All of My Life [ PeinSakuSaso ]
🌷🌷🌷🌷🌷
Hujan dimalam hari tidak membuat Pein lantas menghangatkan diri di balik selimut. Dia terlalu malas atau memang sedang menginginkan tubuhnya tersentuh dingin dari air yang turun dari langit. Berdiri bersandar di balkon kamarnya, Pein memejamkan mata menikmati kedamaian yang dirasakannya.
Ingatannya sedang berputar, tentang satu nama yang telah menghancurkan hatinya meskipun itu sudah lima bulan berlalu.
Ya, dia telah menghancurkan semuanya setelah menghilang saat hari pertunangannya.
Dia adalah segalanya dan ia pun menyerahkan segalanya untuknya. Tapi apa yang dia perbuat saat semua sudah berkumpul dan menanti namun ia menghancurkannya begitu saja.
Kecewa? Tentu saja ia sangat kecewa terlebih dia menghilang begitu saja hingga saat ini.
"Aku menunggumu, aku mencintaimu."
Suaranya yang hadir dari lamunan nya membuat Pein seketika membuka matanya.
Pria dewasa itu menghela napas berat dan berbalik masuk ke dalam meninggalkan jejaknya yang terlihat dari cipratan air yang menggenangi balkon.
Setidaknya ia harus mulai melangkah untuk meninggalkan masa lalu meskipun masih membekas. Tapi rasa kekecewaannya sudah terlanjur menyakiti hatinya dan ia sendiri tidak tau dan yakin apakah bisa melakukan nya dengan baik.
.
.
🌷🌷🌷🌷🌷
"Nanti malam? Baiklah... Hm."
Pein memutuskan sambungan telponnya. Itachi mengajaknya untuk bertemu dengan adik dari kekasihnya itu, Izana. Semua tau jika dirinya sejak dulu hanya mencintai satu gadis namun karena kejadian dan menghilangnya gadis itu membuat teman-temannya dengan kelakuan aneh selalu memperkenalkannya kepada para perempuan asing yang jujur saja ia tidak minanti. Bukan ia trauma akan wanita tapi ia butuh waktu, mungkin.
.
.
Jalanan pusat kota dipagi ini sangat padat dan terpaksa kendaraannya melaju dengan pelan dan kini berhenti karena macet.
Pein menghela napas dan memilih menyalakan musik dengan harapan bisa mengusir rasa suntuknya. Entahlah, entah kenapa mood nya pagi ini sangat mengganggunya.
🎶And who can say where the road goes
Where the day flows, only time
Who knows?
Only time🎶
(( Enya 🎵 Only Time ))
"kenapa pagi-pagi harus lagu ini." Pein mendengus dan akan mengganti lagu yang akan diputar selanjutnya namun pergerakannya terhenti saat menoleh dan mendapati seseorang yang sangat dikenalinya hingga membuatnya harus menahan gejolak dalam dirinya saat ini melihat bagaimana keadaan gadis itu, gadis yang telah menghancurkannya.
"Sakura."
Gadis itu disana, dalam mobil mewah bersama pria lain dan mereka tertawa lepas.
Pein tertawa sumbang melihat kebahagiaan yang jelas terpancar disana seolah sedang mentertawakan keadaannya yang hingga saat ini masih merasakan kehancuran akibat apa yang gadis itu lakukan.
Bunyi klakson membuatnya sadar dan segera melajukan mobilnya kembali. Tidak. Bukannya ia tidak ingin menghampirinya tapi keadaan yang mendesak membuatnya harus segera pergi. Lagipula ia sudah bilang bukan jika rasa kekecewaannya sudah menyakitinya dan ia tidak seharusnya peduli dengan dia lagi karena ia sudah berjanji untuk membuka kehidupan yang baru, menata hatinya kembali.
.
.
"Kau baik-baik saja?"
Pein mendengus mendapat pertanyaan itu entah sudah kesekian kalinya. Baru saja ia menyelesaikan rapat untuk project baru pembangunan Hotel di kota Suna. Ia bekerja sama dengan salah satu investor yang nyatanya membuatnya hilang kontrol jika tidak ingat untuk keadaan ini. Pria itu tidak lain adalah pria yang ia lihatnya bersama Sakura tadi pagi dan ayolah, apa Tuhan sedang mempermainkannya? Di saat ia ingin meninggalkan masa lalunya kini dia kembali bahkan dengan hal lebih membuatnya menambah kesakitan dihatinya.
"Hn."
"Kau melihat orang itu seperti akan membunuhnya saja, tau tidak?"
"Apa kau mengenalinya?"
Pein menghentikan langkahnya dan menatap rekan sekaligus temannya malas. Apa dia tidak bisa satu hari saja tidak mengoceh?
"Obito..." Pein menatap lekat pria yang juga saudara Itachi dengan helaan napas berat. Satu tangan terangkat dan menepuk bahu sahabatnya dengan pelan namun cukup membuat Obito meringis karena nyatanya tenaga Pein sangat besar.
"Aku baik dan tidak perlu memasang topeng agar terlihat bahagia." Pein kemudian pergi meninggalkan Obito yang terbengong karena ucapan Pein.
"Dia mengatakan apa sih." decaknya kemudian pergi berlawan arah dengan jalan yang Pein lewati.
.
.
Gadis musim semi itu tersenyum saat merasakan tubuhnya merasakan kehangatan akibat sinar matahari. Ini masih pukul sepuluh pagi dan ia sedang menunggu Sasori yang izin untuk kembali menemui seseorang setelah menemaninya selama sepuluh menit tadi. Sasori bilang rapat sudah selesai hanya dalam satu jam setengah dan akan di lanjutkan lusa. Sepuluh menit Sasori menemui dan menemaninya meminum kopi dan kini pria itu sudah harus pergi dan berjanji tidak akan lama.
Senyum Sakura tercipta, saat merasakan wajahnya menghangat. Ia sengaja memilih duduk di dekat jendela kaca besar dan Sasori menyetujuinya jika berjanji akan tetap di sini menunggunya. Lagipula tentu saja ia akan menunggu karena tidak mungkin ia meninggalkan Sasori saat ia tidak tahu dimana mereka berada sekarang.
Lama dalam menikmati kehangatan sinar matahari, tiba-tiba saja seseorang datang membuat Sakura terkejut akan kehadirannya.
"Lama tidak berjumpa Sakura... Ah, sayang?"
Seluas luasnya dunia jika takdir sudah berkata lain mau tidak mau harus dihadapi bukan? Dan Sakura yakin jika saat ini adalah saat takdir menariknya kembali untuk menyelesaikan semuanya. Tentanganya dengan kekasih masa lalunya, Pein.
.
.
Pein yang hendak keluar menuju loby mendadak terhenti saat pandangannya melihat sosok itu. Sosok yang tadi ia lihat bersama pria lain.
Jangan pedulikan!
Satu langkahnya maju namun berbalik tiba-tiba dan berjalan menghampiri Sakura yang sedang duduk sendirian di cafe kantornya.
Setidaknya ia harus tau alasan darinya langsung tentang apa yang dilakukannya dulu.
Pein tidak mungkin salah meskipun Sakura kini berambut pendek dan memakai kacamata. Gadisnya-- mantan kekasihnya itu terlihat masih sangat cantik meskipun sedang memejamkan matanya. Gadis itu sedang menyapa matahari kebiasaanya yang ia sangat kenali dan entah kenapa ia tersenyum mengingat itu.
"Lama tidak berjumpa Sakura... Ah, sayang?"Pein mendudukan diri di depan Sakura dengan tenang dan sebisa mungkin ia tidak meledakan emosinya saat ini.
