Waiting for Love ( AkaSaku )
🌻🌻🌻
Langit gelap tapi bukan malam. Siang terlihat enggan menampakan keindahan sinar mentari dengan menampilkan awan gelap disertai guyuran hujan yang membuat semua orang enggan untuk beranjak dari peraduannya.
Asap dari uapan cangkir teh sangat jelas terlihat dengan roti panggang bersanding disisinya membuat pagi yang dingin terasa sempurna karena ditemani meraka.
Netra emeraldnya melihat aliran air yang mengalir diluar jendela dan seketika senyumannya terbentuk sebelum setetes air menetes dari sudut matanya.
"Sudah lama ya." Ucapnya lalu angannya kembali menjelajahi kenangan yang pernah dilaluinya.
"Senju Sakura... Ya aku Senju Sakura."
.
.
.
Dulu
.
.
.
"Onii-chan bantu ak--"
"Eh?"
Sakura menghentikan teriakannya memanggil sang kakak karena, seperti biasa membutuhkan pertolongan kakak tercintanya. Tapi saat masuk kekamarnya ternyata bukan kakaknya lah yang menempati ruangan bernuansa abu-abu dengan perpaduan navy itu, tapi orang lain.
"Tampannya."Sakura berujar begitu saja dan tak ambil pusing karena lelaki di depannya ini memang benar-benar tampan dan senyumannya sangat manis, sungguh membuat tubuhnya pun tidak bisa berkutik entah karena malu atau terpesona.
"AW SAK--YAK ONII-CHAN!" Sakura langsung berseru karena rasa sakit di kepalanya akibat perbuatan sang kakak yang dengan seenaknya menjitaknya.
"Kakakmu bahkan lebih tampan tapi kau tidak pernah mengatakan aku tampan ".
Kakaknya bersungut-sungut tidak terima dan dia datang dengan dua kaleng minuman dingin. Satu untuk dirinya dan satu lagi dia berikan untuk temannya itu.
"Cih." Sakura mencibir dan ingat akan tujuannya datang, ia pun langsung menarik kaos sang kakak agar mendekat dan membisikkan sesuatu.
Sasori, Akasuna Sasori nama kakak Sakura yang sangat menggemaskan karena sejujurnya wajahnya masih terlihat kanak-kanak dibandingkan remaja seusianya.
"Hm." Sasori memiringkan tubuhnya untuk mempermudah akses Sakura mengatakan sesuatu kepadanya. Namun saat melirik, Sakura tidak sengaja bertemu tatap dengan teman kakaknya itu. Lelaki itu pun tersenyum kembali membuat jantung Sakura sungguh tidak merasa nyaman karena berdetak tidak normal seperti biasanya.
"Besok datang kesekolah." Sakura berbisik namun tidak lama kepalanya kembali terdorong karena Sasori mendorong dengan ibu jarinya.
"Siapa lagi yang kau pukul nona," Sasori meneguk minumannya dan duduk di kursi belajarnya yang kebetulan berhadapan dengan sofa nyaman yang selalu Sakura tempati jika berada dikamar kakaknya yang kini diduduki teman kakaknya itu. Dia hanya diam, namun sejak tadi dia hanya fokus pada pemandangan luar kini menoleh dan memandangi kedua bersaudara itu.
"Primadona sekolah." Sakura meringis saat mengatakannya karena kakaknya pun mengenal sosok yang di juluki primadona di sekolahnya.
Ngomong-ngomong ia masih sekolah menengah pertama sedangkan kakaknya sudah berada di bangku menengah atas kelas 3.
Sasori menghembuskan napasnya kesal karena ini bukan kali pertamanya Sakura melakukan hal seperti ini. Paling sedikit itu 2 kali dalam sebulan ia selalu datang untuk menerima hadiah wejangan yang sebenernya sungguh melelahkan tapi ia tidak marah karena sangat mengenali adiknya ini.
"Kali ini apa yang mereka lakukan?" Tanya Sasori ingin mengetahui hal apa yang membuat Sakura murka kepada gadis itu.
"Aku buk-- sudahlah aku kembali ke kamar dulu." Dan Sakura berbalik meninggalkan kakaknya dengan wajah yang kini nampak sendu karena tau apa yang sakura maksud tanpa Sakura mengatakan semuanya.
"Hah." Sasori menghembuskan napas dan kembali meminum minumannya setelah sang adik benar-benar tidak terlihat.
"Besok kau sibuk kan?"
"Ya." Sasori menjawab penuh sesal karena sepertinya tidak bisa memenuhi permintaan Sakura.
"Biar aku saja yang menggantikanmu bagaimana?" Temannya mengajukan diri untuk menggantikannya dan sebenarnya ini hal membuat Sasori merasa senang tapi sungguh Sasori tidak enak melibatkan orang lain.
"Tidak us--" Sasori menolak namun temannya memotong ucapannya dan tetap menawarkan diri.
"Tidak apa."
"Baiklah, tapi..." Sasori menyetujuinya namun ada hal yang harus ia beritahukan kepada temannya ini.
"Kau berjanji untuk tidak membuatnya bersedih dan anggap kau tidak tahu setelah aku mengatakan sesuatu kepadamu, bagaimana?"
Temannya itu mengangguk.
"Hn."
.
.
"Terimakasih karena tidak membelaku." Sakura mengatakan itu bukan sindiran karena teman kakaknya itu tidak membelanya karena, ia tau apa yang dilakukannya memang salah meskipun ada alasan yang tidak bisa ia katakan.
"Hn."
Dia menghentikan langkahnya membuat Sakura pun ikut menghentikan langkahnya.
"Mau ikut latihan?"
Sakura mengerjapkan kedua matanya karena ajakan teman kakaknya yang tadi memperkenalkan dirinya dengan nama Akashi Seijuro. Ah, kebetulan sekolah mereka bersebelahan dan kini pun sudah berada di depan gerbang sekolah Kakaknya.
"Tap--" bibir Sakura kembali tertutup saat jaket yang dikenakan Akashi berpindah kepadanya, membalut tubuh kecilnya dengan jaket yang sangat harum namun Sakura enggan mengatakannya.
"Ayo." Akashi berjalan selangkah lebih dahulu dan Sakura pun melangkah dibelakangnya. Kenapa Sakura mau ikut ajakan Akashi? Ya karena dirumahpun ia sendirian akibat sang Kakak sedang berada di luar kota mengadakan pameran perlombaan seninya.
Dan tatapan takjub Sakura tunjukan melalui kedua matanya tanpa mengeluarkan kata karena betapa besarnya sekolah yang sebenarnya sama saja dengan sekolahnya namun beda tingkatan. Namun sekolah high school ini benar-benar indah dan sepertinya cukup memadai untuk menunjang segala aktifitas para siswanya.
