CJ- 29
Happy Reading
.
.
.
Awas Typo
Apartment Ario-Bryna, beberapa minggu kemudian
Sudah sejak bangun pagi Bryna mondar-mandir ke wastafel kamar mandinya, mual parah mulai melanda dirinya beberapa hari setelah benar-benar dinyatakan hamil waktu itu. Bryna sangat merasa kepayahan kali ini, rasanya beda, ini semua baru pertama kali Bryna rasakan.
Bryna menatap pantulan wajahnya di cermin, pucat, rambutnya acak-acakan meski tadi ia sudah rapih dengan kerudungnya namun basah karena muntah tadi. Setiap pagi Bryna selalu begini, seolah paham, bayi dalam kandungan Bryna tidak membuatnya mual-muntah saat siang ke sore nampak seperti tidak terjadi apapun.
Benar-benar hanya pagi, sesuai namanya, Morning sickness....
Bryna benar-benar sulit makan, minum saja kesulitan, Ario tidak tega melihat Bryna yang kepayahan seperti ini di trimester awal kehamilannya. Walaupun hanya pagi hari, namun benar-benar menyulitkan Bryna menyiapkan bekal dan sarapan untuk dirinya dan Ario.
"Sayang, kita beli bubur aja ya nanti?" ujar Ario sambil menghampiri Bryna di kamar mandi.
Bryna mengangguk, ia lapar sesungguhnya, tapi perutnya menolak makanan yang masuk. "Aku laper, tapi mual..." Rengeknya manja sambil tubuhnya roboh ke pelukan Ario.
Ario memeluk tubuh Bryna sambil mengusap-usap punggungnya. "Kita coba pelan-pelan makan sebelum jam praktik, ya? Makan di mobil? Oke?" Bujuk Ario lalu menangkup wajah Bryna.
Bryna melepas pelukannya, dengan wajah manja dan bibir mecucunya mengangguk kemudian. "Iyaa deh, aku coba." jawabnya pelan.
Di minggu-minggu awal lalu, Bryna masih jaga di UGD, berusaha sekuat tenaganya untuk tetap kuat meski badai mual mulai melanda. Namun sepertinya Ario bisa melihat wajah kelelahan Bryna yang nampak tiga kali lebih lelah dari biasanya, Ario melakukan apapun agar Bryna bisa praktik di poli umum, tidak lah di UGD. Setidaknya untuk sementara sampai benar-benar stabil.
Dengan semua alasan yang Ario berikan pada management dan Bryna pun akhirnya luluh untuk praktik di poli umum saja dengan jam praktik yang pasti, Bryna bisa lebih banyak istirahat demi kebaikan diri juga janin dalam kandungannya.
Ario merunduk kemudian mengusap perut Bryna yang mulai nampak sedikit mulai nampak. "Hey, sayang, Biya hari ini mau kerja. Papa minta kerjasamanya ya, nak?" Seolah-olah menunggu jawaban dan telah mendengar jawabannya, Ario mengangguk. "Oke? Yang pinter..." Ario mengusap perut Bryna lembut.
Bryna tersenyum. "Mas, minggu ini udah masuk 10 minggu, lho. Kita belum ada pulang ke mom atau ibuk, kok nggak ada yang curiga kita nggak datang ya?"
"Sebenernya mungkin kepikiran, tapi momom dan ibuk pasti paham kita ini sibuk." Jawab Ario.
Bryna menahan tawanya. "Sibuk sembunyiin ini nih." Bryna menunjuk perutnya. "Hahahaha karena mau di buat surprise jadi ditutupin dulu ya sayang.."
"Hahahaha, padahal lho ya hamil ada suaminya ini. Pakai acara surprise-surprise, gemes amat." Ario menunjuk dirinya sendiri, Bryna tertawa lagi, lalu mereka akhirnya berangkat ke rumah sakit.
