CJ-19
Happy Reading
.
.
.
Awas Typo
Kemarin, begitu sampai di rumah Bryna diinterogasi lewat telepon soal ia bertemu Syanaz saat jaga UGD beberapa waktu lalu. Bryna agak kaget sebetulnya dengan pertanyaan dr. Ario itu, entah dapat berita dari mana yang jelas Bryna sudah tidak bisa berbohong lagi.
Akhirnya ia pun harus jujur mengenai pertanyaan Syanaz itu. Bryna juga menjelaskan tak ada kata-kata yang menyakiti hatinya, sejawatnya itu hanya bertanya baik-baik namun Bryna tahu dari balik pertanyaan itu tersirat sebuah kekecewaan mendalan karena hubungannya dengan dr. Ario.
Bryna berusaha tidak memikirkan apapun soal Syanaz. Biarlah rasa itu mungkin hanya Syanaz yang tahu, Bryna tidak akan mencari tahu lebih jauh. Fokusnya sekarang untuk melangkah lebih jauh bersama dr. Ario, hari ini kebetulan mereka satu shift jadi kemungkinan untuk bertemu sangat besar.
"Harus lebih hati-hati lagi pokoknya. Jangan sampai satu rumah sakit tahu dulu," gumam Bryna sambil merapikan barang-barang yang akan dibawa ke dalam tasnya lalu turun ke ruang makan.
"Bekalnya di bawa ya, dek." ujar Aliya sambil merapikan beberapa kotak bekal milik dua putranya yang masih sekolah.
"Mom bikin apa pagi ini?" Bryna membuka kotak bekalnya. "Crepes?" Bryna menatap Mommynya.
"Iya, tuh Kenzie yang buat untuk mbak katanya. Nanti makan siang kamu beli aja ya, mom lupa belum belanja, itu bibik baru jalan belanja juga buat makan siang." sahut Aliya.
Bryna menganggukkan kepalanya, adik bungsunya itu memang manis. Dia juga tahu kesukaan kakaknya ini apa saja. "Ya udah, mom, Bryna sarapan ini aja nanti di mobil. Jalan dulu yaa..." Bryna mengecup pipi Mommynya lalu pamitan untuk pergi kerja sekarang.
🐢🐢🐢🐢🐢
Di kediaman dr. Ario pagi ini ada pemandangan yang berbeda. Arum, Ibunya baru datang lagi dari Pekanbaru. Beliau tidak pernah absen memasak untuk putra semata wayangnya ini, menu-menu sederhana selalu tersaji hangat di meja makan setiap Arum datang.
Pagi ini beliau khusus juga memasak bekal untuk calon menantunya yang makanan kesukaannya tidak jauh berbeda dari putranya.
Dr. Ario hanya menggelengkan kepalanya melihat sang Ibu sibuk di dapur bersama ART yang memang bantu-bantu di rumah ini. Harum masakkan menguar ke mana-mana, wangi gudeg khas Jogja yang sudah di persiapkan sejak semalam pun semakin wangi tercium membuat dr. Ario yang menyaksikan dari jauh ikut lapar di buatnya.
"Bu, ini cuma buat Bryna aja nih? Buat Ario mana?" rajuknya seperti anak kecil ketika menghampiri Ibunya.
"Ada, Le, tenang aja. Itu sarapan buatmu sudah ada, ayam suwir, kentang krispi sama sayur bayam. Ini untuk makan siang kalian nanti di rumah sakit, ajak adikmu makan, tanyakan dia kapan kita bisa silaturahmi lagi untuk tentukan tanggal pernikahan kalian." kata Arum sambil memasukkan makanan ke dalam sekat-sekat kotal bekal itu.
"Nggih buk, nanti Ario ajak Bryna makan siang sambil ngobrol-ngobrol soal itu." jawab Ario lalu menuju kursi makannya.
"Ini sudah 2 bulan toh, sejak kedatangan pertama kita. Ibuk rasa keluarga Bryna juga tidak keberatan hanya berjeda sebentar dari pernikahan Bryan dan istrinya. Di segerakan, Le, ibuk kan mau punya cucu juga." kali ini Arum yang merajuk.