"Yoo AKASHI!"
"WOAAHH DIA MEMBAWA SIAPA ITU!"
Sakura meringis mendengar teriakan dari beberapa teman tim basket sekolah ini. Namun karena ia melangkah dengan menunduk tanpa melihat kedepan dan sialnya membentur punggung Akashi karena lelaki itu ternyata berhenti melangkah.
"Ishh." Sakura mengelus keningnya dan langsung mendongak untuk melihat sekitar.
'Duh wajahnya terlalu dekat.' Sakura membuang muka karena rasa kedua pipinya memanas dan lagi-lagi merasa jantungnya berdetak aneh.
"Ayo," Akashi menggenggam pergelangan tangan Sakura dan membawa gadis itu menuju kawanannya yang sedang berlatih.
"Siapa dia Akashi?" Salah satu temannya terdengar menggodanya namun Akashi bersikap biasa saja dan menyuruh Sakura duduk disalah satu kursi pinggir lapangan.
"Tunggu disini aku ingin berganti pakaian."
Dan Sakura hanya bisa mengangguk dan memandang punggung Akashi yang kini mulai menjauh. Senyumannya terbentuk namun seketika lenyap saat beberapa temannya datang menghampirinya.
"Hei nona apa kau kekasih si gunung es itu?"
"Jika kau tidak tahan dengan Akashi si kutub kau bisa datang kepadaku."
Banyak kata-kata yang sebenarnya sungguh tidak enak di dengar. Tapi ingat akan keberadaannya Sakura memilih untuk membalas mereka dengan senyuman.
"Jangan mengganggunya atau kau akan berurusan dengan Sasori." Dan Akashi menarik teman-teman hingga mereka mundur.
"Sasori?"
"Jaga barangku." Akashi menaruh tasnya disamping Sakura dan memberikan gadis itu minuman isotonik.
"Ah, terimakasih."
Akashi tersenyum tipis lalu berbalik menuju lapangan bergabung dengan timnya.
Setiap gerakannya, mengatur bola dan saat melompat dengan melempar bola ke ring dimana kedua mata Sakura tak henti-hentinya mengagumi sosok yang baru dikenalinya kemarin. Dan sungguh ia merasa bersyukur disaat ada hal yang selalu membuatnya sedih namun kini Akashi datang layaknya seperti kakaknya (?).
Satu jam berlalu dan Akashi mengantar Sakura pulang.
Dalam setiap langkahnya ada hati yang merasa penuh dengan bunga-bunga mekar namun jantungnya merasa lebih cepat berdetak saat mengatakan kepada diri sendiri 'ada pria ini berjalan disampingnya.' Dan langit pun mulai nampak gelap namun Sakura begitu bahagia disetiap langkahnya, sungguh.
"Terimakasih atas hari ini dan sudah mengantarku pulang." Sakura membungkuk karena rasa terimakasihnya atas hari ini. Menemaninya datang menggantikan Sasori dan mengajaknya menonton sesi latihan rutin mereka.
"Hn."
Sakura berbalik berjalan menuju pintu namun hal yang tak di duganya adalah Akashi yang mengikutinya.
"Apa kau tertinggal sesuatu atau?" Sakura ingin tahu kenapa Akashi malah mengikutinya masuk.
Deringan ponsel membuat Sakura mengerjapkan kedua matanya begitupun Akashi yang kini memperlihatkan ponselnya yang tersambung dengan video call.
"Sudah pulang?"
Dan Sasori lah orang yang menghubungi Akashi dan Sakura mengangguk menjawab pertanyaan kakaknya itu.
"Jaga sikap karena Akashi yang akan menjagamu dan Akashi," Sasori memanggil temannya dan Akashi menjawabnya dengan gumaman seperti biasanya.
"Tolong jaga beruang kecilku ini ya karena sepertinya besok baru akan pulang."
"Hn."
Sakura melirik Akashi yang memegang ponselnya dengan layar yang masih menghadapnya.
"Jaga dirimu sweetttyyyy muach." Sasori memberikan flying kiss dan Sakura seakan lupa jika Akashi didepannya memberikan respon pura-pura muntah atas ucapan menggelikan kakaknya itu.
"Ayo masuk." Dan Akashi masuk lebih dahulu membuat Sakura merasa heran. Bagaimana tidak? Siapa yang tuan rumahnya coba?
"Mandilah." Akashi menyuruh Sakura untuk membersihkan diri namun sangat jelas nada itu seperti perintah yang jelas-jelas Sakura selama ini tidak suka di perintahkan siapapun tanpa terkecuali.
"Aku akan mandi dan pesan makanan saja." Sakura menyuruh Akashi memesan makanan untuk mereka karena ia tidak bisa memasak sangat berbeda dengan Sasori yang kemampuan memasaknya sungguh sangat luar biasa.
"Hn." Dan lagi-lagi Akashi hanya memberikan respon seperti itu, namun Sakura tidak begitu ambil pusing dengan memilih menaiki tangga untuk membersihkan diri.
.
.
Sakura dibuat takjub karena olahan masakan yang kini tersaji di meja makan. Sasori bisa memasak namun kini yang tersaji selain terlihat enak makanannya pun terlihat mewah seperti makanan yang berada di restoran mahal.
"Wooaahh apa ini dari restoran mahal?" Sakura masih melihat dengan jarak dekat, melihat setiap detail tatanan masakan ini.
"Duduk dan makan."
Sakura mengangguk kemudian duduk berhadapan dengan Akashi.
"Apa ini mahal? Bagaimana kita bayar separuh-separuh saja?" Sakura belum mulai makan dan ingin memastikan sesuai budgetnya karena saat ini ia tidak memiliki begitu banyak uang saku.
"Makanlah," Akashi menghiraukannya dan menyatukan kedua tangannya bedoa. "Ittadakimasu." Ucapnya yang di ikuti Sakura yang melakukan hal yang sama.
"Ini ayam?" Sakura sangat bahagia dengan rasa masakan ini karena rasanya yang begitu enak. Entah apa makanan ini namun saat ia tidak tau ini ayam sangat terkejut jika makanan yang ia makan adalah daging ayam karena awalnya ia kira daging sapi dengan kualitas bagus.
Akashi tetap diam dalam makannya dan melihatnya Sakura seperti yakin jika Akashi bukan dari kalangan biasa, maksudnya seperti orang kaya.
Mereka sudah selesai dan Sakura memilih untuk mencuci piring langsung karena tidak enak ada tamu dirumahnya.
Akashi kini duduk di sofa ruang tamu dengan beberapa buku ditangannya.
