CJ- 28

Happy Reading
.
.
.
Awas typo

Jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Entah bagaimana ini bisa terjadi, Bryna baru terbangun masih di atas sajadahnya usai menunaikan sholat isya. Rasa lelah mendera tubuhnya dan tiba-tiba saja tertidur begitu pulasnya lalu terbangun saat Ario pulang praktik dan membangunkannya untuk pindah ke kasur saja.

Bryna bahkan belum mandi sejak pulang kerja tadi karena hari ini,tubuhnya benar-benar diambang kelelahan.

Gemericik air yang berhenti dari dalam kamar mandi menandakan jika seseorang di dalam telah selesai dengan ritual bertapa juga melamunnya di dalam sana. Air yang segar dan wangi sabun juga shampo menguar ketika pintu terbuka. Bryna baru saja menyelesaikan ritual mencuci wajahnya setelah selesai mandi.

Ia menatap pantulan dirinya di kaca wastafel, entah kenapa ia perhatikan pipinya semakin chubby dan fluffy dibandingkan sebelumnya. Padahal jadwal jaga di ugd sedang padat-padatnya dan waktu makannya jadi semakin tidak karuan, tapi tetap saja di sela-sela shift ada saja yang membawa makanan untuk dimakan bersama.

Tidak heran mengapa pipi Bryna menjadi seperti bakpau, bukan?

"Sayang, masih lama? Ayo tidur." panggil Ario dari luar kamar mandi.

"Sebentar, sabar. Masih pakai skincare lho ini..." sahut Bryna sambil ia memakai satu persatu urutan skincarenya.

"Hmmm..." Ario menggelengkan kepala sambil melihat istrinya dari celah pintu yang sedikit terbuka.

"Mas, aku gemukan, ya?" Bryna tiba-tiba keluar dari kamar mandi dengan pertanyaan yang jika dijawab malah menjadi buah simalakama.

Wajah Ario terlihat bingung dengan pertanyaan istrinya itu. Bingung jika dijawab dengan iya, pasti Bryna akan sebal atau bahkan marah, tapi jika dijawab dengan tidak, ia akan menuduh suaminya itu berbohong.

Woman and their problem (?)

"Kok, gitu pertanyaannya?" Ario menjawab dengan dahinya yang berkerut-kerut.

"Ya tinggal dijawab aja, to? Iya atau enggak?" Todong Bryna lagi.

Ario diam sejenak sambil merangkai kata-kata yang pas untuk jawabannya. "Mau gemukan atau tidak, mau chubby atau tirus, kamu tuh tetap cantik, tahu nggak? Kenapa, sih, tiba-tiba pertanyaannya, lho?"

Bibir Bryna maju beberapa senti saat mendengar jawaban Ario, namun di sisi lain hatinya ia senang juga di bilang cantik meskipun ia sudah dengar berkali-kali kata yang sama dari mulut Ario. "Ya, nggak apa-apa, sih? Cuma pengin tahu aja, apakah cuma aku yang merasa kalau aku ini gemukan sejak jaga di ugd?"

Ario terkekeh mendengar jawaban Bryna barusan. "Tidak, sayangku. Cuma perasaanmu aja itu. Sini naik ke kasur, lanjut lagi tidurnya, udah malam." Ario menepuk sebelah kasurnya yang kosong.

Meski masih sedikit mecucu, Bryna tetap menghampiri kasurnya dan merebahkan diri di sana dengan rambut yang sudah sepenuhnya kering usai keramas. "Hmm, wanginya." Ario menghidu wangi rambut Bryna di sampingnya

"Iya dong, biar nyenyak tidurnya." Jawab Bryna sambil memeluk Ario kemudian, ia mencoba memejamkan matanya di pelukan suaminya itu karena tubuhnya benar-benar butuh pelukan saat ini.

"...capek, Mas. Badanku nggak enak," lirih Bryna, suaranya tenggelam dalam pelukan.

"UGD hectic banget,ya?" Tanya Ario, Bryna hanya mengangguk.

"Udah dua minggu ini, nggak ngerti siapa yang bau sampai kayak gini aku jaganya."

Ario terus mengusap kepala Bryna dipelukannya, ia tahu betapa melelahkannya shift ugd itu. "Kalau nggak kuat, bilang ya? Jangan dipaksa terus, nanti kamu malah drop."

