CJ- 26

Happy Reading
.
.
.
Awas typo

Waktu berjalan amat sangat tidak terasa cepatnya, setelah kelahiran bayi kembar sepasang kini rumah Aliya tidak lagi sepi. Setiap hari selalu ramai tangisan bayi-bayi menggemaskan itu hingga Bryna dan Ario memilih sementara untuk pulang ke rumah Ibunya itu demi bertemu keponakan kembarnya setiap hari.

Ario yang sedang menunggu wisuda spesialisnya pun menuruti permintaan sang istri. Ia tak keberatan, apalagi ketambahan personel baru yang lucu nan menggemaskan, yah, hitung-hitung latihan ketika nanti punya anak sendiri. Seperti sore hari ini, Bryna yang baru saja pulang praktek langsung buru-buru ganti baju dan bersih-bersih menghampiri Ario yang sedang menggendong keponakannya yang perempuan.

Ada Hannah dan Bryan juga di sana sedang mengobrol juga. Sementara Bryna masih tetap berdiri di ujung tangga kamarnya, ia melihat begitu telatennya Ario menggendong bayi mungil yang usianya baru berjalan dua bulan. Tidak kaku, awalnya mungkin kaku tapi lama kelamaan Ario terbiasa. Ada sedikit rasa mencelus beringsut di hati Bryna melihat adegan manis di depannya itu betapa terbayangnya jika nanti Ario menimang buah hati mereka sendiri.

Ah, seketika hati Bryna menghangat. Ia berusaha mengeluarkan senyum paling semringah yang ia punya sambil berjalan mendekati ruang tengah. Ada baby Z di gendongan Papinya sedang anteng usai menyusu.

"Hallo kesayangan, Biya. Aduh aduh, makin gembul aja." Tangan Bryna gemas ingin menjawil pipi baby Z tapi ia tahan dan memilih untuk mengambilnya dari gendongan Bryan, kembarannya itu.

"...gendong sama Biya aja ya, biar Papi sama Mami bisa istirahat bentar. Pasti pegel gendong kalian terus." Bryna bergerak mengayunkan badannya perlahan, sambil terus menatap bayi digendongannya itu.

Sementara di sebelahnya, baby S sedang senyum-senyum terus digendongan Ario. "Baby S, ngefans banget sama Papa Ario, ya?" Ujar Bryna, agak aneh dan sedikit canggung ia mengucapkan kata barusan.

"Iyaa dong, Biya, Papa Ario kan ganteng." sahut Ario meniru suara anak kecil.

"Issshhh, langsung deh besar kepala..." Bryna geleng-geleng mendengar respon suaminya itu.

Kedua orang tua bayi ini tertawa melihat interaksi di depan mereka. Hannah amat sangat terbantu dengan kehadiran Bryna kembali di rumah ini, mereka bisa gantian menjaga si kembar bila Hannah ingin bersih-bersih atau sekedar menikmati waktu makannya yang masih diatur dari jarak jauh oleh Maminya Hannah yang juga seorang dokter gizi.

"Makasi, ya, kalian udah mau repot-repot tinggal di sini dulu demi temenin gue dan anak-anak." Ujar Hannah, memang, di saat seperti ini yang dibutuhkan seorang ibu baru adalah dukungan dari sekitar tidak hanya secara materi tapi secara immaterial juga. Ya contoh kongkritnya seperti ini.

"It's okay, Han. Mereka juga kan anak-anak gue. Ya nggak akan keberatan lah jagain mereka bareng-bareng, malah seneng akhirnya ada bayi lagi di rumah ini." jawab Bryna dengan senang hati.

"...oh iya, Han, gue mau pesen baju buat gue sama Mas Ario bisa? Atau lo ada baju couple buat kami yang udah ready aja nggak apa-apa." ujar Bryna sambil meletakkan baby Z yang sudah terlelap di pelukannya kembali ke atas bouncer.

"Buat kapan? Acara apa? Nanti biar gue minta Tiwi untuk bawa beberapa baju butik ke sini." Hannah dengan sigap membuka kontak di ponselnya, mencari nama yang ia sebut tadi adalah asisten pribadinya.

"Dua minggu lagi. Buat acara wisudanya spesialisnya bapak-bapak ini nih." Bryna memberi kode dengan mata dan menggedikan dagunya.