Melihat itu Sakura berinisiatif memberikan coklat hangat dengan sepiring biskuit karena di luar kini sedang hujan.
Dalam proses pembuatan coklat hangatnya Sakura sesekali menoleh memastikan jika saat ini beneran bukan imajinasinya. Tak henti-hentinya ia tersenyum mengingat kesehariannya yang di temani Akashi hingga saat ini.
"Hujan dan tunggulah reda."
Sakura berujar saat menghampiri Akashi dengan membawa nampan berisi minuman yang dibuatnya beserta kudapannya. Akashi melihat ke arah jendela dan mengangguk menyetujui ucapan Sakura.
"Kau membuatnya?"
Satu alis Sakura tertarik mendengar pertanyaan Akashi.
"Tentu." Jawab Sakura yang yakin karena Akashi terlihat meragukan keahliannya satu ini. Hei, meskipun ia tidak pandai memasak tapi ada hal lain yang ia pun bisa melakukannya.
Akashi mengambil minuman hangat buatan Sakura lalu meminumnya perlahan.
Dalam keadaan hening Sakura merasakan dunianya seperti terhenti saat kedua hazel itu menatapnya dan lagi-lagi membuat jantungnya tidak berdetak semestinya.
"S-sepertinya aku harus ke dokter nanti." Ucap Sakura yang menekan dadanya karena debaran mengerikan yang dirasakannya.
Melihat gelagat Sakura tak ayal membuat Akashi langsung menghampiri Sakura yang duduk di karpet.
"Kau sakit?" Akashi terlihat khawatir dengan satu tangan menyentuh dahi Sakura satu tangan lainnya berada di punggung Sakura.
"A-aku baik-baik saja." Kata Sakura meyakinkan Akashi meskipun dalam hati mati-matian menahan rasa gugup luar biasa karena jarak Akashi yang menurutnya terlalu dekat.
"Istirahatlah dikamarmu dan aku disini menunggu hujan reda lalu pulang." Akashi menarik Sakura agar berdiri dan menyuruh gadis itu untuk beristirahat dikamarnya.
Demi boneka Dino Sasori! Sakura heran pada dirinya sendiri yang dengan gampangnya menurut sangat berbanding dengan Sasori yang akan dengan sengitnya Sakura memberontak.
"Hm, beritahu aku jika akan pulang." Sakura berujar dan berbalik menaiki tangga menuju kamarnya meninggalkan Akashi dibawah dengan beberapa buku pelajarannya.
.
Pagi datang dan Sakura mendengus sebal saat membuka mata yang dilihatnya adalah sang Kakak.
"Karena kau merindukanku bagaimana jika hari ini aku traktir es krim?"
Kata-kata narsis sang Kakak membuat Sakura langsung berdiri dan menerjang kakaknya.
Sasori tertawa dan mengangkat sakura dalam gendongannya.
"Hei kau seorang gadis bukan bayi lagi tahu." Sasori terkekeh geli karena sikap Sakura yang baginya akan selalu menjadi gadis kecilnya.
Sakura turun dan menarik Sasori menuju lantai bawah, "aku lapar." Ujarnya yang di jawab kekehan geli sang kakak.
"Sepertinya sarapan kita kali ini berkelas." Sasori mengikuti langkah Sakura dengan rasa senang luar biasa. Kadang ia berpikir bagaimana jika ia pergi meninggalkan Sakura. Apakah bisa gadis kecilnya hidup tanpanya sedangkan kedua orangtuanya sudah pergi meninggalkan mereka untuk selamanya. Sasori menggeleng 'tidak sanggup' membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi.
"Semal-- Akashi-nii?" Sakura berseru saat netra emeraldnya melihat Akashi yang sudah duduk dimeja makan.
"Hn. ohayou." Akashi menyapa dan dijawab Sakura yang merasa kikuk.
Sasori mendekat dan berbisik "sepertinya kau butuh bercermin bear."
Sadar akan perkataan Sasori, Sakura langsung menyentuh rambutnya dan sontak ia langsung berbalik dengan berlari menaiki tangga kembali.
"Ya jangan lari!" Sasori memperingati dengan kekehan karena begitu lucunya adiknya ini.
"Makan duluan saja karena menunggunya akan sangat lama." Sasori menyuruh Akashi untuk memulai sarapan namun dia menghiraukannya dengan sibuk memainkan ponselnya.
"Terimakasih sudah menjaga adikku eh. Kau pasti kesusahan." Sasori bersungguh-sungguh atas perkataannya ada Akashi karena sudah menjaga adiknya dari kemarin.
"Aa,"
.
.
Disneyland
Disinilah mereka berada, menepati janji Sasori kepada sang adik.
"Pakai ini." Sasori memakaikan topi pada Sakura karena cuaca cukup terik siang ini.
"Kau bilang ingin membelikan ku ice cream kenapa kesini?" Sakura mendengus kesal karena hari liburnya diganggu. Bukan tidak senang tapi ada tugas yang harus dikerjakannya untuk besok.
"Aku yang akan membantu tugasmu oke dan ayo naik itu?" Sasori menunjuk rollercoaster dimana orang-orang yang menjerit histeris karena permainan yang menguji adrenalin itu.
"Tidak." Sakura menolak dan duduk di salah satu kursi panjang yang ada disana.
"Ayolah sayang."
Sakura meringis mendengar nada menggemaskan itu namun sungguh menggelikan karena di ucapkan oleh lelaki remaja.
"Aku sedang tidak enak badan Onii-chan," Sakura tetap menolak.
"Bagaimana deng--"
"Tidak." Jawaban cepat Akashi menolak akan ajakan Sasori membuat pria yang rambutnya hampir sama dengannya itu mendengus kesal.
"Baiklah aku sendiri dan tunggu aku disini oke?" Sasori menunjuk kedua orang yang sungguh payah baginya itu. Dengan terpaksa ia pun berbalik menuju wahana itu meninggalkan adik dan temannya.
"Mau beli sesuatu?"
Sakura mendongak saat Akashi menawarinya. Namun ia ingin makan bersama kakaknya nanti.
"Tunggu Saso-nii saja."
"Hn." Akashi mengangguk dan deringan ponselnya terus berdering membuatnya yang tadi hanya diam langsung meraih ponsel dalam saku celananya.
"Tunggu disini." Akashi menepuk bahu Sakura kemudian pergi entah kemana membuat Sakura yang sejak tadi menahan detak jantungnya agar tetap stabil akhirnya menghembuskan nafasnya dengan lega.
"Hish mereka meninggalkanku." Sakura pun bangkit dan memilih untuk pergi melihat sekitar sini.