Lagi-lagi Bryna hanya mengangguk, matanya sudah terpejam. Ia pulas akhirnya kembali ke alam mimpi.

Mereka kini kembali tinggal berdua di apartment yang sepi ini setelah Ario resmi bekerja di KMC. Karena pertimbangan jarak antara tempat tinggal dan tempat praktik lebih dekat dari apartment maka Bryna harus dengan ikhlas kembali dan akan jarang berjumpa dengan kedua keponakan yang sedang gemas-gemasnya.

Ario yang belum bisa terpejam hanya memperhatikan raut wajah Bryna yang tidurnya seperti tidak tenang, gelisah. Seingatnya suhu kamar sudah seperti biasa, tidak panas dan tidak terlalu dingin tapi kenapa kening Bryna penuh keringat? Ario lantas menempelkan punggung tangannya dan merasakan suhu panas di badan Bryna.

Ia pun segera membenarkan posisi tidur Bryna kembali ke bantalnya dan mengambil thermometer. Dengan sigap dan berusaha untuk tidak panik memeriksa Bryna dengan seksama. Suhu tubuhnya baru saja menyentuh angka tigapuluh sembilan derajat, Bryna mulai merintih dan terbangun saat merasakan matanya begitu panas.

"Panas..." lirihnya sambil berusaha mengelap bulir-bulir keringat.

"Iya sayang, kamu demam ini. Sebentar ya, aku ambil obat dulu." Ario segera mencari obat-obatan di kotak P3K rumahan miliknya dan langsung memberikannya pada Bryna.

Baru kali ini lagi Ario melihat Bryna sakit sampai drop begini semenjak mereka menikah. Kondisi Bryna selalu fit dan baik-baik saja sebelumnya, tapi kali ini sepertinya ia butuh istirahat yang benar-benar dari semua kegiatannya.

"Makasi, Mas. Maaf, ya, kamu jadi kebangun." Ujar Bryna pelan usai meminum obat penurun panasnya.

Ario menggeleng. "Nggak, aku emang belum tidur kok, sayang." Ario mengusap-usap punggung Bryna agar kembali terlelap setelah ini, Ario akan memantaunya sampai pagi nanti meskipun ia sendiri sama sekali belum tidur.

Obat sudah mulai bekerja, Bryna kembali terpejam sementara Ario menyiapkan kompres hangat yang ia kempit pada lipatan ketiak Bryna untuk memperlebar pembuluh darahnya dan suhu tubuhnya akan kembali normal.

Weekend ini akan mereka habiskan di rumah saja untuk berisitirahat.

🐢🐢🐢🐢🐢

Bryna terbangun esok pagi kemudian saat ia mencium harum masakan yang menusuk indera penciumannya. Ia bangun dan bersandar pada bantal yang baru saja ia susun beberapa tumpuk. Mengerjapkan matanya beberapa kali dan mengumpulkan fokusnya lagi, Bryna mencoba kembali menghidu wangi apa ini? Asalnya pasti dari dapur, Ario sepertinya sedang memasak sarapan tapi kenapa Bryna mencium baunya jadi mual begini?

"Masak apaan, sih?' gumam Bryna sambil menahan rasa mualnya yang sudah diujung tenggorokkan tinggal ia muntahkan.

Walaupun perlahan, Bryna mencoba untuk bangun dari tempat tidurnya meski kepalanya sedikit berputar karena terlalu lama tidur. Ia meraba dinding di sekitarnya sambil berjalan menuju dapur.

"Mas? Kamu masak apa, sih?" Bryna menutup hidungnya menahan mual yang sedang bergejolak di dalam perutnya.

"Masak sup kaldu ayam, kenapa?" Ario membalik tubuhnya setelah mematikan kompor.

Dahi Bryna mengkerut. "Bau!" katanya lalu mengibas tangannya di udara.

"Hah? Ini resepnya ibu, kok, aku biasa masak? Masa sih bau?" Ario heran sambil ia mencoba mengendus bau yang mampir di hidung Bryna. "Enggak, ah." Lanjutnya lalu menghampiri Bryna yang duduk di sofa sambil menonton televisi.

