CJ- 25

Happy Reading
.
.
.
Awas typo

Sendirian.

Hampir setiap malam selama setahun ini Bryna selalu sendirian di apartment yang kini di huninya bersama Ario. Ario yang masih sibuk dengan program spesialisnya harus menerima bahwa dirinya jadi jarang ada di rumah. Sesekali mungkin mereka akan bertemu di jam berangkat kerja, ya, Bryna berangkat, Ario pulang. Kurang lebih hampir setiap hari seperti itu. Atau hanya saat malam jika Ario mendapatkan sif pagi hari hingga sore, itu pun jika tidak pulang telat.

Jujur saja, Bryna sangat kesepian. Tetapi lagi-lagi, ini konsekuensi menikahi laki-laki yang juga seorang calon dokter spesialis.

Suami calon spesialis, passwordnya...

Bryna menghela napasnya berat, sejak tadi ia buka-tutup channel teve. Bolak-balik menelusuri tayangan film-film berbayar yang jarang ia tonton kecuali menonton drama Korea yang sedang on going atau trending di media sosial tapi kali ini tayangannya tidak ada yang menarik. Bryna memilih untuk mematikan televisi pipih di hadapannya itu dan menyalakan aplikasi pemutar lagu berwarna hijau saja.

Tangannya kini sibuk dengan ponsel, berselancar sejenak di grup keluarga melihat update terbaru. Foto-foto lucu adik-adiknya, juga update kehamilan kakak iparnya, Hannah.

Ah ya, kehamilan. Lagi-lagi bulan ini belum ada sama sekali tanda-tanda itu tiba, yang ada, tamu bulanan datang lebih awal dari siklus seharusnya. Sepertinya perubahan siklus dan Bryna sangat mewajarkan hal itu terjadi tapi jauh di dalam hatinya tetap ada rasa kecewa.

Seperti dikejar-kejar deadline Bryna terus saja memikirkan hal itu meskipun tak ada yang memintanya untuk segera hamil, termasuk Ario. Tapi Bryna akan terus merasa bersalah jika ia ikut-ikutan sesantai itu, di luar sana banyak mulut yang ingin Bryna sumpal dengan kasa steril jika bisa dan ia berhasil hamil.

"Apa yang salah sama aku ya? Apa karena aku terlalu banyak mengkonsumsi obat sejak kecil dan berefek seperti ini? Hasil labku semua baik-baik saja, bahkan sebelum menikah pun mas Ario sudah memeriksakan kondisi tubuhnya, tidak ada penyulit. Tapi, kenapa?" Batin Bryna masih bergejolak mendapati bahwa lagi-lagi kenapa tidak seperti di bayangannya?

Bryna memberanikan dirinya untuk cek lab keseluruhan di lab luar rumah sakit tanpa sepengetahuan Ario dan mendapati dirinya baik-baik saja. Beberapa lab bahkan sudah Bryna datangi untuk memastikan bahwa kesehatannya kini sudah sangat stabil, tidak seperti masa kecil hingga remajanya dahulu sebelum menikah.

Pertanyaan yang sama sekali Bryna belum menjumpai jawabannya hingga kini. Ia sadar bahwa siapapun tidak ada yang bisa mengatur Tuhan atau mengatur timeline hidup seseorang tapi tak ada salahnya berharap serta berusaha, kan?

Bryna beranjak dari sofa, menutup semua gorden,mematikan lampu-lampu dan masuk ke kamarnya, waktu sudah berada di jam sebelas malam. Sepertinya Ario pulang terlambat malam ini.

Menyelimuti diri, tenggelam dalam selimut yang menutupi tubuhnya, Bryna berusaha terlelap meski rasanya sulit karena kepalanya amat sangat berisik saat ini. Terlalu banyak yang ia pikirkan sendiri tanpa membaginya pada Ario.

"Maafin aku, ya, Mas. Kalau banyak hal yang aku pendam sendiri tanpa aku cerita ke kamu. Lagi-lagi karena aku nggak mau membebani kamu dengan segala overthinking yang aku alami saat ini." Batinnya sekali lagi dan terlelap kemudian hingga tak sadar bahwa Ario sudah sampai.

Mendapati istrinya tidur tenggelam di balik selimut, Ario tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres melanda istrinya itu. Seperti banyak hal yang disembunyikan darinya, tapi apa? Ario akan coba mencari tahu setelah ia bersih-bersih.