Dan Sakura memilih untuk main wahana dimana ia teringat akan masa kecilnya saat ia berusia 10tahun. Saat itu kedua orang tuanya masih ada dan betapa ia merasa bahagia. Masih jelas bagaimana Tou-san sibuk memotret mereka. Kaa-san berdiri disamping Tou-san dan terus melambai sedangkan Kakaknya sibuk berteriak dengan hebohnya.
"Kaa-san, Tou-san." Sakura berujar lirih karena ingatan masalalunya itu. Namun seketika kepalanya terasa sakit saat bayangan yang serupa namun terlihat berbeda masuk begitu saja dalam ingatannya.
"Saki-chan lihat Kaa-chan."
"Selamat ulangtahun Saki sayang."
"Tetaplah... Maafkan Kaa-chan."
"Ugh!" Sakura menyentuh kepalanya karena rasa sakit yang menyerangnya. Ia bersandar pada tali penyangga kuda karena rasa sakit yang dirasakannya.
"Sakura!"
Seseorang memanggilnya.
Sakura mencoba menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya.
Pria berambut merah yang berlari dengan meneriaki namanya.
"Onii-chan." Sakura mencoba mengangkat tangannya meskipun kepalanya masih bersandar karena menahan sakit sedangkan permainnya kini memelan dan sebentar lagi akan berhenti.
"Onii.... Akashi-nii?" Pria yang ia kira adalah sang kakak nyatanya bukan. Dia lelaki yang baru dikenalnya namun melihatnya sekarang seperti sangat mengkhawatirkannya.
"Akashi-nii." Sakura bergumam pelan dengan kedua matanya terpejam karena menahan sakit yang masih dirasakannya.
"Hei kau baik-baik saja?"
Ah, suara Akashi terdengar begitu cemas dan Sakura merasa senang akan hal itu. Bolehkan ia berharap? Dalam hatinya ia berujar disela menahan rasa sakitnya.
Sakura menggeleng lemah, "sakit sekali." Ujarnya yang nyaris seperti bisikan namun Akashi masih bisa mendengarnya.
"Apa yang sakit?" Kembali suara Akashi terdengar khawatir dan Sakura tersenyum tipis.
"Katakan apa yang sakit?"
Satu tangan Sakura terangkat menunjuk kepalanya sendiri.
Suara-suara semakin ramai dan Sakura merasakan tubuhnya di angkat oleh seseorang.
"Akashi-nii," Sakura berujar lirih namun tidak bisa melihat bagaimana wajah Akashi saat ini karena masih menahan rasa sakit yang semakin menjadi.
"Hn."
"Bisakah kau tetap disini?" Dan perkataan terkahir yang Sakura ingat sebelum semuanya gelap dan tidak ingat apapun lagi.
.
.
Dua hari sudah Sakura dirawat dan hari ini adalah hari ia akan kembali kerumah. Namun nyatanya sang kakak tidak bisa menjemputnya.
"Kakak durhaka." Sakura menggerutu dan akan turun dari ranjang untuk membereskan barangnya namun seseorang datang membuatnya langsung mengangkat kepalanya, melihat siapa yang datang.
"Akashi-nii?"
Akashi datang dengan buket ditangannya. Bunga matahari yang begitu cantik dan diberikan kepada Sakura.
"Apa Kakakku menyuruhmu lagi?" Sakura menyipitkan matanya, menyelidiki karena ingin tau tebakannyaakan itu benar atau tidak.
Akashi tersenyum tipis dan menghampiri Sakura, "ayo dan kita makan siang di luar saja bagaimana?"
Ajakan menggiurkan dan Sakura pun langsung mengangguk mantap tanpa perlu mempertimbangkannya lagi. Lagipula masakan yang Akashi pilih sungguh menakjubkan ( mewah ).
"Hm ayo."
.
.
Hujan dan Sakura bernafas lega karena mereka sudah berada di dalam salah satu resto masakan jepang.
Sembari menunggu pesanan mereka, Sakura memilih untuk melihat luar dari jendela besar di sampingnya. Akashi sibuk bermain ponsel sedangkan ia belum mempunyai ponsel dikarenakan belum masuk menengah atas.
"Sakura."
"Ya."
"Aku akan pergi."
Terkejut? Tentu saja. Bagaimana tidak, saat hati penuh rasa bahagia karena keberadaannya kini tiba-tiba akan pergi.
"Berlibur... kah?" Sakura bertanya dengan isi hati yang berharap jika benar apa yang dikatakan jika Akashi hanya akan pergi berlibur.
Ah, seketika Sakura ingat akan ucapan sang Kakak yang ia kira hanya candaan jika Akashi hanya murid pertukaran pelajar.
"Ah aku ingat." Sakura menunduk dengan kedua tangan bertaut karena rasa tidak nyaman akan apa yang dirasakannya. Sama sakit tapi sangat berbeda dengan yang sebelumnya.
"Hei lihat aku," Akashi mengusap pucuk kepala Sakura. Tanpa melepas usapannya ia kembali berbicara,"jika ada waktu aku akan mengunjungi kalian atau kau bisa berlibur nanti hm?"
"Janji?" Sakura merasa lebih baik setelah mendengar itu dan tanpa sadar ia menyodorkan jari kelingkingnya.
Mengerti akan maksud Sakura, Akashi pun menautkan jari kelingkingnya pada jari Sakura.
"Hn."
"Aku akan mencarimu dan meneriakimu jika kau melupakanku." Sakura menyilangkan kedua lengannya didada dengan nada angkuh namun justru hal itu membuat Akashi tertawa pelan.
"Teriaki aku kalau begitu, sampai aku berbalik menemukanmu hm?"
Sakura mengangguk setuju dan Akashi tanpa sadar satu tangannya mengelus sisi wajah Sakura.
"Ah, kita makan dulu."
Dan Sakura bersyukur karena pesanan mereka datang membuatnya bisa bernapas lega karena takut Akashi mendengar detak jantungnya yang begitu kencang.
"Ittadakimasu."
.
.
"Jaga Sakura dengan benar."
Sasori mendengus sebal karena perkataan Akashi yang sebenarnya tanpa disuruh pun ia akan menjaga Sakura karena dia adalah adiknya.
"Hish, sebentar lagi jika mempunyai kekasih dia akan melawan." Sasori mencibir karena sejatinya sifat adiknya itu sangat keras kepala apalagi di usianya yang menginjak remaja.
"Kau mempunyai kekasih?" Akashi maju selangkah, mendekat kepada Sakura yang mendengus sebal karena mulut ember sang kakak.
"T-tidak--"
"Semalaman kau menangis karena kekasihmu mengabarimu untuk LDR kan? Cih cinta monyet."