"Ih! Kamu bau! Belum mandi, ya?" Kini Bryna protes saat Ario mendekat pada dirinya.

"Enak aja, udah mandi, lho. Kan habis masak juga, mungkin aku keringetan. Gerah."

Bryna menutup wajahnya dengan bantal dan duduk agak menjauh dari Ario. Ario hanya menggelengkan kepalanya sambil berpikir apa yang salah pada masakan dan kali ini pada dirinya. "Kamu kenapa, sayang? Kok habis demam semalaman malah begini?" Ario bertanya-tanya.

"Aku juga nggak tahu, bangun-bangun malah begini. Mual pula." Sahut Bryna dengan wajah yang nampak sudah tidak kuat menahan mualnya.

Secepat mungkin Bryna lari ke wastafel dapur lalu mengeluarkan isi perutnya.

"Sayang..." Ario mengurut tengkuk leher Bryna lalu mengambilkannya segelas air putih hangat dari dispenser.

Wajah Bryna semakin pucat sesaat setelah ia memuntahkan yang semuanya adalah air, karena terakhir Bryna tidak memakan apapun.

"Aku kenapa, sih?" Mata Bryna berair dan tiba-tiba menangis kemudian.

Bryna menangis sampai terseguk-seguk, padahal Ario yang bingung sedang berusaha menenangkannya. Ia masih menangis dipelukan Ario sambil terduduk di kursi makan, tiba-tiba saja Bryna tidak bisa mengendalikan emosi dalam dirinya sendiri saat ini.

"Sshh, sayang, hey tenang dulu..." Ario terus memeluk Bryna agar kembali tenang.

"Gi... Gimana ca...ranyaaa..." Bryna semakin meraung dalam tangisnya seperti anak kecil yang kehilangan balon dari genggamannya.

"Kamu mungkin PMS, sayang. Kamu belum haid, kan?"

Bryna menggeleng sambil terus sesegukan.

"Tapi, tapi, aku nggak pernah gini kalau mau haid." Katanya sambil mengusap air mata yang masih menggenang. "Lagian, haidku baru selesai sebelum kita pergi liburan." Kata Bryna enteng.

"Setelah itu belum lagi?"

"Belum." Bryna menghela napasnya setelah ia berhasil mengendalikan dirinya

Ario mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha mengumpulkan puzzle yang sejak tadi bertebaran di kepalanya. "Tunggu, itukan udah hampir sebulan yang lalu? Kita pergi ke Anyer, iya kan?" Ujar Ario sambil menata semua memorinya sebulan belakangan. "Kalau terakhir kamu haid selesai sebelum kita jalan-jalan dan hari ini belum lagi. Berarti?"

Bryna mendadak terdiam mencerna semua perkataan suaminya itu dengan mulut sedikit terbuka dan tatapan mata yang bertanya-tanya.

"Apa?" Tanya Bryna enteng, sekrup di kepalanya seperti kendor usai muntah tadi.

Ario mengambil sesuatu dari kotak P3Knya dua buah kotak persegi panjang berwarna biru ada di tangannya. "Kamu terlambat menstruasi, sayangku." Ujar Ario pelan lalu mengambil tangan kanan Bryna dan menyerahkan barang yang tad Ario ambil dari dalam P3K.

"Hah? Testpack?" Bryna menerimanya setengah keheranan.

Ario mengangguk. Bryna mendadak lemas. "Aku cuma baru telat beberapa hari dari tanggal seharusnya, kok, besok juga pasti keluar." katanya pelan mengangsurkan kembali dua kotak di tangannya tadi.

".. aku nggak mau kecewa, dan nggak mau buat kamu sedih juga. Aku nggak apa-apa, kok. Cuma lelah aja, nggak lebih. Aku istirahat lagi, ya?" Bryna menampilkan senyum dari bibir pucatnya lalu beranjak dari kursi makan berusaha kembali ke kamar.

Ario tertegun dengan reaksi Bryna barusan. Ia yakin betul dengan feelingnya, kini Ario yang lemas melihat Bryna meninggalkan dirinya sendirian di ruang makan.

"Sayang..." Ario menghampiri Bryna yang kembali meringkuk di atas kasur, menutup dirinya dengan bed cover.