Bisa terlihat dengan jelas bagaimana Sakura terkejut dan langsung menoleh dengan wajah yang, hei... Apa mantan kekasihnya itu terkejut karena secara tidak langsung tertangkap sedang berselingkuh? Tentu saja bukan? Dia berselingkuh karena meninggalkannya tiba-tiba dan datang kembali dengan pria disisinya. Hei, apa dia sedang mempermainkannya?
Sakura membenarkan letak kacamata bening yang dipakainya dan tersenyum tipis.
"Aku baik, bagaimana denganmu?" tanya Sakura yang terlihat senang dan Pein mendengus melihat reaksi Sakura. Bukan ia tidak senang melihatnya tersenyum tapi apakah dia tidak punya rasa bersalah, sedikitpun?
"Kau bisa tersenyum saat bersapa denganku setelah semua yang kau lakukan?" Pein beujar dengan nada dingin, menyindir.
Pein muak berbasa basi dan mungkin saat ini adalah kesempatannya meluruskan semuanya. Pahit pun ia akan terima karena dengan begitu ia akan melanjutkan kehidupannya dengan tenang dengan mempunyai masalalu ditinggalkan kekasih yang berpura-pura bahagia dan menghancurkannya begitu saja.
Raut wajah Sakura yang tadinya tersenyum berubah. Pegangannya pada gelas kopinya mengerat. Maniknya terpejam sesaat sebelum kembali menatap lurus Pein dan tersenyum lagi.
"Setelah semua berlalu aku rasa kau tau apa yang harus dilakukan?"
Rahang Pein mengeras, menahan emosi yang akan meluap namun ia harus menahannya karena sadar dimana ia berada sekarang.
"Kau meninggalkan acara kita demi lelaki itu?" Pein bertanya dengan suara dingin, namun sorot matanya penuh dengan luka saat menatap mata yang sudah beberapa bulan baru dilihatnya lagi. Tapi, harapan yang tadi sempat muncul lenyap sudah mendengar ucapan Sakura yang sepertinya dari awal memang hanya ingin mempermainkannya.
Sakura tersenyum sangat cantik namun tidak secantik jawabannya, "ya." dan Pein menyesal menanyakan hal itu, sungguh.
Menggigit pipi bagian dalam, menarik napas dan menghembuskannya dengan berat Pein menyentuh tangan Sakura namun gadis yang pernah menjadi bagian hidupnya itu menariknya membuat hatinya berdenyut perih merasakan kesakitan lagi.
Secepat itukah atau dari awal memang Sakura tidak menerima cintanya?
Pein tertawa sumbang dan menarik kembali tangannya. Sungguh kejam sekali, pikirnya.
"Aku mencintaimu kau tau itu dan kau selalu datang untukku. Aku dan kau saling membutuhkan dan melengkapi. Kita berjanji akan selalu bersama dan sekarang?" Pein tertawa keras dan semakin terluka melihat Sakura yang hanya diam tanpa merespon atau menyanggah apapun.
"Apa semua dari awal hanya kebohongan?"
Pein bisa dengan jelas melihat tubuh Sakura menengang dan jujur ia ingin sekali memeluknya. Tatapannya tidak lepas dari Sakura yang masih merundukan wajahnya. Banyak pertanyaan yang ingin di tanyakan tapi sepertinya melihat reaksi dan jawaban Sakura tadi sudah cukup baginya untuk mendapatkan jawaban.
"Aku," Sakura mendongak dan menatap Pein dan lagi-lagi tersenyum manis namun tidak di inginkan Pein melihat itu karena ia yakin jika senyuman itu sesuatu hal yang buruk untuknya. "Dari awal hanya mempermainkan-mu dan sekarang aku mencintai orang lain, maaf."
"Kau," Pein kembali tertawa keras mengusap wajahnya kasar mendengar jawaban Sakura yang lagi-lagi menghancurkanya, menyakitinya lagi.
"Sepertinya aku akan menghapus semua tentangmu," Pein menujukan ponselnya dimana ia masih memakai wallpaper foto mereka berdua yang sedang meniup lilin saat merayakan ulang tahun dirinya.
"Itu...bagus."Sakura menyetujuinya dan lagi-lagi dengan senyuman yang kali ini membuat Pein muak melihatnya. Padahal ia berharap bukan itu jawaban yang ingin didengarnya.
Pein mendongak namun sial kenapa air matanya tidak bisa dicegahnya, ia menangis.
"Bagus," Pein bergumam di sela tangis dan tawa sumbangnya. Sungguh ia lebih ingin tidak bertemu jika menghadapi Sakura yang berkata sekejam ini. Bukan ia cengeng, tapi sungguh kelemahannya selama ini hanya satu... Sakura.
Sakura kembali meremas dress yang dipakainya. Kedua tangannya bergetar namun ia tetap diam menatap Pein yang terlihat menyiksanya.
Tidak. Semua ini adalah keputusannya dan Pein harus bahagia tapi tidak dengannya.
"Pein--"
"Sakura."
Suara seseorang membuyarkan Sakura dari lamunanya yang akan meruntuhkan kepusannya jika saja orang itu tidak datang disaat yang tepat.
"Ah, Sasori-kun." Sakura tersenyum lebar tanpa mengalihkan pandangannya pada sosok Pein yang masih terduduk di depanya.
Pein menoleh sesaat setelah menghapus jejak air matanya dan mengangguk untuk menyapa Sasori.
"Akasuna-san."
Sasori mengangguk namun tatapan penasarannya tidak luput dari Pein yang menyadarinya. Berdehem mencoba menetralkan suasana kembali seperti semula Pein berdiri dan menyapa Sasori.
"Anda pasti heran saya bisa kenal dengan kekasih anda," Pein melirik Sakura yang masih duduk diam tanpa bereaksi apapun dan lagi-lagi menambah luka baginya. "Dia kenalan lama saya."
"Ah, begitu." Sasori mendudukan diri pada kursi di samping Sakura. Meja yang ditempati mereka berbentuk lingkaran sedangkan Pein duduk tepat di depan Sakura. "Kau baik-baik saja?"Sasori menatap khawatir dan merapihkan helaian rambut Sakura menyelipkannya pada daun telinga.
"Hm, tadi ada Pein yang menemaniku tidak apa." Sakura tertawa kecil dan menyentuh tangan Sasori yang sedang mengelus kepalanya. "I'm ok."
"Maaf tadi Hidan menelpon jadi membuatmu menunggu lama."Sasori tersenyum manis begitu pun Sakura namun tidak dengan Pein yang mengepalkan kedua lengannya.
"Sepertinya saya harus pamit,"Pein melihat arloji yang dipakainya dan beranjak, "saya permisi dan jagalah kekasih anda jangan sampai merasakan apa yang saya rasakan ditinggalkan kekasih yang amat dipercaya dan dicintai. Semoga kalian bahagia selalu." Pein merunduk sekilas dan berbalik pergi meninggalkan Sakura yang masih menatapnya dengan mata yang sudah berkaca.
"Jangan sampai dia melihatnya, menangislah!" Sasori berdiri tepat di depan Sakura menghalangi pandangan Sakura dari Pein yang kini sudah menghilang setelah berbelok arah.
Sakura menarik tubuh Sasori dan memeluk tubuh pria yang selama ini selalu disisinya dan menumpahkan tangisannya.
Semua sudah berkahir dan biarkan dia bahagia.
.
.
Bunyi dentuman musik terdengar memekakan telinga. Tapi siapa yang peduli? Suasana seperti ini sangat dibutuhkan Pein untuk meluapkan semua emosinya. Tempat seperti ini sudah bukan hal rahasia lagi dimana semua yang datang ketempat ini memiliki tujuan untuk dirinya entah kesenangan atau melupkan kesedihan seperti dirinya.