"Oohh, oke,oke. Kayaknya gue ada baju itu. Malam ini gue minta Tiwi ke sini ya, kalian lamgsung fitting aja, free buat kalian sebagai tanda terima kasih gue." Ucap Hannah dengan entengnya memberikan service gratis untuk baju-baju dari butiknya.

"Wahh asik! Thanks, lho, bestie! Senangnya punya sponsorhip pribadi, hahahaha..." Bryna makin semringah dibuatnya, Alhamdulillah penghematan pengeluaran budget baju untuk acara wisuda bisa dicoret dari daftarnya.

🐢🐢🐢🐢🐢

Dua minggu kemudian, akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Gelar spesialis penyakit dalam akan segera di sandang Ario dalam hitungan jam. Pendidikan yang ia tempuh sejak Bryna masih jadi koasnya di rumah sakit hingga kini sudah menjadi istrinya akan berakhir. Entah kapan, mungkin nanti akan meneruskan studinya untuk mengambil subspesialis atau bahkan professor.

Who knows.

Banyak rencana ke depannya, tidak hanya karir saja yang dibangun tapi keluarga kecilnya juga. Ia bertekad untuk memberikan kehidupan layak bagi Bryna dan anak-anak mereka di masa depan, setelah ini Ario harus kerja keras meskipun tak mengesampingkan previllage yang mereka punya saat ini.

Adrian sudah menampuk menantunya itu untuk bekerja di Kmc saja, bersama dengan Bryna agar mereka bisa berangkat dan pulang kerja bersama jika memungkinkan. Awalnya Ario ingin bekerja di tempat lain saja karena ia malas dan tidak mau istrinya juga jadi tersudut karena memanfaatkan previllage orang tuanya. Tapi Adrian hingga Syarif bersikukuh untuk meminta Ario di Kmc, akhirnya ia pun luluh dengan permintaan orang tuanya itu.

Bryna tersenyum bangga sambil merapikan seragam wisuda suaminya yang kini ada di hadapannya. "Ganteng banget sih, suami aku." Bryna menyapukan kedua tangannya di pundak Ario, membersihkan partikel-partikel di sana.

Ario tersenyum. "Makasih, ya, udah mau sabar membersamai aku." Katanya pelan. "Setelah ini aku ada jeda libur sebelum masuk kerja. Aku mau ajak kamu jalan-jalan."

"Ke mana?" Bryna penasaran.

"Ada, nanti aku kasih tahu. Sekarang, kita masuk ke gedung yuk!" Ajak Ario, lantas ia menggandeng tangan Bryna bersamanya masuk ke dalam gedung acara.

Ramai. Satu kata yang terlintas dalam pengelihatannya. Banyak dari mereka wajahnya beberapa Bryna kenal, apalagi teman-teman suaminya itu jelas Bryna sudah hapal di luar kepala.

Ada sedikit gelenyar aneh ketika mata Bryna menangkap sosok Syanazia Mahya ada di deretan kursi wisuda di bawah sana. Kejadian beberapa tahun yang lalu masih jelas di dalam kepalanya, kata-kata yang pernah Syanaz ucapkan pada dirinya dulu. Cepat-cepat Bryna menggelengkan kepalanya membuang semua pikiran negatif ke sejawat yang juga seniornya di kampus kuning tercinta ini.

Prosesi wisuda telah di mulai, satu persatu naik ke podium untuk beberapa sesi. Ario mendapatkan gelar salah satu dari sekian banyak lulusan terbaik tahun ini. Betapa bangganya Bryna sebagai istri yang amat sangat tahu bagaimana perjuangan suaminya itu semasa sekolah beberapa tahun belakangan ini.

Ario hampir saja berubah jadi ultraman.

Ditambah dengan statusnya yang juga seorang suami, mau tidak mau fokusnya juga jadi terpecah tapi ia bisa menyelesaikan apa yang dimulainya dengan baik hingga mengukir senyum tanpa henti hingga proses hari ini selesai.

Bryna menyambut Ario dengan buket bunga berwarna putih berbalut wrapping warna monochrome senada kesukaan suaminya itu. "Selamat sayangku..." Ujar Bryna, Ario lantas merengkuh istrinya dalam pelukan hangat itu, tidak mempedulikan sekitarnya karena hampir semua melakukan hal yang sama.