Demi apapun Sakura ingin sekali menyumpal mulut kakaknya sekarang juga.
"Jangan berpacaran sebelum waktunya," Akashi menyampirkan syalnya kepada Sakura dan kembali melanjutkan ucapannya, "jika sudah mempunyai orang yang disukai maka kenalkan kepadaku oke?" Dan Akashi merunduk, melakukan sesuatu yang membuat beberapa orang menatap takjub, namun berbeda dengan Sasori yang langsung mendorongnya.
"Yak, dia adikku bukan adikmu." Sasori tidak terima karena Akashi mencium Sakura meskipun hanya di kening saja. Sakura adik kecilnya dan ia masih tidak terima jika ada orang yang disukai Sakura. Posesif atau protektif? Entahlah yang jelas Sasori hanya ingin Sakura hidup dengan alurnya dan tidak ingin kesedihan menghinggapi sang adik.
"Baiklah aku pergi dan ku harap kita akan bertemu kembali." Ucapan Akashi yang berpamitan membuat Sakura yang tadi diam berperang dengan pikirannya pada akhirnya memberanikan diri untuk memberikan sesuatu kenang-kenangan untuk Akashi.
"Jika ada waktu berkunjunglah." Ujar Sakura dengan mengangkat paper bag berukuran sedang kepada Akashi.
Melihat apa yang Sakura berikan tentu Akashi menerimanya dengan senang hati.
"Terimakasih dan hubungi aku jika kau ingin, mengerti?" Akashi kembali menepuk pucuk kepala Sakura kemudian mundur perlahan.
"Datanglah saat liburan nanti hm!" Akashi berujar dengan melambaikan tangan dibalas Sasori dan Sakura dengan ikut melambaikan tangan.
"Hati-hati dan jaga dirimu kawan." Sasori sedikit mengeraskan suaranya sedangkan Sakura hanya diam dengan kedua emeraldnya terus memandang sosok yang kini berbalik memunggungi mereka.
'Sampai jumpa cinta pertamaku.'
"Ayo kita menonton saja bagaimana?" Sasori merangku sang adik untuk meninggalkan bandara sedangkan Sakura yang sesekali menoleh dalam ke belakang dalam setiap langkahnya, berharap jika Akashi berbalik tidak jadi pergi.
"Sudahlah, jika kau merindukan kakak keduamu itu bisa menelponnya kan."
Dan Sakura hanya berharap jika suatu saat mereka akan dipertemukan kembali.
•
•
•
•
•
•
Suara ketukan membuat perempuan yang sejak tadi hanyut dalam kenangan masa lalunya seketika tersadar dan langsung beranjak untuk membukakan pintu.
Bibi Yan menyapa dengan membungkuk.
"Nyonya menyuruh anda untuk turun nona."
Ah, Sakura ingat akan hari ini. Hari dimana pesta para pengusaha berkumpul karena undangan salah satu keluarga milyarder di kota ini. Namun Sakura tidak begitu tertarik begitupula dengan bisnis keluarganya.
"Hm, aku akan turun sebentar lagi." Dan Sakura pun menutup pintu kembali setelah bibi Yan pergi.
Helaan napas lelah ia hembuskan karena rasa lelahnya dengan kehidupan ini.
"Saso-nii." Sakura bergumam lirih dengan tubuh yang bersandar pada pintu yang tertutup. Ia mengusap wajahnya pelan dan beranjak untuk berganti pakaian.
Dimana Sasori-nii?
Sasori-nii pun pergi meninggalkannya seorang diri, lebih dahulu menyusul kedua orang tuanya. Sebenarnya mereka adalah keluarga angkat Sakura yang dengan penuh kasih sayang merawatnya saat menemukannya ditengah malam saat hujan lebat disalah satu kota. Mereka membawa Sakura dan menjadikan Sakura anak angkat mereka. Meskipun begitu Sakura tetap menganggap mereka adalah keluarganya kandungnya karena, berkat mereka Sakura merasakan kebahagiaan, kasih sayang yang begitu besar.
Dan sebulan setelah kepergian kakaknya ia pun di usir oleh pamannya dengan kata-kata yang sungguh menyakitkan namun Sakura menerimanya karena itu memang kenyataan kan?
'Kau anak pembawa sial dan tidak ada hak untuk tinggal dirumah ini lagi!'
Ah, pembawa sial.
Kata-kata itu terus terngiang-ngiang membuat Sakura kadang tidak bisa menahan tangisannya jika sedang seorang diri.
Kadang ia berpikir, apakah ini sebuah kutukan? Entahlah. Sekarang baginya hanya hidup mengikuti alur seperti apa yang dikatakan Sasori-nii kepadanya.
"Pikirkanlah makanan kesukaanmu, orang yang kau sukai dan hal-hal yang ingin kau lakukan saat tiba-tiba datang pikiran 'lelah' menjalani hidup ini oke."
Makanan kesukaan? Mungkin itu sudah ia lakukan semuanya dan ia sangat merindukan makanan yang dimasak kakaknya itu. Tidak banyak hal-hal yang ia sukai kecuali--- ah Sakura menggeleng karena ini salah satu rahasia besar yang tidak ada mengetahuinya. Orang yang disukai....
"Bagaimana kabarnya ya." Sakura tersenyum saat melihat syal yang tergantung dan selalu ia simpan. Syal seseorang yang dulu sangat disukainya.
Lagi-lagi Sakura menggeleng kuat karena pada kenyataannya Akashi tidak pernah datang menemuinya ataupun kakaknya.
Dan mungkin itu hanya salah satu kenangan yang mengisi rangkaian kehidupannya tanpa terus bersamanya.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Sudah siap?"
Sakura mengangguk tanda ia siap untuk turun dari mobil mereka. Sebenarnya Sakura sangat tidak suka menghadiri acara seperti ini. Namun karena Tobirama terus memaksanya dan menyuruh sang nenek membujuk alhasil ia pun menyetujuinya.
"Ingin ku perkenalkan sebagai sepupuku atau kekasihku eh?" Tobirama tertawa kecil dengan gurauannya yang menurut Sakura sangat menyebalkan. Bagaimana tidak? Jika Tobirama mengajaknya keluar dia selalu mengatakan 'sayangku.' Membuat siapapun pasti menyangka mereka adalah sepasang kekasih.
"Aku hanya ingin tenang di pesta ini selebihnya terserahmu." Ucap Sakura yang bermaksud memperingati Tobirama. Ingin tenang tanpa ada hal aneh yang dilakukan Tobirama dan terserah yang Sakura maksud adalah Tobirama bisa pergi kemanapun tanpa harus bersamanya karena di pesta ini sudah pasti akan ada banyak kolega dan pengusaha yang hadir.