Sentuhan sensual menyentuh pahanya dengan pelan tidak membuat Pein tertarik namun suara setelahnya membuatnya menoleh dan menatap perempuan itu dengan wajah mengeryit, mencoba melihat dengan jelas karena sepertinya efek alkohol sudah mulai bereaksi terhadapnya.
"Lupakan dia dan lihatlah aku!"
"Tayuya."
Gadis dengan surai merah muda gelap tersenyum dan menarik kursi, merapatkan diri pada Pein yang terlihat masih meneliti atau memeperjelas pandangannya.
Tayuya mencondongakan tubuhnya hingga kini merapat pada Pein dan berbisik. "Dia telah pergi dan lihatlah aku sekarang!" kemudian mengecup leher Pein membuat pria itu menoleh dan nyaris kedua bibir itu bertemu jika saja tidak ada seseorang yang menarik ah, lebih tepatnya menarik Tayuya hingga perempuan itu terjatuh.
"YAK APA-APAN KAU KONAN!"
Konan, perempuan cantik dengan rambut ungunya menatap tajam Tayuya dan mendengus melihat keadaan Pein.
"Kau,"tunjuknya pada Tayuya dengan tatapan tajam. "Pergi dan jangan ganggu Pein lagi!" tegasnya memerintah tidak ingin bantahan dari mulut perempuan yang jujur saja sangat tidak disukainya.
Yang ia tahu Sakura dan Tayuya adalah sahabat namun bukan rahasia umum jika Tayuya menyukai Pein mungkin tingkatannya bisa dibilang gila karena selalu mengikuti Pein meskipun sudah di tolak dan sedangkan Pein yang mencintai Sakura. Melihat kelakuannya ia tidak heran tapi sangat aneh kenapa Sakura tidak mengetahui kegilaan sahabatnya itu. Sejak kehilangan Sakura ia sudah menaruh kecurigaan kepada Tayuya namun Pein tidak ingin mendengarkannya karena kepalanya sudah penuh dengan rasa kekecewaan dan kesakitan akibat kejadian dimana Sakura meninggalkannya tepat saat hari akan diadakan pertunangan mereka.
Entah apa alasannya namun ia yakin jika perempuan ular ini ada dalam penyebab semua ini. Namun ia belum punya bukti tapi yang ia ketahui saat sebelum kontak Sakura terputus dan tidak bisa dihubungi terakhir kali dia bilang akan menjemput Tayuya. Dan kekesalannya semakin menjadi saat Pein tidak ingin peduli lagi tentang Sakura.
"Memangnya siapa kau berhak mengaturku hah?" Tayuya berdiri merapihkan penampilan nya pada dress ketat yang melekat pada tubuhnya. Ditatapnya sengit Konan yang masih menghalanginya dari Pein yang kini sudah hil--APA?
"YA, GARA-GARA KAU PEINKU PERGI!"Tayuya berteriak ditengah kerumunan dan hal itu tentu saja menjadi perhatian semua orang yang ada disana walaupun hanya sesaat dan kembali lagi dengan kegiatan mereka.
Konan tertawa mengejek dan menatap Tayuya tak kalah sengit."Aku hanya berpesan jangan karena kegilaanmu kau menghancurkan kehidupan seseorang yang bahkan tidak akan sama sekali melihatmu jadi sadarlah!" ucap Konan kemudian pergi meninggalkan Tayuya yang menggeram dengan kedua tangannya yang mengepal.
"Sialan!"
.
.
"Kita akan mulai pengerjaanya bulan depan."
Pein mengangguk dan menutup map yang terdapat project kerjasama antara perusahannya dengan Sasori. Semua sudah rampung tinggal menentukan hari untuk memulai.
"Terimakasih atas kerjasama ini." Pein mengulurkan tangan, berjabat tangan dan disambut Sasori dengan senyuman.
"Hn."
"Kita akan bertemu saat akan dimulai pembangunan, jika ada sesuatu yang dipertanyakan silahkan menghubungi asisten saya."
Satu alis Sasori mengeryit mendengar perkataan Pein. "Kenapa harus orang lain?"bukan tidak mempercayai orang kepercayaan Pein tapi bukankah lebih bagus jika mereka berdiskusi secara bersama?
"Aku rasa tidak harus mengatakan hal yang bukan urusan anda." Pein menghela napas tapi sangat jelas nada bicaranya penuh tekanan jika ada sesuatu tentang emosinya.
Menyandarkan punggung pada sandaran kursi di depan meja kerja Pein, Sasori kembali menatap pria berambut orange itu dengan tenang namun tangannya tidak luput dari tatapan Pein yang mengeryit melihat satu jari Sasori yang mengetuk-ngetuk seperti ada sesuatu yang ingin diucapkannya.
"Tentang nasihatmu kemarin," Sasori kembali menatap mata teduh Pein yang terlihat tenang. "Terimakasih dan sepetinya kau sangat kecewa mungkin benci kekasihmu itu, benar."
Pein mendengus mendengar perkataan pria merah di depannya. Jangan bilang pria itu sedang mentertawakannya?
"Itu hanya nasihat tidak penting dan soal benci tentu kau akan mengerti jika mengalami hal seperti itu. lagipula ini masalah pribadiku." ujarnya tegas melupakan etika antara rekan bisnis. Ia beranjak dari kursi kemudian berjalan pada jendela besar yang kini menampilkan suasana siang hari dengan gedung-gedung yang terlihat membiaskan cahaya sehingga saling memantulkan sinar matahari.
"Jika begitu harusnya kau tidak peduli juga dengan masalah pribadiku."
Perkataan Sasori membuat Pein langsung menoleh dan menatap pria yang terlihat muda namun umurnya sama dengannnya itu dengan pandangan penuh tanya.
"Lagipula aku sudah melepaskannya."
"Kau yakin?"
"Apa maksudmu?" Sasori tersenyum melihat reaksi Pein yang kembali menampilakan emosinya karena ia biasa melihat jika perkataan pria itu hanya omong kosong dengan segala membohongi dirinya yang menyatakan baik-baik saja namun kenyataanya adalah sebaliknya.
Sasori bangkit dan menaruh sesuatu di atas meja dan kembali menatap Pein.
"Hanya satu kali aku memberimu kesempatan dan jika kau tidak datang maka aku tidak akan menyerahkannya kepada siapapun termasuk dirimu lagi." ujar Sasori kemudian pergi meninggalkan Pein yang masih tergugu akan ucapan Sasori tadi.
Jadi...Sasori tahu tentang masalalunya dengan Sakura dan untuk apa dia mengatakan itu disaat Sakura memilihnya?
"Hah," Pein menghela napas dan mengurut pangkal hidungnya sebentar dan berjalan ke meja kerjanya dimana sesuatu yang ditinggalkan Sasori barusan.
Sebuah tulisan di atas kertas namun membuatnya bimbang setengah mati.
.
.
"Sasori-kun."
Pein membeku saat pintu itu terbuka. Bukan pemandangan yang sejak tadi berkeliaran menghantui pikirannya, tapi sosok Sakura yang berdiri tepat di depannya saat pintu yang ditunggunya sejak tadi akhirnya tebuka. Bukan hal yang menjijikan namun hal yang cukup membuat Pein terkejut bingung dan juga cemas.
Tepukan pada bahunya membuat Pein langsung menoleh dan mendapati Sasori yang mengisyaratkan untuk diam. Pria merah itu berdehem dan membalas Sakura. "Aku disini."
Sakura terenyum lega dan mendorong pintu semakin lebar mempersilahkan Sasori masuk. "Masuklah."