🐢🐢🐢🐢🐢
Sesuai pembicaraam tadi, Ario memberhentikan mobilnya di dekat bubur ayam langganan mereka tak jauh dari rumah sakit. Semangkuk bubur ayam dengan topping melimpah sudah ada di tangan Bryna namun ia tidak nampak berselera melihatnya, tidak seperti biasanya.
"Kenapa sayang?" Tanya Ario sambil menyuap buburnya.
"Nggak tau, aku nggak selera." Bryna cemberut kemudian. "Tapi aku laper sekali..." Lanjutnya setengah merengek.
Mood Bryna memang semakin kacau semenjak hamil ini. Ia mudah sekali menangis dan mereda begitu saja.
"Coba makan ya, aku suapin? Sedikit aja cobain, katanya laper banget." Bujuk Ario lagi.
Bryna mengangguk, Ario yang paham bubur Bryna tidak diaduk mencoba mengambilnya dari pinggir dengan topping-toppingnya. Suapan pertama berhasil masuk walau mengunyah pelan-pelan dan berhasil tertelan.
"Enak, kan?"
"Enak. Tapi perjuangan makannya, ya?" Wajah Bryna memerah seolah menahan muntah tapi tidak jadi.
"Nggak apa-apa, semangat sayang. Coba lagi, ya?"
"Iya, mas. Aakk lagi..." Bryna meminta, Ario kemudian menyuapinya lagi hingga beberapa suap dan akhirnya Bryna menyerah.
Bryna mengatupkan kembali mulutnya dan memberi sinyal untuk Ario agar tidak menyuapinya lagi. "Cukup, cukup." katanya lalu segera meneguk air hangat dari tumblernya.
"Maaf, ya sayang. Aku nggak bisa bantuin kamu apa-apa, pasti rasanya nggak enak ya?" Ario meraih tangan Bryna yang bebas lalu mengusap-usap punggung tangannya.
"It's okay..." Sahut Bryna tersenyum. "Kamu doain aku aja, ya? Supaya aku sehat, baby juga, nggak apa-apa kalau harus mual-muntah parah kayak gini, nanti juga nggak lagi, kok. Karena apa yang aku semogakan sekarang, banyak diimpikan banyak orang,." Jawab Bryna.
"I know. Tapi aku nggak tega." Ario mengusap pipi Bryna. "Kalau gini, aku nggak akan tega biarin kamu hamil lagi."
Bryna tertawa mendengar pernyataan Ario barusan. "Iyaa, suamiku sayang. Papa Ario nih, banyak banget khawatir dan nggak teganya, lho. Udah, ah, yuk ke rumah sakit. Aku udahan makannya."
.
.
.
Entahlah mungkin sebagian orang ada yang menyadari jika Bryna sedang hamil. Sebenarnya sulit menyembunyikan hal ini di lingkungan yang semuanya adalah tenaga kesehatan, karena sejak tadi, ada saja yang bertanya pada Bryna jika dirinya sedang hamil atau tidak.
Bryna berusaha sekuat mungkin menahan informasi itu, karena menurutnya tidak baik rasanya jika mengumumkan kehamilan terlalu awal. Ia hanya tersenyum ketika pertanyaan itu beberapa kali menghampirinya.
"Emang kelihatan banget ya?" Gumam Bryna sedang mematut dirinya di depan kaca ruang loker. Baju scrub nya yang agak longgar sekilas membuatnya tidak terlalu terlihat,tapi pipinya tidak, wajah Bryna mulai chubby dan membuat spekulasi pada banyak orang.
"Adek? Ngapain?"
"Ehh!! Astagfirullah, umi..?!" Bryna benar-benar terkejut ada suara lain saat dirinya masih di depan kaca.
Sambil menepuk-nepuk dadanya, Bryna mencari tempat untuk duduk bersama Kanika yang tiba-tiba masuk ke ruang loker, sepertinya ia baru saja datang terlihat dari seragam bidan yang masih rapih,juga barang bawaan di tangannya.