"Terima kasih sayangku,.." ujar Ario. Mungkin jika tidak ada dukungan dari Bryna, kepalanya sudah meledak sepertinya. Setidaknya saat pulang ke rumah, ada Bryna yang selalu menyambutnya penuh hangat, menunggunya di sofa sambil terhantuk-hantuk jika ia pulang larut malam. Tetap memasak untuknya meski tahu Bryna juga lelah bekerja

Yah, seketika itu juga lelah Ario menghilang saat sudah melihat seseorang yang ia sebut rumahnya sudah mengisi hari-harinya yang sudah seperti jet coaster yang meliuk-liuk.

Hari ini di tutup dengan sesi foto-foto yang sepaket dengan acara wisuda hari ini. Bryna tidak menyewa fotografer professional, ia hanya membawa tripod dan shutter bluetooth untuk mengambil foto secara mandiri di dekat gedung milik kampus yang sudah berdiri sejak zamam kolonial yang dulu namanya Stovia.

Puas dengan banyaknya foto yang diambil, Bryna kembali menyimpan kamera professional nya ke dalam tas. Handphone di tangannya terus memunculkan notifikasi ucapan selamat dari teman-teman serta keluarga. Tadi pagi sebelum berangkat, ibu dan ayah Syarif yang berada di Pekanbaru sudah menelepon terlebih dahulu untuk mengucapkan selamat pada putra semata wayang mereka, juga ucapan terima kasih untuk menantu kesayangan yang sudah bersabar menghadapi Ario selama ini.

"Mas, tadi kamu bilang mau ajak aku ke suatu tempat. Mau ke mana, sih?" Bryna masih penasaran dengan maksud Ario tadi.

"Aku mau bayar janjiku ke kamu." Kata Ario sambil fokus menyetir mobil HrV yang sudah menemaninya sejak jaman pindah ke Jakarta lagi setelah kuliah S1 di Jogjakarta.

"... Waktu itu kita belum sempat honeymoon kan, sayang? Aku mau menebus itu, karena sekolah kemarin jadi kita tidak punya banyak waktu luang untuk sekedar pergi liburan, kan? Nah sekarang aku ada waktu luang, yuk kita jalan-jalan biar terus kayak pengantin baru." Ujar Ario lalu menatap Bryna di sampingnya saat mereka berhenti di lampu merah.

"Ya ampun, mas, aku udah lupa lho soal honeymoon itu. Kan aku bilang nggak usah honeymoon nggak apa-apa, biar uangnya bisa kita tabung untuk yang lain." Bryna merajuk menunjukkan aksi protesnya.

"Nggak, aku mau tetap kita honeymoon sayang. Biar kita bisa we time berdua, supaya tidak jenuh. Oke ralat bukan honeymoon tapi staycation deh sebutannya. Pasti kamu suka deh sama tempatnya, nggak jauh kok, di Anyer aja." Jelas Ario menenangkan istrinya itu.

Akhirnya Bryna mengangguk setuju setelah di beritahu jika tempatnya bukan di luar pulau Jawa, bukan di Bali atau Lombok tapi hanya Anyer saja. Tidak jauh dari Jakarta. Ia tidak tahu saja bahwa Ario sudah menyusun ini sejak Bryna memesan baju pada Hannah waktu itu, Ario di bantu Bryan, iparnya, mencari referensi tempat untuk mereka menikmati waktu berdua.

Hingga pilihan jatuh pada satu glamping bernuansa Bali di Anyer sana. Setelah melihat review dan yakin, akhirnya Ario memesan kamar sepaket dengan honeymoon treats Dan dinner romantis pinggir pantai.

"Kapan kita berangkat?" tanya Bryna akhirnya luluh juga setelah Ario bilang ini bukan honeymoon.

"Besok pagi ya. Jadi kita weekend di sana, 3 hari 2 malam." Jelas Ario sambil tangannya mengusap-usap kepala Bryna yang terbalut kerudung silk polos.

"Okay, sampai rumah nanti aku siapin baju-baju kita ya." Bryna tersenyum manis kemudian.

She... maybe the reason i survive
The why and wherefore I'm alive

The one I'll care for through the rough and raining years

Me, I'll take her laughter and her tears..
I'll make them all my souvenirs

From where she goes, I've got to be.
The meaning of my life is she

🐢🐢🐢🐢🐢

Pagi-pagi sekali Bryna dan Ario sudah siap. Mobil mereka sudah terparkir di carport dan siap menyapa jalanan Jakarta sepagi ini sebelum macet ikut merangsek dalam perjalanan mereka.