Sasori merangkul Sakura dan kembali mengisyaratkan Pein untuk masuk tanpa suara.
Pein mengikuti pasangan itu begitu saja tanpa suara. Seharusnya ia tidak kesini tapi seakan pikiran itu hilang saat melihat Sakura sekarang. Kemarin saat pertemuan mereka, Sakura hanya duduk dan menatapnya tapi sekarang bisa sangat jelas bagaimana keadaan Sakura yang sebenarnya.
Sasori mendudukan Sakura di sofa ruang tamu dan menatap lembut sosok gadis yang ditemuinya dulu saat tergelatak dijalan dengan keadaan yang sangat memprihatinkan. Tubuh dengan bersimbah darah dan berbagai luka yang ia yakin akibat benturan benda atau bisa dibilang tertabrak mobil.
"Tunggu disini aku akan membuatkan cokelat hangat untukmu." Sasori berujar dengan tangan mengelus kepala Sakura pelan kemudian beranjak meninggalkan Pein yang sepertinya masih dalam keadaan terguncangnya.
Sasori menghela napas dan berlalu. Setidaknya Pein harus tahu keadaan Sakura karena tidak Pantas Sakura mendapat kebencian yang tidak seharusnya didapatkannya apalagi dari orang yang hingga saat ini masih dicintai Sakura.
Bibir Pein yang akan terbuka kembali terkatup dan ditutupnya dengan kedua tangannya. Sejak pertama kali Sakura membuka pintu jujur saja ia tidak sanggup dan sepertinya dunianya hancur melihat keadaan gadisnya ini. Bagaimana dia duduk di depannya namun hanya diam dengan bersenandung seolah dia baik-baik saja.
"Sasori-kun." Sakura meletakan kacamata dan tersenyum menggerakan kepalanya kesemua ruangan seolah sedang melihat keadaan ruangan ini.
Sasori menyahutnya dengan sedikit berteriak karena sepertinya pria itu masih belum selesai membuat minuman yang dijanjikannya.
"Aku sudah tahu ah, sedikit sih,"Sakura terkekeh pelan dan itu tidak luput dari Pein yang masih dengan menatapnya dalam diam. "Aku bisa memakai ponsel." Sakura menggerakan tangan meraba mencari benda kotak yang tadi ia letakan di atas meja.
Melihat itu, Pein mendekatkan benda persegi itu agar bisa diraih oleh sakura. Air matanya tidak bisa ditahan lagi dan ia kembali menangis tanpa suara.
"Ah,ini." Sakura tersenyum saat ponsel itu sudah digenggamnya. Bukan ponsel sebelum yang dimiliknya namun ponsel keluaran dulu yang bisa ia raba dan hafal. "aku bisa mengirimu pesan sekarang."
"Benarkah?"tanya antusis Sasori yang kini sudah datang dengan satu gelas cokelat hangat untuk Sakura. "Panggilan no 1 untukku bukan?" Sasori meraih ponsel itu dan menggantikannya dengan gelas cokelat panas. Ditekannya no 1 namun bukan menyambung pada ponselnya tapi ponsel pria lain yang kini berbunyi.
"I-itu kau menekan no 1?"tanya Sakura dengan wajah terkejutnya karena bunyi ponsel yang berdering. Bukan! Karena no 1 bukan langsung menghubungkannya pada Sasori tapi orang lain.
Sasori berseru, "ah ada yang menghubungiku."
"Ya, baik baik nanti aku kabari." Sasori berbicara yang tentu saja pada kenyataanya ponselnya sama sekali tidak berdering dan tadi itu hanya berpura-pura.
Sakura menghela napas lega saat tau jika tadi Sasori menekan no 1 dan bunyi deringan tadi adalah ponsel Sasori berarti apa yang sempat melintas dipikirannya tidaklah benar.
"Ini bukan nomerku!" Sasori berujar dan terdengar merengek membuat Sakura terkekeh.
"Maaf."
"Siapa dia?"
Sakura tersenyum hangat, hangat sekali membuat Pein kembali mengusap kasar wajahnya karena frustasi.
"Dia orang yang sangat berarti kau tau itu Sasori."
"Ah aku tau."
"Maaf." Sakura tersenyum lirih karena rasa bersalahnya yang hingga saat ini tidak bisa melupakan Pein meskipun Sasori selalu disisinya selama ini.
"Sasori-kun."
"Hm?"
Sakura nampak ragu tapi ia tidak mungkin salah dengan penciumannya apalagi aroma ini sangat dikenalinya.
"Apa tadi kau bertemu dengannya?"
Sasori melirik Pein dan menjawab, "ya, kenapa?"
"Tidak apa-apa karena aku mencium wangi parfume yang sering dipakainya, mungkin hanya pikiranku yang sedang kacau."
Pein bangkit hendak menarik Sakura namun ditahan Sasori yang mengisyatkan untuk tidak melakukannya.
"Sakura?"
"Ya?"
"Aku ingin mengambil sesuatu yang tertinggal di mobil, tunggu sebentar oke?"
Sakura terkekeh dan mengangguk. "sana ambilah."
Sasori menarik Pein keluar dari apartemen tempat tinggal Sakura selama ini. Tempat kesendirian Sakura dalam kegelapan yang selalu menemaninya.
.
.
Buagh
Bukan suara tinjuan pada seseorang melainkan tinjuan seorang Pein Yahiko kepada tembok yang kini terlihat sedikit retak dengan meninggalkan bercak darah.
"Kenapa kau menyembunyikan semua ini?!"
Sasori yang sejak tadi diam memperhatikan Pein yang meluapkan emosinya menghela napas berat.
"Dia yang meminta."
"Tapi...kenapa?" Pein jatuh meluruh dan duduk dilantai dengan tubuh bersandar pada tembok. Satu kakinya tertekuk dan ia kembali mengusap wajahnya dengan kasar. Rasa kekecewaannya nyatanya tidak sebanding dengan apa yang dialami Sakura. Rasa penyesalan datang menghantamnya saat ini dan setelah semua terjadi apa yang bisa dilakukannya?
"Karena dia sangat mencintaimu."
.
.
Sakura menutup pintu setelah Sasori berpamitan untuk pulang karena hari sudah larut dan ia harus segera beristirahat. Langkahnya tertatih dengan pelan meraba pada dinding. Kakinya tersandung hingga membuatnya terjatuh.
Mulanya ia tertawa tapi setelahnya tangisannya pecah dan itu terdengar sangat menyakitkan bagi siapapun yang melihat dan mendengarnya termasuk Pein yang sejak tadi bersandar pada dinding dalam diam melihat sakura dalam diam akhirnya menghampiri gadis itu.
Pein tidak berbicara, ia berlutut tepat di depan Sakura dan melihat kesedihan Sakura dan bagaimana beban Sakura selama ini, ia bisa merasakannya.
"Pein-kun maaf... Maafkan aku."lirih Sakura yang kemudian bangkit kembali dan berjalan menuju kamarnya dengan tangan berusaha menggapai apapun untuk mengetahui kemana ia harus melangkah.
Pein mengikuti Sakura dalam diam dan keheningan. Ia hanya bersandar pada dinding kamar Sakura dan tidak melakukan apapun selain melihat bagaimana Sakura mengganti pakaian tidurnya, meraba kasur dan kemudian menaikinya dan berbaring disana.
"Semoga kau bahagia Pein-kun."ucapan atau harapan Sakura setiap malam sebelum ia terlelap. Hanya itu harapannya untuk kebahagian pria yang ditinggalkannya dan amat dicintainya itu.
Pein memejamkan matanya mendengar ucapan Sakura yang nyatanya selalu berharap akan kebahagiaannya tanpa peduli dengan kehiduapnnya.