Seminim mungkin ia tidak menimbulkan suara dan gerakan agar tidak mengganggu istrinya yang sudah pulas terlelap, ia masuk ke kamar mandi dan bersih-bersih. Setelah selesai, mata Ario tertuju pada laci drawer di kamar mandinya yang sedikit terbuka, menyembulkan secarik kertas putih berlabel kuning milik salah satu lab terkenal di Jakarta.

Dengan penuh rasa penasaran Ario menarik perlahan laci itu dan nampak jelas beberapa berkas lain selain kertas yang ia lihat pertama kali.

"Hasil lab?" Gumamnya pelan melihat beberapa kertas di tangannya kini. Isi kepala Ario berkecamuk, kapan Bryna melakukan semua ini? Kenapa tidak minta ditemani? Kenapa bukan cuma satu lab, tapi beberapa?

Kepala Ario berdenyut seketika. Ia sadar akan dirinya yang sibuk dengan program residensi tingkat akhirnya, tapi, semua ini terlalu tiba-tiba baginya. Ini bukan saja hasil lab biasa, bahkan ada beberapa cetak foto usg abdomen yang menandakan ini cek up berkala. Tidak ada yang aneh dari semua hasil lab dan foto-foto usg nya, semua nampak normal. Ario bisa membaca hal itu.

"Kamu kenapa nggak cerita sama aku, sayang?" Mata Ario tertuju ke arah tempat tidur mereka.

Ario kini dilanda rasa bersalah karena jarang hadir menemani istrinya. Atau bahkan sekedar menemaninya pergi ke lab-lab yang berkasnya kini ada di tangannya. Ario tidak pernah memaksa Bryna untuk segera memberinya keturunan, ia juga sadar bahwa pendidikannya belum selesai dan akan memakan banyak biaya jika ada personel tambahan nantinya. Ario sadar ia belum bisa provide lebih baik dari pada hari ini.

Tapi sepertinya prespektif yang dimiliki istrinya berbeda, bisa saja Bryna berpikir bahwa Ario bukan lagi di usia duapuluhan. Waktu terus berjalan tapi keturunan belum kunjung di dapatkan. Ario mencoba berpikir jernih untuk tidak memarahi Bryna atas semua perbuatan yang tidak diketahuinya, ia akan bertanya pagi nanti ketika mereka sudah dalam keadaan sadar sepenuhnya.

Sambil membawa berkas tadi dan diletakkannya di atas nakas samping tempat tidur, Ario naik ke sebelah Bryna, ia menelusup masuk dan memeluk istrinya dari belakang dan berusaha terlelap meskipun isi kepalanya juga sama berisiknya seperti Bryna.

Sadar ada yang memeluk dirinya karena wangi khas mint menguar begitu saja di indera penciumannya, Bryna lantas memutar tubuhnya dan menenggelamkan kepalanya ke dada suaminya itu. Ia peluk erat-erat seolah mencari perlindungan dari apapun yang menyerangnya saat ini.

Dan mereka terlelap hingga subuh menjelang.

🐢🐢🐢🐢🐢

Seperti biasa, Bryna selalu bangun lebih awal dari Ario. Ia berusaha menyingkirkan tangan besar di atas perutnya dan bangun dari posisi tidurnya sambil menghela napas begitu ia melihat baju kotor dan tas Ario masih berserak di lantai.

"Kebiasaan." Gumamnya lalu turun dari tempat tidur dan merapikan barang-barang yang berserak di lantai kamar mereka lalu masuk ke kamar mandi dan mencuci wajahnya, adzan subuh masih beberapa menit lagi. Masih ada waktu untuk menyiapkan sarapan dan bekal untuk suami juga dirinya setelah ini.

Bryna mendapatu ada yang janggal dari kamar mandi ini, tangannya langsung saja membuka laci yang ia tinggalkan setengah terbuka tadi malam dan benar saja, berkas yang ia sembunyikan raib dari tempatnya. Wajah bingung serta panik kini nampak jelas, ia sudah tahu pasti siapa yang mengambilnya dari tempat itu.

Cerobohnya, ia lupa menutup rapat laci rahasia itu.