"Baiklah tuan putri, diam disitu aku akan membukakan pintu untukmu." Dan Tobirama pun turun lebih dahulu membukakan pintu untuk Sakura.
Cukup ramai namun tidak ada pers membuat Sakura menghela napas lega. Bukan apa, entah kenapa ia sangat tidak nyaman dengan kilatan-kilatan dari flash kamera.
"Ayo." Tobirama mengulurkan tangannya dan Sakura pun menyambutnya.
"Gandeng aku." Kata Tobirama dengan berbisik
Sakura meliriknya sebentar kemudian mengikuti arahan Tobirama untuk menggandeng lengan pria itu.
"Jika kau menggandengku bagaimana bisa kau mendapat kekasih Tobirama." Sakura menyindir namun pria itu justru tak ambil pusing.
"Justru karena aku tidak ingin didekati mereka Saki-chan." Balas Tobirama dengan dalih sok superstar.
Mereka masuk menuju tempat acara di adakan.
Ruangan besar seperti istana dengan dua tangga di masing-masing arah. Lampu kristal besar yang menggantung begitu menakjubkan dipadukan dengan pilar-pilar bangunan bak istana. Jendela-jendela besar, musik dan makanan yang tersaji begitu memikat Sakura yang tak henti-hentinya berdecak kagum meskipun hanya ia ungkapkan didalam hatinya.
Tumpukan gelas wine ditata begitu cantik dan Sakura tersenyum melihatnya.
"Jangan mabuk." Tobirama kembali berbicara pelan, memperingati Sakura.
Gadis bersurai merah muda itu berpenampilan sangat cantik dan anggun. Rambutnya di gerai, gaun silver yang dipakainya menampakan kaki jenjangnya saat melangkah, begitupun bahunya yang nampak sempurna.
( gambaran )
"Mau ikut aku?" Tobirama menawarkan namun Sakura menolak karena enggan. Jika tidak dipaksa mungkin Sakura lebih memilih untuk pergi melakukan hal lain daripada mendatangi pesta-pesta seperti ini.
"No."
"Baiklah nikmati apa yang ingin kau makan tapi ingat jangan sentuh itu." Tobirama menunjuk minuman-minuman beralkohol dengan dagunya dan Sakura hanya meliriknya kemudian berdecak.
"Yak, sana pergi." Sakura mengusir Tobirama untuk segera pergi dengan sedikit mendorong bahunya.
"Ya ya aku hanya sebentar tunggu aku disini sayang." Dan Tobirama yang tersenyum geli setelah mengatakan itu langsung berubah raut wajahnya setelah berbalik pergi. Sungguh mengejutkan bukan? Dan Sakura tak habis pikir orang menyebutnya dengan harimau putih sedangkan bagi Sakura Tobirama adalah kelinci putih.
Melihat sekitar penuh dengan orang-orang yang berbincang entah membicarakan apa, Sakura lebih memilih untuk pergi melewati lorong panjang yang menjadi perhatiannya.
Mansion ini sangat besar dan mungkin hampir beberapa menit menit Sakura akhirnya bisa keluar di halaman belakang masion ini.
Halaman sangat luas dimana kolam renang menjadi hal biasa sekarang untuk bangunan mewah seperti ini. Sakura melangkah mendekat ke tepian kolam, dimana pantulan bulan dan awan malam terlihat disana.
Dan Sakura tersenyum lirih saat ingat kembali sang kakak dimana dimatanya sedang tersenyum disana.
"Aku merindukanmu."
Bayangan itu semakin nyata dan bukan lagi berbentuk sosok sang kakak melainkan...
"Akashi-nii...." Bibir Sakura bergetar saat menyebut nama itu. Nama yang begitu lama selalu ia gumamkan saat sendirian.
"Lama tidak berjumpa...."
Sakura perlahan mengangkat kepalanya dan menoleh, dimana sosok itu berdiri tepat disampingnya.
"A-Akashi...." Sakura mengeluarkan reaksi terkejut, tidak percaya hingga rasanya untuk berbicara saja sangatlah sulit.
Pria dengan rambut merah itu tersenyum, mengangkat satu tangan lalu mengusap pucuk kepala Sakura seperti yang salalu dilakukannya dulu.
"Akhirnya kita bertemu kembali." Dan Sakura benar-benar tidak mengerti dengan keadaan ini. Entah ini hanya mimpi atau ilusinya karena masih menyimpan rasa kepada pria ini.
"Apa ini nyata?" Sakura masih terpaku merasa semua hanya ilusinya. Namun satu tindakan yang dilakukan Akashi seketika tangisan Sakura pecah.
"Aku disini, maaf sangat terlambat menemukanmu." Dan senyuman Akashi terlihat penuh sesal saat membawa Sakura kedalam pelukannya.
"Akashi-nii..."
"Hm?"
Sakura melepas pelukannya. Ia memandang pria itu dengan seksama. Akashi tidak berubah dia masih sama seperti dulu. Mungkin sekarang terlihat lebih dewasa namun Dimata Sakura dia tetap seperti dulu.
"Maaf mengganggu."
keduanya menoleh dimana salah satu pria berpakaian formal menunduk disana.
Akashi mengangguk dan pria itu pun mengangguk kemudian pergi.
Melihat itu Sakura tentu dibuat kebingungan karena tanpa katapun sepertinya mereka saling mengerti.
"Ayo ke dalam." Akashi mengajaknya namun Sakura menggeleng.
"Aku disini saja."
"Baiklah, nanti aku akan kesini lagi. Tunggu sebentar hm." Ujar Akashi yang lagi-lagi mengelus pucuk kepala Sakura membuat gadis yang bukan remaja lagi itu tersipu.
"Hm, aku disini." Sakura mengangguk. Memperjelas jika ia tidak ingin pergi dari sini karena ia tidak suka dengan keramaian di dalam.
Akashi tersenyum kecil kemudian berbalik menuju tempat acara.
Sakura merunduk dengan senyuman tipis saat ingat akan perasaannya yang sejak dulu menyukai Akashi dan ternyata masih sama hingga saat ini.
Namun suara langkah kaki dengan ketukan dari sepatu pantofel membuat Sakura kembali mengangkat wajahnya.
Akashi berlari dan kembali membuat Sakura merasa heran.
"Apa kau tertinggal sesuatu?"
Akashi mengangguk dan tersenyum. Kedua tangannya terangkat menyentuh kedua sisi wajah Sakura dengan wajahnya yang semakin mendekat.
Begitu singkat namun membuat tubuh Sakura mematung tidak percaya.
