takutnya.
"Tenang, ada saya di sini," kata Xenon dengan nada lembut, seolah ingin menghibur.
"Janji tidak akan membunuh saya?" Adena memandangi Xenon dengan tatapan cemas.
"Janji," ucap Xenon dengan tegas, seolah ingin meyakinkannya. "Saya akan membunuh kamu secara mental, bukan fisik, Adena."
***
Cahaya matahari yang hangat mulai menyelinap lewat jendela, memberikan sentuhan kehangatan pada pagi yang cerah. Suara kicauan burung memenuhi udara, membentuk irama alam yang harmonis.
Tepat di depan rumah Harris, Xenon dan Adena berdiri, menatap pintu dengan perasaan yang berbeda. Adena merasakan detak jantungnya berpacu, mencoba untuk menahan emosinya. Rencananya jelas; begitu pintu terbuka, dia akan melampiaskan kemarahannya kepada Harris karena perlakuannya terhadap Donna.
Xenon menekan bel rumah Harris, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Namun, yang menyambut mereka adalah sosok Harris yang menodongkan pistol tepat di dahi Adena. Tak lain adalah bagian dari rencana Xenon, Harris diminta menodongkan senjata ke Adena agar wanita itu tidak mencoba menyergapnya, mengingat reaksi Adena yang tidak ramah ketika Xenon menceritakan rencana ini sebelumnya.
"Jangan berani-berani kamu marah dengan saya," ucap Harris tajam, matanya menatap tajam ke mata Adena.
"Sa-saya gak jadi marah, kok ...." Adena menjawab dengan nada gugup dan ragu.
Xenon hampir tertawa melihat ekspresi campur aduk di wajah Adena. Dia tahu benar Harris tidak akan menembak wanita ini. Harris memang membawa senjata, tapi senjata itu tak dimaksudkan untuk orang yang tidak bersenjata seperti Adena.
Tatapan intens Harris terhadap Adena akhirnya mereda, dan dia merendahkan senjatanya. Adena menghela napas lega. "Jaga wanitamu, Xenon," kata Harris sambil kembali memasukkan senjatanya ke dalam rumah.
"Bukan wanita saya, tapi budak," ucap Xenon dengan senyum sinis.
Tersenyum getir, Adena menggigit bibir bawahnya. Sejujurnya, ia sangat merindukan kebebasannya sebelum pernikahan ini. Tetapi, tindakan dan kata-kata Xenon telah meruntuhkan semua itu. Air mata perlahan mengalir di pipinya, ia berusaha mengusapnya dengan cepat, berharap Xenon tidak melihat.
Tetapi, Harris malah berujar kepada Xenon, "Wanitamu menangis."
"Tidak usah menangis," peringat Xenon menatap tajam Adena.
Adena berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh ke arah Xenon. Rasanya seperti ada berat di dadanya yang tak bisa hilang. Sesampainya di dalam, ia melihat Donna sedang duduk di ruang tamu, tatapan kosong di wajahnya.
"Donna!" panggil Adena dengan suara cemas.
Donna mendongak, wajahnya yang tadinya murung berubah menjadi riang saat melihat Adena. "Adena!"
Adena langsung berlari ke arah Donna dan memeluknya erat. Donna membalas pelukan dengan hangat. Adena menangis pelan di bahu Donna. "Donna, gue udah denger kejadian yang lo alamin. Maaf, gara-gara gue, lo jadi kayak gini."
Donna mendorong Adena dengan lembut, memberi jarak di antara mereka. Senyuman tipis melintas di wajahnya, mencoba menghibur Adena. "Enggak apa-apa, semuanya sudah berlalu. Ini bukan salah lo, gue juga yang bego dan terjebak dalam situasi ini. Gue yang ngajak main Harris pas lagi mabuk."
Di sudut lain, Xenon memandangi adegan itu dengan sikap cuek. Dia malas melihat adegan antara Adena dan Donna yang menurutnya begitu drama. Di sisi lain, Harris tersenyum tipis, meskipun ada rasa penyesalan dalam hatinya. Secara tidak langsung, tindakannya telah menghancurkan Donna.
"Jangan lama-lama," ucap Xenon tanpa emosi, mengingatkan mereka.
Adena mengerucutkan bibir kesal, memandang Xenon sebelum masuk ke dalam rumah. Dia tahu, pria itu memang tidak peduli dengan situasi mereka.
Donna berbalik dan melihat Harris dengan tatapan yang penuh makna.
Ada sebuah keinginan tergambar di matanya, meminta izin untuk membawa Adena ke dalam kamar. Harris menganggukkan kepala, mengerti bahwa Adena dan Donna memerlukan waktu bersama. Donna memandang Adena sekali lagi sebelum membawanya masuk ke dalam kamar.
"Ceritakan bagaimana kamu bisa secepat itu bawa Yanuar ke sana."
—————————————————————-
Maaf digantung hihi, soalnya kalo dijadiin satu part keknya bakal mabuk yang baca, bisa nyampe 2k++ words xixixi
Tbc❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top