Bryna keluar dari kamar mandi dan melihat sekelilingnya, lalu matanya kemudian tertuju pada nakas dekat Ario tidur. Tidak salah lagi, Ario pasti sudah membacanya. Kaki Bryna sudah seperti tidak sanggup menopang beban tubuhnya, ia lemas, rahasia yang ia sembunyikan akhirnya ketahuan juga. Pasti setelah subuh nanti ia akan mendengar kultum subuh dari suaminya itu.

"Aduh, kenapa bisa ketahuan, sih?" Bisik Bryna sepelan mungkin seraya mengusap wajahnya setengah frustrasi.

Ia bergegas meninggalkan kamar dan menuju dapur, meskipun jantungnya terasa akan copot sekarang karena takikardia tapi Bryna mencoba untuk tenang sebisanya. Ia sadar bahwa kelakuannya ini salah karena ia melakukan semuanta sendiri, semaunya tanpa persetujuan Ario, suaminya.

Sambil memasak, Bryna berusaha mengalihkan pikirannya dan tetap memasak seperti biasa. Semoga masakannya tetap enak dan tidak terpengaruh moodnya.

"Sayang..." Ario keluar dari kamar setengah mengantuk mencari istrinya yang pasti sudah ada di dapur.

Bryna mengambil napas sebelum menjawab. "Iya, Mas, di sini." Sahutnya tanpa mengalihkan pandangan dan tangannya dari wajan.

"Sholat dulu, udah shubuh. Masaknya lanjut nanti." Ajak Ario.

Bryna lantas mematikan kompornya tepat saat masakannya sudah matang dan menuruti perintah suaminya itu. Berusaha menetralkan perasaannya, lalu menghampiri Ario di sofa. "Sudah wudhu kah, suamiku?"

"Sudah sayang." Ario menongak melihat istrinya. "Ini aku sudah pakai sarung."

"Oh iyaa hahahaha. Tunggu ya, aku cuci muka sama wudhu sebentar. Bau masakan,nih."

Ario mengangguk sambil terus memperhatikan Bryna saat masuk ke kamar mereka. Ia sadar pasti Bryna sudah tahu kalau apa yang disembunyikannya sudah Ario ketahui.

"Sayang, ada yang mau aku bahas. Bisa duduk dulu di sini sebentar?" Tanya Ario usai mereka sholat shubuh.

Bryna sedikit terhenyak. "Iya, Mas, ada apa?" Bryna tak jadi beranjak dari sajadahnya

Ario lantas bangun dan mengambil benda yang sudah terongok di atas nakas tempat tidur mereka. "Aku mau tanya, ini apa, sayang?" Ario menyodorkan tepat di depan wajah Bryna.

Bryna sedikit terdiam sebelum ia bersuara. "Has.. hasil lab." Jawab Bryna terbata.

"Kapan?" tanya Ario dingin.

"Beberapa bulan belakangan ini aja, kok, mas."

"Kenapa nggak bilang? Dan kenapa nggak di kmc atau rs tempatku kerja?"

Bryna terdiam sejenak sebelum menjawab semua pertanyaan suaminya itu. Jelas ia bingung bagaimana menjawabnya, ia tidak mempersiapkan semua ini, ini semua di luar dugaan dan rencananya. "Aku, minta maaf, mas." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Bryna.

Ario hanya mampu menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Aku berhak tahu. Aku masih suami kamu."

"Aku hanya takut, takut bikin kamu kecewa, makanya aku memilih untuk melakukan semuanya sendiri." Bryna semakin tertunduk ketika ia kembali diingatkan akan posisi Ario.

"Gunanya kita bersama itu untuk menghadapi semuanya sama-sama. Bukan sendiri-sendiri seperti ini."

Terbukti ketakutan Bryna. Ia akan menerima kultum, siraman rohani, khutbah dari suaminya usai sholat ini. "Maaf, mas." Air mata sudah berkumpul di sudut mata Bryna, sebisa mungkin ia tahan emosinya untuk menangis.

"Aku memang sibuk, pekerjaanku tidak bisa seenaknya ditinggal. Kita sama-sama tahu hal itu, tapi tolonglah, untuk hal seperti ini kasih tahu aku. Bilang ke aku, asal aku tahu. Sebisa mungkin aku akan usahakan temani kamu, kalau diam-diam begini, pasti kamu takut ketahuan, kan?"

Air mata meluncur tidak sopan begitu saja di pipi Bryna. Tidak ada suara isakkan, hanya air matanya yang menjadi tanda bahwa pertahanannya kini runtuh.