Setengah jam berlalu dan Pein melangkah mendekati tempat dimana Sakura terbaring dan sudah terlelap dalam tidurnya. Ia menaiki kasur dengan pelan dan berbaring disana, tepat di samping Sakura. Tubuhnya menyamping menatap Sakura yang sudah terlelap. Pein tersenyum melihat wajah Sakura yang baginya masih sangat cantik meskipun dalam keadaan sedang tertidur sekalipun. Menarik selimut, ia menyelimuti Sakura dan menutupnya sebatas dada gadisnya itu.
Banyak yang ingin ia tanyakan tapi melihat Sakura saat ini membuatnya harus menahan dan ia hanya tersenyum, bahagia.
Jika dulu, Sakura akan tertidur dengan memeluk dirinya.
Jika dulu, Sakura akan mengecup bibirnya sebelum tertidur.
Jika dulu, ia akan mengatakan jika Sakura adalah kehidupannya dan bisakah ia kembali dengan Sakura-nya? Meskipun ia berteriak tidak peduli nyatanya ia sangat peduli dan masih menginginkan belahan jiwanya ini kembali lagi, kepadanya.
'Maafkan aku yang tidak mencarimu.'
'Maafkan aku dibutakan oleh kebencian.'
'Maaf membuatmu sendirian disaat menghadapi masa sulit.'
'Maaf...maafkan aku, Sakura.'
Pein sangat sadar jika Sakura tidak bisa mendengarkan isi hatinya tapi sungguh kekecewannya kini berbalik ia rasakan untuk diri sendiri. Kecewa karena tidak selalu berada bersamanya.
.
.
🌷🌷🌷🌷🌷
"Hei ada apa?"
Konan menatap Pein dengan alis bertaut. Sejak pagi Pein terlihat berbeda meskipun sahabatnya ini selalu diam dengan tampang seramnya itu. Tapi melihatnya seperti ini, melamun membuatnya bertanya-tanya ada apa? Lagipula yang bisa membuat Pein seperti itu hanya Sakura dan heiii, bukan nya Pein tidak ingin memikirkan Sakura lagi?
Pein merebahkan diri pada sandaran sofa dan memejamkan matanya sesaat sebelum kembali terbuka dan menatap Konan dengan tatapan hancur.
Melihat itu, Konan sontak mendudukan diri di samping Pein dan menepuk sahabatnya dengan pelan, "ada apa? Sesuatu terjadi?" Konan bertanya menuntut karena Pein itu meskipun usianya sudah dewasa nyatanya hatinya masih lemah dan mungkin seperti mafia berhati hello kitty. Terlihat kuat namun dia sangat rapuh jika sesuatu yang menyangkut kesayangannya.
"Sakura,"Pein menghela napas berat dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tanganya. "Apa yang harus Ku lakukan?" Pein menatap putus asa membuat Konan mendengus antara kasihan atau lucu melihat Pein yang begitu lemah saat ini.
"Memangnya ada apa? Apa dia kembali?" meskipun ragu tapi Konan penasaran karena Pein lagi-lagi seperti ini.
"Ya," Pein mengangguk lemas dan kembali bersandar pada sofa.
Satu alis konan terangkat melihat reaksi Pein. Bukannya dia yang selalu bilang tidak akan perduli lagi? Dan apakah Pein sudah berbicara dan menemui Sakura?
"Lalu? Kau melepaskannya?"
"Tidak juga."
Pein masih memejamkan matanya, berpikir dengan segala kekacauan pada dirinya. Tapi untuk melepas Sakura tidak mungkin dan saat ini ia ingin Sakura tau jika ia sangat menginginkan nya kembali bersama.
"Jadi?" Konan masih penasaran dengan apa yang terjadi hingga membuat Pein seperti ini dan menunggu Pein menceritakan nya.
"Dia tidak bisa melihatku." lirih Pein sedang Konan masih kebingungan dengan ucapan Pein. "Tidak bisa? Dia pergi?"
Pein menegakan tubuhnya dan mengambil ponselnya membuka galeri dimana potret dan video Sakura semalam ia rekam. Pein tidak bisa mengatakan apapun lagi sedangkan Konan yang melihat itu membulatkan matanya, tidak percaya.
"P-Pein jangan bilang Sakura..."
"Kenapa dengan Sakura?"
Suara lain menginteruspi mereka. Nagato datang dengan satu kantung berisi makanan untuk mereka. Ia baru saja tiba dan mendengar Konan menyebut nama gadis kesayangan yang ia sudah anggap seperti adik sendiri. Meskipun ia kecewa karena Sakura melakukan ini kepada Pein tapi ia tidak bisa membenci apalagi ia amat sangat menyayanginya dan mendengar Konan menyebut namanya tadi membuat nya penasaran. Jujur saja ia sangat merindukan gadis musim seminya.
Pein menghela napas berat melihat Nagato yang sudah berdiri di depannya, menuntut penjelasan. Nagato sahabatnya dan sangat menyayangi Sakura karena Sakura adalah gadis yang menyelamatkannya dari kehancuran yang ia dan Konan pun tidak tahu jika saat dimana Nagato berada di titik terendah untuk mengakhiri hidupnya. Sakura bagi mereka sangat penting begitu pun dengan nya.
"Dia tidak bisa melihat lagi karena sebuah kecelakaan yang menimpanya pada hari itu."
Hari itu, hari dimana pertunangan nya. Konan dan Nagato mengerti tapi mereka tidak percaya jika sesuatu yang buruk menimpa Sakura. Terlihat dari Nagato yang menjatuhkan kantong makanan yang tadi dibawanya dan Konan yang menangis.
"S-sakura... Dia--"
"Bisa kau antar aku menemuinya?"
Pein menatap Nagato dalam gelengan. Bahkan ia sendiri belum berbicara kepada Sakura jika ia tahu keadaannya dan Sasori melarangnya untuk mengatakan itu saat ini dan meminta biarkan Sakura menata hidupnya kembali untuk lebih kuat. Sasori memintanya menunggu karena ia yakin ceoat atau lambat Sakura akan tahu semuanya tentang Pein yang sudah mengetahui keadaannya.
"Tidak sekarang tapi aku janji kalian akan menemuinya segera."
Tidak sekarang, sebelum ia memperbaiki semuanya.
.
.
Sasori membawa Sakura kembali keluar. Putra tunggal Akasuna itu memintanya menunggunya untuk rapat, lagi. Sakura duduk di sofa yang terasa nyaman dan bukan lagi sebuah cafe yang mempertemukan nya lagi dengan Pein. Sakura mengenakan dress putih dan sepatu. Tidak mungkin ia memakai sepatu berhak saat ini dan tidak lupa kacamata yang selalu dipakainya untuk mencegah debu sebenarnya bukan karena ia mengalami gangguan. Ah, matanya memang gangguan atau mungkin rusak?
Sakura menghela napas pelan dan meraba mencari gelas teh yang tadi Sasori bilang. Entah kenapa sekarang penciumannya selalu merasakan wangi dari Pein. Jujur saja ia sangat merindukan pria itu dan bahagia hanya dengan mencium wanginya saja seolah Pria itu selalu ada di sisinya.
"Wanginya selalu hadir," Sakura terkekeh dan menghirupnya dalam-dalam merasakan nya masuk kerongga dadanya, menenangkan untuknya. "Sepertinya aku sangat merindukannya."
"Begitupun aku."
Tubub Sakura menegang mendengar suara yang amat familiar. Tidak mungkin kan Pein di sini atau ini hanya halusinasinya saja?
Tangan besar dan terasa hangat itu menggenggam tangannya dan mengangkatnya, membawanya untuk menyentuh wajahnya.
"Ini aku."