"Sshhh..." Rintihnya. "Diem dulu, perutku kram." Bryna meminta Ario untuk tidak mengatakan apapun, perutnya terasa seperti dicubit-cubit sekarang, Ario kemudian membalik tubuh Bryna dan meraba perutnya.

"Sebelah mana yang sakit?"

"Kanan. Kanan bawah." Tunjuk Bryna sambil matanya terus terpejam merasakan cubitan itu lalu menghela napasnya setelah rasa sakit itu hilang. "Huuuuuhhh,"

"Sayang, dicek, ya? Please?" Pinta Ario sekali lagi. "Kalau hasilnya negatif, nggak apa-apa, berarti belum rejeki kita."

Bryna masih terdiam saat suaminya itu membujuknya lagi. Perlahan Bryna membawa tubuhnya untuk duduk dan menatap Ario, ia tahu, Ario sepenasaran itu karena memang saat honeymoon kemarin Bryna sedang masa subur, jika ditarik mundur, harusnya kali ini tidak meleset.

Tarikan napas panjang kemudian, Bryna mengiyakan permintaan Ario. "Okay, aku coba. Dua kali banget, ya?" Bryna mengambil dua kotak alat tes yang serupa tapi tak sama dari tangan Ario.

Ario kemudian membantu Bryna berdiri dan membawanya ke kamar mandi. "Kamu tunggu luar aja." pinta Bryna, Ario menurutinya.

Ia menatap benda itu di tangannya, jujur, Bryna takut dengan hasilnya. Walaupun Ario tidak pernah mempermasalahkan, tapi tetap saja hal itu akan menjadi beban bagi Bryna jika hasilnya negatif.

Dengan merapal segala doa, Bryna melakukan tes kehamilan mandiri pada kedua alat itu. Tak bisa bohong, ia kini merasakan takikardia, sakit kepala yang sempat ia rasa tadi seketika menghilang, berganti dengan rasa deg-degan. Ia harus menunggu beberapa menit untuk hasilnya bisa terlihat di layar benda pipih panjang itu.

Bryna membalik keduanya agar posisinya berada di bawah dan membersihkan dirinya kemudian.

"Sayang, udah? Boleh masuk?" Tanya Ario dibarengu dengan mengetuk pintu.

"Masuk aja sini, Mas." Bryna membuka pintunya dan mereka berdua berdiri di depan wastafel menunggu alat itu memberi sinyal suara beep tanda hasilnya terbaca.

Ario merangkul pinggang Bryna. "Apapun hasilnya nanti, kita ikhlas ya sayang?" ujarnya, Bryna mengangguk, kemudian alat itu berbunyi.

Jantung Bryna semakin bertalu tidak karu-karuan di tempatnya. Dengan tangan sedikit bergetar, Bryna mengambil benda itu dari tempatnya, hatinya terus merapalkan doa agar kali ini ia tidak kecewa lagi. Sambil terpejam Bryna membalik dan menampilkan layar hitam putih dan alat satunya yang manual ke arah matanya.

Mata Bryna terbelalak begitu ia melihat hasilnya, pada dua benda itu berulang kali ia mengerjap lalu menatap Ario seolah tidak percaya dengan apa yang ada di depannya saat ini.

Layar berkedip menampilkan gambar hati kecil bertuliskan Yes, dan yang satunya menampilkan dua garis merah sangat tegas membuat air mata Bryna seketika luruh lagi.

"Mas?" Bryna menerjang tubuh Ario dan memeluknya erat. "Aku..., Hamil?" Katanya masih tidak percaya, Ario mengangguk lalu menangkup wajah Bryna dengan kedua tangannya.

Mereka keluar dari kamar mandi dan kembali ke kasur masih dengan perasaan tidak percaya. "Alhamdulillah..." Ujar Ario pelan kemudian mengecup mesra bibir istrinya yang masih kaget dan tidak percaya dengan hasil di tangannya. Memang harus tetap dibuktikan dengan tes lainnya, tapi saat ini sudah cukup rasanya.

Ario mengusap perut Bryna yang belum nampak perubahan di sana, namun rasa senang dan haru tidak lagi bisa Ario sembunyikan.