Akashi menciumnya.
"A-a..." Sakura merutuki dirinya sendiri karena bisa-bisa kesulitan berbicara sekarang. Jantungnya berdetak lebih gila saat ini dan wajahnya terasa panas.
"Ya. Perasaanku tertinggal sejak dulu dan sekarang aku ingin mengambilnya Bisa?"
Meskipun aneh didengar tapi Sakura paham apa maksud dari perkataan Akashi.
"Tidak mungkin kau..."
"Ya,"Akashi mengangguk dengan senyuman tipisnya.
"Aku menyukaimu sejak dulu dan bisakah perasaan yang kau punya untukku disatukan dengan perasaanku untukmu?"
Terkejut? Tentu saja. Bagaimana tidak, disaat Sakura selama ini menyimpan perasaannya pada kenyataannya Akashi tau tentang itu.
"B-bagaimana kau...." Sakura menggeleng dengan ketidakpercayaan atas semuanya. Bagaimana Akashi tau tentang perasaannya yang tidak pernah ia katakan kepada siapapun. Dan apa katanya tadi? Dia pun menyukainya?
"Terkejut?" Akashi tersenyum, tangannya meraih kedua tangan Sakura lalu diletakan di atas tangannya. Pria berdarah biru dari klan Seijuro itu menerawang masa lalu yang sebenarnya adalah paling berarti dan bahagia dalam hidupnya.
"Akan aku ceritakan semuanya setelah acara ini selesai bagaimana?" Dan genggaman tangan Akashi membuat seulas senyuman penuh haru terpatri dari Sakura. Entah ini hanya mimpipun Sakura bersyukur bisa bertemu dengan cinta pertamanya dan memohon untuk lebih lama berada di alam mimpi agar bisa bersama dengannya.
"Ya, Akashi-kun."
Dan senyuman yang jarang diperlihatkan Akashi kepada siapapun kini diberikan kepada Sakura setelah gadis kecil yang kini sudah dewasa itu menyebut namanya dengan sangat lembut hingga membuat jantungnya berdetak lebih gila melebihi dulu.
"Ayo."
Mungkin Sakura tidak tahu jika awal kenapa ia menyukai gadis itu dan alasannya menetap sementara saat itu. Waktu terus berlalu dan Akashi merasa menyesal saat kembali dengan harapan bertemu kembali, namun semua sia-sia karena Sasori telah pergi begitupun Sakura.
Berbagai cara ia lakukan namun sangat sulit mencari keberadaan Sakura. Namun beruntungnya ia saat datang pada salah satu peresmian hotel dimana Sakura ada dengan marga yang berbeda.
Dan Akashi akan menepati janjinya kepada Sasori, dimana akan selalu menjaga Sakura.
°°°°°°°°°°°°°°° END °°°°°°°°°°°°°°°°
Omake
Rooftop sekolah memang tempat terbaik bagi siswa tanpa kecuali Sasori maupun Akashi yang kini berada disini, disaat semua sedang berada dikelas.
"Lusa kau akan pergi dan jangan lupa sesekali berkunjunglah ke sini." Sasori duduk di kursi panjang yang ada disana sedangkan Akashi melihat pemandangan dengan kedua tangannya bersangga dipembatas atap. Berbalik, Akashi mengangguk membalas atas perkataan Sasori.
"Sasori," Akashi menatap sejenak sebelum menghampiri Sasori dan duduk disamping pria yang hampir serupa dengannya itu.
"Hm?" Sasori meraih ponselnya untuk memgirim pesan entah kepada siapa lalu menoleh, menandakan jika ia siap mendengarkan pembicaraan yang akan Akashi katakan.
"Alasan utama aku datang kesini adalah untuk datang ke makam ibuku." Akashi memulai pembicaraannya dan Sasori tau posisinya saat ini hanya diam mendengarkan karena belum saatnya ia mengeluarkan suaranya. Bukan apa, sebagai teman ia sangat tau jika ada sesuatu yang ingin Akashi katakan sehingga mengajaknya berbicara disini tanpa yang lainnya.
"Saat itu sore dan hari itu juga aku bertemu gadis yang membuatku langsung menyukainya." Mata Akashi berbinar saat mulai membicarakan gadis pertama yang ia temui di kota ini.
.
.
"Ini."
Akashi menoleh pada gadis yang tiba-tiba duduk disampingnya. Gadis dengan pakaian sekolah menengah pertama dengan rambut gulali yang terikat. Netra hijaunya berkilau dengan senyumannya yang merekah sepertinya mentari, begitulah gambaran Akashi pada sosok gadis itu.
Melirik apa yang diberikan gadis itu, Akashi enggan dan hendak kembali meluruskan tubuhnya namun tarikan pada tangannya membuatnya kembali menoleh pada gadis itu.
"Itu permen kesukaanku dan percayalah, itu akan membuat hatimu merasa lebih baik." Gadis itu berucap riang tanpa menghilangkan senyumannya membuat Akashi yang diam melihat permen dengan rasa stroberi ditangannya.
Dan hal yang membuat Akashi terkejut adalah gadis itu seolah tau apa yang membuatnya sedih saat ini.
"Hn." Dan Akashi pun akhirnya menerimanya dan memakannya tanpa melepaskan maskernya.
Rasa manis menjalar dilangit-langit mulutnya hingga tenggorokan dan Akashi melirik gadis yang ternyata sedang memperhatikannya.
"Apa kau bisa bernafas makan tanpa melepaskan masker dan itu,"gadis itu menunjuk beanie yang dipakai lelaki itu. "Apa sedang menyembunyikannya kan diri?" Tanya gadis itu kemudian.
Dan Akashi lagi-lagi cukup terkejut akan ucapan gadis itu yang sepenuhnya benar. Namun entah kenapa Akashi lebih memilih diam karena ingin mendengar suara gadis itu tentang hal-hal dugaannya itu.
"Ah maaf jika aku lancang tapi," gadis itu melirik sebentar sebelum meluruskan pandangannya kedepan tanpa memperhatikan pria disebelahnya.
"Hm, apa kau sedang putus cinta? Biasanya pria seumuran sepertimu begitu seperti Onii-chan." Ucap gadis itu kemudian terkikik setelah menyebut kakaknya dan sepertinya membayangkan kelakuan kakaknya itu.
"Onii-chan?"
Gadis itu mengangguk, "ya kakak, satu-satunya keluargaku yang kupunya setelah kepergian kedua orang tuaku." Ucap gadis itu yang kemudian tersenyum kecil dengan kedua kakinya berayun-ayun.
Akashi tidak menyangka jika kehidupan gadis itu hampir serupa dengannya hanya berbeda pada ayahnya saja yang masih ada sedangkan gadis itu tidak.