"Gitu aja kaget, ngapain sih? Ngaca mulu." katanya lalu duduk di samping Bryna.
"Ngaca doang, mi. Nggak ngapa-ngapain. Umi baru datang? Ini apa?"
"Iyaa, baru. Ini bawa cooler bag, buat asi, stoknya Ghaisan." Katanya namun masih terus memperhatikan keponakannya itu.
"Oohh, iyaa, Ghaisan masih asi ya." Bryna membeo namun ia juga merasa diperhatikan begitu dalam. "Umi kenapa? Gitu banget lihatin adek."
"Engga. Kayak ada yang beda, apa ya?" Ujarnya terus memperhatikan. "Adek gemukan."
Bryna mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu memahan tawanya. Sebenarnya ia tahu, tidak mungkin menyembunyikan kehamilannya ini terlalu lama, apalagi di depan seorang bidan yang juga tantenya ini. Suatu hal yang mustahil sepertinya.
"Iya umi, adek bahagia. Bahagia banget..." Wajah Bryna berseri saat mengatakannya.
Kanika memicingkan matanya, seolah tidak percaya dengan apa yang di katakan Bryna barusan. Bukan, bukan tidak percaya jika kehidupan Bryna dan Ario memang bahagia, tapi pasti ada alasan lebih dari pada itu.
"Bener cuma karena itu? Bukan karena lagi hamil, kan?" Tembaknya asal lalu membuat mata Bryna membulat seketika.
"Sshhhh, umiiii..." gemasnya, Bryna takut ada yang mendengar.
Kanika mengdengus lalu tertawa. "Dek, umimu ini Bidan bukan baru setahun-dua tahun. Umi ini cenayang juga, lho, jangan salah. Jadi, udah berapa minggu?" Kanika menaikkan satu alisnya menuntut penjelasan Bryna.
Bryna terkekeh kemudian mengusap-usap perutnya. "Sepuluh minggu, mi. Niatnya weekend ini emang mau pulang ke momma kasih surprise juga ke semuanya."
"Hah? Udah sepuluh minggu tapi nggak ada yang tahu?? Jadi baru umi sama suamimu doang yang tahu, nih? Bener-bener kamu yaa..." Kanika menjawil telingan Bryna dengan gemas sampai mengaduh.
"Ampun, mi. Iyaa, maaf." Bryna meringis sambil mengusap-usap telinganya.
Kanika kemudian memberondong Bryna dengan banyak rentenan pertanyaan. Mulai sejak kapan tahu kalau dirinya hamil, periksa pertama kali di mana, dokternya siapa, kenapa tidak memeriksakan dirinya di KMC saja? Mual muntah atau tidak dan banyak pertanyaan lainnya.
"Jadi umi bentar lagi dapet cucu lagi?" Kanika menatap Bryna penuh haru.
"Doain kami ya, Umi..." ujar Bryna, Kanika mengusap perut keponakannya itu penuh cinta.
"Sehat-sehat ya, nak. Nanti kalau ada apa-apa, bilang ke umi ya, dek? Kembar lagi nggak ya kira-kira?"
Bryna tertawa. "Penginnya, sih, iya. Tapi kalau satu aja ya nggak apa-apa, Umi. Yang penting sehat."
Kanika mengangguk, ia tahu betul keponakannya ini amat sangat menantikan buah hati, tidak mudah menjadi Bryna, apalagi saat masih kecil dulu. Kanika masih terharu mendapatkan kabar ini lebih cepat dari yang lainnya, ya, meski ketahuan karena Kanika yang menebak.
🐢🐢🐢🐢🐢
Setelah berminggu-minggu Bryna dan Ario tidak pulang ke rumah Mom, akhirnya jumat malam setelah praktik mereka segera meluncur ke sana. Bryna hanya tertawa kecil begitu mendengar ibu ratunya itu mengoceh panjang kali lebar.