Koper kabin berwarna hitam sudah siap dan masuk ke bagasi mobil, Bryna juga sudah menyiapkan bekal sarapan untuk selama perjalanan sampai ke glamping nanti. Beberapa snack dan mie instan kesukaannya pun turut serta dibawa dalam trip kali ini.

Bayi-bayi menggemaskan sudah bangun dari tidurnya yang sepertinya baru sebentar, terlihat dari wajah lelah Hannah yang kurang tidur tadi malam. Duo gembil itu sedang menunggu Tuan Matahari menyapa mereka yang butuh asupan sinarnya.

"Dahh bayi-bayi. Papa sama Biya liburan dulu yaa..." Ario mendaratkan kecupan manis pada pipi gembil nan menggemaskan itu sebelum pergi.

Bryna juga pamitan, melakukan hal yang sama lalu pamit pada Aliya dan Adrian. "Hati-hati kalian, jauh-jauh ya kalau ombaknya besar." Pesan Aliya pada putrinya itu.

"Iyaaa mom..."

"Jangan lupa yaa pulang sini..." Tampang jahil Bryan sambil menaik turunkan alisnya ditangkap sinyal oleh Bryna yang mengerti maksud dan tujuan kembarannya itu.

Bryna mengerucutkan bibirnya beberapa senti ke depan. Mecucu melihat ekspresi jahilnya sambil ia terus berjalan ke arah mobil.

"Ready?"

"Let's go ..!" Kata Bryna bersemangat.

Perjalanan akan ditempuh kurang lebih 2 jam 30 menit jika jalanan lancar hingga Anyer. Matahari pagi mulai menampakkan dirinya yang penuh wibawa di langitNya menyapa para manusia yang mulai beraktifitas sepagian ini.

Bryna membuka bekalnya lalu menyuapi Ario yang sibuk menyetir di temani playlist menyenangkan yang sudah Bryna set up lewat aplikasi musik di handphonenya. Sesekali bersenandung hingga menyunggingkan senyum juga di wajah Ario.

"Kamu happy, aku happy, sayang." Batinnya dalam hati.

Ya, siapa yang tidak bahagia melihat separuh nyawanya ini sangat menikmati perjalanan meski kemarin sempat ada terjangan protes tapi pada akhirnya luluh dan amat sangat menikmati awal dari perjalanan ini.

***

Tiga puluh menit terakhir sepertinya mata Bryna tidak kuat terjaga karena bangun sangat pagi hari ini. Akhirnya ia tanpa sadar terlelap dan membiarkan Ario menyetir sendirian di temani suara mbak-mbak googlemaps yang semoga saja tidak membuat mereka tersesat.

Ario membiarkan Bryna pulas hingga mereka tiba di parkiran glamping yang dari luarnya saja sekilas sudah nampak bukan seperti di Anyer. Ia membiarkan sampai terbangun sendiri, Ario tidak tega membangunkan Bryna dari tidur pulasnya itu.

Tarikan napas dalam dan kerutan mulai tampak di wajah Bryna yang sepertinya akan membuka mata sebentar lagi. "Mas, kok mobilnya berhenti?" Tanya Bryna setengah sadar sambil mengunpulkan kesadarannya yang masih tercecer.

"Kita udah sampai, sayang." Ario lalu mematikan layar kecil di dashboard yang menampilkan playlist-playlist dan mematikan mesin mobilnya kemudian membuat Bryna tersadar sepenuhnya.

"Ya ampun, maaf ya, mas. Aku ngantuk banget, kamu jadi nyetir sendirian deh."

"Nggak apa, sayang. Yuk, turun biar kamu bisa istirahat dulu."

Keduanya lantas turun setelah mengambil koper mereka dan menuju meja resepsionis. Ario mengurus kamar, Bryna menunggu di sofa lobby yang tersedia. Ternyata bukan hanya mereka datang sepagi ini, banyak juga pasangan lain, keluarga kecil dengan beberapa anak balita yang sudah sibuk membawa pelampung bebek, unicorn dan kura-kura.

Gemas. Pasti kolam renang yang menghadap pantai itu akan ramai dengan riuh suara anak-anak itu.