"Dan kau tau satu hal yang sebenarnya aku ketahui sejak lama?" Gadis itu menerawang dengan pandangan melihat langit biru sana.
"Kenyataannya aku tidak memiliki ikatan darah mereka." Gadis itu menengadah ke atas sepertinya menahan air matanya agar tidak turun.
"Kau marah kepada mereka?" Pada akhirnya Akashi pun mengeluarkan suaranya. Meskipun terhalang masker tapi Akashi yakin jika gadis itu dapat mendengar suaranya
Gadi itu menggeleng,"tidak." Ucapnya yang lagi-lagi membuat Akashi diam melihat reaksi gadis itu, sangat berbeda dengannya saat tau jika ibunya sudah meninggal dan mereka semua merahasiakannya selama ini. Dan hal itu pula menjadi alasan Akashi datang ke kota ini, kota dimana ibunya beristirahat terakhir kalinya.
"Aku sangat bersyukur meskipun tau semuanya. Mereka menyembunyikan hal itu karena tidak ingin aku terluka dan aku menghargai itu." Gadis remaja itu terus bercerita tanpa peduli dengan reaksi pria disampingnya.
"Namun kehilangan mereka membuatku takut,"Gadis itu menoleh dan lagi-lagi dengan senyuman manis namun terlihat penuh kekhawatiran pada sorot matanya.
"Sepertinya aku terlalu banyak bicara ne," gadis itu terkekeh geli lalu memberikan payung kepada pria itu.
"Jangan terlalu larut dalam kesedihan dan sepertinya kau butuh ini karena hujan akan datang." Ucapnya sambil menunjuk langit yang kini nampak mendung.
"Jaa ne," gadis itu memiringkan kepalanya dengan mata yang menyupu membuat satu alis Akashi tertarik melihat wajah gadis itu yang cukup dengannya.
"Ada apa?" Tanya Akashi yang sejujurnya penasaran akan apa yang dilakukan gadis itu lagi.
"Jika Onii-chan memberi lampu hijau aku harap kita bertemu lagi," gadis itu kembali meletakan permen strawberry itu pada telapak tangan Akashi,"aku hanya bercanda tidak usah dipikirkan, bye!" Dan gadis itu berbalik dengan berlari meninggalkan pria asing itu tanpa menanyakan nama atau memperkenalkan dirinya.
"Akasuna Sakura." Dan Akashi tersenyum saat mengucap nama yang tertera di seragam gadis itu.
.
.
Akashi kini sedang memilih baju untuk dibawa ke rumah sakit dimana Sakura dirawat sekarang. Gadis itu tiba-tiba saja pingsan tadi dan terpaksa menginap disana untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Dua stelan baju dipilih Akashi setelah mengambilnya dari lemari Sakura, dan dengan wajah memerah pula ia mengambil dalaman Sakura yang sebenarnya membuatnya tidak enak. Tidak. Tidak ada pikiran apapun tapi tetap saja itu barang sangat privasi seorang gadis.
"Semua sudah." Akashi menarik resleting, menutup tas berisi pakaian ganti dan bersiap pergi. Namun melihat sesuatu dibawah bantal Sakura membuatnya tertarik untuk mengambilnya. Hal pertama ia hanya bermaksud menaruhnya dirak untuk merapihkannya. Namun saat membuka buku sketsa itu membuatnya terpaku.
Banyak gambar sketsa pria yang Sakura gambar. Banyak dan Akashi sangat mengenalinya.
"Apa aku seperti itu saat tersenyum?" Akashi mencoba tersenyum seperti apa yang digambar, lalu ia membalik gambar melihat hingga halaman terakhir.
Dan Akashi terpaku beberapa saat sebelum senyumannya mengembang sempurna melihat gambar dirinya saat bermain basket. Bukan. Bukan gambarnya yang membuatnya senang tapi tulisan kecil di sudut dimana menjadi sesuatu yang akan membuatnya mengambil keputusan.
🌻My first love, Akashi Seijuro🌻
.
.
.
"Kau gila!" Sasori berseru tidak terima setelah mendengar cerita Akashi. Selain betapa terkejutnya ia baru tau jika adiknya sudah mengetahui fakta tentang jati dirinya, hal lain adalah Akashi yang menyukai adiknya. Selama ini ia percaya dan beranggapan jika Akashi memperlakukan Sakura seperti adiknya tidak lebih.
"Faktanya aku sudah menyukainya sebelum tau jika dia adikmu Sasori." Akashi kembali menggaris bawahi atas apa yang ia sampaikan sekaligus membantah tuduhan Sasori.
Sasori mengembuskan napas panjang dengan punggung yang menyender dan kepalanya yang mendongak, menatap langit.
Hembusan angin terdengar saat keduanya hanya diam dan terjebak di pikiran masing-masing.
"Akashi." Sasori membenarkan posisi duduknya dan menoleh kepada temannya itu. Ada hal yang ingin ia sampaikan kepada Akashi yang entah kenapa ia merasa cemas saat memikirkan adiknya itu.
"Hn."
"Aku merestuimu asal," Sasori menatap penuh keyakin pada Sasori sebelum kembali melanjutkan ucapannya,"berjanjilah bahagiakan Sakura dan lindungilah dia."
Netra hazel itu penuh keyakinan tapi entah kenapa Akashi melihat sorot kekhawatiran disana. Namun mendapat persetujuan Sasori membuat Akashi mengangguk tanpa ragu.
"Aku akan kembali setelah dia pantas tau perasaanku."
Dan Sasori mengangguk setuju karena Sakura saat ini masih belum masuk usia 17tahun dan baginya saat ini adiknya masih kecil untuk hal-hal seperti itu.
"Berjanjilah."
"Ya, Aku Akashi Seijuro berjanji akan membahagiakan Sakura, menemani dan terus disampingnya dalam hidupku."
Sasori cukup terkejut mendengar perkataan Akashi yang seperti janji atas pernikahan.
"Jangan konyol Akashi, adikku masih kecil."
"Aku akan menunggunya."
"Kau membuatku takut Akashi."
"Terimakasih kakak ipar."
"Yak, aku belum merestuimu bodoh!"
"Kau yang bodoh boneka hidup!"
Ternyata, hal-hal terkahir pada saat itu menjadi hari terkahir Akashi bertemu dengan Sasori.
"Aku berjanji akan melakukan apapun untuk membuatnya bahagia Sasori, aku janji."
Owari
Hello~~~~~~~ apa ada yang menunggu^^^
Hehe selamat tahun Baru 2024 untuk semuanya dan bulan kelahiran🩷
Ckrg, 06 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top