Aliya masih belum tahu jika putrinya ini sedang hamil muda, ia masih belum menangkap perubahan itu karena terlalu sibuk merepet dengan kelakuan putrinya yang sudah lama tidak mengunjunginya.
"Al, Al..." Panggil Adrian lalu menggelengkan kepalanya. "Sudah, cukup. Yang penting adek sama Ario datang, kan sekarang? Stop ngomelnya, oke?"
Aliya menghela napasnya, ia lelah mengomel. "Hufftt, Astagfirullah. Iyaa, maaf, Mas. Habisnya aku kesel, ini anak kalau nggak ada apa-apa kok ya nggak pulang gitu, lho. Adek, lain kali jangan begitu. Kalian juga nggak pulang ke Menteng kan? Nggak ke rumah ibu juga kan?"
"Iyaa, mom. Belum, Ario banyak kerjaan, adek juga." jawab Ario.
"Tuh, kan."
"Aliyaa..." Adrian kembali memanggil nama istrinya itu dengan tegas, barulah Aliya benar-benar berhenti mengomel.
Aliya menarik napas panjang setelah lelah mengomeli putri satu-satunya itu. "Yawes, itu mom udah masak, kalian mandi dulu, terus makan, ya." Akhirnya Aliya melembut lagi dan menuju ke meja makan membuka tudung sajinya.
Bryna menahan napasnya, bau masakan kadang membuatnya mual juga, meski bukan dirinya yang memasak. "Hmmm, heem..." Bryna bergumam saat melihat lauk-lauk menggiurkan di meja makan.
Makanan favorit Bryna semua. "Kita cobain nanti, ya." Ario berbisik sangat pelan di samping Bryna, Bryna hanya mengangguk walaupun ia belum tahu bisa memakannya atau justru memuntahkannya.
.
.
.
Bryna paham mengapa Mommy nya itu sampai mengomel, selain karena Bryna dan Ario tidak pulang, Bryan dan Hannah beserta si kembar sedang menginap di rumah Eyang mereka. Rumah sepi dan Mom terlalu gengsi untuk mengatakan bahwa ia merindukan anak-anaknya.
Mau bagaimana pun, rumah ini tidak pernah sepi pada awalnya. Namun ketika dua anak tertua mulai dewasa dan mulai sibuk dengan kehidupan mereka, sementara Kavin, anak ketiganya juga sibuk dengan kegiatan sekolah, Aliya merasa sendirian. Meski ada Kenzie si anak bungsu, namun tetap saja rumah terasa sepi tanpa kelengkapan anak-anaknya yang lain.
"Mom gengsi aja itu bilang kangen." Ujar Bryna sambil melepas kerudungnya di dalam kamar.
"Yah, biasalah. Jangan masukin ke hati sayang, jangan dibawa kepikiran, oke?" Kata Ario sambil merebahkan dirinya yang sudah lelah.
"Iyaa Papa Ario..." Sahut Bryna berlalu masuk ke kamar mandi dan menyelesaikan ritual mandinya dengan tenang.
Aroma therapy menguar ke mana-mana ketika Bryna usai mandi, katanya aroma lemon atau citrus dapat meredakan mualnya. Ia berdiam diri dulu di kamar, menghirup wangi lemon yang melegakan itu dalam-dalam sebelum makan malam sebentar lagi.
"Masih mual, sayang?" Ario keluar dari kamar mandi sambil menggosokan rambutnya dengan handuk.
"Sedikit. Ini makanya lagi hirup aroma therapy dulu, biar enakan dikit." Bryna terpejam lalu sepersekian detik terbuka lagi. "Eh tunggu dulu, sini sini. Kamu kebiasaan, rambut basah udah pakai baju."
Ario terkekeh mendengar repetan Bryna lalu mendekat dan membiarkan Bryna mengeringkan rambutnya yang masih setengah basah. "Sengaja, biar dikeringin sama kamu."