Dr. Ario menatap Ibunya lalu tersenyum. "Insya Allah ibuk akan segera nimang cucu. Doakan semoga semuanya lancar, kalau pun dokter Adri minta mas menikah dengan Bryna hari ini pun, mas siap kok. Tapi, semua itu kan tidak semata-mata hanya ijab, buk. Ibuk sabar ya," katanya sambil mengusap punggung tangan Arum.
"Yawes, kamu atur aja. Ibuk cuma nggak mau kalian lama-lama, nanti timbul fitnah. Apalagi kalian satu rumah sakit, ibuk nggak mau ada omongan yang nyakitin hati mantu dan anak ibuk."
Lagi-lagi dr. Ario dibuat terkekeh oleh ibunya. "Iya ibuku sayang, ibuk tenang aja ya. Ario pastikan itu nggak ada, oke?"
"Heem," Arum mengangguk. "Ndang makan." sambungnya sambil menuang air ke dalam gelas putranya itu.
.
.
.
.
.
Pada akhirnya, semua yang di sembunyikan akan ketahuan juga. Pagi ini, sudah tiga orang yang menanyakan pada Bryna tentang hubungannya dengan dr. Ario.
Mereka dapat kabar dari satu mulut ke mulut lainnya entah siapa yang memulai, Bryna tak mau tahu. Suka tak suka Bryna harus menjawab dengan jujur meski enggan, orang-orang itu langsung tertuju pada jari manis Bryna yang sudah tersemat cincin cantik di sana.
"Dok, di tunggu ya undangannya."
"Duh, beruntung yaa dr. Bryna dapat dr. Ario, udah ganteng, baik lagi."
"Dok, bagi dong ilmunya buat taklukin hati cowok gemes kayak dr. Ario gitu."
Lho?
Bryna yang sejak tadi tak hentinya mendapat pertanyaan dan pernyataan serupa hanya mampu tertawa kecil. Bisa-bisanya mereka memuji calon Suami orang di depan calon istrinya begitu.
Tak habis pikir Bryna di buatnya.
"Ish! Kok lo diam aja sih, itu calon suami lo lagi di puji-puji gitu depan muka lo dan lo nggak berkutik?" repet Alana, dia saja sebal mendengarnya.
"Biarin aja, nggak apa-apa. Memang kenyataan kok, wajar kalau mereka memuji asal nggak pakai iri dengki aja." sahut Bryna santai.
Alana menggelengkan kepalanya melihat reaksi Bryna seperti ini. Yaa, walaupun mulutnya berkata demikian, mana tahu hati Bryna juga ikut panas mendengarnya bukan?
"Eh! Orangnya ke sini!" Alana membulatkan matanya saat dr. Ario mendekat ke nurse station tempat mereka duduk saat ini.
"Hai," sapa dr. Ario.
"Ada apa, Kak? Tumben mampir ke umum?" tanya Bryna santai.
"Ini, ada titipan dari ibuk buat makan siang. Nanti makan bareng ya." dr. Ario meletakkan tas bekal tapiwer berwarna ungu lengkap dengan botol minum di dalamnya.
"Lho, ibuk ada di sini, Kak? Kapan datang?" tanya Bryna antusias.
"Kemarin pagi sampai Jakarta. Nanti kita makan di kantin ya, ketemu di sana."
Bryna mengangguk mendengar ajakan dari dr. Ario. "Iya kak, habis ini aku Whatsapp ibuk mau bilang terima kasih."
"Iya. Aku balik dulu ke poli, ya. Daa.." pamit dr. Ario lalu berbalik meninggalkan Bryna di tempatnya sementara Alana tidak bisa berkata satu kata pun.
"Kenapa anda?" Bryna menoleh ke sampingnya.
"Aduh jomblo minggir dulu deh." Alana menggeser kursinya sedikit menjauh sambil tertawa, Bryna pun, ia lalu membuka tas itu dan menemukan notes di dalamnya.
"Let's talk about our future. See you at lunch." dengan emoticon senyum di akhir kalimat membuat Bryna ikut tersenyum juga.
Bryna juga baru sadar, ini sudah dua bulan semenjak orang tua dr. Ario memintanya untuk jadi menantu mereka. Tandanya ia harus siap sedia menentukan kapan pernikahan mereka akan dihelat.