.
.
Pein berpangku tangan memandangi Sakura yang sudah berada di depannya sepuluh menit yang lalu. Sasori mengantarkan Sakura ke Apartement nya karena ia yang meminta atau bisa dibilang memohon. Saat Sakura terkekeh dan berusaha meraih minuman yang dibuatnya tadi, Pein menyodorkan agar dapat diraih sakura.
"Wanginya selalu hadir," Sakura terkekeh lagi membuat Pein tersenyum melihatnya namun senyumannya hilang saat wajah sedih Sakura yang kini terlihat.
"Sepertinya aku sangat merindukannya." Pein tidak bisa menahan lagi untuk menahan diri dan menangis, lagi.
"Begitupun aku." ia berbisik pelan tapi Sakura dapat mendengarnya dengan jelas karena saat ini ia sudah duduk tepat di samping Sakura, menghadap Sakura.
Pein semakin tidak kuasa melihat respon Sakura yang terkejut. Tidak, tidak akan ia mundur atau melepaskannya lagi.
Tangannya menggenggam tangan Sakura dan mengangkatnya, membawanya untuk menyentuh wajahnya.
"Ini aku."lirih Pein dan jika saja Sakura bisa melihat bagaimana sekarang Pein terlihat hancur dan menangis.
Sakura berusaha menggeleng dan meraba wajah yang amat ingin dilihatnya. Tangisannya pecah mengetahui jika apa yang dirasakan melalui sentuhan tangannya adalah sosok Prianya, kekasihnya.
"I-ini kau...Pein-kun?"
Pein mengangguk, "Ya." kemudian membawa Sakura kedalam pelukannya. Ia menangis begitupun Sakura yang meraung pilu dan terdengar menyayat hatinya.
"Aku merindukanmu, aku merindukanmu."
Pein semakin mengeratkan pelukannya dan mengusap kepala Sakura dan mengecupnya. "Aku juga, sangat sangat merindukanmu."
Sakura tersadar dan ingin melepaskan pelukan nya namun tidak dibiarkan Pein dengan semakin memeluknya erat seperti takut jika pelukan itu terlepas maka Sakura akan meninggalkannya lagi.
"Jangan tinggalkan aku lagi " lirih Pein membuat Sakura semakin terisak.
"Kau harus bahagia." balas Sakura tak kalah lirih.
Melepaskan pelukannya, Pein meletakan kedua tangannya di sisi wajah Sakura dan menghapus air mata gadisnya.
"Kau sangat tahu kebahagiaanku itu apa." ucap Pein pelan dan masih mengusap wajah Sakura dan merapihkan anak rambut yang menghalangi wajah Sakura.
"Tapi aku but--"
Perkataan Sakura terputus atau dihentikan Pein yang menciumnya tiba-tiba.
Meskipun Sakura tidak bisa melihat tapi ia bisa merasakan bagaimana Pein terluka, putus asa lewat sentuhannya. Hati Sakura bergetar bagaimana ia masih merasakan begitu besar cinta Pein dan ia pun menutup matanya, mencoba berbagi perasaan yang selama ini di tahannya dengan kebohongan. Ia pun sama putus asanya dan hancur saat tau keadaan yang menimpa dirinya dan harus meninggalkan Pein. Tapi demi Pein ia rela melakukannya daripada hidup dengan perempuan yang tidak sempurna sepertinya ini.
Tautan mereka terlepas dan Pein menyatukan kening dengan tangan masih menyentuh kedua sisi wajah Sakura.
"Apapun itu kau adalah sosok sempurna untukku dan aku hanya minta tetaplah disisiku, jangan pergi lagi."Sakura akan kembali menangis mendengar ucapan Pein namun Pein dengan cepat menghapus air mata yang sempat akan jatuh. "Jangan menangis."
Sakura tidak mengatakan apapun lagi karena ia ingin tapi bimbang dengan dirinya yang tidak yakin.
Apa bisa aku membuatmu bahagia?
"Aku mencintaimu."
.
.
🌷🌷🌷🌷🌷
Pagi itu Tayuya menghubunginya jika ia terjebak di tempat yang tidak di ketahuinya. Gadis atau sahabat nya itu menangis karena ketakutan. Dia bilang ia berada di pinggiran kota saat akan menuju ke tempatnya. Dari suaranya terdengar suara tertawa lelaki dan juga wanita yang dengan jelas ia dengar menyebut Tayuya sebagai tunangan Pein.
'Mungki mereka mengincarku?' pikir Sakura dan meminta Tayuya mengirimkan lokasi dimana ia berada terakhir kalinya.
Sakura mengambil kunci mobil dan melihat pesan masuk dari Tayuya sebelum ponsel sahabatnya itu mati saat ia akan menghubungi lagi.
Sakura menyetir dengan perasaan khawatir dan melaju dengan kecepatan kencang. Konsentrasinya buyar saat ponselnya berdering. Menekan layar pada dasboard mobil yang menunjukan satu panggilan dari Konan, Sakura menekan 'ok' dan menjawabnya.
"Konan-nee-san."
"Kau dimana? Aku sudah membawa gaunmu."
"Nee-san tunggu saja aku akan segera kembali." Sakura menjawab dengan fokus masih pada jalanan yang kini akan masuk ke hutan kecil pinggiran kota.
"Baiklah tapi kau dimana sekarang?"
"Tayuya, aku sedang menjemput Tayuya."
Terdengar decakan Konan saat Sakura menyebut nama perempuan itu. Sakura memaklumi karena Konan memang tidak terlalu suka dengan Tayuya entah karena apa padahal Tayuya sosok yang sangat baik dan ceria.
Sakura menghentikan laju mobilnya saat mobil yang sangat dikenalinya terhenti didepan tidak jauh dari tempatnya berada.
"Heyy, kau yakin tidak apa-apa? aku akan menyusul--"
"Tidak perlu nee-san," Sakura terkekeh dan membuka kuncu pintu mobilnya. "Aku tutup nee-san, sampai ketemu dirumah." sambungan nya terputus dan Sakura keluar dari mobil kemudian berlari menghampiri mobil yang terparkir di seberang jalan yang berlawanan arah dengannya.
Sakura tidak merasakan apapun lagi saat tubuhnya terhempas dengan rasa remuk yang dirasakannya. Darah bisa dirasakannya mengalir melewati wajahnya tapi tubuhnya tidak bisa merasakan apapun hingga kesadarannya mulai menipis, ia bisa melihat dan mendengar walaupun samar. Sosok dan suara itu adalah dari Tayuya, sahabatnya.
Kenapa?
"Kalian bawa mobil nya."
"Kami tidak mau karena itu beresiko nona."
"Sialan. Biar aku yang membawanya dan biarkan dia disini jangan ada yang menolongnya, biarkan dia mati dan meninggalkan Pein-kun selamanya."
Sakura tidak bisa mendengar lagi setelah kata umpatan yang Tayuya ucapkan sebelum semuanya menjadi gelap.
'Gadis sialan!'
.
.
"Gadis sialan!"
Sakura membuka matanya seketika saat kata-kata itu kembali terdengar membuat tubuhnya bergetar. Tidak, tidak kali ini terasa nyata.
"Kau sudah bangun?"
Suara itu...
"T-Tayu..?" suara Sakura bergetar untuk menyebut nama itu saja. Kenangan yang dikuburnya kembali datang dan kehadiran yang paling tidak ia harapkan adalah sosok Tayuya, sahabat yang membuatnya seperti ini.
Seminggu ia baru siuman dan mendapati dirinya yang tidak bisa melihat apapun membuatnya ketakutan. Bukan hanya asing dengan keadaan yang tidak sama sekali terlihat tapi ketakutan lain yang membuatnya tidak berani untuk menemui Pein.