"Huuu dasar, manja." Namun tangannya tetap mengeringkan rambut Ario sambil menceritakan kalau tadi ia bertemu dengan Kanika di ruang loker.
Bryna terpaksa menceritakan semua karena Kanika langsung menembaknya dengan pertanyaan yang jika ia sedang minum, pasti ia tersedak.
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Bryna. "Mbak,Mas... Dipanggil mommy, ayo makan." Di susul suara Kenzie dari balik pintu.
"Iyaa, Zie, sebentar." sahut Bryna dari dalam, lalu ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Kita kasih mom daddy surprise malam ini." Kedua alis Bryna naik lalu terkekeh pelan.
Ario menggelengkan kepalanya. Istrinya itu memang usil, Ario bisa menebak setelah ini pasti akan ada repetan lagi dari ibu mertuanya itu.
Mereka berdua sudah ada di meja makan, Bryna menghidangkan makanan untuk Ario dengan menahan rasa mualnya. Masakan ini enak,Bryna sering menyantapnya, tapi kali ini sepertinya tidak memungkinkan.
"Uughh.." Bryna spontan menutup mulutnya, setelah mencoba menyuap beberapa kali. Perhatian kedua orang tuanya langsung tertuju pada Bryna, tatapan curiga pun seperti menusuk Bryna.
"Adek?" Panggil Aliya saat anaknya itu bangun dari kursi makannya dan menuju wastafel, ia sudah tidak kuat menahan mualnya. "Apa yang mom nggak tahu, Ario, Bryna?"
Ario membawa Bryna kembali duduk di sebelahnya. "Jadi gini, mom, daddy. Sebenernya kami nggak pulang ke sini tuh, selain karena sibuk, Bryna yang minta untuk nggak ke sini karena mau buat suprise, juga hyperemesisnya yang parah." Jelas Ario.
"Jadi?" Tanya Adrian.
Bryna mengeluarkan kotak kecil berisi foto USG nya waktu itu. "Jadi, bentar lagi mom daddy bakalan dapat cucu lagi." ujar Bryna dengan santainya.
Aliya dengan tergesa-gesa membuka kotak itu. "MaasyaAllah Alhamdulillah, adek..."
"Alhamdulillah cucu lagi..." rona bahagia tidak bisa lagi disembunyikan dari wajah Adrian. "Berapa minggu, dek?" tanyanya langsung, sebagai dokter kandungan, Adrian harus lebih perhatian pada putrinya ini yang ia tahu sejarah kesehatannya seperti apa.
"Sepuluh minggu, dy. Rencananya sih, nunggu Oma Nadia biar dicek sama Oma, tapi kayaknya kelamaan, hehehe..."
Aliya mengerjap beberapa kali. "Kenapa nggak dari awal, sih, dek? Kenapa harus ditutup-tutupin gini?"
Bryna mengedikkan bahunya. "Ya nggak ada maksud, mom. Cuma biar seru ajaa..." jawabnya santai, sementara wajah Aliya sudah gemas ingin marah namun tidak bisa.
"Maaf ya,mom, daddy. Bukan Ario yang ajarin adek iseng begini, lho."
Suara tertawa memenuhi meja makan itu. Aliya dan Adrian paham kalau memang Bryna hobi memberi kejutan pada hidup mereka.
"Sebenarnya oma mau ke sini,tapi katanya pengajian dulu." ujar Adrian setelah menghabiskan makan malamnya. "Bentar lagi kayaknya..."
"...nah itu mobil Omayut datang."
Empat orang dewasa ini berkelakuan seolah tidak terjadi apapun beberapa menit yang lalu. Semua nampak normal dan mencoba biasa saja sampai tiba mereka berkumpuk di ruang tengah, menikmati kue-kue yang dibawakan Oma nadia, Bryna masih bisa mentolerir jika makanan itu terasa manis.