"Aku bisa, ya, Mas?" Bryna masih menatap Ario tidak percaya. "Allah jawab semua keraguan aku ya, Mas?" Air matanya luruh semakin deras tak tertahankan.

Ario mengangguk. "Iya sayang, aku pernah bilang kan? La tahzan innallaha ma'ana. Dan Allah jawab semua saat ini, hari ini." Ujarnya lembut.

Penantian yang tidak akan pernah menjadi sia-sia ketika waktunya tiba. Pertengkaran dan keraguan demi keraguan seperti sirna, terganti dengan rasa bahagia juga.

"Nak, sehat-sehat, ya? Alhamdulillah akhirnya kamu ada juga di perut Biya." Ario merunduk mengusap perut Bryna lembut, Bryna makin terharu melihatnya.

Yang Bryna tahu, Ario benar-benar menantikan hadirnya buah hati diantara mereka. Dilihat dari bagaimana ia memperlakukan Shanum dan Zaidan, bahkan rela dititipkan mereka berdua ketika ia sedang tidak sibuk. Ario yang anak tunggal juga sangat menginginkan anak lebih dari satu karena ia tahu rasanya kesepian saat beranjak dewasa.

Makanya, rasa bersalah terus hinggap di hati Bryna saat dirinya kemarin belum berhasil hamil dari usaha mereka yang sudah berulang kali dilakukan.

Bryna mengusap air matanya lalu mengecup kepala Ario yang masih memeluk perutnya. "Makasi ya, Mas. Makasi udah mau nunggu dan sesabar itu menghadapi aku yang sempat tantrum dan ketakutan. Aku nggak bisa ungkapin rasa ini dengan kata-kata lain selain bersyukur dan terima kasih buatmu. Doakan aku supaya kuat dengan kehamilan ini sampai nanti anak kita lahir, ya?"

Ario mengangguk. "Aku tahu, ini pasti nggak akan mudah dijalani sendiri. Bilang apapun yang kamu mau nanti, aku akan usahakan semuanya. Aku akan bantu sebisa dan semampuku, kita jaga dia sama-sama." Kecupan manis lagi-lagi mendarat.

Kamar itu kembali menghangat, pagi itu seperti hujan yang reda di langit mereka. Kini kupu-kupu sedang berterbangan di sekitar mereka.

"Ayo kita ke dokter, kita cek udah berapa minggu dia di dalam sana?" Ajak Ario.

"Nanti dulu boleh nggak, Mas? Aku belum tahu mau cek di mana? Yang jelas, untuk saat ini aku belum mau cek di rumah sakitku sendiri. Kita ke dokter lain, ya? Nanti kalau udah benar-benar fix baru kita minta Oma untuk cek, sekalian surprise kalau Oma Nadia mau punya cicit lagi." ujar Bryna sambil tersenyum membayangkan ekspresi Oma nya jika tau ia sedang mengandung.

Ario tertawa mendengar ide jahil istrinya itu. "Kamu ini jahil banget, sih." Ario menarik hidung Bryna gemas.

Bryna terkekeh. "Harusnya memang sudah ada tanda-tanda di dalam sini, semoga aja nanti pas dicek ada kantung janinnya." Ujar Bryna lalu nengusap perutnya, tatapan matanya meneduh penuh harap.

"Aku degdegan..." Kata Bryna.

"Nggak apa-apa sayang, nanti sore kita ke Obgyn ya? Aku cari yang minggu sore ini praktik."

Bryna mengangguk, ia menurut saja, percayakan semuanya pada Ario. Saat ini yang harus ia lakukan adalah menjaga semua sampai saatnya nanti ia umumkan kehamilan. Tidak baik rasanya jika ia terlalu tergesa-gesa saat semuanya belum clear walaupun hasil test mandiri menegaskan bahwa dirinya hamil.

Dua garis merah dan hati kecil yang berkedip di layar itu sudah membuktikan. Ia hanya perlu melihatnya langsung nanti ketika menemui obgyn luar KMC.

🐢🐢🐢🐢🐢

2470.

Yooossshhh lega banget😭🤣🤣🤏🏻 gimana gimana? Tinggalkan komen dan vote kalian ya❤️❤️

Selamat hari minggu ❤️

#dahgituaja

#awastypo

Dudui,

Danke

Ifa 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top