Dalam keadaan yang ingin sekali mengakhiri hidupnya, Sasori selalu menemani dan mencegahnya meskipun sempat pria itu hampir gagal jika tidak datang dengan cepat ia akan mati seperti keinginannya.
Mengingat kembali masa dimana semua berakhir, Sakura meremas rambutnya dan menggeleng untuk mengenyahkan suara yang bagaikan lonceng kematian. Bagaimana ia ketakutan dan kecewa karena tindakan orang yang sangat dekat dengannya. Bukan ia tidak tahu jika Tayuya menyukai Pein, tapi ia ingin Tayuya yang sadar dan mencari kebahagiaan lain karena Pein dan ia akan segera bertunangan. Namun ternyata tingkat perasaan Tayuya bukan sekedar menyukai atau mencintai tapi obsessi ingin memiliki Pein.
"Pergi... Pergi... AKU BILANG PER--Akhh!" Teriakan Sakura berganti pekikan kesakitan karena rambutnya yang ditariknya dengan keras oleh Tayuya dan wanita gila itu menyeretnya tidak peduli tubuh Sakura yang terjatuh akibat ulahnya.
"Kau..." Tayuya melepaskan cengkramannya pada rambut Sakura dan tertawa kencang seolah melihat Sakura seperti ini adalah kepuasan tersendiri baginya. "Kenapa?"
Tayuya berjongkok di depan Sakura, memandangi bagaimana sahabat ah ia sama sekali tidak menganggapnya sahabat melainkan sosok menyebalkan yang harus disingkirkan dari kehidupannya karena telah merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.
"Sakura."bisik Tayuya namun seperti bisikan setan yang membuat tubuh Sakura kembali bergetar, ketakutan.
"Kau takut?" Tayuya berdecak dan menampar kemudian menjambak Sakura. "KAU SEHARUSNYA MATI SIALAN! KAU MATI SAAT ITU BUKAN KEMBALI HIDUP DAN MENDEKATI MILIKKU!"Tayuya berteriak benar-benar terlihat menakutkan dan tindakannya kembali membuat Sakura harus terlempar karena perempuan gila itu menarik dan mendorongnya hingga tubuh Sakura menabrak meja hingga pelipisnya terluka.
"APA YANG KAU LAKUKAN SIALAN!"
Teriakan seseorang membuat Tayuya langsung membalikan tubuh dan berlari menghampiri Pein.
"I-ini tidak seperti yang kau lihat. D-dia berpura-pura buta d-dan ingin memfitnahku jika itu adalah ulahku." Tayuya berusaha meraih lengan Pein namun dihentakan tangannya dengan keras.
"Kau," Pein menatap tajam Tayuya dan mengangkat tangannya.
Melihat apa yang dilakukan Pein, Tayuya tersenyum dan meraih tangan Pein untuk menggenggamnya. Namun belum ia menyentuhnya, tangan Pein dengan cepat meraih lehernya, mencekiknya.
"P-Pein..."
"Perempuan sialan, kau yang melakukan ini semua?" Pein berujar dingin penuh dengan aura menyeramkan. Pein tidak main-main dengan cengkraman nya karena bisa terlihat Tayuya yang kesulitan bernapas. Tapi ia tidak peduli karena kemarahannya sudah menguasainya saat dengan mata kepalanya sendiri melihat bagaimana Sakura diperlakukan keji oleh perempuan yang sangat di sayangi Sakura dan telinganya pun tidak salah dengar jika yang menyebabkan Sakura seperti ini tidak lain adalah dia.
"Maaf kam--ASTAGA PEIN LEPAS!"
Konan berlari berusaha melepaskan cengkraman Pein pada leher Tayuya. Namun kekuatannya tidak sebanding membuatnya ketakutan melihat Tayuya yang sudah memucat akibat sulit bernapas.
"PEIN DIA BISA MATI!"Konan masih berusaha melepaskan tangan Pein tapi sepertinya Pein sama sekali tidak memperdulikan nya.
"Sakura!"
Bagaikan mantra dengan menyebut nama Sakura membuat Pein tersadar dan berbalik ke belakang.
Nagato datang berlari menghampiri Sakura dan berusaha membangunkannya namun darah yang mengalir dari luka benturan di pelipisnya membuatnya tidak sadarkan diri karena benturan itu pastilah keras.
"Sakura."
Pein mengambil alih Sakura dari Negato dan memeluknya. Tangannya bergetar dan menepuk pelan pipi Sakura. "Sakura, bangun. Bangun... Jangan lagi aku mohon, bangun!"
Nagato menepuk bahu Pein, "kita bawa kerumah sakit!"
Pein mengengangguk dan mengangkat Sakura ala bridal dan membawanya keluar. Namun sebelum benar-benar keluar ia berpesan kepada kedua sahabatnya untuk membereskan perempuan gila itu.
"Bawa dia dan pastikan dia mendapatkan apa yang ia perbuat." Pein berlalu meninggakan Tayuya yang histeris karena jambakan Konan.
.
.
Pein mengusap wajahnya kasar setelah pintu tempat yang akan menangani Sakura tertutup. Ia menyesal karena datang terlambat dan tidak bisa mencegah semua ini terjadi.
"Sakura, bagaimana keadaannya?"
Sasori menepuk bahu Pein membuat Pein yang sejak tadi dalam pikiran kacau menoleh. Tidak peduli bagaimana Sasori mengetahui dia disini tapi hanya melihatnya saja bisa dipastikan pria itu habis berlari.
"Sedang ditangani." lirih Pein yang kini mendudukan diri di kursi untuk menunggu.
"Sialan!" umpat Sasori yang kemudian mendudukan diri di samping Pein dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang kejadian yang menimpa Sakura. Bagaimana bisa orang asing bisa masuk dengan gilanya memukul bibi yang menjaga Sakura hingga pingsan.
Pein tidak menanggapi ucapan Sasori karena membahas perempuan itu saja membuatnya ingin marah.
"Pein,"Sasori menepuk bahunya lagi dan Pein hanya bergumam menjawabnya. Sungguh saat ini pikirannya hanya satu, Sakura.
"Dia gadis yang hebat, percayalah."
"Ya," Pein membenarkannya tapi perasaannya masih takut, cemas. "Aku takut dia benar-benar membenciku karena perempuan itulah menyebabkan nya seperti saat ini, aku takut dia benci dan pergi lagi."
"Kau mencintainya?" Sasori bertanya dan menatap prihatin pada Pein. Meskipun ia menyukai Sakura tapi ia bisa melihat jika rasa cinta Pein lebih besar darinya.
"Ya," Pein mengangguk menyetujuinya karena apa yang ditanyakan Sasori adalah kenyataan.
"Berdo'a lah untuknya."
Ah, mendengar ucapan Sasori membuatnya terdiam. Berdo'a? Ah, sudah berapa lama ia tidak melakukan hal itu apalagi setelah kepergian sakura seoalah-olah hidupnya sudah berakhir saat itu.
'Terimakasih." ucap Pein tulus dan ia berterima kasih karena Sasori telah mengingatkan nya jika meminta dan panjatkan do'a kita kepada sang pencipta. Itu seperti akhir pilihan dari sebuah game dan ia membutuhkan keberanian untuk apa yang dilakukannya selanjutnya.
.
.
🌷🌷🌷🌷
Satu bulan berlalu setalah Sakura keluar dari rumah sakit dan menghilang tiba-tiba tanpa memberitahukannya kembali. Sasori pun menghilang bagai ditelan bumi. Project yang mereka lakukan bahkan kini diwakilkan oleh wakilnya. Pein ingin mencari Sakura dengan cara apapun tapi mendapat telpon dari Sasori membuatnya merasa lebih baik meskipun hanya sedikit.