Namun, lagi-lagi sepertinya jika menyembunyikan hal ini dari professor yang juga seorang konsulen fertilitas adalah hal yang keliru. Oma Nadia begitu memperhatikan cucunya dari sofa sebrang, meski Bryna menutupinya dengan bantal sofa tetap saja Oma Nadia bisa menebak dengan mudah meski harus dipancing terlebih dahulu.
"Adek, kemarin Mbak Mita sudah program sama Oma, lho. Apa adek nggak mau barengan sekalian?" tanya Oma Nadia dengan santainya.
"Gimana, oma?" Bryna menetralkan wajahnya agar tidak terlihat panik.
"Iyaa, IVF."
Bryna menoleh ke arah suaminya dan tersenyum tipis. "Sebenernya, nggak perlu, sih, Oma." ujar Bryna kemudian mendekat ke tempat duduk Omanya itu, duduk di sampingnya lalu mengambil tangan yang dulu membawanya ke dunia ini.
Bryna menempelkan tangan Oma ke perutnya. "Oma bisa rasain kan?"
Mata Oma Nadia membulat begitu ia merasakan perut Bryna yang terasa penuh. "MaasyaAllah? Adek?"
Bryna tersenyum dan mengangguk tanpa perlu lagi menjelaskan. "Sepuluh minggu aku, omayut. Mau ditengokin dong?"
"Iya, habis ini ya. Feeling Oma nggak salah ternyata, Alhamdulillah.." Oma Nadia lantas memeluk erat cucunya itu, harunya sangat terasa ketika mengetahui kabar ini.
Rumah ini memang nampak seperti klinik kecil, hampir semua alat yang mempunyai size portable ada di sini, di dalam ruang kerja Adrian. Bryna sudah merebahkan dirinya di kursi santai menunggu Omanya bersiap, minggu ini detak jantung bayi sudah mulai bisa terdengar. Bryna tidak mau mendengar itu hanya berdua dengan Ario, ia mau Omanya juga yang mendengar untuk pertama kalinya.
"Oke, kita mulai ya." suara Oma Nadia benar-benar senang, bisa di lihat juga dari raut wajahnya, lalu menyingkap baju yang Bryna pakai, menampilkan perutnya yang mulai sedikit buncit. "Hmmm..." Oma Nadia memperhatikan tinggi fundus Bryna yang tidak biasa, she have seen this for many times.
"Kenapa, Oma?" Tanya Ario.
"Engga apa-apa, Le." Jawabnya tersenyum lalu doppler mulai menjelajahi atas perut Bryna. "Adek kemarin pas cek pertama berapa jumlah janinnya?"
"Satu, Oma. Oma, jangan bilang?"
Oma Nadia tersenyum lalu mengangguk. "See, ada dua. Selamat sayang..."
Kali ini Bryna yang tidak percaya, ia masih kehilangan kata-katanya namun Ario yang berada di samping Bryna tidak henti-hentinya mengucap syukur dan menciuminya.
"Satu plasenta, oma?" tanya Ario.
"Sepertinya ada dua, kemungkinan bukan kembar identik. Kita lihat nanti agak gedean, ya? Kita cek detaknya dulu."
Benar saja, dua detak jantung terdektesi di dua sudut berbeda. Bryna makin menangis terharu setelah mendengar suara detak jantung anak-anaknya itu, ucapan adalah doa, benar, Bryna mendapatkannya kali ini. Ia harus lebih extra menjaga kehamilannya, mengingat resikonya meningkat dua kali lebih besar.
🐢🐢🐢🐢🐢
"Apa yang kamu keluhkan hari ini, mungkin yang orang lain semogakan menjadi miliknya. Maka bersyukurlah..."
-Bryna Saskia-
.
.
.
Jadi gimana, happy? ☺️☺️🥰 Tinggalkan jejak dan komentar kalian ya! Happy sunday from PIK Golf Island 🏝️
#dahgituaja
#awastypo
Au revoir
Dudui
Ifa 💕
📍PIK. Golf Island
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top