"Kamu salah, udah, nggak usah nangis. Aku nggak marah, tapi aku kecewa, kenapa hal seperti ini aku tidak dilibatkan." nada bicara Ario tidak tinggi, datar dan biasa saja tapi amat sangat terdengar kekecewaan di sana.

"Sekali lagi, aku minta maaf, Mas. Aku tahu dan paham,kok kalau aku salah. Tapi semuanya aku lakukan untuk memvalidasi hal-hal buruk di kepalaku bahwa itu semua tidak akan terjadi. Aku tahu kamu sibuk, makanya aku tidak mau menggangumu dengan overthinkingku, aku takut, aku takut mengecewakan orang-orang yang aku sayang. Bukan cuma kamu, tapi ayah dan ibu, juga orang tuaku."  ujar Bryna panjang, suaranya bergetar menjelaskan kenapa ia melakukan semuanya sendiri.

"... Tolong pahami dan maafkan aku, mas. Apa yang harus aku lakukan untuk mengurangi rasa kecewamu?" Lanjut Bryna setengah memohon pada suaminya.

Ario menghela napasnya kasar. Ia memang tidak akan memarahi Bryna habis-habisan, tidak. Itu hanya akan menimbulkan sakit hati dan trauma yang lain. Tapi kecewa tetaplah kecewa.

"You don't have to do anything. Sudah, aku tidak mau memperpanjang hal ini. Cukup jadikan ini pelajaran bahwa kita menikah bukan hanya untuk menghadapi senang-senang bersama. Tapi susah-senang bersama? Okay?" Ario merentangkan tangannya lalu meraih Bryna ke dalam pelukannya.

"...hak prerogative Allah untuk hal-hal di luar kendali kita. Saat ini, cukup ikhtiar dari segala arah dan berdoa supaya Allah segerakan."

Bryna mengangguk sambil menenggelamkan wajahnya, menyembunyikan wajah sendunya saat ternyata mereka sudah lama duduk di bawah sini hingga tak sadar matahari mulai menyusup masuk di antara gorden apartment mereka.

"Jangan sedih lagi ya sayangku. Sekarang kita fokus dulu boleh? Ada dua keponakan kita yang bakal hadir sebentar lagi, nanti kamu tengokin ya? Pulang kerja sore aku susul ke kmc." Ujar Ario masih memeluk Bryna dan mengusap-usap kepalanya.

Bryna baru tersadar, notifikasi handphonenya penuh. Semalam saat ia tinggal tidur, grup keluarganya sudah sepi, tapi saat ini ramai chat masuk. Hannah sudah ada di kmc, dinihari tadi ketubannya rembes menandakan dua keponakannya segera lahir ke dunia.

"Aku mau anak kembar jugaaa..." Bryna mencebik, menongak menatap suaminya.

Ario tertawa mendengar permintaan istrinya barusan. "Hahahahaha, iya nanti kita bikin. Lucu kan kalau ada dua set anak kembar lari-larian di rumah Mom."

"Terlalu gemas untuk di bayangkan. Udah, ayo kita siap-siap berangkat kerja." Bryna melepas pelukan Ario dan melipat mukenanya kembali ke tempat semula.

🐢🐢🐢🐢🐢

"Dok, udah ke Vvip? Mbak Hannah lahiran hari ini kan?" Tanya suster saat sudah selesai poli hari ini. Entah siapa yang bau hari ini, tapi poli ramainya sampai membuat Bryna kelelahan dan tidak sempat membuka handphonenya.

"Belum, Sus, boro-boro ke atas. Tadi kan datang langsung masuk poli, pasien hari ini kayak semut."

"Iyaa dok, koas kayaknya nih yang bau." Lanjut suster. "Eh tapi dok, di akun lambe udah rame lho fotonya mbak Hannah sama dokter Bryan. Kayaknya ada yg fotoin deh tadi pagi pas mereka datang ke sini."

Bryna geleng-geleng kepala. "Update banget, sih, sus... Saya aja nggak sempet ngecek lho."

Suster terkeheh mendengar jawaban Bryna.

"... Yah, maklum aja ya, sus. Resiko jadi public figure, jadi nggak punya privasi untuk hal-hal kayak gini." Kata Bryna sambil melepas snelinya. "Kalau gitu saya ke atas dulu, ya, titip poli."