"Bahagiakan dirimu itu pesan Sakura. Jika kau mencintainya tunggulah, jika tidak bisa menunggu maka lupakan Sakura."
"Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia?" Pein tersenyum lirih dan bersandar pada jendela yang terbuka menikmati sinar pagi yang menyapanya seperti apa yang selalu Sakura lakukan. Mungkin dengan begini ia bisa merasakan keberadaan Sakura.
"Aku akan menunggumu, aku merindukanmu...sangat."
.
.
Tiga bulan berlalu dan keadaan tidak berubah. Masih dengan menunggu Sakura, Pein menatap pigura yang berada di nakas samping ranjangnya. Diraih nya kertas berwarna putih dengan garis kasar disana. Bukan itu yang membuatnya tertarik, tapi barisan tulisan yang amat sangat dikenalinya.
Ya, ini surat dari Sakura.
Hai~~ apa kabarmu Pein-kun?
Kau pasti tidak percaya jika ini adalah tulisanku kan?
Pein tersenyum, "aku percaya." kini ia kembali pada lanjutan surat yang terlihat sangat cantik.
"Aku menulis ini selama seminggu kau tau?"
Bisa dibayangkan jika Sakura terkekeh saat menulis kata itu dan Pein seperti merasakannya.
"Kau hebat." puji Pein yang tentu saja Sakura tidak mungkin mendengarkannya.
"Aku ingin meminta maaf karena dulu meninggalkanmu, membuatmu kecewa dan membenciku."
"Tidak, justru aku yang seharusnya meminta maaf kepadamu." Pein menolak ucapan Sakura itu karena sekarang ia yang merasa bersalah. Karena keadaan ini terjadi karena dirinya.
"Maaf kembali meninggalkanmu dan aku mempunyai permintaan untukmu."
"Aku mohon berbahagialah. Jika kau lelah menungguku sungguh aku baik-baik saja jika kau mencari kebahagiaan lain."
"Mana mungkin aku bisa melakuakn itu?" Pein menggeleng, menolak ucapan Sakura.
"Kau akan menyesal jika menungguku. Bagaimana aku tidak kembali? Kau akan menjadi kakek kesepian?"
"Kau mengejekku? Akan aku lakukan, menunggumu hingga akhir."
"Hm, sebenarnya aku takut. Tapi ini harus ku lakuakan."
Pein merasakan dadanya sesak. Ia pun merasa takut seperti yang Sakura rasakan. Tapi ia harus bisa dan menepati janji nya jika ia akan menanti sakura kembali.
"Percayalah kepadaku jika malaikat akan selalu melindungimu."
"Aku berada dalam kegelapan dan mencoba berjalan mencari cahaya untukku bisa keluar, melihatmu. Aku ragu tapi aku harus melakukannya dan terus berjalan meraih cahaya itu."
"Jika aku bisa mencapai cahaya itu, bisakah kau tetap berdiri menungguku? Jika kau lelah tidak apa kau berbalik pergi."
"Aku kan menunggumu, sudah aku katakan aku tidak akan menyerah." Pein berujar tegas dengan genggaman nya pada kertas semakin mengerat.
"Saat Sakura mulai bermekaran, bisakah kita bertemu? Jika aku tidak ada tolong kabulkan permintaanku ini."
"Berbahagialah meskipun tanpa diriku."
Pein memejamkan matanya sesaat sebelum kembali terbuka. Senyumanya tercipta setelah membca surat Sakura untuknya. Ia sudah bertekad apapun yang terjadi ia akan menunggunya meskipun waktunya sudah tidak tersisa ia akan tetap menunggu Sakura karena ia yakin jika Sakuranya akan kembali bersamanya.
.
.
🌷🌷🌷🌷🌷
Dua hari setelah bunga sakura bermekaran dan dua hari pula Pein berdiri di tempat yang ia yakini yang dimaksud Sakura. Tempat ini, dimana terdapat jejeran pohon Sakura yang sedang mekar dan kursi taman yang melengkapi untuk menikmati keindahan ini.
Pein tersenyum melihat ukiran namanya dan sakura yang tertera di salah satu kursi yang sedang ia duduki. Dulu sekali saat Sakura menyeretnya keluar dan menulis seperti itu. Sakura bilang itu manis dan akan menjadi saksi kenangan jika mereka saling dan pernah mencintai satu sama lain.
P❤S
Sekarang adalah waktu yang di janjikan Sakura dan ia akan menunggunya, apapun yang terjadi karena ia yakin Sakura akan menepati janjinya msleskipun tidak tau musim semi tahun ini atau tahun seterusnya.
"Apa kau masih menungguku?"
Suara yanga amat dikenali Pein terdengar membuat Pein langsung berbalik dan beranjak, memeluk orang yang dinantinya itu.
"Akhirnya kau datang."
Sakura tersenyum dan membalas pelukan Pein. Banyak hal yang tejadi dan ia harus benar-benar menatanya kembali. Sebulan setelah ia membaik, Sasori mengajaknya untuk melakukan operasi karena sang pendonor sudah ada. Sebenarnya ia bimbang saat itu dengan bermacam pertanyaan dalam dirinya.
Apa ini akan berhasil?
Apakah ia akan bertahan?
Tapi mengingat Pein membuatnya yakin akan melakukan itu. Dengan itu ia mengirimi surat untuk Pein.
"Terimakasih masih menungguku."
Pein melepaskan pelukannya. Ditatapnya Sakura yang berpenampilan sama seperti dulu, menggunakan dress dan tak lupa kacamata yang dipakainya.
Apa operasinya tidak berhasil?
Pein membatin namun tidak peduli asal Sakura kembali kepadanya.
"Kau yakin masih menginginkan ku yang seperti ini?" Sakura berkata pelan dengan raut sedih membuat Pein kembali membawanya kedalam pelukan hangat.
"Tidak peduli kau dalam kegelapan aku akan menjadi cahaya untukmu. Tidak peduli seberapa lama kau pergi aku akan menunggumu hingga akhir karena aku mencintaimu."
Senyum Sakura tercipta mendengar penuturan Pein. Tidak seberapa lama pergipun ia masih tetap mencintai Pein meskipun berada dalam kegelapan tanpa bisa melihat cahayanya, ia bisa merasakan kehangatan dari cinta yang diberikan prianya.
"Terimakasih, aku mencintaimu."
Pein kembali melepaskan pelukan nya dan menatap Sakura. Tangannya terangat mengelus surai yang kini terlihat sudah memanjang dari terakhir bertemu.
"Aku sangat merindukanmu." gumam Pein nyaris berbisik namun sakura bisa mendengarnya.
"Me too."
Merunduk, Pein mensejajarkan wajahnya dengan Sakura. Di tatapnya mata yang kini sudah berubah menjadi lebih hijau gelap.
"Apa tidak berhasil?"
"Hm,"Sakura memiringkan wajahnya dan terenyum tipis. "Berapa lama kau tidak makan teratur Pein-kun?"
Senyum Pein merekah dan tanpa persetujuan ia mengangkat Sakura dan berputar-putar. Ia tertawa bahagia.
Sakura merunduk dan menangkup wajah Pein membuat pria itu berhanti berputar.
"Maaf sempat meninggalkamu."
Pein menggeleng tidak menyetujui ucapan sakura. Nyatanya semua terjadi karena dirinya. Ia bersyukur Sakura telah kembali dan tidak akan pernah kembali pada keadaan seperti dulu. Maka dengan senyuman lembut ia berucap tanpa melepaskan tatapannya.
"Marry me?"
.
.
End
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top