Mata Bryna masih sibuk memindai sekelilingnya hingga ia tak sengaja menangkap sosok laki-laki yang wajahnya seperti pernah Bryna lihat. Tapi di mana? Otaknya bekerja keras mengingat itu semua tapi tidak ada memori di dalam sana, hanya saja ia yakin bahwa ia pernah melihat laki-laki itu.

"Siapa ya?" Gumamnya pelan saat sosok itu berlalu bersama seorang wanita cantik yang nampak seusia dengan lelaki tinggi itu. Dahi Bryna berkerut-kerut masih berusaha untuk mengingat siapa orang itu hingga ia tidak sadar Ario sudah kembali ke hadapannya dengan kunci kamar mereka sudah di tangan.

"Sayang..." Panggil Ario sambil menempelkan tangannya memijat dahi Bryna agar tidak mengkerut. "Mikirin apa, sih?" Tanyanya penasaran mengikuti ke mana arah mata Bryna melihat.

"Eh,mas, engga. Itu aku tadi lihat seseorang, kayaknya aku pernah lihat tapi lupa di mana." Jawab Bryna sambil membawa badannya beranjak dari sofa empuk itu.

"Perasaan kamu aja kali, yang. De javu mungkin. Udah, yuk ke kamar. Katanya tadi ngantuk."

Melupakan sejenak siapa yang tadi di lihatnya, kini Bryna terperangah dengan set up kamarnya yang bernuansa bambu dan kayu-kayu. Di atas ranjang berseprai putih bersih ada hiasan default kamar pengantin yang hendak honeymoon di tempat ini.

Beberapa tangkai bunga mawar segar berada di dalam vas bening menambah semerbak harum kamar mereka 3 hari ke depan. Ada beberapa complementary dari pihak glamping. Mereka tidak tahu saja, pasangan yang baru sempat menikmati honeymoon mereka sudah hampir 2 tahun menikah.

"Mas..., katanya bukan honeymoon? Tapi ini set up kamarnya kamar honeymoon." Kata Bryna pelan menuntut penjelasan.

Kekehan kecil terdengar dari pemilik rencana. "Kalau aku bilang, pasti kamu protes. Better say sorry than permission. So, surprise!" Katanya lalu merengkuh Bryna lagi.

"Biar terus berasa kayak newly weeds, dong sayangku." Lanjutnya lalu mencuri kecupan dari Istrinya itu

Bryna hanya mampu menggelengkan kepalanya menerima semua perlakuan ini, tapi dalam hatinya ia bersorak riang dan menikmati tiap momennya kali ini. Semoga saja semua ini bertahan lama hingga keriput menghiasi wajah mereka.

🐢🐢🐢🐢🐢

Sore menjelang, langit pantai Anyer mulai berubah jingga, deburan ombak halus tendengar hingga ke dalam kamar Bryna dan Ario. Mereka sudah bersih dan mengganti baju santainya masing-masing, tak lupa sunscreen yang harus di pakai agar pulang nanti kulit Bryna atau Ario tidak terbakar.

Jalan sambil bergandeng tangan
Lalu berdansa sambil pelukan rasa, oh
Angin berbunyi, nada seperti lagu cinta
Kutulis tentangmu
Kita bikin romantis, bikin paling romantis
Sambil bermain mata, turun ke hati, hatinya jatuh
Kita bikin romantis yang paling romantis
Sambil gandengan tangan, hati pelukan di angan syahdu

Menyusuri pantai sepanjang glamping sambil Ario terus memanfaatkan momen dan memotret istrinya banyak-banyak di bawah langit yang mulai menjingga sampai mereka lelah dan bosan akhirnya duduk di kursi santai menunggu matahari kembali ke ufuk barat.

"Makasi ya, Mas." Bryna menatap Ario sambil melepas sunglasses yang bertengger manis di hidung bangirnya.

Ario menampilkan senyum terbaiknya. "Iya, apapun buatmu, Sayangku. Ini belum apa-apa, nanti kita mulai petualangan lain kita di tempat yang jauh lebih indah dari ini-" belum selesai Ario berbicara, ponselnya berdering nyaring suara sirine.

Bryna menghela napasnya berat, baru saja ia akan mendapat momen manis namun suara itu memecah semua kemesraan diantara mereka. Ario masih belum resmi bekerja di KMC, tapi koasnya dari tempat kerja lamanya lah yang kali ini mengganggu ketenangan liburan mereka.

"Dari rumah sakit, Yang. Aku angkat dulu nggak apa-apa, ya?" Kata Ario disambut anggukan terpaksa dari Bryna.