Bryna lantas keluar dari ruangan praktiknya dan benar saja di halaman depan kmc sudah banyak sekali wartawan menanti siapapun yang bisa mereka wawancarai terkait Hannah yang masih ada di dalam rumah sakit itu.

Untung wajah Bryna tertutup masker jadi tidak ada yang mengenali wajahnya dan ia buru-buru masuk ke dalam lift yang membawanya ke lantai paling private di rumah sakit ini.

"Lho sepi, sus? Ke mana ini?" Tanya Bryna ke suster jaga di lantai itu.

"Mbak Hannah dibawa ke OK, dok. Cito emergency kata dokter Hamzah."

"Oke, makasi, sus."

Bryna buru-buru turun kembali ke ruang operasi dan di sana sudah ramai keluarganya menunggu di depan ruang operasi. "Oma biasa nanganin sendirinanak-anaknya sih jadi begitu deh..." Ujar Bryna menanggapi kegelisahan Omanya itu. "Lagian oma kenapa nggak di atas aja? Kan bisa live tuh nonton Hannah dibedah."

"Engga, oma nggak mau ah. Nggak tega." Ujarnya lagi menanggapi saran cucunya yang paling manja ini.

Tidak lama lampu ruang operasi berubah hijau, tandanya operasi sudah selesai. Semua orang berdiri di dekat pintu dan bersiap menyambut siapapun yang keluar dari dalam sana. Sepasang bayi kembar muncul  di dalam inkubator yang dibawa oleh suster keluar dari ruang operasi. Semua orang meleleh dibuatnya. Ucapan syukur tak henti-hentinya terucap, akhirnya dua bayi yang ditunggu lahir ke dunia.

"MaasyaAllah, gembul-gembul sekali cucu Momma..." Aliya menatap dua bayi yang masih menangis di dalam inkubator itu.

"Di bawa ke ruang bayi dulu ya dok Aliya, permisi." pamit suster disambut anggukan oleh Aliya.

Sementara ada Bryna yang juga sedang menanti-nanti kapan giliran dirinya yang memberikan cucu untuk kedua orang tuanya. Meski sedikit teriris hatinya, Bryna berusaha berbesar hati dengan kehadiran dua keponakannya kini. Bisa jadi dengan hadirnya mereka malah mempercepat kehadiran bayi-bayi lainnya dari Bryna dan Ario.

"Selamat ya mamasku... Sekarang jadi bapak-bapak beneran." Ujar Bryna sambil memeluk kakaknya itu.

"Iyaaa, habis ini kamu ya, dek. Biar anak-anak kita gedenya bareng."

Bryna mengaminkan ucapan Bryan barusan. "Aamiin, Mas. Doain yaa semoga cepet ketularan habis momong si kembar nanti."

Larut dalam euforia kehadiran si kembar Bryna melupakan sejenak keinginannya. Ia mampir ke ruang bayi setelah dari kamar rawat Hannah dan mengabari Ario kalau dia ada di ruang bayi baru lahir.

"Sayang..." Buyar lamunan Bryna saat suara suaminya memenuhi indera pendengarannya.

Bryna menoleh dan tersenyum. "Hai, Chief." jawabnya. "Sini sini. Lucu deh mereka." Bryna menarik Ario sedikit mendekat ke kaca pembatas.

"Lucu sekali," mata Ario berbinar melihat dua keponakannya yang tengah pulas tertidur. "Satu mirip Bryan, satu mirip Hannah. Mana kakaknya?"

"Itu, yang laki-laki."

Bryna menatap Ario dari samping, wajah semringah, mata berbinar mendamba tidak bisa membohonginya lagi. Rasa bersalah masih tetap menyelimuti meski Bryna mencoba menutupi, ia hanya bisa merapal dalam untaian doanya agar bisa disegerakan.

🐢🐢🐢🐢🐢

MaasyaAllah akhirnya update lagi. Jangan lupa tinggalin jejak dan semangatin Bryna yaaa😚😚😚 makasi udah selalu nungguin lapak ini update lagi, walaupun akunya ilang-ilangan🫶🏻🫶🏻 lafyuuuu 🫶🏻🫶🏻😚😚

#dahgituaja

#awastypo

Dudui

Danke,

Ifa ❤️

📍Transmart carrefour, 13.05

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top