🐢🐢🐢🐢🐢
"Sana makan siang, ditungguin tuh. Cieee," Alana menyikut lengan Bryna saat jam sudah tepat pukul 12 siang.
"Hahaha, duluan yaa, daaa..." Bryna bangun dari tempat duduknya membawa tempat makannya tadi menuju ke kantin, dr. Ario sudah menunggunya di sana.
Jujur saja, jika bukan karena dr. Ario yang mengajaknya untuk makan siang dan ada beberapa hal yang mereka bicarakan sepertinya Bryna tidak akan mau. Karena berita kedekatannya sudah mulai tersebar, ia tak mau jadi bahan omongan satu rumah sakit.
Sementara dari kejauhan Syanaz yang lewat tepat di depan kantin dan melihat dr. Ario dan Bryna di salah satu meja dekat jendela menikmati makan siang mereka.
Sudah, tak mungkin ada lagi celah baginya untuk mendapatkan dr. Ario setelah ia mengungkapkan perasaannya saat itu di tambah Syanaz baru menyadari di kedua jari manis mereka sudah tersemat masing-masing cincin di sana.
"Bryna," ujar dr. Ario.
"Iya, Mas?" sekilas Bryna menongak saat namanya di panggil.
"It's been 2 months, kapan aku sama ibu ayah bisa silaturahmi ke rumah lagi? Untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius?" tanya dr. Ario serius.
"Hari Minggu ini bisa, Mas? Insya Allah kapanpun siap menerima kedatangan Mas, ayah dan ibu untuk datang ke rumah." jawab Bryna mantap.
Dr. Ario tersenyum mendengar jawaban Bryna. "Bisa, nanti Mas akan minta Ayah untuk pulang ke Jakarta sebentar."
"Iya, Mas."
Mereka masih menikmati menu makan siang yang sama itu, belum ada yang bersuara setelah pertanyaan tadi hingga akhirnya kotak makan mereka berdua bersih tak bersisa apapun.
"Bryn, hmm, kira-kira nanti kamu keberatan nggak kalau kita tinggal di apartment dulu?" tanya dr. Ario pelan setelah membereskan bekas makannya.
"Di mana pun, aku akan ikut, Mas." jawab.
"Makasi ya, aku yang masih sekolah ini belum bisa kasih kamu rumah senyaman yang sekarang kamu tinggali. Tapi mudah-mudahan kamu betah di apartment mungilku. Dan satu hal, aku belum bisa berikan nafkah bulanan yang banyak untuk kamu, income yang aku dapat saat ini setiap bulan dari join bisnis bareng temanku, juga hasil isi seminar di beberapa tempat. Semoga nanti setelah selesai sekolah, aku bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan sebaik-baiknya tanggung jawabku."
Wajah Bryna bersemu merah saat mendengar dr. Ario mengucapkan hal itu. Serius. Satu kata yang Bryna bisa tangkap dari pembicaraan kali ini dan dr. Ario sungguh-sungguh akan hal itu.
"Mas, seperti yang aku bilang tadi. Di mana pun, insya Allah aku akan ikut dan nyaman, apalagi dengan suami sendiri. Kalau soal nafkah uang, kita bagi dua aja ya, Mas, aku nggak akan memberatkan kamu soal itu. Itu kewajibanmu untuk memberi nafkah ke aku tapi soal berapa banyak, aku nggak masalah. Berapapun aku akan terima."
"Masya Allah, makasi ya, Dek. Jujur, Mas minder awalnya tapi denger kamu jawab begini aku tenang. Tapi nggak lantas melalaikan apa yang jadi tanggung jawabku ke kamu. Doakan semoga cepat selesai ya,"
"Iya, Mas." entah seperti apa rupa wajah Bryna saat ini. Yang ia rasa pipinya panas karena percakapan ini.
🐢🐢🐢🐢🐢
Eaaaa gaisss gimanaa.. Berapa lapis wafernya?? 😂😂🤣🤣 Aku indak banyak cakap yoo.. Selamat menikmati bacaan malam ini semoga kalian terhibur. Aku mau ke dapur dulu..permisi
Mainkannn vote dan komennya laeeee....
#dahgituaja
#awastypo
Dudui
Danke,
Ifa 💕
"luv yu gaisss..."
-dek Bry-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top