Ario beranjak dari kursi sebelah Bryna saat handphone sudah menempel sempurna di telinganya. Bryna harus terima konsekuensi dan terbiasa, nantinya pasti akan lebih dari ini.

"Pengantin baru, ya?" Suara perempuan memecah lamunannya kini, Bryna lantas menoleh mencari sumber suara yang ternyata berasal dari kursi di samping kirinya.

"Eh. Hehehe, nggak, mbak. Udah mau jalan dua tahun kami." Jawab Bryna ramah, wanita ini yang ia lihat di lobby tadi, tapi ke mana laki-laki yang bersamanya tadi?

Eh? Mengapa Bryna jadi memikirkan hal itu. Buru-buru Bryna menghilangkan pertanyaan tersebut dari benaknya.

Wanita itu tersenyum. "Ah, masih baru itu." kemudian menyodorkan tangannya, tanda berkenalan dengan Bryna.

"Pradnya Paramita," ucapnya ramah.

Bryna balas menjabat tangan halus di hadapannya kini. "Bryna." Katanya. "Mbak Paramita sendirian ke sini?"

"Enggak, sama suami. Panggil Mita aja," pintanya untuk Bryna meralat namanya.

"Ohh hehe, iya Mbak Mita." Bryna masih canggung, Mita menggangguk maklum.

"Suami kamu dokter, ya?"

Bryna mengangguk. "Kami berdua dokter, mbak." Jawabnya sambil mengulas senyum.

"Oh, wow, saya selalu amazing kalau ketemu dokter. Kayak ketemu malaikat tak bersayap, hehe. Kebetulan suami saya juga dokter. Emm, apa jangan-jangan tadi kalian dari Grand Hyatt juga?"

Mata Bryna sedikit terbelalak mendengarnya. "Seminar? Sepertinya tidak, Mbak. Kami tadi berangkat dari rumah. Tapi kalau seminar di hotel tadi sepertinya saya tahu, seminar untuk spesialis bedah ya?"

"Iya, kebetulan suami spesialis bedah muda dari Bandung."

Lalu mereka berdua larut dalam obrolan seru para istri dokter ini, tapi dari percakapan yang Bryna tangkap, Paramita bukanlah seorang dokter. Jadi hanya suaminya yang berprofesi sama dengan dirinya dan Ario, Bryna masih mencoba mencari memori di dalam otaknya tentang siapa laki-laki yang tidak lain adalah suami dari Paramita ini.

Hingga tanpa terasa suami mereka masing-masing datang dan mendekat ke arah istri mereka. Bryna ditinggal kurang dari dua puluh menit sudah mendapatkan teman baru, Ario takjub sekali.

Mereka berempat akhirnya berkenalan dan duduk bersama menunggu maghrib dan matahari tenggelam sempurna.

"Maaf, tadi nama kamu siapa?" Suara suami Paramita terdengar.

"Bryna, Dok," jawabnya sekali lagi.

Lelaki di hadapannya ini juga sepertinya sedang berpikir keras hingga membuat istrinya,Paramita ikut memandang aneh.

"Kenapa, Kev?"

"Sayang, kamu inget nggak arsitek yang temenku dulu di Jakarta? Yang dulu sekali jadi arsitek rumah sakit Papa?" tanya lelaki bernama Kevin itu.

"Yang kalian ketemuan di Kafe Miami dulu? Ingat, Kev, itu kan Pak Bian." Paramita meyakinkan sekali lagi, Kevin mengangguk, Bryna masih meraba percakapan ini. Arsitek? Rumah sakit? Siapa?

"Jadi dulu saya punya teman yang saya mintai tolong untuk set up rumah sakit Papa saya di Bandung. Arsitek, Abiandra Prayuda. Sekarang firmanya sudah besar sekali. Saya ingat betul Abiandra punya keponakan kembar sepasang. Yang perempuan dekat sekali dengan Bian. Wajahnya agak mirip kamu," cerita Kevin bersemangat.

Bryna tak bisa lagi menyembunyikan kekagetannya kali ini. Ia menatap suaminya yang juga sama-sama kaget. "Dok, Abiandra yang dokter sebut tadi itu benar, beliau adalah Om saya. Dan keponakan yang dekat dengan beliau itu, saya. Bryna." Jelas Bryna.

Betapa terkejutnya dr. Kevin di hadapan Bryna dan Ario. Ia tak menyangka bahwa dunia sesempit ini dan yang lebih tidak ia sangka lagi adalah keponakan yang dulu sering Abiandra ceritakan kini sudah menikah dan jadi dokter pula. Berangsur beliau menanyakan kabar Abiandra dan keluarga lainnya karena sudah lama tidak berjumpa karena kesibukan masing-masing.

Praktis, dr. Kevin yang berkawan dengan Om nya itu mesti mengenal Aliya juga. Dan dr. Kevin mengiyakan, ia tahu semua adik dan kakaknya Abiandra itu siapa. Seperti menemukan jawaban, dr. Kevin berbinar mengingat kembali suatu informasi penting yang akan ia tanyakan pada Bryna.

"Seingat saya, mertuanya Mbak Aliya itu, dokter kandungan, kan?"

"Iya, Oma-Opa saya. Prof. Nadia dan Prof. Irzha. Ada apa, Dok?" Tanya Bryna.

Terbit secercah senyuman dari dr. Kevin dan Paramita. "Apa kami bisa minta informasi tempat praktik beliau? Kami butuh bantuan Prof. Nadia, Bryna," ujar dr. Kevin penuh harap pada cucu Profesor yang ia baru ingat lagi keberadaannya.

Bryna mengiyakan dan memberikan informasi kontak Omanya yang biasa diberikan pada pasien yang memang butuh bertemu dengannya.

Sedikit kisah Bryna dengar dari dr. Kevin dan Paramita, membuat hati Bryna dan Ario mencelus begitu saja. Bagai dihantam ombak keras, hati Bryna ikut sedih mendengar kisah pasangan suami istri ini. Ternyata, cobaan yang Bryna rasa kemarin hingga hari ini belum ada apa-apanya dibanding dr. Kevin dan Paramita.

Tampak mereka berdua antusias namun sedikit bayangan takut dan kecewa nampak di sorot mata Paramita. Bryna paham posisi di mana sudah mencoba berulang kali namun tetap saja gagal itu pasti sakit.

"Saya nggak bisa menjanjikan apapun, dr. Kevin, mbak Mita. Tapi semoga jalannya Allah memang lewat Oma Nadia. Tidak ada salahnya mencoba sekali lagi." Ujar Bryna memberi semangat pada dua orang seusia Om dan Tantenya ini.

"Terima kasi, Bryna," ujar Paramita. "Senin nanti kami coba datang ke KMC, semoga kita bisa ketemu lagi di sana, ya."

Bryna mengangguk. Tak lama mereka pamit kembali ke kamarnya masing-masing.

Ario yang menangkap gurat sedih di wajah istrinya itu lantas merengkuh tubuh yang hanya setinggi dagunya itu dalam pelukan hangatnya. "Don't be sad, sayangku." Ucapnya lalu mengecup puncak kepala Bryna.

"Ternyata, cobaan yang ku kira berat, nggak ada apa-apanya sama cobaan orang lain, Mas. Aku merasa berdosa jadinya." Ujar Bryna sendu.

"Allah itu adil. Allah tidak akan menguji hambaNya di luar batas kemampuan kita. La tahzan innallaha ma'ana." Ujar Ario diiringi rintik hujan yang mulai turun membuyarkan rencana mereka untuk dinner romantis pinggir pantai sepertinya urung di laksanakan dan di ganti esok hari saja.

🐢🐢🐢🐢🐢

Yaa Allah!! 3586+ kata aku tulis dari jam 20..30-01.35 MaasyaAllah entah kapan aku terakhir nulis sepanjang ini🥲😩 hamdallah... Alhamdulillah, Allahumabarik🥹🥹 dan oh iya, jika kalian familiar dengan nama Kevin dan Mita, yups betul mereka adalah anak-anaknya stethoscope_id dari kisah The resident, bisa cek lapaknya tapi tinggal ekstrapartnya aja. Kalian bisa cek di 2 eps ekstrapart latar belakang kisah di penghujung episode 26 ini ya... Hehehe danke ibu Nath sudah mau collab lagi setelah bertahun-tahun lamanya 🙂‍↕️🙂‍↕️ jangan lupa vote dan komennya ya semua biar authornya gak ilang-ilang lagi🫠🫠

#dahgituaja

#awastypo

Danke,

Dudui

Ifa 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top